PANDAM
Sistem
kasta dalam masyarakat Maanyan Paju Epat tempo dulu
by
Hadi S. Miter
Guru
Miden, Ngawar (kakah Lelo)
dan Judith Hudson di
lokasi Tamak
Dikalangan masyarakat
Maanyan Paju Epat, mengenal tradisi pembakaran tulang yang disebut dengan Ijame, dalam ritus tersebut ditemukan
semacam susunan masyarakat berdasarkan kelas. Fridolin Ukur mencatat ada
terdapat 7 kelas :
1. Mangku
2. Patinggi
3. Jaksa
4. Giritan
5. Singa
Langgawa
6. Jarang
Bayohan
7. Mangasiau
Setiap tingkat memiliki
Tamak[1]
sebagai lambang strata sosialnya. Ukur mengutip pendapat Malincordt yang menyebut
masyarakat Paju Epat mengenal kelas yang di istilahkan dengan Pandam. Contohnya seperti ini:
1. Tamak Mamandi
terpecah menjadi : Pandam Singa Langgawa dan Pandam Giritan.
2. Tamak Tumenggung
pecah menjadi : Pandam jarang Buyuhan
3. Tammak Patinggi
pecah menjadi : Pandam Masiau
Ada juga semacam
tingkat terendah, dalam sistem masyarakat ini yang disebut dengan Putak Walah (kelas budak). Mereka tidak
masuk kedalam Tamak melainkan dalam guci. Namun pada tahun 1960an perbedaan
tersebut dihilangkan, tidak lagi macam-macam Tamak melainkan satu Tamak
dalam satu komplek, sebagai contoh di Balawa, yang disebut Tamak Bugawan Dime.[2]
Tamak
Sedangkan Hudson dalam
penelitiannya melihat bahwa Tamak
juga mewakili sebuah status sosial hal tersebut dapat dilihat dari tipe Tamak. Tamak sendiri terbuat dari kayu ulin dan terbagi
dalam tiga gaya dasar, masing-masing dengan nama tertentu: kariring, Pulang gayung, dan Ginun
Rewau.
1. Tamak kariring
pada ujung penutupnya, disisir ke atas dan
menunjuk.
2. Tamak
Pulang Gayung tidak memiliki tutup dan
berbentuk agak menggantung, tapi ada tonjolan melengkung ke bawah yang melekat
pada setiap akhir dari kotak, dan juga melengkung pada tutupnya.
3. Tamak Ginun Rewau
dibedakan karena ujungnya diukir kepala kerbau (karewau) disalah satu ujung tutup.
Tamak
mewakili empat kelas: Bangsawan (pemimpin); panglima
(kesatria atau prajurit); Panganak Rama
(orang biasa); dan walah (budak ).
Namun, sebenarnya dengan kelas yang terkait dengan Panganak Rama atau “orang biasa” tidak punya Tambak yang menjadi ciri khas mereka sendiri. Singkatnya, Tamak menunjukkan sistem tiga kelas yang
terdiri dari Bangsawan, Panglima dan Walah. Perbedaan utama yang diakui dalam
sistem kelas seperti ini adalah antara Bangsawan dan Panglima di satu sisi, sedangkan untuk Walah disisi yang lain. Dua kelas pertama bisa disatukan dalam "kelas masyarakat bebas" dimana mereka
adalah anggota penuh, anggota independen
dari masyarakat yang bebas. Sedangkan walah,
membentuk kelas masyarakat yang anggotanya tergantung atau kehidupannya
ditanggung oleh masyarakat "kelas bebas". Sebagai contoh Walah diberikan ladang untuk tempat bekerja;
dan ia juga sangat mungkin diizinkan untuk menikah.
Jadi secara teori,
tulang seseorang yang menyandang status Walah
tidak dapat disimpan di tamak
"kelas bebas" dan memang secara ekonomi Walah tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun Tamak sendiri. Dengan demikian, Tulang Walah ditempatkan dalam guci tanah (kosi).
Dalam masyarakat Maanyan Paju Epat seorang individu memang tidak ditakdirkan
untuk hidup menetap dalam status Walah. Status tersebut dapat dipulihkan atau dapat
bisa hidup bergabung dengan kelompo dari "kelas bebas" dengan
membayar denda yang disebut pamutak. Dimana
jika ia bisa menikah dengan seseorang dari kelompok masyarakat "kelas
bebas" maka statusnya dapat berubah dan bisa masuk kedalam kelompok Tamak orang “Kelas bebas” dari
pasangannya.[3]
Suta Ono sendiri tulangnya disimpan dalam Tamak
Mas, yang juga secara tidak langsung ingin menunjukan status sosialnya
dalam komunitas masyarakat Maanyan Paju Epat.
Namun pada saat era
kolonial Belanda Khususnya saat Suta Ono berkuasa di wilayah Paju Epat, sistem
budak tersebut sudah terlihat agak memudar. Hal tersebut dapat kita lihat dalam
dari laporan penguasa Sipil di Marabahan yaitu Letnan C.Banggert saat
berkunjung ke Telang dan wilayah Dusun Hilir pada tahun 1857, mengungkapkan
beberapa hal mengenai bentuk perbudakan di kalangan orang Maanyan Paju Epat:
Di Siong ada
semacam budak karena utang; yang nampaknya terjadi secara turun temurun hal tersebut
masih dapat ditemukan dibeberap tampat, meskipun dalam jumlah yang sangat
kecil. Namun, pada kenyataanya tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa mereka
sebenarnya budak; mereka hanya dipanggil untuk membuat beberapa layanan seperti
bekerja saat panen atau pada saat ada kesibukan; dan untuk sisanya, mereka
bebas; Mereka tidak diperjual belikan dengan cara yang tak beradab. Mereka hanya sebagai warisan
pemilik generasi terdahulu. Suta Ono dalam hal ini menyusun gagasan berani
yaitu secara bertahap menghapuskan sistem ini. Walaupun nampaknya dia masih belum
mengambil keputusan, tentang bagaimana prosesnya untuk mencapai ini
(Penghapusan budak). Jumlah penduduk distrik Sihong adalah 834 Jiwa.[4]
Sistem kasta yang
berlaku nampaknya tidak begitu kuat dikalangan orang Maanyan, dimana kemudian
hari tidak ada lagi masyarakat yang menganut sistem ini, semua orang bebas dan
punya kesempatan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Pengaruh pemikiran barat
tidak selamanya negatif, ide tentang masyarakat bebas didukung penuh oleh para
Missionaris berhasil menghapuskan sistem kasta yang mebuat manusia menjadi
terkurung dalam kelas-kelas.
[1] Tamak adalah, kotak kayu memanjang yang
berfungsi sebagai wadah untuk abu tulang yang telah dibakar. Dengan tutup
bagian atas yang dapat dilepas. Tamak
memiliki berbagai ukuran dari sekitar 64-89 inci panjang, sekitar 12 inci
lebar, dan 18-24 inci. Kotak-kotak ini didirikan 46-66 inci diatas tanah.
[2] Fridolin Ukur, Ijambe dalam Jurnal Peninjau, Tahun I
No.1(Jakarta: LPS-DGI, 1974).19
[3] A.B Hudson, Death Ceremonies Of The Padju Epat Maanyan Dayaks dalam Tom
Harrison (ed) Borneo Writing and Realated
Matters (Serawak: Serawak Museum Jurnal, 1966).5-7
[4] C.
Bangert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene
Streken Van Doessoen Ilir, Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860. 158
This is such valuable write. Keep it up your awesome works. Info Wa'u Ina ma aku. Terima kasih. Alatala nyindrah katuluh kia jangkau. Amen.
BalasHapusTabe: Katharina Dike
Amun tau awat posting sumber literatur urut 2 tentang ijame ri, aku hamen mambasa ni
BalasHapus