Selasa, 03 September 2019

PANDAM Sistem kasta dalam masyarakat Maanyan Paju Epat tempo dulu


PANDAM
Sistem kasta dalam masyarakat Maanyan Paju Epat tempo dulu
by 
Hadi S. Miter 


Guru Miden, Ngawar (kakah Lelo) 
dan Judith Hudson di lokasi Tamak


Dikalangan masyarakat Maanyan Paju Epat, mengenal tradisi pembakaran tulang yang disebut dengan Ijame, dalam ritus tersebut ditemukan semacam susunan masyarakat berdasarkan kelas. Fridolin Ukur mencatat ada terdapat 7 kelas :
1.      Mangku
2.      Patinggi
3.      Jaksa
4.      Giritan
5.      Singa Langgawa
6.      Jarang Bayohan
7.      Mangasiau
Setiap tingkat memiliki Tamak[1] sebagai lambang strata sosialnya. Ukur mengutip pendapat Malincordt yang menyebut masyarakat Paju Epat mengenal kelas yang di istilahkan dengan Pandam. Contohnya seperti ini:
1.    Tamak Mamandi terpecah menjadi : Pandam Singa Langgawa dan Pandam Giritan.
2.    Tamak Tumenggung pecah menjadi : Pandam jarang Buyuhan
3.    Tammak Patinggi pecah menjadi : Pandam Masiau
Ada juga semacam tingkat terendah, dalam sistem masyarakat ini yang disebut dengan Putak Walah (kelas budak). Mereka tidak masuk kedalam Tamak melainkan dalam guci. Namun pada tahun 1960an perbedaan tersebut dihilangkan, tidak lagi macam-macam Tamak melainkan satu Tamak dalam satu komplek, sebagai contoh di Balawa, yang disebut Tamak Bugawan Dime.[2]
Tamak

Sedangkan Hudson dalam penelitiannya melihat bahwa Tamak juga mewakili sebuah status sosial hal tersebut dapat dilihat dari tipe Tamak. Tamak sendiri terbuat dari kayu ulin dan terbagi dalam tiga gaya dasar, masing-masing dengan nama tertentu: kariring, Pulang gayung, dan Ginun Rewau.
1.      Tamak kariring pada ujung penutupnya, disisir ke atas dan menunjuk.  
2.      Tamak Pulang Gayung tidak memiliki tutup dan berbentuk agak menggantung, tapi ada tonjolan melengkung ke bawah yang melekat pada setiap akhir dari kotak, dan juga melengkung pada tutupnya.
3.    Tamak Ginun Rewau dibedakan karena ujungnya diukir kepala kerbau (karewau) disalah satu ujung tutup. 


Tamak mewakili empat kelas: Bangsawan (pemimpin); panglima (kesatria atau prajurit); Panganak Rama (orang biasa); dan walah (budak ). Namun, sebenarnya dengan kelas yang terkait dengan Panganak Rama atau “orang biasa” tidak punya Tambak yang menjadi ciri khas mereka sendiri. Singkatnya, Tamak menunjukkan sistem tiga kelas yang terdiri dari Bangsawan, Panglima dan Walah. Perbedaan utama yang diakui dalam sistem kelas seperti ini adalah antara Bangsawan dan Panglima di satu sisi, sedangkan untuk Walah disisi yang lain. Dua kelas pertama bisa disatukan dalam "kelas masyarakat bebas" dimana mereka adalah anggota penuh, anggota independen dari masyarakat yang bebas. Sedangkan walah, membentuk kelas masyarakat yang anggotanya tergantung atau kehidupannya ditanggung oleh masyarakat "kelas bebas". Sebagai contoh Walah diberikan ladang untuk tempat bekerja; dan ia juga sangat mungkin diizinkan untuk menikah.
Jadi secara teori, tulang seseorang yang menyandang status Walah tidak dapat disimpan di tamak "kelas bebas" dan memang secara ekonomi Walah tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun Tamak sendiri. Dengan demikian, Tulang Walah ditempatkan dalam guci tanah (kosi). Dalam masyarakat Maanyan Paju Epat seorang individu memang tidak ditakdirkan untuk hidup menetap dalam status Walah. Status tersebut dapat dipulihkan atau dapat bisa hidup bergabung dengan kelompo dari "kelas bebas" dengan membayar denda yang disebut pamutak. Dimana jika ia bisa menikah dengan seseorang dari kelompok masyarakat "kelas bebas" maka statusnya dapat berubah dan bisa masuk kedalam kelompok Tamak orang “Kelas bebas” dari pasangannya.[3] Suta Ono sendiri tulangnya disimpan dalam Tamak Mas, yang juga secara tidak langsung ingin menunjukan status sosialnya dalam komunitas masyarakat Maanyan Paju Epat.
Namun pada saat era kolonial Belanda Khususnya saat Suta Ono berkuasa di wilayah Paju Epat, sistem budak tersebut sudah terlihat agak memudar. Hal tersebut dapat kita lihat dalam dari laporan penguasa Sipil di Marabahan yaitu Letnan C.Banggert saat berkunjung ke Telang dan wilayah Dusun Hilir pada tahun 1857, mengungkapkan beberapa hal mengenai bentuk perbudakan di kalangan orang Maanyan Paju Epat:
Di Siong ada semacam budak karena utang; yang nampaknya terjadi secara turun temurun hal tersebut masih dapat ditemukan dibeberap tampat, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Namun, pada kenyataanya tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya budak; mereka hanya dipanggil untuk membuat beberapa layanan seperti bekerja saat panen atau pada saat ada kesibukan; dan untuk sisanya, mereka bebas; Mereka tidak diperjual belikan dengan cara yang tak beradab. Mereka hanya sebagai warisan pemilik generasi terdahulu. Suta Ono dalam hal ini menyusun gagasan berani yaitu secara bertahap menghapuskan sistem ini. Walaupun nampaknya dia masih belum mengambil keputusan, tentang bagaimana prosesnya untuk mencapai ini (Penghapusan budak). Jumlah penduduk distrik Sihong adalah 834 Jiwa.[4]

Sistem kasta yang berlaku nampaknya tidak begitu kuat dikalangan orang Maanyan, dimana kemudian hari tidak ada lagi masyarakat yang menganut sistem ini, semua orang bebas dan punya kesempatan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Pengaruh pemikiran barat tidak selamanya negatif, ide tentang masyarakat bebas didukung penuh oleh para Missionaris berhasil menghapuskan sistem kasta yang mebuat manusia menjadi terkurung dalam kelas-kelas.


[1] Tamak adalah, kotak kayu memanjang yang berfungsi sebagai wadah untuk abu tulang yang telah dibakar. Dengan tutup bagian atas yang dapat dilepas. Tamak memiliki berbagai ukuran dari sekitar 64-89 inci panjang, sekitar 12 inci lebar, dan 18-24 inci. Kotak-kotak ini didirikan 46-66 inci diatas tanah.

[2] Fridolin Ukur, Ijambe dalam Jurnal Peninjau, Tahun I No.1(Jakarta: LPS-DGI, 1974).19

[3] A.B Hudson, Death Ceremonies Of The Padju Epat Maanyan Dayaks dalam Tom Harrison (ed) Borneo Writing and Realated Matters (Serawak: Serawak Museum Jurnal, 1966).5-7


[4] C. Bangert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Streken Van Doessoen Ilir, Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860. 158

2 komentar:

  1. This is such valuable write. Keep it up your awesome works. Info Wa'u Ina ma aku. Terima kasih. Alatala nyindrah katuluh kia jangkau. Amen.

    Tabe: Katharina Dike

    BalasHapus
  2. Amun tau awat posting sumber literatur urut 2 tentang ijame ri, aku hamen mambasa ni

    BalasHapus