KISAH PEJABAT BELANDA YANG
BERDINAS DI BUNTOK TAHUN 1911 (Bag.1)
Diceritakan kembali oleh : Hadi.S.Miter
Dari Bogor ke
Buntok
Pada waktu senja di suatu sore di Buitenzorg (sekarang
Bogor) tahun 1911 yang diguyur hujan, tukang pos menyampaikan dokumen resmi negara
tentang pengangkatan saya Kapten F. te
Wechel sebagai Controleur Civiel gezaghebber di
Buntok. Pada akhir Mei, Javaspoor (jawatan kereta Api Jawa) membawa kami
sekeluarga ke Surabaya dalam 2 hari, dan melanjutkan perjalanan dengan sebuah
kapal menuju Bandjermasin. Dari Bandajermasin, nantinya perjalanan ke pedalaman
negeri asing akan dimulai, di Banjarmasin saya menghadap Residen (jabatan
setingkat gubernur) dan mengambil sumpah jabatan saya sebelum berangkat ke
Buntok. Setelah urusan birokrasi pemerintahan yang rumit selesai kami
sekeluarga berangkat menggunakan kapal menyusuri Sungai Martapoera dan kemudian
menyusuri Barito.
Kapal dari Banjarmasin ke Buntok
Pembantu kami yaitu Babu Raisah yang kami bawa dari
Buitenzorg, yang sedikit protes, Dia takut pada hutan belantara, katanya; "tuan
bisa memberi perintah dan menjadi pejabat yang baik di sini, karena didalam
hutan ini hanya ada Kera." Di bawah atap tenda di atas kapal, termometer
naik menjadi hampir 380 C atau 100 F. Panas yang luar biasa di hari pertama
kami menginjakkan kaki di Buntok! Di sanalah kami, di tengah-tengah Kelurahan
Buntok (Onderafdeeling Boentok). Beberapa pejabat pribumi, serta juru
tulis, datang untuk menyambut saya. Mereka mengucapkan beberapa patah kata
sambutan, dan kemudian Bersama para kepala sukumenyalami kami. Sang djaksa
(asisten jaksa penuntut umum) mengkoordinir para kuli yang mengangkut barang-barang
kami agar dimasukan kedalam rumah.
Menjadi Controleur Civiel gezaghebber di Buntok
Babu Raisah, dibantu seorang prajurit perempuan, telah menyediakan
makanan sederhana berupa nasi kepada kami. Kelelahan dari perjalanan dan
serangan nyamuk mengantarkan kami ke balik kelambu pada awal malam pertama itu
di Buntok. Di pagi hari, babu Raisah telah menyediakan secangkir kopi yang
menguatkan. sementara istri saya dan para pelayan, setelah membongkar sedikit barang-barang
kami, mencoba membuat rumah tua ini menjadi layak untuk ditempati, saya memilih
masuk ke "Kantor Besar", sebuah tempat suci pagi pejabat controleur
der Oost- en West Dusun-Landen. seorang (districtshoofd) kepala
distrik Dayak, yang mahir dalam bahasa Belanda, menyerahkan kepada saya layanan
dan tugas yang telah emban selama selama beberapa bulan. Saya mengobrak-abrik
dan membaca tumpukan arsip, dan mempelajari tugas saya sebagai pejabat disini. Wilayah
ini adalah sebuah negeri yang cukup asing bagi kami sekeluarga, dimana saya dan
istri saya, dan dua misionaris yang jaraknya beberapa hari dari Buntok (Mungkin
Mangkatip), adalah orang Eropa yang ada di negeri ini, wilayah tugas ku
memiliki populasi penduduk sebagian besar kafir dan dengan luas 11.000 km.
itulah wilayah kerja saya.
Rumah dinas Controleur Civiel gezaghebber di Buntok
Di Buntok ada seorang seorang hakim pribumi (Djaksa) sampai batas tertentu hakim mengurus kasus kasus perdata dan pidana, seorang dokter dengan apotek sederhana, pedagang, petugas pos, ketua komite sekolah desa dan misionaris, pengawas konstruksi dan pemeliharaan asset pemerintah. Seorang juru bayar dan, mengingat jarak yang sangat jauh di mana kampung-kampung itu terletak satu sama lain dan dari kota utama Buntok, akan melibatkan pekerjaan yang paling sulit: yaitu mengumpulkan pajak.
Kapten F. te Wechel dengan Prajurit (polisi bersenjata) di Boentok
Seorang pria Menado dengan pangkat sersan memegang
jabatan sebagai kepala polisi bersenjata (Oppas) di Buntok, Separuh dari 20
orang detasemennya terdiri dari orang Dayak, separuhnya lagi orang Melayu Banjar.
Pengalaman saya sebagai perwira di militer sampai akhirnya pemerintah melakukan
reorganisasi kepolisian di Hindia Belanda; sehingga dimata saya para polisi
adalah orang-orang yang ramah dan tidak disiplin, yang dalam tugas pelayanannya
mereka sering menyimpang dan naif, walaupun begitu Polisi merupakan elemen yang sangat
diperlukan; Ketika saya melakukan perjalanan, merekalah pendayung saya yang
penuh semangat bernyayi disepanjang perjalanan.
Kesibukan tugas dinas di Buntok
Selama seminggu saya mendapat kunjungan, dari districtshoofd
van Doesoen (kepala distrik Barito), pengelola gudang garam, petugas
vaksin, dan guru sekolah negeri— semuanya adalah orang Dayak—saya berkenalan
dengan para pejabat itu. Jadi suatu pagi, ketika saya sedang sangat sibuk,
seorang Dayak mantan kepala kampung tua datang ke kantor. Dia datang untuk
memberi tahu kami bahwa tetangganya memiliki seekor anjing yang menggonggong
pada anak-anaknya— statusnya sebagai pelapor. Saya pikir masih banyak lagi yang
akan datang, dan dengan ramah meminta orang tua itu untuk lawat saja. Tapi yang
terjadi reaksi pria tua itu sangat mengejutkan saya, dia marah: "Saja
tida trima, tuwan besarl" ("Saya tidak akan puas dengan itu,
Tuan!") dia merasa diabaikan sedangkan saya merasa masalah bertetangga
kenapa harus melibatkan apparat pemerintah, dilain pihak saya kaget ternyata
dia melakukan perjalanan dua hari dengan perahu untuk menemui saya. Namun, dari
situ saya belajar bahwa, kasus-kasus yang disajikan, dari sudut pandang Dayak,
layak untuk diselidiki. Tanpa juga meninggalkan pemahaman Barat tentang hukum
dan keadilan—untuk menempatkan sudut pandang Barat sebanyak mungkin ke satu
sisi ketika menghadapi suatau perkara dan menempatkan dirinya pada sudut
pandang Pribumi. Sebuah niat, yang implementasinya membutuhkan banyak usaha.
Kesibukan hari minggu
Kami mencoba untuk beristirahat di hari Minggu. Tetapi sulit untuk
mengajari orang Dayak bahwa tuan ingin menyingkirkan semua urusan administrasi
dan pelayanan hanya untuk satu hari dalam seminggu, terutama karena kata-kata
pelayanan sangat sulit dalam menterjemahkannya kedalam Bahasa mereka.
Oleh karena itu tidak mudah untuk menjelaskan kepada penduduk Buntok
bahwa kami mendambakan hari Minggu untuk diri kami sendiri, dan diperburuk oleh
fakta bahwa pasar diadakan pada hari Minggu di Buntok. Orang-orang, yang
sebelumnya tidak pernah anda lihat, kemudian berdatangan memasarkan buah-buahan,
rotan, atau apa pun yang bisa mereka jual; beberapa dari mereka mengambil kesempatan untuk
mengajukan beberapa permintaan ke saya sebagai pejabat. Tidak hanya
penyelesaian kasus yang mendesak, termasuk meminta perban atau obat-obatan.
Orang Dayak tipe pekerja, meskipun tidak teratur, dan saya telah belajar untuk
berhati-hati dengan menghindari kata "malas" ketika berbicara tentang penduduk
asli.
Minggu pagi saya dan keluarga juga gunakan untuk berjalan jalan di pasar Buntok, aroma asap panggangan yang mengunggah selera, bocah-bocah Dayak yang merengek kepada orang tuanya untuk mendapatkan apa yang mereka mau, dan para pemuda sekolah yang berjalan mondar-mandir di alun-alun pasar sepanjang pagi, memasang penampilan terbaik dengan mandi dan kulit coklat eksotis mereka yang bersih. Bagi mereka, pasar minggu itu memberikan kesenangan yang telah dinanti selama seminggu.
Kadang-kadang pada hari Minggu pagi seorang kepala dari kampung tetangga akan datang mengunjungi kami, dan Babu Raisah selalu menyiapkan secangkir kopi, jika itu adalah pejabat Melayu Muslim. Namun ada hal yang menarik dia tidak bersikap sopan dengan tamu apabila orang Dayak, dan beberapa kali dia harus diingatkan akan kewajibannya untuk menjamu tamu. Saya pikir itu adalah sebuah fanatisme yang berlebihan. Demikianlah hari minggu berlalu dengan tenang dan juga sibuk, pada pukul 6 menjelang malam, tepat sebelum invasi nyamuk, saya dan istri duduk bermalas malasan di kursi rotan ditepi sungai Barito didepan rumah dinas, dan menatap para pengunjung pasar yang datang terlambat ataupun ingin pulang ke kediamannya. Seorang anak bergegas pergi ke sungai menaiki perahu kecilnya untuk pulang bersama dengan ibunya sebelum gelap membayangi Buntok....(Bersambung)
Sumber: F. te Wechel, Amiroé beelden uit het Dajaksche volksleven (Amsterdam: Scheltema & Holkema's Boekhandel, 1924). hal 1-17.