Senin, 28 November 2022

Zakaria Tihen: Pengabdian Sampai Akhir

Zakaria Tihen: Pengabdian Sampai Akhir 

Ditulis oleh ; E.W Faige

Disarikan Kembali oleh : Hadi S. Miter

 

sketsa orang Dayak abad 19



Tulisan ini ditulis oleh Ernest Wiliam Faige yang berjudul “Wees Getrouw Tot In Den Dood  Of De Levensgeschiedenis Van Zacharia Tihen” (Setia Sampai Mati : Sejarah Hidup Zacharia Tihen), sebagai bentuk rasa hormatnya kepada sosok penginjil pribumi Zakaria Tihen. Ini tulisan yang menarik mengambil setting perkampungan Dayak maanyan di Tamiang Layang, dan kampung Blai Dato dimana kampung ini kelak berubah menjadi Beto atas Prakarsa Missionaris Sunderman. Sejauh ini memang tidak banyak tulisan-tulisan tentang para penginjil pribumi khususnya orang Dayak, saya bersukur bisa mendapatkannya serta menyajikannya agar dapat kita baca sebagai refleksi atas masa lalu dan apa yang akan kita petik untuk masa yang kan datang.

 

Tihen pria Dayak yang cerdas.

Tihen pria Dayak yang berbakat, dia masuk sekolah yang dikelola oleh misionaris saat dia masih anak-anak, dia mengikuti sekolah yang dikelola misionaris Beijer di Poelo Telo (dekat Kuala Kapuas). Ayahnya menentangnya dan mengeluarkannya dari sekolah, tetapi Tihen orang yang gigih dia tetap pergi kesekolah. Dia belajar menulis dan membaca serta sangat menyukai sejarah Gereja. Ayahnya meninggal pada Mei 1890. Ketika dia berusia sekitar lima belas tahun dia memutuskan untuk pergi ke Banjarmasin, di mana dia bekerja dengan orang-orang Eropa disana, Tihen menjadi asisten seorang Jerman bernama  Von dem Borne, yang dipekerjakan oleh Pemerintah untuk menggambar peta Kalimantan. Tihen menjelajahi Kalimantan mendampingi  Von dem Borne dan dengan demikian ia berkenalan dengan daerah dan orang-orang yang sebelumnya tidak akan pernah dia lihat.

Saat meletus perang 1859 Tihen memutuskan pulang, menikah dan menentap di Mandomai, pada tahun 1860an ia menjalani hidup sebagai seorang Dayak dengan kepercayaan asli di kampung istrinya Mandomai. Sampai Ketika saya(Faige) ditugaskan dari Wuppertal Jerman ke Mandomai Pada bulan November 1872. Pada sore hari tanggal 15 April 1873, Tihen datang kepada saya dan menyatakan bahwa dia telah berbicara dengan ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuannya bahwa mereka bersedia untuk menerima katekesasi dan siap untuk dibaptis. Lalu akhirnya Desember Pada tahun 1873 bersama sejumlah kecil warga jemaat (enam belas orang dengan anak-anak) dibaptis, tidak hanya para misionaris yang bersukacita dan bersyukur, tetapi juga yang dibaptis, dan di antara adalah Tihen yang sekarang menerima nama baptis “Zakharia”.

pada tahun 1875 Ketika post misi di pedalaman dibuka untuk kami, dan saya pindah ke Tamiang Layang. Tihen saya dipromosikan menjadi guru bantu : “Meskipun Zakharia masih seorang Kristen muda, dia tahu apa yang dia lakukan; dia memiliki karunia dan keberanian untuk bersaksi dan menunjukkan bahwa dia adalah seorang Kristen dengan menjalani kehidupan yang berbeda. Tihen ditempatkan terlebih dahulu sebagai kepala sekolah di Telang dan nantinya dapat digunakan sesuai situasi." Namun Misionaris CC. Hendrich membutuhkannya untuk menjadi guru di Mandomai serta mengajar katekesasi untuk calon baptisan ditempat yang sulit untuk dijangkau, Ketika kami melihat imannya, penyerahannya kepada Tuhan, kesabaran dan ketundukannya, bahkan di saat-saat tersulit, kami sering mengatakan bahwa dia adalah teladan bagi semua orang Kristen. Walau kadang kami para misionaris harus sangat sabar menghadapinya karena ada kecenderungan bahwa Tihen adalah sosok pemalas, yang membuat ekonominya morat marit dan membuatnya tampak menjadi sangat miskin; berbanding terbalik dengan saudaranya Silvanus yang rajin Bertani dan juga berdagang. Kalau bukan karena gajih yang tidak seberapa dari badan misi untuk pekerjaannya sebagai guru bantu, mungkin Tihen dan istrinya bersama keenam anaknya mereka mungkin tidak dapat bertahan hidup.


Pindah menjadi guru di Tamiang Layang

Kehidupannya di Mandomai semakin melarat jadi dia memutuskan untuk memboyong anak dan istrinya ke Tamiang Layang pada tahun 1880, dan berladang tidak jauh dari rumah misi di Tamiang Layang dan mengajar di sekolah. Istri Tihen yaitu Martha bekerja dengan rajin di ladang mengurus padi mereka. Tuhan memberkati mereka dengan menganugrahkan mereka panen yang baik, tetapi tahun berikutnya panen buruk, kebutuhan meningkat, dan untuk menutupi kebutuhan makan harian tidak tercukupi. Pukulan berat lainnya: Marta jatuh sakit dan meninggal setelah lama menderita. Kami sering berpikir bahwa Martha ini telah menjadi seorang Kristen hanya untuk pergi bersama suaminya, tetapi di ranjang kematiannya, menjadi jelas bagi kami keyakinan batin yang kuat yang dia miliki, dan betapa besar sukacita dan kedamaian yang dia dapat saat pergi.

Zakharia kini berdiri sendiri dengan keenam anaknya. Panennya, seperti yang disebutkan di atas, buruk. Kemudian kami membantunya dengan modal untuk berdagang. Dulu saya pernah membuat cerutu dari tanaman tembakau yang saya tanam di Tamiang Layang; Saya sekarang mengatur agar Tihen mengelola  pembuatan cerutu dengan lebih serius. Dia juga kami berikan modal ke Banjarmasin untuk membeli kebutuhan rumah tangga dan dijual Kembali di Tamiang Layang serta sekitarnya. Jadi perlahan satu tahun berlalu Tihen memiliki penghasilan yang lumayan untuk membuat dapurnya tetap berasap dan anak-anaknya tetap makan. setelah kematian istrinya, nampaknya Zakharia Tihen mulai untuk memikirkan menikah kembali. Matanya tertuju pada seorang gadis belia dari jemaat di Tamiang Layang, gadis tersebut hampir seusia dengan putra sulungnya. Saya tentu saja menentang pernikahan ini, begitu pula orang tua gadis itu, pertentangan ini menjadi tebing yang sangat berbahaya dan menjadi tempat Tihen tersandung. Pada saat istrinya meninggal, dia berkata, "Tuhan, jadilah kehendak-Mu," betapapun dia sangat mencintai almarhum istrinya. Dia telah belajar untuk menanggung banyak hal demi Kristus, tetapi dalam hal ini dia tidak bisa lepas dari bahaya yang menggoda imannya, dan suatu sore kami mendapat kabar bahwa dia telah melarikan diri dengan gadis itu. Sebagai orang Kristen tentu saya sangat malu dan terpukul atas apa yang dilakukan Zakaria Tihen dihadapan jemaat. Saya tidak dapat bertindak apa apa atas pilihannya kami hanya menyimpan rasa kecewa.

Sampai suatu hari Tuhan menghukum Tihen, dimana dia jatuh sakit dan kehilangan pendengarannya. Beberapa hari berlalu. Saya mengunjunginya beberapa kali, tetapi tidak rasa bersalah dan rasa penyesalan yang ia utarakan, sehingga saya harus membuatnya merasakan keseriusan hukuman Tuhan atas dirinya. Pada hari keempat, menjelang malam, salah satu anaknya mendatangi saya dengan secarik kertas yang di atasnya tertulis dengan tangan gemetar: “Tuan, aku mohon, datang dan selamatkan aku; jika tidak, saya tersesat lebih jauh!" Sekarang waktunya telah tiba untuk menunjukan saya utusan Kristus yang maha pengampun asalkan ada keseriusan mengakui dosanya. O betapa mulianya bahwa kita memiliki perintah dari Juruselamat ini, baik kepada para hamba-Nya maupun para pendosa yang malang! Saya menemukan dia sangat hancur. Tihen mengutip Mazmur 32:5 Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku  tidaklah kusembunyikan; aku berkata: "Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku" dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku. Ketika saya datang kepadanya dia menggenggam tangan saya, dan berteriak, "Selamatkan aku! Selamatkan aku!" Waktunya telah tiba untuk berdoa bersamanya dan mengampuni dosanya dalam nama Juruselamat. Sejak saat itu kedamaian Tuhan kembali ke hatinya, dan demamnya hilang; dia sehat.

 

 

Buku karya Tuan Faige Wees Getrouw Tot In Den Dood  Of De Levensgeschiedenis Van Zacharia Tihen” tahun 1895


Menjadi penginjil di Balai Dato

Sepertinya bisnis perdagangan tidak berjalan dengan baik, dan menanam padi di daerah ini membutuhkan banyak usaha, tetapi biasanya tanpa hasil. Sementara itu, umat Kristen Tamiang Layang mendengar bahwa ada tanah yang subur dengan lokasi yang cukup jauh dari sini. Suatu ketika Zakharia Tihen pergi dengan istri mudanya untuk melihat keberadaannya prospek lahan untuk ditanami disana. Dalam perjalanan ini mereka sampai di daerah Ampari, tepatnya kampung Balai Dato. Padi berlimpah di sana; mereka diterima dengan baik dan diajak orang setempat tinggal dan menanam padi disana. Seorang pria kaya menawarkan untuk membantunya dengan beras sampai panen berikutnya. Zakharia kembali dengan penuh semangat dan segera siap untuk pindah ke Balai Dato mencari kehidupan yang lebih baik. hampir semua baptisan kami bersemangat untuk pergi ke sana juga, dan kami tinggal sendirian di Tamiang Layang. Sebenarnya saya disarankan para penatua untuk melarang jemaat pergi kesana, tetapi saya tidak punya hak untuk melakukannya dan saya juga tidak punya dana untuk membantu ekomomi mereka. Kami hanya dapat mengandalkan komunitas jemaat kecil kami di Balai Dato untuk menjaga iman mereka agar tidak terancam bahaya.

Zakharia Tihen adalah benteng jemaat, dia adalah contoh bagaimana jemaat Kristen harus berperilaku di tengah-tengah lingkungan kafir, agar mereka bisa menjadi garam dan terang dalam kegelapan. Zakharia melanjutkan perjalanannya dengan semangat yang baik, dan di waktu luangnya terlibat sebagai penginjil. Pertama-tama dia melakukan audiensi dengan para pemilik tanah, yang mendengarkan dengan penuh perhatian pada Firman Tuhan yang diberitakan. pada akhir Oktober 1884 Zakaria Tihen berhasil membaptis Papong seorang pemilik tanah di Balai Dato. Setelah pesta pembaptisan, delapan orang datang untuk meminta petunjuk pembaptisan, termasuk istri dan anak Papong, kegembiraan menjadi lebih besar. Itu adalah waktu yang indah, yang Tuhan berikan kepada kami melewati seorang Zakaria Tihen. Namun sayang setelah 6 bulan berlalu Papong meninggal dunia akibat gagal ginjal orang-orang disitu mau agar Papong dimakamkan secara agama lama, tetapi Zakaria menolaknya. Zakaria Tihen bercerita sambil berlinang air mata karena ia dapat membaptis orang Islam yang ada di Balai Dato.

Akhir hayat seorang Zakaria Tihen

Saat saya mengunjungi Zakaria Tihen di Balai Dato, dia sedang terbaring demam dan bukan demam biasa yang dideritanya; itu adalah penderitaan dan tidak jarang berakibat fatal. Keesokan paginya, dia pingsan akibat gangguan pernapasan dan batuk. Dia tidak bisa berbaring; yang membuatnya sedikit lega adalah duduk di kursi. “Ya Tuhan Yesus, maukah Engkau membawaku pulang, lakukan dengan cepat; karena itu hampir terlalu berat untuk ditanggung!” kata Zakaria Tihen dalam doanya. Dia yakin bahwa dia berada pada hari-hari terakhir kehidupannya. Pada pagi terakhir hidupnya, dia meminta kepadaku agar dilayani Perjamuan Kudus. Namun, saya tidak dapat percaya bahwa Tuhan akan mengambilnya, karena saya masih sangat membutuhkannya. Tapi dari jam ke jam harapan saya sirna, Zakaria memanggil anak-anaknya serta menciumi mereka dan memberi tahu mereka bahwa dia sekarang pergi kepada Juruselamat, dan bahwa mereka harus tetap berpegang pada Kristus. Setelah itu dia meninggal dengan damai, dia sekarang berbaring dengan gurat kedamaian di wajahnya; Tihen telah menang, dan menjaga iman; oleh karena itu mahkota kebenaran akan dianugrahkan kepadanya. Saya sangat sedih mau tidak mau saya meneteskan air mata memikirkan nasib keenam anak-anak ; tetapi lebih dari itu, saya kehilangan seorang sahabat. Keesokan paginya masih banyak pekerjaan yang menunggu; jalan harus dibersihkan dari rumput liar sampai ke tempat pemakaman; sebuah jembatan harus dibangun di atas sungai dari  sebuah pohon besar ditebang dan akhirnya kuburan harus digali. Selain itu, orang kafir harus dinegosiasikan, karena tempat kami ingin menguburkan Zakharia ada di dekat perkampungan mereka. Menjelang siang semuanya sudah siap. Di dalam rumah "Saya berkotbah dari Matius 13 : 43. " Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!" Di kuburan kami menyanyikan lagu kidung Bahasa Dayak; Saya berbicara singkat kepada orang kafir yang hadir tentang harapan orang Kristen, dan kemudian kami harus menyerahkan jenazah hamba yang setia ini ke dalam bumi. Saya mempertimbangkan untuk memanggil guru Daniel Akar untuk mengambil alih tugas pelayanan Zakaria membina jemaat di Balai Dato.

sumber : E. W Faige, Wees Getrouw Tot In Den Dood  Of De Levensgeschiedenis Van Zacharia Tihen, Höveker & Zoon (Amsterdam) 1895.