PERJALANAN KE BUNTOK DARI TAMIANG LAYANG TAHUN
1906
by : Hadi S. Miter
Perjalanan ke Buntok dari Tamiang Layang dimulai
Misionaris Tromp dan saya
(missionaris Hendrich) telah lama berniat mengunjungi Boentok dan telah
mendaftar pada Controleur untuk memberitahukan orang-orang Kristen di Boentok untuk
hari kunjungan kami; tetapi sehari sebelum kami pergi, ternyata Tromp harus
tinggal di rumah karena sakit kaki. Jadi saya harus berkunjung sendiri, karena
kali ini tidak boleh ada penundaan dengan alas an apapun. Bahasa disana basa-ngadju
yang dipahami oleh banyak orang; saya sendiri menguasai bahasa malaju (Melayu) dengan
sangat minim, atas keyakinan pada Tuhan saya memberanikan diri untuk pergi ditemani
oleh dua laki-laki anak asuh dari Missionaris Tromp, kami pergi dengan menunggang kuda.
Pemberhentian pertama kami adalah di Dajoe (Dayu), di sana ada sebuah pasar.
Saya berharap untuk membeli ikan untuk makan siang, tetapi sudah habis terjual.
Kami beristirahat di rumah kediaman kepala desa, kemudian perjalanan
dilanjutkan. Tapi sayangnya hujan mulai turun, sehingga saya basah kuyup di
istirahat di desa Patong (Patung). Beruntung saya bertemu seorang kenalan dari Beto,
yang mengajak kami ke rumah wakil kepala Kampung Patong, beliau
adalah seorang Dayak yang ramah. Kami bermalam disana, saya dan anak-anak
akhirnya melanjutkan perjalanan setelah mandi dan berganti pakaian.
Hari kedua terus berkuda sampai Kampung Lampeong, menurut kebiasaan setempat maka saya nanti siang akan singgah di Kampung Pinang Tungal, di sana ada kediaman saudara ipar dari guru Daniel Akar asli orang Tewah Popoh sebagai tempat berteduh. Ini juga adalah alasan bagi saya untuk bisa mengunjunginya dan sekaligus mengenalnya. Saya bertemu dengannya di ladang tempat ia bekerja, Ia keturunan Belanda, tetapi bekerja layaknya orang Dayak, ia berladang, memiliki kebun, yang hasil-hasilnya ia jual sendiri di pasar. Dia hidup seperti orang Dayak dan tidak lagi memakai sepatu. Rumahnya sangat kecil, hanya memiliki satu ruangan, yang berfungsi sebagai dapur, ruang tidur dan ruang tamu untuk 8 orang. Bersamanya ada kerabat dari istrinya seorang Kristen Dayak dari Kwala Kapoeas, dan anak-anaknya yang lebih besar membantu melakukan pekerjaan yang paling mudah; dia melakukan melakukan pekerjaan yang berat. Tidak jauh dari rumahnya yang sekarang, ia telah membangun sebuah rumah yang lebih besar; ada juga sawahnya yang baru dia tanam. Ia berharap agar selalu bisa menanam padi di sini (dan tidak berpindah-pindah tempat seperti kebiasaan orang Dayak), karena tanah di daerah Karau sangat subur. Sungai dimana dia mengairi sawahnya sama dengan sungai Nil di Mesir. Kami berbicara tentang pekerjaan misionaris dan dia menyarankan hal-hal yang kongkrit dilakukan oleh misionaris di daerah ini, jika kami tinggal diantara orang Dayak maka harus memperhitungkan kondisi tanah, itu sarannya kepada kami. Ia sosok pria yang setia pada imannya; dia ingin mengirim anak-anaknya ke Missionaris Tromp di Tameang Lajang (Tamiang Layang), agar mereka mendapatkan pendidikan yang layak.
Malam itu juga dia
menemani saya ke Djihi
(Jihi), di mana saya
menemukan para kuli yang beristirahat
setelah melewati jalan
pedesaan. Toko-toko
pedagang sudah tutup, jadi
kami tidak bisa membeli beras, tetapi berkat kebaikan Kepala Kampung Djihi ada pedagang yang bersedia membuka tokonya, kami diberi harga yang murah sebanyak yang kami butuhkan. Istirahat malam di rumah Kepala Kampung Djihi yang
luas, yang dibangun untuk kantor dinas Controleur. Kami membutuhkan kekuatan kami untuk meneruskan perjalanan di hari ketiga. Kami masih berjarak 20 Km dari tujuan. Jalan dari Djihi ke Buntok dua kali lebih
panjang bagi kami, karena kami harus melewati hutan sekitar 14 Km dan
kami tidak melihat sebuah rumahpun sejauh mata memandang dan tidak menemukan buah atau sejenisnya. Pemandangan jalan disini sungguh indah; jalan baru dibangun, dengan lebar 4 M. dan juga
permukaannya ditinggikan;
tetapi ini tidak memuaskan rasa lapar kami, atau memuaskan dahaga kami. Kami
harus menunggu sampai kami tiba di tempat dimana beberapa keluarga berkumpul dan mendirikan sebuah desa. Sambil minum teh saya mencoba sedikit
menghibur anak laki-laki
teman saya; dengan kata-kata
yang baik agar mereka selalu bisa merasa terhibur.
Tiba di Buntok setelah 3 hari perjalanan
Ada danau kecil yang lebarnya
setengah jam yang harus kami lewati, dan kemudian dua jam berjalan kaki lagi
sebelum kami sampai di Boentok. Akhirnya kami tiba di Boentok menjelang malam
dan melupakan semua kelelahan, saat melihat ukuran
dan keindahan tempat ini! Pada saat yang sama dengan sebuah kapal telah tiba di dermaga Boentok dengan 30 tentara dari Marabahan dan 1
perwira dari Aceh, mereka
berdinas dan berpatroli di sini untuk sekitar setengah tahun di Boentok. Controleur sangat baik kepada kami dan mengijinkan saya tinggal di rumahnya selama 3 hari sangat
menyenangkan. Dia tertarik pada tujuan kita, saya adalah tamunya untuk hari itu; sedangkan sisa waktu saya menfaatkan untuk bertemu anggota jemaat; jumlah mereka adalah 19
(dewasa dan anak-anak). Umat Kristen aslinya oloh ngadjoe, mereka berasal dari
Bandjermasin dan Kwala Kapoeas. Mereka telah tinggal di sini
selama 4 tahun dan tetap setia. Ketua Jemaat mereka yang adalah pengawas depot garam di Boentok,
seorang pejabat Kristen dan gagah berani bernama Efraim. Setiap sore kami
berkumpul di rumahnya atau di sekolah. Puncak dari pertemuan persaudaraan kami
adalah perayaan Perjamuan Tuhan dimana ada 12 orang
ambil bagian.
Saya merasa sangat nyaman
dengan orang-orang Kristen di Boentok. Sebagai seorang misionaris, seseorang
mengalami apa yang dialami Paulus ketika mengunjungi jemaat, seperti misalnya.
ketika dia menulis kepada jemaat di Roma, Rom. 1:11-12 " Sebab aku ingin melihat kamu untuk
memberikan karunia a rohani kepadamu
guna menguatkan kamu, yaitu, supaya aku ada di antara kamu dan turut terhibur
oleh iman kita bersama, baik oleh imanmu maupun oleh imanku." ketika kita
dapat mengatakan kepada orang-orang Kristen: mereka adalah sukacita dan mahkota
kita. Itu membuat profesi kami berharga dan seharusnya membuat Anda, Sahabat
Misionaris, mencintai Misi di Kalimantan!
Sebagai tanda iman mereka yang
hidup saya menerima 6 gulden dari jemaat kecil di Boentok, untuk membantu perbendaharaan di Tameang Lajang. Ini adalah pertanda
baik ketika anak memberikan dukungan kepada ibu yang sudah lanjut usia. Dapat dimengerti bahwa orang-orang Kristen di Buntok ingin memiliki seorang
Misionaris, tetapi tidak secepat itu; Saya telah menghibur teman-teman,
bagaimanapun, dengan mengatakan kepada mereka bahwa saya akan mengunjungi
mereka sesering mungkin, jika Tuhan memberi saya kesehatan. Controleur mengatakan bahwa ada
baiknya saya berkunjung setiap bulan.
Pada tanggal 18 Oktober 1906 kami
berangkat lagi, kali ini dengan perahu, Salah satu orang
Kristen dari Boentok bernama Samuel akan menemani saya ke Tameang lajang dan juga ke Beto. Kami mengunjungi desa Saripanji, sebuah desa tiga jam menyusuri sungai dari Boentok, seorang Kristen bernama Seth tinggal di sana, ia layaknya lebah madu yang memiliki kerajaan sendirian. Dia segera datang menghampiri saya, dan meminta untuk membaptiskan istri dan anak-anaknya. Tentu
saja ini hanya bisa terjadi jika wanita itu hanya mengenal kebenaran
keselamatan yang sejati. Seth juga tahu hal ini, itulah sebabnya dia mulai mengasah dirinya
sendiri. Dia memiliki buku yang bagus, dimana, selain lagu, juga 5
bab buku katekesasi. Seth menggunakan buku ini dalam mengajar
istrinya. Saya
menyarakankan padanya lebih
baik jika keluarga ini tinggal di Buntok, karena kemudian dia bisa berhubungan
dengan orang-orang Kristen di sana, dan istrinya itu bisa diajar oleh guru Yusuf atau oleh Efraim (yang dulu pernah juga mengajar). Ketika itu dia tidak segera menjawab pertanyaan saya apakah dia mengajari istrinya
bernyanyi, saya mulai menyanyikan sebuah lagu, diikuti dengan diskusi Alkitab
dan doa, sehingga kami tanpa berpikir mengadakan kebaktian keagamaan. Ketika
kami hendak meninggalkan
mereka dengan perahu kami,
wanita itu membawakan kami beberapa butir telur dan tebu. Dia memberi dari
sedikit yang ia miliki; namun ini tidak akan sia-sia.
Pulang Ke Tamiang-Layang lewat Sungai Barito
Saya mempersingkat cerita tentang sisa perjalanan ini. Anak-anak
saya suruh pulang lewat darat membawa kuda sadangkan saya akan pulang Ke Tameang Laijang lewat
sungai. Kepala Suku dari Bangkoang, yang dengannya kami menghabiskan malam
itu. Dia membantu kami keesokan harinya ketika kami mendayung dengan cepat.
Tidak jauh dari Mada kami harus turun dari perahu dan berjalan menuju Tameang
Lajang. Semakin lama kami mendekati Telang, bekas pos Misi, semakin buruk tanahnya; pasir dan tidak ada
apa-apa selain pasir
putih yang terlihat di sana.
Di Siong, tempat yang harus kami lalui, saya mengalami cerita lucu. Orang-orang polos mengira saya sebagai Controleur; karena mereka tidak pernah melihatnya. Saat saya melewati Desa beberapa orang bertanya
kepada saya, "Dari mana Anda berasal?" "dari Boentok," jawabanku. Tidak lama kemudian kepala desa datang dengan
beberapa pria, yang bersikap sopan, dan bertanya apakah mereka akan menjadi kuli saya. Karena aturan perintah bahwa barang-barang dari Controleur harus
dibawa oleh orang-orang dari satu desa ke desa berikutnya. Saya mengatakan
bahwa saya bukan Controleur, tetapi Tuan Pandita, itu tentu merupakan kejutan
yang menyenangkan bagi mereka, sehingga mereka tidak perlu membawa
barang-barang saya. Aku tertawa terbahak-bahak atas peristiwa ini.
Sumber :
BORNEO. DITBLAD IS HET DAGBOEK VAN K. HENDRICH'S ZENDING. De Rijnsche zending; tijdschrift ter bevordering van het christendom in Nederlandsch Indië, jrg 37, 1906
pantas nenek saya bisa bahasa ngaju,ternyata jaman itu belum ada Maanyan disekitar bartim-barsel
BalasHapusmaksud tulisan itu, belum ada orang Maanyan yang Kristen di Buntok..sedangkan Bartim memang orang Maanyan
HapusMenambah wawasan dan pngetahuan.. Jadi bahasa pertama ternyata bahasa Ngaju lah bang Hadi ..
BalasHapusPantas ja kalau orang maanyan bisa dan lancar bahasa ngaju.👍👍👍trimaksih jdi nambah pengetahuan.
BalasHapusiya nampaknya memang sejarahnya begitu
HapusTerima kasih informasinya...menambah pengetahuan sejarah di Kalimantan Tengah
BalasHapussama-sama terima kasih atas kunjungannya
Hapus