Rabu, 20 Juli 2022

KISAH PEJABAT BELANDA YANG BERDINAS DI BUNTOK TAHUN 1911 (Bagian 1)

 

KISAH PEJABAT BELANDA YANG

BERDINAS DI BUNTOK TAHUN 1911 (Bag.1)

Diceritakan kembali oleh : Hadi.S.Miter

 

Kapten F. te Wechel bersama para kepala distrik Barito


 

Dari Bogor ke Buntok

Pada waktu senja di suatu sore di Buitenzorg (sekarang Bogor) tahun 1911 yang diguyur hujan, tukang pos menyampaikan dokumen resmi negara tentang  pengangkatan saya Kapten F. te Wechel sebagai Controleur Civiel gezaghebber di Buntok. Pada akhir Mei, Javaspoor (jawatan kereta Api Jawa) membawa kami sekeluarga ke Surabaya dalam 2 hari, dan melanjutkan perjalanan dengan sebuah kapal menuju Bandjermasin. Dari Bandajermasin, nantinya perjalanan ke pedalaman negeri asing akan dimulai, di Banjarmasin saya menghadap Residen (jabatan setingkat gubernur) dan mengambil sumpah jabatan saya sebelum berangkat ke Buntok. Setelah urusan birokrasi pemerintahan yang rumit selesai kami sekeluarga berangkat menggunakan kapal menyusuri Sungai Martapoera dan kemudian menyusuri Barito.


Kapal dari Banjarmasin ke Buntok

Pembantu kami yaitu Babu Raisah yang kami bawa dari Buitenzorg, yang sedikit protes, Dia takut pada hutan belantara, katanya; "tuan bisa memberi perintah dan menjadi pejabat yang baik di sini, karena didalam hutan ini hanya ada Kera." Di bawah atap tenda di atas kapal, termometer naik menjadi hampir 380 C atau 100 F. Panas yang luar biasa di hari pertama kami menginjakkan kaki di Buntok! Di sanalah kami, di tengah-tengah Kelurahan Buntok (Onderafdeeling Boentok). Beberapa pejabat pribumi, serta juru tulis, datang untuk menyambut saya. Mereka mengucapkan beberapa patah kata sambutan, dan kemudian Bersama para kepala sukumenyalami kami. Sang djaksa (asisten jaksa penuntut umum) mengkoordinir para kuli yang mengangkut barang-barang kami agar dimasukan kedalam rumah.

 

Babu Raisah, pembantu rumah tangga Kapten F. te Wechel 


Menjadi Controleur Civiel gezaghebber di Buntok

Babu Raisah, dibantu  seorang prajurit perempuan, telah menyediakan makanan sederhana berupa nasi kepada kami. Kelelahan dari perjalanan dan serangan nyamuk mengantarkan kami ke balik kelambu pada awal malam pertama itu di Buntok. Di pagi hari, babu Raisah telah menyediakan secangkir kopi yang menguatkan. sementara istri saya dan para pelayan, setelah membongkar sedikit barang-barang kami, mencoba membuat rumah tua ini menjadi layak untuk ditempati, saya memilih masuk ke "Kantor Besar", sebuah tempat suci pagi pejabat controleur der Oost- en West Dusun-Landen. seorang (districtshoofd) kepala distrik Dayak, yang mahir dalam bahasa Belanda, menyerahkan kepada saya layanan dan tugas yang telah emban selama selama beberapa bulan. Saya mengobrak-abrik dan membaca tumpukan arsip, dan mempelajari tugas saya sebagai pejabat disini. Wilayah ini adalah sebuah negeri yang cukup asing bagi kami sekeluarga, dimana saya dan istri saya, dan dua misionaris yang jaraknya beberapa hari dari Buntok (Mungkin Mangkatip), adalah orang Eropa yang ada di negeri ini, wilayah tugas ku memiliki populasi penduduk sebagian besar kafir dan dengan luas 11.000 km. itulah wilayah kerja saya.


Rumah dinas Controleur Civiel gezaghebber di Buntok


Di Buntok ada seorang seorang hakim pribumi (Djaksa) sampai batas tertentu hakim mengurus kasus kasus perdata dan pidana, seorang dokter dengan apotek sederhana, pedagang, petugas pos, ketua komite sekolah desa dan misionaris, pengawas konstruksi dan pemeliharaan asset pemerintah. Seorang juru bayar dan, mengingat jarak yang sangat jauh di mana kampung-kampung itu terletak satu sama lain dan dari kota utama Buntok, akan melibatkan pekerjaan yang paling sulit: yaitu mengumpulkan pajak.




Kapten F. te Wechel dengan Prajurit (polisi bersenjata) di Boentok


Seorang pria Menado dengan pangkat sersan memegang jabatan sebagai kepala polisi bersenjata (Oppas) di Buntok, Separuh dari 20 orang detasemennya terdiri dari orang Dayak, separuhnya lagi orang Melayu Banjar. Pengalaman saya sebagai perwira di militer sampai akhirnya pemerintah melakukan reorganisasi kepolisian di Hindia Belanda; sehingga dimata saya para polisi adalah orang-orang yang ramah dan tidak disiplin, yang dalam tugas pelayanannya mereka sering menyimpang dan naif, walaupun begitu Polisi merupakan elemen yang sangat diperlukan; Ketika saya melakukan perjalanan, merekalah pendayung saya yang penuh semangat bernyayi disepanjang perjalanan.

 

Kesibukan tugas dinas di Buntok

Selama seminggu saya mendapat kunjungan, dari districtshoofd van Doesoen (kepala distrik Barito), pengelola gudang garam, petugas vaksin, dan guru sekolah negeri— semuanya adalah orang Dayak—saya berkenalan dengan para pejabat itu. Jadi suatu pagi, ketika saya sedang sangat sibuk, seorang Dayak mantan kepala kampung tua datang ke kantor. Dia datang untuk memberi tahu kami bahwa tetangganya memiliki seekor anjing yang menggonggong pada anak-anaknya— statusnya sebagai pelapor. Saya pikir masih banyak lagi yang akan datang, dan dengan ramah meminta orang tua itu untuk lawat saja. Tapi yang terjadi reaksi pria tua itu sangat mengejutkan saya, dia marah: "Saja tida trima, tuwan besarl" ("Saya tidak akan puas dengan itu, Tuan!") dia merasa diabaikan sedangkan saya merasa masalah bertetangga kenapa harus melibatkan apparat pemerintah, dilain pihak saya kaget ternyata dia melakukan perjalanan dua hari dengan perahu untuk menemui saya. Namun, dari situ saya belajar bahwa, kasus-kasus yang disajikan, dari sudut pandang Dayak, layak untuk diselidiki. Tanpa juga meninggalkan pemahaman Barat tentang hukum dan keadilan—untuk menempatkan sudut pandang Barat sebanyak mungkin ke satu sisi ketika menghadapi suatau perkara dan menempatkan dirinya pada sudut pandang Pribumi. Sebuah niat, yang implementasinya membutuhkan banyak usaha.

 

Kesibukan hari minggu

Kami mencoba untuk beristirahat di hari Minggu. Tetapi sulit untuk mengajari orang Dayak bahwa tuan ingin menyingkirkan semua urusan administrasi dan pelayanan hanya untuk satu hari dalam seminggu, terutama karena kata-kata pelayanan sangat sulit dalam menterjemahkannya kedalam Bahasa mereka.

Oleh karena itu tidak mudah untuk menjelaskan kepada penduduk Buntok bahwa kami mendambakan hari Minggu untuk diri kami sendiri, dan diperburuk oleh fakta bahwa pasar diadakan pada hari Minggu di Buntok. Orang-orang, yang sebelumnya tidak pernah anda lihat, kemudian berdatangan memasarkan buah-buahan, rotan, atau apa pun yang bisa mereka jual; beberapa dari mereka mengambil kesempatan untuk mengajukan beberapa permintaan ke saya sebagai pejabat. Tidak hanya penyelesaian kasus yang mendesak, termasuk meminta perban atau obat-obatan. Orang Dayak tipe pekerja, meskipun tidak teratur, dan saya telah belajar untuk berhati-hati dengan menghindari kata "malas" ketika berbicara tentang penduduk asli.

Minggu pagi saya dan keluarga juga gunakan untuk berjalan jalan di pasar Buntok, aroma asap panggangan yang mengunggah selera, bocah-bocah Dayak yang merengek kepada orang tuanya untuk mendapatkan apa yang mereka mau, dan para pemuda sekolah yang berjalan mondar-mandir di alun-alun pasar sepanjang pagi, memasang penampilan terbaik dengan mandi  dan kulit coklat eksotis mereka yang bersih. Bagi mereka, pasar minggu itu memberikan kesenangan yang telah dinanti selama seminggu. 

Pedagang di pasar minggu  Buntok


Kadang-kadang pada hari Minggu pagi seorang kepala dari kampung tetangga akan datang mengunjungi kami, dan Babu Raisah selalu menyiapkan secangkir kopi, jika itu adalah pejabat Melayu Muslim. Namun ada hal yang menarik dia tidak bersikap sopan dengan tamu apabila orang Dayak, dan beberapa kali dia harus diingatkan akan kewajibannya untuk menjamu tamu. Saya pikir itu adalah sebuah fanatisme yang berlebihan. Demikianlah hari minggu berlalu dengan tenang dan juga sibuk, pada pukul 6 menjelang malam, tepat sebelum invasi nyamuk, saya dan istri duduk bermalas malasan di kursi rotan ditepi sungai Barito didepan rumah dinas, dan menatap para pengunjung pasar yang datang terlambat ataupun ingin pulang ke kediamannya. Seorang anak bergegas pergi ke sungai menaiki perahu kecilnya untuk pulang bersama dengan ibunya sebelum gelap membayangi Buntok....(Bersambung)

Sumber: F. te Wechel, Amiroé beelden uit het Dajaksche volksleven (Amsterdam: Scheltema & Holkema's Boekhandel, 1924). hal 1-17.