Rabu, 03 November 2021

PERJALANAN KE BUNTOK DARI TAMIANG LAYANG TAHUN 1906

 

PERJALANAN KE BUNTOK DARI TAMIANG LAYANG TAHUN 1906

by : Hadi S. Miter

Missionaris Hendrich


Perjalanan ke Buntok dari Tamiang Layang dimulai

Misionaris Tromp dan saya (missionaris Hendrich) telah lama berniat mengunjungi Boentok dan telah mendaftar pada Controleur untuk memberitahukan orang-orang Kristen di Boentok untuk hari kunjungan kami; tetapi sehari sebelum kami pergi, ternyata Tromp harus tinggal di rumah karena sakit kaki. Jadi saya harus berkunjung sendiri, karena kali ini tidak boleh ada penundaan dengan alas an apapun. Bahasa disana basa-ngadju yang dipahami oleh banyak orang; saya sendiri menguasai bahasa malaju (Melayu) dengan sangat minim, atas keyakinan pada Tuhan saya memberanikan diri untuk pergi ditemani oleh dua laki-laki anak asuh dari Missionaris Tromp, kami pergi dengan menunggang kuda. Pemberhentian pertama kami adalah di Dajoe (Dayu), di sana ada sebuah pasar. Saya berharap untuk membeli ikan untuk makan siang, tetapi sudah habis terjual. Kami beristirahat di rumah kediaman kepala desa, kemudian perjalanan dilanjutkan. Tapi sayangnya hujan mulai turun, sehingga saya basah kuyup di istirahat di desa Patong (Patung). Beruntung saya bertemu seorang kenalan dari Beto, yang mengajak kami ke rumah wakil kepala Kampung Patong, beliau adalah seorang Dayak yang ramah. Kami bermalam disana, saya dan anak-anak akhirnya melanjutkan perjalanan setelah mandi dan berganti pakaian.

Hari kedua terus berkuda sampai Kampung Lampeong, menurut kebiasaan setempat maka saya nanti siang akan singgah di Kampung Pinang Tungal, di sana ada kediaman saudara ipar dari guru Daniel Akar asli orang Tewah Popoh sebagai tempat berteduh. Ini juga adalah alasan bagi saya untuk bisa mengunjunginya dan sekaligus mengenalnya. Saya bertemu dengannya di ladang tempat ia bekerja, Ia keturunan Belanda, tetapi bekerja layaknya orang Dayak, ia berladang, memiliki kebun, yang hasil-hasilnya ia jual sendiri di pasar. Dia hidup seperti orang Dayak dan tidak lagi memakai sepatu. Rumahnya sangat kecil, hanya memiliki satu ruangan, yang berfungsi sebagai dapur, ruang tidur dan ruang tamu untuk 8 orang. Bersamanya ada kerabat dari istrinya seorang Kristen Dayak dari Kwala Kapoeas, dan anak-anaknya yang lebih besar membantu melakukan pekerjaan yang paling mudah; dia melakukan melakukan pekerjaan yang berat. Tidak jauh dari rumahnya yang sekarang, ia telah membangun sebuah rumah yang lebih besar; ada juga sawahnya yang baru dia tanam. Ia berharap agar selalu bisa menanam padi di sini (dan tidak berpindah-pindah tempat seperti kebiasaan orang Dayak), karena tanah di daerah Karau sangat subur. Sungai dimana dia mengairi sawahnya sama dengan sungai Nil di Mesir. Kami berbicara tentang pekerjaan misionaris dan dia menyarankan hal-hal yang kongkrit dilakukan oleh misionaris di daerah ini, jika kami tinggal diantara orang Dayak maka harus memperhitungkan kondisi tanah, itu sarannya kepada kami. Ia sosok pria yang setia pada imannya; dia ingin mengirim anak-anaknya ke Missionaris Tromp di Tameang Lajang (Tamiang Layang), agar mereka mendapatkan pendidikan yang layak. 

Malam itu juga dia menemani saya ke Djihi (Jihi), di mana saya menemukan para kuli yang beristirahat setelah melewati jalan pedesaan. Toko-toko pedagang sudah tutup, jadi kami tidak bisa membeli beras, tetapi berkat kebaikan Kepala Kampung Djihi ada pedagang yang bersedia membuka tokonya, kami diberi harga yang murah sebanyak yang kami butuhkan. Istirahat malam di rumah Kepala Kampung Djihi yang luas, yang dibangun untuk kantor dinas Controleur. Kami membutuhkan kekuatan kami untuk meneruskan perjalanan di hari ketiga. Kami masih berjarak 20 Km dari tujuan. Jalan dari Djihi ke Buntok dua kali lebih panjang bagi kami, karena kami harus melewati hutan sekitar 14 Km dan kami tidak melihat sebuah rumahpun sejauh mata memandang dan tidak menemukan buah atau sejenisnya. Pemandangan jalan disini sungguh indah; jalan baru dibangun, dengan lebar 4 M. dan juga permukaannya ditinggikan; tetapi ini tidak memuaskan rasa lapar kami, atau memuaskan dahaga kami. Kami harus menunggu sampai kami tiba di tempat dimana beberapa keluarga berkumpul dan mendirikan sebuah desa. Sambil minum teh saya mencoba sedikit menghibur anak laki-laki teman saya; dengan kata-kata yang baik agar mereka selalu bisa merasa terhibur.

 

Tiba di Buntok setelah 3 hari perjalanan

Ada danau kecil yang lebarnya setengah jam yang harus kami lewati, dan kemudian dua jam berjalan kaki lagi sebelum kami sampai di Boentok. Akhirnya kami tiba di Boentok menjelang malam dan melupakan semua kelelahan, saat melihat ukuran dan keindahan tempat ini! Pada saat yang sama dengan sebuah kapal telah tiba di dermaga Boentok dengan 30 tentara dari Marabahan dan 1 perwira dari Aceh, mereka berdinas dan berpatroli di sini untuk sekitar setengah tahun di Boentok.  Controleur sangat baik kepada kami dan mengijinkan saya tinggal di rumahnya selama 3 hari sangat menyenangkan. Dia tertarik pada tujuan kita, saya adalah tamunya untuk hari itu; sedangkan sisa waktu saya menfaatkan untuk bertemu anggota jemaat; jumlah mereka adalah 19 (dewasa dan anak-anak). Umat Kristen aslinya oloh ngadjoe, mereka berasal dari Bandjermasin dan Kwala Kapoeas. Mereka telah tinggal di sini selama 4 tahun dan tetap setia. Ketua Jemaat mereka  yang adalah pengawas depot garam di Boentok, seorang pejabat Kristen dan gagah berani bernama Efraim. Setiap sore kami berkumpul di rumahnya atau di sekolah. Puncak dari pertemuan persaudaraan kami adalah perayaan Perjamuan Tuhan dimana ada 12 orang ambil bagian.

Saya merasa sangat nyaman dengan orang-orang Kristen di Boentok. Sebagai seorang misionaris, seseorang mengalami apa yang dialami Paulus ketika mengunjungi jemaat, seperti misalnya. ketika dia menulis kepada jemaat di Roma, Rom. 1:11-12 " Sebab aku ingin melihat kamu untuk memberikan karunia a  rohani kepadamu guna menguatkan kamu, yaitu, supaya aku ada di antara kamu dan turut terhibur oleh iman kita bersama, baik oleh imanmu maupun oleh imanku." ketika kita dapat mengatakan kepada orang-orang Kristen: mereka adalah sukacita dan mahkota kita. Itu membuat profesi kami berharga dan seharusnya membuat Anda, Sahabat Misionaris, mencintai Misi di Kalimantan!

Sebagai tanda iman mereka yang hidup saya menerima 6 gulden dari jemaat kecil di Boentok, untuk membantu perbendaharaan di Tameang Lajang. Ini adalah pertanda baik ketika anak memberikan dukungan kepada ibu yang sudah lanjut usia. Dapat dimengerti bahwa orang-orang Kristen di Buntok ingin memiliki seorang Misionaris, tetapi tidak secepat itu; Saya telah menghibur teman-teman, bagaimanapun, dengan mengatakan kepada mereka bahwa saya akan mengunjungi mereka sesering mungkin, jika Tuhan memberi saya kesehatan. Controleur mengatakan bahwa ada baiknya saya berkunjung setiap bulan.

Pada tanggal 18 Oktober 1906 kami berangkat lagi, kali ini dengan perahu, Salah satu orang Kristen dari Boentok bernama Samuel akan menemani saya ke Tameang lajang dan juga ke Beto. Kami mengunjungi desa Saripanji, sebuah desa tiga jam menyusuri sungai dari Boentok, seorang Kristen bernama Seth tinggal di sana, ia layaknya lebah madu yang memiliki kerajaan sendirian. Dia segera datang menghampiri saya, dan meminta untuk membaptiskan istri dan anak-anaknya. Tentu saja ini hanya bisa terjadi jika wanita itu hanya mengenal kebenaran keselamatan yang sejati. Seth juga tahu hal ini, itulah sebabnya dia mulai mengasah dirinya sendiri. Dia memiliki buku yang bagus, dimana, selain lagu, juga 5 bab buku katekesasi. Seth menggunakan buku ini dalam mengajar istrinya. Saya menyarakankan padanya lebih baik jika keluarga ini tinggal di Buntok, karena kemudian dia bisa berhubungan dengan orang-orang Kristen di sana, dan istrinya itu bisa diajar oleh guru Yusuf atau oleh Efraim (yang dulu pernah juga mengajar). Ketika itu dia tidak segera menjawab pertanyaan saya apakah dia mengajari istrinya bernyanyi, saya mulai menyanyikan sebuah lagu, diikuti dengan diskusi Alkitab dan doa, sehingga kami tanpa berpikir mengadakan kebaktian keagamaan. Ketika kami hendak meninggalkan mereka dengan perahu kami, wanita itu membawakan kami beberapa butir telur dan tebu. Dia memberi dari sedikit yang ia miliki; namun ini tidak akan sia-sia.

 

Pasar minggu pagi di Boentok tahun 1924


Pulang Ke Tamiang-Layang lewat Sungai Barito

Saya mempersingkat cerita tentang sisa perjalanan ini. Anak-anak saya suruh pulang lewat darat membawa kuda sadangkan saya akan pulang Ke Tameang Laijang lewat sungai. Kepala Suku dari Bangkoang, yang dengannya kami menghabiskan malam itu. Dia membantu kami keesokan harinya ketika kami mendayung dengan cepat. Tidak jauh dari Mada kami harus turun dari perahu dan berjalan menuju Tameang Lajang. Semakin lama kami mendekati Telang, bekas pos Misi, semakin buruk tanahnya; pasir dan tidak ada apa-apa selain pasir putih yang terlihat di sana. Di Siong, tempat yang harus kami lalui, saya mengalami cerita lucu. Orang-orang polos mengira saya sebagai Controleur; karena mereka tidak pernah melihatnya. Saat saya melewati Desa beberapa orang bertanya kepada saya, "Dari mana Anda berasal?" "dari Boentok," jawabanku. Tidak lama kemudian kepala desa datang dengan beberapa pria, yang bersikap sopan, dan bertanya apakah mereka akan menjadi kuli saya. Karena aturan perintah bahwa barang-barang dari Controleur harus dibawa oleh orang-orang dari satu desa ke desa berikutnya. Saya mengatakan bahwa saya bukan Controleur, tetapi Tuan Pandita, itu tentu merupakan kejutan yang menyenangkan bagi mereka, sehingga mereka tidak perlu membawa barang-barang saya. Aku tertawa terbahak-bahak atas peristiwa ini.


Sumber :

BORNEO. DITBLAD IS HET DAGBOEK VAN K. HENDRICH'S ZENDING. De Rijnsche zending; tijdschrift ter bevordering van het christendom in Nederlandsch Indië, jrg 37, 1906


Kamis, 14 Oktober 2021

KEADAAN TAMIANG LAYANG TAHUN 1862

 

KEADAAN TAMIANG LAYANG TAHUN 1862

 by

Hadi Saputra Miter

Lukisan ulun maanyan yang dibuat oleh Scwaner tahun 1840


Tulisan kali ini diambil dari tulisan dari seorang dokter militer Bernama Adriaan Jan Hendrik van der Mijll Dekker dia lahir 5 november 1837 di Utrecht Belanda dan meninggal dunia pada  1 augustus 1892 di  Rheden, Belanda pada usia 54 tahun. Ini merupakan sebuah laporan yang ia tulis kepada pejabat colonial pada waktu itu yang berjudul TOPOGAPHISCIHE SCHETS VAN MENGKATIP EN SIHONG sebuah catatan mengenai pemetaan keadaan lapangan dari kondisi sosiologis, keadaan alam dan juga kondisi fisik dari masyarakat di wilayah Mangkatip dan Siong namun dia menulis secara khusus tentang Tamiang Layang dimana dia bertugas pada benteng militer Tamiang Layang di tahun 1862, berikut catatannya mengenai Tamiang Layang :

Benteng Militer

Kampung utama di distrik Patteij adalah Tameang-Laijang, terdiri dari sebelas rumah, tempat tinggal Kepala distrik dan benteng tempat kami yang dibangun pada tahun 1860; posisinya terletak di sungai Patteij (sirau-red), yang hanya bisa dilayari dengan kano kecil (perahu atau jukung-red). Lebih jauh ke hilir sungai ini dapat ditemukan kampung-kampung: Magantis, Harara dan Poeloe- patteij, yang masing-masing terdiri dari 5 sampai 6 rumah. Di sekitar Tameang-Laijang adalah desa-desa kecil: Awang, Djaar, Tawoeloe, Panjanarin, Haringin, Wintan, Sangar-wassi, dll.

Benteng Tameang-Laijang adalah satu bangunan besar, dikelilingi pagar dan parit kecil di sekelilingnya. Bangunan ini memiliki lantai dan dinding kayu, dipisahkan oleh papan sekat menjadi barak, ruang tamu, ruang untuk orang sakit dan tiga kamar petugas, dimana sebuah kantor polisi berada didepan. ruangan orang sakit, bersebelahan dengan ruangan kantor perawat. Berbentuk seperti barak dengan baleh-baleh; apoteknya (ruang obat) sangat kecil. Perimeter Benteng telah dibersihkan, diberi rumput, dan sudah ditanam dalam waktu lama. Sungai kecil Patteij (sungai sirau), tempat dapur dibangun, mengalir dengan kecepatan 100 langkah; jamban terletak agak tinggi di atas badan sungai, air mengalir jernih cukup deras menawarkan kesempatan yang baik untuk mandi di sini. Bagi penyakit menular ditempatkan pada bangunan bambu kecil di luar benteng. Sungai bisa meluap saat musim hujan dan menarik bahwa garis besar benteng, tidak pernah terkena banjir.




Seorang Dokter Tentara bersama orang dayak
 
didepan rumahnya di Muara Teweh tahun 1930an

Kedaan Tanah:

Lapisan atas dari tanah yang lebih tinggi adalah tanah berpasir, sedangkan lapisan yang lebih dalam terdiri dari tanah liat yang berat. Tanah ini digunakan untuk membuat ladang tempat kebanyakan padi ditanam. Hampir di mana-mana tanah tertutup oleh hutan lebat, sedangkan ladang alang-alang hanya ditemukan di beberapa tempat. Kecuali di beberapa tempat, seperti Awang, tanahnya tidak terlalu subur.

Fakta bahwa tanah Kalimantan mengandung emas memang terkenal, tetapi saya tidak pernah dapat menemukan apa pun tentang emas disini. Sebaliknya, tembaga saya temukan dalam jumlah yang kecil di dasar Sungai Patteij, dekat benteng Tameang-Laijang. Tembaga yang berwarna coklat kemerahan dan pasir yang berat tidak dalam dan dengan air jernih, yang berada di dasar sungai, menarik perhatian saya mencoba mengujinya dengan mencuci dan mencairkan bagiannya sampai menghasilkan logam yang tidak murni, berat, berwarna perunggu. massa dari tembaga dapat dengan mudah dibedakan.

 

Jenis satwa :

Di antara binatang buas yang hidup di hutan terdapat banyak monyet besar dan kecil, termasuk bekantan, monyet hitam dan monyet merah. Orangutan tidak ditemukan di daerah ini; babi hutan dan rusa dalam jumlah besark; beruang, tupai, trenggiling, kucing harimau (spesies kecil) ditemukan disemua hutan, sementara ular yang agak besar ditemukan hamper disetiap tempat.

Burung yang hidup di hutan tidak banyak jumlahnya. Merpati, ayam hutan, beo, dan beberapa burung kecil tidak dalam jumlah besar di hutan yang luas dan sepi ini. Di sisi lain, rawa-rawa biasanya dipenuhi dengan segala jenis unggas air. Burung elang dihormati oleh orang dayak.

Sengai mengalir deras dengan sejumlah ikan yang lezat, di dalamnya terdapat banyak sekali buaya, beberapa diantaranya panjang dan cukup besar. Kita dapat menemukan jenis buaya berkepala bulat dan yang lainnya dengan kepala runcing, yang terakhir dianggap lebih berbahaya daripada yang pertama.

Lebih dari sekali terjadi bahwa orang-orang dan anak-anak diterkam saat di perahu dan juga ditepi sungai ditarik ke kedalam sungai oleh makhluk ini. Nyamuk ditemukan dalam jumlah yang sangat besar di daerah berawa; di daerah yang lebih tinggi hanya ada sedikit, tetapi di sisi lain sangat banyak semua jenis serangga. Spesies semut terlihat di sini, yang ukurannya kira-kira lima kali lebih besar dari semut merah pada umumnya.

 

Makanan penduduk serta iklim :

Adapun makanan penduduk di wilayah ini sangat sederhana. Hampir semua, tidak terkecuali kepala distrik, makan nasi dengan garam ditambah sajor dari bambu muda yang direbus. ikan kering dikonsumsi. Daging monyet dan kalong adalah makanan lezat bagi mereka. Dilaporkan bahwa di distrik Sihong Daijakkers juga ditemukan pemakan daging ular. Sejauh yang saya tahu, tidak ada unsur yang tidak dapat dimakan oleh mereka, atau yang mereka tolak karena sebuah alasan.

Garam adalah makanan istimewa sekaligus sumber kelezatan bagi mereka; Garam memiliki nilai lebih dari uang. Ketika seseorang membeli sesuatu dari orang Daijakker, pertanyaan pertamanya adalah apakah dia juga bisa mendapatkan Sedikit garam.

Ayam, daging kerbau, dll. Hampir tidak pernah dikonsumsi oleh mereka; bahkan para kepala suku, termasuk Soetaono yang lebih maju, tidak mampu mendapatkan kemewahan ini.

Pengamatan metereologis tidak dapat diberikan dengan akurat karena kurangnya instrumen untuk ini. Karena kedekatannya dengan garis khatulistiwa, perbedaan antara mousson yang baik dan yang jahat tidak terlihat dengan jelas. Perbedaan suhu pada siang dan malam hari sangatlah signifikan. Pada pagi hari biasanya dingin dan berkabut, sedangkan pada siang hari suhunya cukup tinggi. Badai petir sering terjadi disini serta hujan lebat yang berlangsung lama. Angin di sini sering kali sangat kuat, tetapi hanya untuk waktu yang singkat. Hampir setiap pagi kabut tebal dan dingin terlihat di sini sampai jam 7 dan kadang sampai jam 9 pagi.

 

Tipe rumah Dayak:

Secara keseluruhan daerah ini berpenduduk sangat jarang. Sebagian besar adalah adalah orang Daijakkers; Orang Melayu kadang ditemukan di sana-sini. Mereka tinggal bersama di kampung-kampung yang biasanya hanya terdiri dari beberapa rumah, dimana 8 sampai 15 orang tinggal Bersama dalam satu rumah. Rumah-rumah ini, yang dibangun diatas panggung setinggi manusia diatas tanah, biasanya hanya terdiri dari satu ruangan. Dindingnya terdiri dari kadjang, lantai dahan-dahan diikat jadi satu, bagian bawahnya tempat air, sampah, dll, sehingga hampir di setiap rumah ada genangan lumpur yang dijadikan babi-babi sebagai tempat tinggal.

Di depan rumah terdapat tempat terdapat tangga yang terbuat pohon bulat yang dipahat berlekuk.

Pintu biasanya satu-satunya bukaan yang ditemukan di dinding; tidak ada bukaan yang berperan sebagai jendela. Terkadang ditemukan lubang udara seukuran tangan di dalamnya.

 

Tipe penduduk:

Menurut cerita para kepala suku, seratus tahun yang lalu, orang di wilayah ini datang dari tempat yang jauh, dimana mereka diganggu dan diserang dimana mereka akhirnya memutuskan pergi dan menetap di lingkungan atau wilayah ini.

Laki-laki umumnya cukup berkembang dengan baik dalam bentuk tubuh yang baik, memiliki penampilan yang baik, ramah, mereka sering bertubuh tinggi, tetapi sangat sangat malas. Pakaian mereka terdiri dari penutup kepala dan cawat dari kulit pohon, yang digunakan untuk menutupi bagian yang kemaluan.

Biasanya mereka dipersenjatai dengan tombak atau mandaw, yang terdiri dari sepotong logam runcing yang dipasang di selubung kayu. Pada gagang yang terbuat dari tulang, biasanya ditemukan potongan 10 atau 25 sen, sedangkan di bagian bawah sarung dan di gagang dipasang sedikit rambut (manusia atau kambing). Di sisi sarungnya ada pisau kecil yang dibungkus dengan sarung kulit, sedangkan beberapa tempayan dari tanah atau tulang kadang terlihat tergantung di situ (tampat obat loeka).

Mandaw ini juga dikenal sebagai senjata untuk pemburu kepala; namun cara membunuh ini, menurut cerita para kepala suku, tidak dilakukan oleh suku mereka atau oleh nenek moyang mereka; itu yang membedakan mereka dengan orang Dayak dari distrik Karau. Dalam perburuan dan perang, mereka selalu membawa mandaw atau sumpitan, dengan sumpit mereka berhasil mencapai target dengan tepat pada jarak 50 yard.

Anak panah terdiri dari bambu atau beberapa jenis kayu keras, kadang dengan ujung tembaga atau gigi ikan halus, yang juga kadang dibubuhi  racun. Mereka menyimpannya dalam tabung bambu yang diikat dengan kain. Racun yang mereka gunakan pada mata panah sumpit tersebut menghasilkan fenomena tetanik. Saya sampai sekarang, meneliti cara mereka mendapatkan racun ini; Namun menurut cerita, seekor anjing liar mati karena keracunan oleh mata sumpit dalam waktu 3/4 jam.

 

Penutup

Dari catatan Adriaan Jan Hendrik van der Mijll Dekker ini kita sangat terbantu utnuk melihat keadaan dan situasi masyarakat Maanyan yang ada di Tamiang Layang pada waktu itu, banyak memang tulisan mengenai Tamiang Layang tetapi salah satu tulisan unik memuat secara detail posisi benteng Tamiang Layang hanya ada dalam tulisan ini

Senin, 12 Juli 2021

JIN MURUTUWU : Pandangan Ulun Maanyan Mengenai Mahluk Gaib

JIN MURUTUWU

Pandangan Ulun Maanyan Mengenai Mahluk Gaib

by 

Hadi Saputra

Panungkulan Murtuwu tahun 1913


Pandangan Ulun Maanyan terhadap Fenomena

Orang Dayak Maanyan dan orang Asia secara umum memandang kejadian atau fenomena yang terjadi selalu dikaitkan dengan hal supranatural. Antropolog Emili Durkheim menuturkan  : Masyarakat pre-literate (tradisional) menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral dan sementara yang lain dianggap profan (kejadian yang umum atau biasa. Adapun hal yang sakral inilah yang dianggap sebagai suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Sebagian orang Barat selalu menelaah perestiwa atau fenomena dengan logika sehingga dalam cerita ini akan menarik bagaimana pandangan barat yang diwakili oleh P. Te wechel seorang pejabat Militer Hindia Belanda berpangkat Kapten yang pada saat itu sedang tugas dinas di Desa Murtuwu bertemu pandangan masyarakat Dayak maanyan yang sangat kuat berpandangan dengan sesuatu hal gaib, magis dan supranatural.

 

Sekelumit cerita Jin dari Murtuwu[1]

Di kampung Murutuwu ada tiang kayu berukir tinggi di jalan desa; itu didirikan untuk Njanjo Djin (Nanyu Jin), yang dibayangkan oleh masyarakat disana sebagai sosok yang sangat tinggi dengan sepasang mata merah berapi. Sebagian besar orang Dayak mengaku pernah melihat sosok tersebut di beberapa titik desa dan kebetulan saya berkenalan langsung dengan Jin itu sendiri pada suatu malam.

Pada suatu malam Saya dan istri saya mendengar keributan di luar rumah; bayangkan bahwa di Desa Ini lingkungannya sangat sunyi, dan saat kami melangkah keluar untuk mencari tahu apa gerangan yang terjadi, seorang Dayak berlari ketakutan dengan berteriak: “Tuwan, Njanjo Djin!” (Tuan, Nanyu Jin) nampak bola merah menyala yang tenggelam sangat lambat, masih bersinar sedikit melalui dahan, saat itu malam memang sangat gelap, dan udara yang sangat mendung hanya menyisakan sebidang kecil langit yang lebih terang terbuka di cakrawala.

Penjelasan kemunculan Jin buat saya sangat sederhana. Malam sebelumnya, ketika Planet Venus masih tinggi di langit, Venus tersembunyi dari pandangan oleh kumpulan awan; karena tenggelam ia muncul dengan sangat tiba-tiba, tentu saja, di jalur sempit di atas hutan daerah Barito, dan fenomena yang tidak terduga ini cukup bagi orang Dayak untuk melihat Djin (Jin) di dalamnya. Selain itu, planet ini tampak luar biasa merah malam itu karena asap tebal yang menggantung di udara. Di sini kita punya contoh bagaimana orang Dayak menarik kesimpulan dari fenomena alam paling sederhana dalam hubungannya dengan dunia roh.


 Ampatung Jin

Penutup

Menarik bahwa istilah Jin sendiri datang dari letaratur Arab dan Islam[2] yang mungkin diperkenalkan oleh orang-orang Melayu Banjar kepada orang Maanyan. Pandangan akan mahluk gaib meresap sampai sekarang, lihat bagaimana bila mereka bercerita akan banyak unsur-unsur gaib tentang hantu, jin dan berbagai mahluk gaib yang akan terbawa dalam menjelaskan sebuah fenomena yang mereka takuti.

 

 

 



[1] P. Te Wechel, Erinnerungen aus den Ost- und West-Dusun Ländern (Borneo): In Besonderem Hinblick Auf Die Animistische Lebensauffassung Der Dajak  dalam Internationales Archiv für Ethnographie:  (Leiden : P.W.M. Trap, Gesellschaft für Ethnographie. 1913). Hal.16

[2] Amira El-Zein, Islam, Arabs, and the Intelligent World of the Jinn (Syracuse University Pres, 2017)

Rabu, 03 Maret 2021

ULUN MAANYAN MENGAHADAPI PANDEMI DISENTRI

 

ULUN MAANYAN MENGAHADAPI PANDEMI DISENTRI


Sesajen penangkal kolera yang dibuat orang Maanyan tahun 1913


Cerita pengalaman dokter Jerman Dr. H. Bretainstein yang bertugas

di Benteng Militer Muara Teweh pada tahun 1880

(Dr. H. Bretainstein, 21 Jahre in Indien. Aus dem Tagebuche eines Militärarztes.)

disarikan kembali oleh :

Hadi Saputra Miter 


surat dari anak Sota Ono

Pada tahun 1880, putra dari kepala suku Suto-Ono menulis surat kepada saya, dalam bahasa Melayu. Dia memberi tahu saya bahwa wabah disentri telah merebak di distriknya; dia menggambarkan gejala pasien yang tidak Bahagia, sehingga gambaran tentang disentri menjadi jelas bagi saya, dan bahwa saya juga mengagumi ejaan yang tepat dan jelas dari orang Dayak ini. Buntok terletak di dekat area yang terinfeksi; Saya khawatir epidemi dapat mencapai benteng kami jika tidak dihentikan dalam perkembangannya.

Jadi dengan surat ini saya pergi kepada pejabat Cotrolleur, yang jabatannya membawahi para kepala distrik . Surat itu sangat merepotkan bagi para pejabat yang dimana saya menemui pejabat disarankan oleh Cotrolleur , karena akan berdampak dalam laporan rutin pemerintahan mereka, karena: "Kesehatan yang baik, akan menguntungkan kondisi dan jabatan politik. "

Mengapa anda mendapat izin membaca surat ini (Dia bertanya kepada saya)?

Saya beralasan mungkin saya dapat memberikan saran dan bantuan bantuan kepada orang Dayak yang malang ini, yang nampaknya menderita penyakit parah; mungkin kondisi yang higienis dapat mengurangi epidemi dan segera berakhir; Saya juga khawatir pandemic ini akan mencapai benteng, di mana 150 orang tinggal bersama dalam ruang yang relatif sempit, dan akan terlambat untuk menutupi sumur ketika anak sapi telah tenggelam. Tahukah Anda adat istiadat orang Dayak, bahwa mereka mengharapkan manfaat saran sekecil apa pun dari aturan higienis? "

“Ya, oleh karena itulah mengapa saya ingin pergi ke sana, tidak hanya untuk melihat bahwa pasien yang malang ini terbebas dari rasa sakit yang mengerikan dan sembuh, tetapi juga memeriksa kotorannya. “

Ah, sekarang saya mengerti , Dokter!...” dia melakukan gerakan menghitung uang dengan jari-jarinya. Saya tidak peduli tentang yang ia pikirkan tentang saya, tetapi saya memperingatkan dia untuk tidak memberi saya sindiran didepan wajah saya dengan sok berhitung, karena dengan begitu saya akan menggerakkan jari-jari saya juga langsung tepat di pipinya.

karena sebenarnya seolah olah dia ingin menunjukkan dengan gerakan jarinya bahwa partisipasi saya untuk orang  Dayak yang "malang" tidak lebih dari spekulasi uang saja.

Benteng Muara Teweh tahun 1880

Ekspedisi ke Telang dan Tamiang Layang

Saya kemudian pergi ke komandan militer, memberi tahu dia tentang kejadian itu, dan memintanya untuk mengambil liburan pribadi selama beberapa hari sehingga saya melakukan ekspedisi untuk mengatasi epidemi ini. Karena menurut aturan dia hanya memiliki wewenang untuk bekerja sebagai dokter di benteng selama empat hari selama saya tidak ada, dia ingin berbicara dengan pengawas tentang hal itu lagi. Meskipun ini ekspedisi kecil namun menghabiskan biaya yang besar, saya mendapat ijin selama empat hari, menyewa perahu dengan enam pendayung, membawa bahan makanan untuk empat hari. Pelayan yang menemani saya bisa berbahasa Dajak, dia adalah penerjemah, sekaligus koki, rekan kerja saya, dll.

Perahu itu sangat panjang sehingga aku berbaring di dalamnya, sedangkan para pendayung adalah orang Dajak dan pelayanku juga bisa duduk dengan nyaman dengan bersila (seperti biasa). Separuh bagian belakang perahu ada atap, yang melindungi saya dari hujan dan sinar matahari; Saya juga membawa senjata, namun dibalik itu prinsip saya bahwa satu senjata baik revolver atau pedang, tidak bisa membantu saya melawan musuh, karena lebih baik "mendapatkan kepercayaan dan pertemanan".

Ada banyak anak sungai dan Antassan antara Buntok dan Mengkatip; yaitu sungai Karrauw saya memasuki daerah yang dilanda epidemi.

Kampung Telang adalah tujuan perjalanan saya, terletak di sungai kecil dengan nama yang sama, lagi-lagi merupakan anak sungai Sungei Siong, yang mengalir ke Barito antara S. Pattai dan Karrauw (L 1 37°SB). Tepiannya memiliki semak-semak rendah; mulut sungai dipenuhi dengan kayu yang mengapung, perjalanan yang tak terlupakan; Saya harus mengganti perahu, dengan perahu kecil bernama Djukung, sehingga ekspedisi kami menjadi 3 jukung, begitu banyak kayu mengapung sehingga para pendayung kesulitan. Kadang para pendayung mengarahkan perahu kecil tersebut untuk melewati kayu-kayu tersebut; mereka keluar dari perahu dan melompat-lompat di atas balok kayu seperti cerita Paman Tom di atas es yang mengapung.

Akhirnya tujuan tercapai, jalan dengan hamparan batu kapur seputih salju yang indah yang mengarah ke rumah misionaris Faige. Saya tinggal di sini selama enam hari (hari kedatangan dan keberangkatan, yang tidak diperhitung oleh komandan militer)

Pak kepala distrik mengantar saya berkeliling, dan menemukan lapangan yang luas untuk lokasi kegiatan saya. Tempat dimana saya dapat merawat banyak pasien , missionaris Faige nampaknya kesulitan mengajarkan kebersihan kepada orang dayak. Orang Dayak meletakan jenazah korban dysentri di dalam rumah selama tiga hari, sampai akhirnya mereka memindahkan peti mati kedalam hutan; ada dua kasus tentang peti mati ada yang ditutup dengan penutup yang terbuat dari kayu memiliki lubang dengan kecil di tengah bagian bawah; untuk mengeluarkan cairan dari mayat yang membusuk. Saat jenazah masih disemayamkan dalam rumah, bau mayat dalam wadah penyimpanan cairan itu menusuk hidung , walah kadang sudah dicampur dengan minyak dan jeruk nipis. Yang kedua jenazah diletakan di ladang atau di pinggiran kampung, butuh waktu lama menunggu "festival upacara kematian". Mereka menunggu sampai jenazah benar-benar kering atau menunggu sampai punya uang. Kadang butuh waktu 1 sampai 2 tahun sebelum jenazah dikremasi.

Ketika saya tiba, sebagian besar keluarga almarhum bahkan tidak memiliki tempat untuk menampung cairan dari pembusukan mayat; mengenai kondisi epidemi tidak didiskusikan lebih lanjut karena situasi sudah agak reda. Dilain pihak tentu saja, saya tidak berhasil mengatur agar jenazah segera dikuburkan, tetapi setidaknya mereka setuju agar jenazah dalam peti mati dimasukan campuran kapur, belerang, dan abu untuk mengurangi bau. Saya juga menyarakan agar jenazah yang busuk sebaiknya jangan diletakan didalam rumah, tetapi di luar yang jauh dari perkampungan.

Keesokan harinya saya pindah ke ke Tameang Layang, di mana Pak Faige menemani saya. Menemui Seorang misionaris dari Barmer Mission Society tinggal di sini bernama Tromp bersama istri dan anaknya. Di Tamiang Layang mereka bercerita tentang keberhasilan mereka dalam memindahkan hari pasar Dayak yang biasanya diadakan setiap hari Minggu, menjadi hari Senin. Jadi pada hari keenam saya memberikan masukan kepada kedua misionaris tersebut menyadari apa yang dapat dilakukan dalam waktu singkat ini.

Saya heran kenapa Orang Dayak kulitnya tidak sekelam orang Melayu di pantai, saya melihat kulit mereka yang cerah, jadi saya meminta penjelasan dari Kepala distrik. Dengan senyuman dia menunjukkan kepadaku di kejauhan  ada reruntuhan benteng yang berdiri di sana dua puluh tahun yang lalu. Itu bagian dari adalah perbaikan ras melalui pernikahan tak resmi dengan tentara Eropa, ini mungkin akan menjadi hal yang unik di sana, karena dua puluh tahun kemudian di Muara Teweh pasti tidak ada tentara Eropa yang berani menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita Dayak.


Disentri di Hindia Belanda

Saya memberi petunjuk kepada misionaris tentang bagaimana memperlakukan para pasien dysentri malang dan meningkatkan kondisi kebersihan serta sanitasi mereka. saya juga meminta para kepala desa untuk memberi tahu saya tentang penyebaran epidemi melalui laporan mingguan, saya mendapat gambaran yang baik tentang kemajuannya, yang sayangnya sangat mengkhawatirkan saya; setiap minggu saya menerima laporan dari Kampung, yang lebih dekat ke benteng. Kami berhasul menekan penyebaran pandemic disentri dengan biaya yang tidak sedikit.

Ini adalah kasus pertama dan satu-satunya epidemi disentri yang pernah saya lihat di Hindia Belanda; Pada tahun 1895 saya melihat banyak pasien disentri di Magelang (Jawa) Memang masih ada pertanyaan apakah saat ini masih terdapat kasus disentri di Jawa. Diagnosis "disentri" sangat sering dibuat oleh orang awam. Setiap kali kasus darah muncul di tinja; padahal diagnosis ini membutuhkan lebih banyak perbandingan kasus. Dalam keadaan normal di Jawa, para dokter hampir tidak pernah melihat kasus disentri setiap tahun; Bahkan sebelum tahun 1894 diragukan apakah disenteria tropica masih terjadi di Jawa; karena di seluruh tentara dari tahun 1891 hingga 1894 ada 12, 10, 9, 14, atau rata-rata 11 pasien disentri dirawat, sehingga peristiwa ini dikaitkan apakah orang Eropa dan penduduk asli, minum air sawah tanpa menyaringnya dan merebusnya, perlu study yang lebih dalam lagi.

 

Selasa, 02 Februari 2021

DAYAK MAANYAN BUKAN ANJING KOLONIAL (seputar peran ulun Maanyan dalam revolusi kemerdekaan Indonesia)

 

DAYAK MAANYAN BUKAN ANJING KOLONIAL

by : Hadi Saputra Miter

               Sekolah Pakat Dayak di Tamiang Layang tahun 1940
 

 

Tulisan saya tentang Suta Ono yang berjudul, Suta Ono: Pahlawan Ataukah Kaki Tangan Kolonial? Lumayan memancing kontroversial.[1] Banyak yang mencaci maki bahwa Maanyan adalah penjajah dan segenap kata-kata tuduhan mengarah ke rasis. Saya menyadari bahwa ketidak samaan pandangan hadir karena mereka menggunaan kacamata dunia saat ini sebagai cermin untuk melihat masa lalu, yang tentu saja kontek's dan situasi yang berbeda. Kemudian mereka juga membandingkan bahwa Kerajaan Banjar adalah Indonesia, sedangkan Belanda Penjajah dan orang Maanyan sebagai kolaboratornya, sebuah pandangan picik yang mengekerdilkan arti sejarah. Suta Ono adalah produk Maanyan masa lalu yang merasakan bagaimana hidup dibawah kontek's tirani  raja-raja local yaitu Kesultanan Banjar yang bahkan diera belum ada yang namanya Negara Indonesia. 


Dayak menuntut keadilan

Lalu pertanyaanya apakah Maanyan itu hanya benalu negara ini, tanpa ada kontribusi apapun bagi negeri ini? Kita akan bicara apa peran orang-orang Dayak Maanyan dalam konteks pergulatan lahirnya sebuah negara yang bernama Indonesia tersebut. Para intelektual Maanyan rata-rata lahir dari pendidikan sekolah yang didirikan Zending, namun sekolah sekolah tersebut tidak diakui oleh pemerintah Belanda sebagai sekolah standart, karena untuk menjadi pegawai birokrat pemerintah Hindia Belanda harus menempuh pendidikan berstandart dari pemerintah Kolonial. Sehingga lulusan sekolah Zending (volkschool) hanya terbatas menjadi menjadi guru untuk sekolah Kristen, pegawai kantor zending saja dan memegang jabatan lokal saja (kepala adat).  Oleh karena itu pada tahun 1920an  anak-anak Dayak hanya menjadi penonton saja, sedangkan orang-orang dari suku Banjar yang hidup diperkotaan bisa mendapatkan akses pendidikan standart Hoofden School dan bekerja dibirokrasi pemerintah Belanda, serta menduduki jabatan strategis untuk orang pribumi.

  Sidang Kongres kesadaran Bangsa Dayak "Pakat Dayak"

 Pakat Dayak dan Indonesia

Atas dasar itu orang Dayak dipimpin Hoesman Baboe tahun 1922 mendirikan sebuah kelompok yang bernama “Sarikat Dayak” kemudian berubah menjadi  “Pakat Dayak” yang terinspirasi dari Sarikat Islam. Sebuah organisasi yang meminta keadilan agar orang-orang Dayak punya akses memiliki pendidikan berstandart dari pemerintah Belanda dan agar orang-orang Dayak juga bisa bekerja dibirokrasi. Karena itu Pakat Dayak mendirikan sekolah yang dinamakan Hollands Dajak school (HDS) pada 1 Juli 1924 di Desa Hampatong, Kuala Kapuas. yang kemudian sekolah-sekolah HDS juga didirikan diwilayah lain seperti juga wilayah Maanyan pada akhir 1939. sekolah tersebut berdiri dari uang anggota Pakat Dayak dan bantuan dari Badan missi jadi bukan dari pemerintah Belanda. Pada tahun 1938 dibentuk Kongres kesadaran Bangsa Dayak yang mempersatukan orang-orang Ngaju, Maanyan, Lawangan, Oot Danum dll. Sebagai upaya agar orang Dayak bisa mengirim wakil diparlement (Volkstraad) sedangkan Banjar sudah memiliki wakil di Batavia. Komite Kesadaran Bangsa Dayak memberikan dua putra Maanyan terbaik yaitu Cornelis Luran dan Doeradjat, kelahiran Telang:

Ketua         : Mahir Mahar.

Wakil          : E.S Handoeran.

Sekertaris : Cornelis Luran.

Komisi I   : Doeradjat.

Tokoh Maanyan dari Pakat Dayak, Cornelis Luran
                

Media propaganda Pakat Dayak "Suara Pakat"

Kelompok ini juga memiliki corong propaganda yang bernama Suara Pakat, yang mulai membicarakan ide-ide nasional mengenai isu kemerdekaan bangsa Dayak dan Indonesia Raya. Suara pakat edisi 1940 menulis :

“Pakat Dajak berdiri boeat menpesatoekan Indonesir Dajak, mengkat deradjat martabat dan hakekat Indonesir dajak atau mengambil tindakan akan menjelma hak Indonesir Dajak terhadap noesa dan bangsa lain disekelilingnja….”[2]

Cucu dari Suta Ono sendiri dari istri ke 2 yaitu anak dari Kiai Badowo, dia adalah Mangan Badowo, dia meyandang jabatan Kiai (camat) ditengah situasi peralihan antara Belanda dengan Jepang, Mangan Badowo pada tahun 1942 diposisikan sebagai kepala adat untuk wilayah Paju Epat, dimana status Paju Epat dan Dusun Timur era Jepang merosot menjadi anak distrik dibawah Kalua.[3] Namun dilain pihak situasi ini nampaknya yang membuat Mangan Badowo mulai menemukan inspirasi tentang pergerakan Nasional dan perjuangan melawan imperialisme Barat yang dihembuskan oleh Jepang, sehingga saat Belanda kembali mengambil kekuasaan dari tangan Jepang. Mangan Badowo dilaporkan dan dipecat dari jabatannya serta status pegawai dari pemerintah Belanda pada tahun 1949 melayang, dikarenakan sikap Nasionalisnya yang mulai vokal mendukung kemerdekaan Indonesia.[4]

 

Mangan Badowo

Fridolin Ukur dan nafas Nasionalisme

Pdt. Fridolin Ukur mengakui bahwa semangat kebangsaan dan nasionalisme yang diamiliki sehingga memtuskan untuk akngkat senjata membela Negara Indonesia melawan agresi militer Belanda paska kejatuhan Jepang dipengaruhi tulisan kelompok Pakat Dayak :

“Pada awal kedatangan Jepang, pak Ukur pulang ke kampung. Suatu Ketika ia melihat buku-buku ayahnya, dan ia menemukan sebuah buku organisasi pakat Dayak. Di halaman pertama buku tersebut ada lagu Indonesia Raya dan halam-halaman selanjutnya beris Anggaran Dasar Rumat Tangga Pakat Dayak, kemudian lagu-lagu tentang Pulau Kalimantan. Dari situ muncul semangat kebangsaan dalam diri Ukur kecil yang ternyata sangat besar perannya dalam membentuk watak kebangsaannya dikemudian hari.”[5]

     Pak Ukur akhirnya  bergabung dalam organisasi Pemuda pemudi Kristen Indonesia(P3KI) menjadi greliyawan menyeludupkan pidato-pidato nasional Bung Karno kepada masyarakat dan kemudian dia yang bergabung dalam ALRI Devisi  IV Kalimantan. Dia dengan abangnya Wilson Ukur mendirikan markas perlawanan terhadap pemerintah Belanda bernama "Banteng Hitam" di desa Sanggu.

 

Maayan Indonesia

Dayak Maanyan sebuah kelompok yang juga sadar bahwa dibawah kesultanan Banjar mereka hanya akan menjadi hamba dari sultan oleh sebab itu mereka berlindung dengan Belanda, tetapi setelah muncul ide-ide persatuan dan semangat nasionalisme kebangsaan setelah gerakan sumpah pemuda tahun 1928 secara pelan-pelan mereka bergabung dalam sebuah kelompok yang juga ingin ber Indonesia. Berawal dari rasa ketidakadilan yang dilakukan terhadap orang Dayak kemudian mereka menuntut keadilan dan kesamaan hak kepada Belanda. Sayang upaya tersebut terhenti karena kedatangan Jepang, namun setelah Jepang pergi orang Maanyan melanjutkan kebulatan tekadnya akan sebuah negara Indonesia merdeka Bersama suku-suku yang lain. kami bukan anjing kolonial kami bangsa merdeka yang bebas bukan hamba Kesultanan dan juga bukan hamba Kerajaan Belanda.



[1] Tulisan saya dikutip oleh penulis dari pihak Kesultanan Banjar dalam buku,  Ahmad Bardjie, Perang Banjar Barito 1859-1906 (Martapura : Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2015). 264

[2] Dana Listiana, Satu Dayak menjadi Indonesia-Dayak : Impian Persatuan Bangsa Dayak dalam soera pakat terbitan Banjarmasin pada tahun 1940-an. Dalam, Penguatan dan Pelemahan Persatuan Bangsa Media dan Tokoh di kalimantan Selatan ( 1923- 1959 ), (Bandung: Media Jaya Abadi) .58

[3] Surat Pengakuan No.3/494/2/1942 diterbitkan oleh Minseibu Bandjermasin Shutchoscho-Cho atas nama Mangan sebagai kepala adat Paju IV, tertanggal 1 Juli 1942.

[4] A.B Hudson, Padju Epat : The Ethnography And Social Structure Of A Ma'anjan Dayak Group In Southeastern Borneo (Michigan USA: University Microfilm, 1967). 234

[5]Darius Dubut ... [et al.],  Kurban yang berbau harum : 65 tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur (Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan PGI bekerja sama dengan Sinode Gereja Kalimantan Evangelis, 1995.).5-6.

Selasa, 03 September 2019

PANDAM Sistem kasta dalam masyarakat Maanyan Paju Epat tempo dulu


PANDAM
Sistem kasta dalam masyarakat Maanyan Paju Epat tempo dulu
by 
Hadi S. Miter 


Guru Miden, Ngawar (kakah Lelo) 
dan Judith Hudson di lokasi Tamak


Dikalangan masyarakat Maanyan Paju Epat, mengenal tradisi pembakaran tulang yang disebut dengan Ijame, dalam ritus tersebut ditemukan semacam susunan masyarakat berdasarkan kelas. Fridolin Ukur mencatat ada terdapat 7 kelas :
1.      Mangku
2.      Patinggi
3.      Jaksa
4.      Giritan
5.      Singa Langgawa
6.      Jarang Bayohan
7.      Mangasiau
Setiap tingkat memiliki Tamak[1] sebagai lambang strata sosialnya. Ukur mengutip pendapat Malincordt yang menyebut masyarakat Paju Epat mengenal kelas yang di istilahkan dengan Pandam. Contohnya seperti ini:
1.    Tamak Mamandi terpecah menjadi : Pandam Singa Langgawa dan Pandam Giritan.
2.    Tamak Tumenggung pecah menjadi : Pandam jarang Buyuhan
3.    Tammak Patinggi pecah menjadi : Pandam Masiau
Ada juga semacam tingkat terendah, dalam sistem masyarakat ini yang disebut dengan Putak Walah (kelas budak). Mereka tidak masuk kedalam Tamak melainkan dalam guci. Namun pada tahun 1960an perbedaan tersebut dihilangkan, tidak lagi macam-macam Tamak melainkan satu Tamak dalam satu komplek, sebagai contoh di Balawa, yang disebut Tamak Bugawan Dime.[2]
Tamak

Sedangkan Hudson dalam penelitiannya melihat bahwa Tamak juga mewakili sebuah status sosial hal tersebut dapat dilihat dari tipe Tamak. Tamak sendiri terbuat dari kayu ulin dan terbagi dalam tiga gaya dasar, masing-masing dengan nama tertentu: kariring, Pulang gayung, dan Ginun Rewau.
1.      Tamak kariring pada ujung penutupnya, disisir ke atas dan menunjuk.  
2.      Tamak Pulang Gayung tidak memiliki tutup dan berbentuk agak menggantung, tapi ada tonjolan melengkung ke bawah yang melekat pada setiap akhir dari kotak, dan juga melengkung pada tutupnya.
3.    Tamak Ginun Rewau dibedakan karena ujungnya diukir kepala kerbau (karewau) disalah satu ujung tutup. 


Tamak mewakili empat kelas: Bangsawan (pemimpin); panglima (kesatria atau prajurit); Panganak Rama (orang biasa); dan walah (budak ). Namun, sebenarnya dengan kelas yang terkait dengan Panganak Rama atau “orang biasa” tidak punya Tambak yang menjadi ciri khas mereka sendiri. Singkatnya, Tamak menunjukkan sistem tiga kelas yang terdiri dari Bangsawan, Panglima dan Walah. Perbedaan utama yang diakui dalam sistem kelas seperti ini adalah antara Bangsawan dan Panglima di satu sisi, sedangkan untuk Walah disisi yang lain. Dua kelas pertama bisa disatukan dalam "kelas masyarakat bebas" dimana mereka adalah anggota penuh, anggota independen dari masyarakat yang bebas. Sedangkan walah, membentuk kelas masyarakat yang anggotanya tergantung atau kehidupannya ditanggung oleh masyarakat "kelas bebas". Sebagai contoh Walah diberikan ladang untuk tempat bekerja; dan ia juga sangat mungkin diizinkan untuk menikah.
Jadi secara teori, tulang seseorang yang menyandang status Walah tidak dapat disimpan di tamak "kelas bebas" dan memang secara ekonomi Walah tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun Tamak sendiri. Dengan demikian, Tulang Walah ditempatkan dalam guci tanah (kosi). Dalam masyarakat Maanyan Paju Epat seorang individu memang tidak ditakdirkan untuk hidup menetap dalam status Walah. Status tersebut dapat dipulihkan atau dapat bisa hidup bergabung dengan kelompo dari "kelas bebas" dengan membayar denda yang disebut pamutak. Dimana jika ia bisa menikah dengan seseorang dari kelompok masyarakat "kelas bebas" maka statusnya dapat berubah dan bisa masuk kedalam kelompok Tamak orang “Kelas bebas” dari pasangannya.[3] Suta Ono sendiri tulangnya disimpan dalam Tamak Mas, yang juga secara tidak langsung ingin menunjukan status sosialnya dalam komunitas masyarakat Maanyan Paju Epat.
Namun pada saat era kolonial Belanda Khususnya saat Suta Ono berkuasa di wilayah Paju Epat, sistem budak tersebut sudah terlihat agak memudar. Hal tersebut dapat kita lihat dalam dari laporan penguasa Sipil di Marabahan yaitu Letnan C.Banggert saat berkunjung ke Telang dan wilayah Dusun Hilir pada tahun 1857, mengungkapkan beberapa hal mengenai bentuk perbudakan di kalangan orang Maanyan Paju Epat:
Di Siong ada semacam budak karena utang; yang nampaknya terjadi secara turun temurun hal tersebut masih dapat ditemukan dibeberap tampat, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Namun, pada kenyataanya tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya budak; mereka hanya dipanggil untuk membuat beberapa layanan seperti bekerja saat panen atau pada saat ada kesibukan; dan untuk sisanya, mereka bebas; Mereka tidak diperjual belikan dengan cara yang tak beradab. Mereka hanya sebagai warisan pemilik generasi terdahulu. Suta Ono dalam hal ini menyusun gagasan berani yaitu secara bertahap menghapuskan sistem ini. Walaupun nampaknya dia masih belum mengambil keputusan, tentang bagaimana prosesnya untuk mencapai ini (Penghapusan budak). Jumlah penduduk distrik Sihong adalah 834 Jiwa.[4]

Sistem kasta yang berlaku nampaknya tidak begitu kuat dikalangan orang Maanyan, dimana kemudian hari tidak ada lagi masyarakat yang menganut sistem ini, semua orang bebas dan punya kesempatan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Pengaruh pemikiran barat tidak selamanya negatif, ide tentang masyarakat bebas didukung penuh oleh para Missionaris berhasil menghapuskan sistem kasta yang mebuat manusia menjadi terkurung dalam kelas-kelas.


[1] Tamak adalah, kotak kayu memanjang yang berfungsi sebagai wadah untuk abu tulang yang telah dibakar. Dengan tutup bagian atas yang dapat dilepas. Tamak memiliki berbagai ukuran dari sekitar 64-89 inci panjang, sekitar 12 inci lebar, dan 18-24 inci. Kotak-kotak ini didirikan 46-66 inci diatas tanah.

[2] Fridolin Ukur, Ijambe dalam Jurnal Peninjau, Tahun I No.1(Jakarta: LPS-DGI, 1974).19

[3] A.B Hudson, Death Ceremonies Of The Padju Epat Maanyan Dayaks dalam Tom Harrison (ed) Borneo Writing and Realated Matters (Serawak: Serawak Museum Jurnal, 1966).5-7


[4] C. Bangert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Streken Van Doessoen Ilir, Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860. 158