Selasa, 02 Februari 2021

DAYAK MAANYAN BUKAN ANJING KOLONIAL (seputar peran ulun Maanyan dalam revolusi kemerdekaan Indonesia)

 

DAYAK MAANYAN BUKAN ANJING KOLONIAL

by : Hadi Saputra Miter

               Sekolah Pakat Dayak di Tamiang Layang tahun 1940
 

 

Tulisan saya tentang Suta Ono yang berjudul, Suta Ono: Pahlawan Ataukah Kaki Tangan Kolonial? Lumayan memancing kontroversial.[1] Banyak yang mencaci maki bahwa Maanyan adalah penjajah dan segenap kata-kata tuduhan mengarah ke rasis. Saya menyadari bahwa ketidak samaan pandangan hadir karena mereka menggunaan kacamata dunia saat ini sebagai cermin untuk melihat masa lalu, yang tentu saja kontek's dan situasi yang berbeda. Kemudian mereka juga membandingkan bahwa Kerajaan Banjar adalah Indonesia, sedangkan Belanda Penjajah dan orang Maanyan sebagai kolaboratornya, sebuah pandangan picik yang mengekerdilkan arti sejarah. Suta Ono adalah produk Maanyan masa lalu yang merasakan bagaimana hidup dibawah kontek's tirani  raja-raja local yaitu Kesultanan Banjar yang bahkan diera belum ada yang namanya Negara Indonesia. 


Dayak menuntut keadilan

Lalu pertanyaanya apakah Maanyan itu hanya benalu negara ini, tanpa ada kontribusi apapun bagi negeri ini? Kita akan bicara apa peran orang-orang Dayak Maanyan dalam konteks pergulatan lahirnya sebuah negara yang bernama Indonesia tersebut. Para intelektual Maanyan rata-rata lahir dari pendidikan sekolah yang didirikan Zending, namun sekolah sekolah tersebut tidak diakui oleh pemerintah Belanda sebagai sekolah standart, karena untuk menjadi pegawai birokrat pemerintah Hindia Belanda harus menempuh pendidikan berstandart dari pemerintah Kolonial. Sehingga lulusan sekolah Zending (volkschool) hanya terbatas menjadi menjadi guru untuk sekolah Kristen, pegawai kantor zending saja dan memegang jabatan lokal saja (kepala adat).  Oleh karena itu pada tahun 1920an  anak-anak Dayak hanya menjadi penonton saja, sedangkan orang-orang dari suku Banjar yang hidup diperkotaan bisa mendapatkan akses pendidikan standart Hoofden School dan bekerja dibirokrasi pemerintah Belanda, serta menduduki jabatan strategis untuk orang pribumi.

  Sidang Kongres kesadaran Bangsa Dayak "Pakat Dayak"

 Pakat Dayak dan Indonesia

Atas dasar itu orang Dayak dipimpin Hoesman Baboe tahun 1922 mendirikan sebuah kelompok yang bernama “Sarikat Dayak” kemudian berubah menjadi  “Pakat Dayak” yang terinspirasi dari Sarikat Islam. Sebuah organisasi yang meminta keadilan agar orang-orang Dayak punya akses memiliki pendidikan berstandart dari pemerintah Belanda dan agar orang-orang Dayak juga bisa bekerja dibirokrasi. Karena itu Pakat Dayak mendirikan sekolah yang dinamakan Hollands Dajak school (HDS) pada 1 Juli 1924 di Desa Hampatong, Kuala Kapuas. yang kemudian sekolah-sekolah HDS juga didirikan diwilayah lain seperti juga wilayah Maanyan pada akhir 1939. sekolah tersebut berdiri dari uang anggota Pakat Dayak dan bantuan dari Badan missi jadi bukan dari pemerintah Belanda. Pada tahun 1938 dibentuk Kongres kesadaran Bangsa Dayak yang mempersatukan orang-orang Ngaju, Maanyan, Lawangan, Oot Danum dll. Sebagai upaya agar orang Dayak bisa mengirim wakil diparlement (Volkstraad) sedangkan Banjar sudah memiliki wakil di Batavia. Komite Kesadaran Bangsa Dayak memberikan dua putra Maanyan terbaik yaitu Cornelis Luran dan Doeradjat, kelahiran Telang:

Ketua         : Mahir Mahar.

Wakil          : E.S Handoeran.

Sekertaris : Cornelis Luran.

Komisi I   : Doeradjat.

Tokoh Maanyan dari Pakat Dayak, Cornelis Luran
                

Media propaganda Pakat Dayak "Suara Pakat"

Kelompok ini juga memiliki corong propaganda yang bernama Suara Pakat, yang mulai membicarakan ide-ide nasional mengenai isu kemerdekaan bangsa Dayak dan Indonesia Raya. Suara pakat edisi 1940 menulis :

“Pakat Dajak berdiri boeat menpesatoekan Indonesir Dajak, mengkat deradjat martabat dan hakekat Indonesir dajak atau mengambil tindakan akan menjelma hak Indonesir Dajak terhadap noesa dan bangsa lain disekelilingnja….”[2]

Cucu dari Suta Ono sendiri dari istri ke 2 yaitu anak dari Kiai Badowo, dia adalah Mangan Badowo, dia meyandang jabatan Kiai (camat) ditengah situasi peralihan antara Belanda dengan Jepang, Mangan Badowo pada tahun 1942 diposisikan sebagai kepala adat untuk wilayah Paju Epat, dimana status Paju Epat dan Dusun Timur era Jepang merosot menjadi anak distrik dibawah Kalua.[3] Namun dilain pihak situasi ini nampaknya yang membuat Mangan Badowo mulai menemukan inspirasi tentang pergerakan Nasional dan perjuangan melawan imperialisme Barat yang dihembuskan oleh Jepang, sehingga saat Belanda kembali mengambil kekuasaan dari tangan Jepang. Mangan Badowo dilaporkan dan dipecat dari jabatannya serta status pegawai dari pemerintah Belanda pada tahun 1949 melayang, dikarenakan sikap Nasionalisnya yang mulai vokal mendukung kemerdekaan Indonesia.[4]

 

Mangan Badowo

Fridolin Ukur dan nafas Nasionalisme

Pdt. Fridolin Ukur mengakui bahwa semangat kebangsaan dan nasionalisme yang diamiliki sehingga memtuskan untuk akngkat senjata membela Negara Indonesia melawan agresi militer Belanda paska kejatuhan Jepang dipengaruhi tulisan kelompok Pakat Dayak :

“Pada awal kedatangan Jepang, pak Ukur pulang ke kampung. Suatu Ketika ia melihat buku-buku ayahnya, dan ia menemukan sebuah buku organisasi pakat Dayak. Di halaman pertama buku tersebut ada lagu Indonesia Raya dan halam-halaman selanjutnya beris Anggaran Dasar Rumat Tangga Pakat Dayak, kemudian lagu-lagu tentang Pulau Kalimantan. Dari situ muncul semangat kebangsaan dalam diri Ukur kecil yang ternyata sangat besar perannya dalam membentuk watak kebangsaannya dikemudian hari.”[5]

     Pak Ukur akhirnya  bergabung dalam organisasi Pemuda pemudi Kristen Indonesia(P3KI) menjadi greliyawan menyeludupkan pidato-pidato nasional Bung Karno kepada masyarakat dan kemudian dia yang bergabung dalam ALRI Devisi  IV Kalimantan. Dia dengan abangnya Wilson Ukur mendirikan markas perlawanan terhadap pemerintah Belanda bernama "Banteng Hitam" di desa Sanggu.

 

Maayan Indonesia

Dayak Maanyan sebuah kelompok yang juga sadar bahwa dibawah kesultanan Banjar mereka hanya akan menjadi hamba dari sultan oleh sebab itu mereka berlindung dengan Belanda, tetapi setelah muncul ide-ide persatuan dan semangat nasionalisme kebangsaan setelah gerakan sumpah pemuda tahun 1928 secara pelan-pelan mereka bergabung dalam sebuah kelompok yang juga ingin ber Indonesia. Berawal dari rasa ketidakadilan yang dilakukan terhadap orang Dayak kemudian mereka menuntut keadilan dan kesamaan hak kepada Belanda. Sayang upaya tersebut terhenti karena kedatangan Jepang, namun setelah Jepang pergi orang Maanyan melanjutkan kebulatan tekadnya akan sebuah negara Indonesia merdeka Bersama suku-suku yang lain. kami bukan anjing kolonial kami bangsa merdeka yang bebas bukan hamba Kesultanan dan juga bukan hamba Kerajaan Belanda.



[1] Tulisan saya dikutip oleh penulis dari pihak Kesultanan Banjar dalam buku,  Ahmad Bardjie, Perang Banjar Barito 1859-1906 (Martapura : Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2015). 264

[2] Dana Listiana, Satu Dayak menjadi Indonesia-Dayak : Impian Persatuan Bangsa Dayak dalam soera pakat terbitan Banjarmasin pada tahun 1940-an. Dalam, Penguatan dan Pelemahan Persatuan Bangsa Media dan Tokoh di kalimantan Selatan ( 1923- 1959 ), (Bandung: Media Jaya Abadi) .58

[3] Surat Pengakuan No.3/494/2/1942 diterbitkan oleh Minseibu Bandjermasin Shutchoscho-Cho atas nama Mangan sebagai kepala adat Paju IV, tertanggal 1 Juli 1942.

[4] A.B Hudson, Padju Epat : The Ethnography And Social Structure Of A Ma'anjan Dayak Group In Southeastern Borneo (Michigan USA: University Microfilm, 1967). 234

[5]Darius Dubut ... [et al.],  Kurban yang berbau harum : 65 tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur (Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan PGI bekerja sama dengan Sinode Gereja Kalimantan Evangelis, 1995.).5-6.