KEADAAN TAMIANG LAYANG TAHUN 1862
Tulisan kali ini diambil dari tulisan dari seorang dokter militer Bernama
Adriaan Jan Hendrik van der Mijll Dekker dia lahir 5 november 1837 di Utrecht
Belanda dan meninggal dunia pada 1
augustus 1892 di Rheden, Belanda pada
usia 54 tahun. Ini merupakan sebuah laporan yang ia tulis kepada pejabat colonial
pada waktu itu yang berjudul TOPOGAPHISCIHE SCHETS VAN MENGKATIP EN SIHONG
sebuah catatan mengenai pemetaan keadaan lapangan dari kondisi sosiologis,
keadaan alam dan juga kondisi fisik dari masyarakat di wilayah Mangkatip dan
Siong namun dia menulis secara khusus tentang Tamiang Layang dimana dia
bertugas pada benteng militer Tamiang Layang di tahun 1862, berikut catatannya
mengenai Tamiang Layang :
Benteng Militer
Kampung utama di distrik Patteij adalah Tameang-Laijang, terdiri dari
sebelas rumah, tempat tinggal Kepala distrik dan benteng tempat kami yang dibangun
pada tahun 1860; posisinya terletak di sungai Patteij (sirau-red), yang hanya
bisa dilayari dengan kano kecil (perahu atau jukung-red). Lebih jauh ke hilir
sungai ini dapat ditemukan kampung-kampung: Magantis, Harara dan Poeloe-
patteij, yang masing-masing terdiri dari 5 sampai 6 rumah. Di sekitar
Tameang-Laijang adalah desa-desa kecil: Awang, Djaar, Tawoeloe, Panjanarin,
Haringin, Wintan, Sangar-wassi, dll.
Benteng Tameang-Laijang adalah satu bangunan besar, dikelilingi pagar dan
parit kecil di sekelilingnya. Bangunan ini memiliki lantai dan dinding kayu, dipisahkan
oleh papan sekat menjadi barak, ruang tamu, ruang untuk orang sakit dan tiga
kamar petugas, dimana sebuah kantor polisi berada didepan. ruangan orang sakit,
bersebelahan dengan ruangan kantor perawat. Berbentuk seperti barak dengan baleh-baleh;
apoteknya (ruang obat) sangat kecil. Perimeter Benteng telah dibersihkan,
diberi rumput, dan sudah ditanam dalam waktu lama. Sungai kecil Patteij (sungai
sirau), tempat dapur dibangun, mengalir dengan kecepatan 100 langkah; jamban
terletak agak tinggi di atas badan sungai, air mengalir jernih cukup deras
menawarkan kesempatan yang baik untuk mandi di sini. Bagi penyakit menular ditempatkan
pada bangunan bambu kecil di luar benteng. Sungai bisa meluap saat musim hujan
dan menarik bahwa garis besar benteng, tidak pernah terkena banjir.
Kedaan Tanah:
Lapisan atas dari tanah yang lebih tinggi adalah tanah berpasir,
sedangkan lapisan yang lebih dalam terdiri dari tanah liat yang berat. Tanah
ini digunakan untuk membuat ladang tempat kebanyakan padi ditanam. Hampir di
mana-mana tanah tertutup oleh hutan lebat, sedangkan ladang alang-alang hanya
ditemukan di beberapa tempat. Kecuali di beberapa tempat, seperti Awang,
tanahnya tidak terlalu subur.
Fakta bahwa tanah Kalimantan mengandung emas memang terkenal, tetapi saya
tidak pernah dapat menemukan apa pun tentang emas disini. Sebaliknya, tembaga
saya temukan dalam jumlah yang kecil di dasar Sungai Patteij, dekat benteng Tameang-Laijang.
Tembaga yang berwarna coklat kemerahan dan pasir yang berat tidak dalam dan dengan
air jernih, yang berada di dasar sungai, menarik perhatian saya mencoba
mengujinya dengan mencuci dan mencairkan bagiannya sampai menghasilkan logam
yang tidak murni, berat, berwarna perunggu. massa dari tembaga dapat dengan mudah
dibedakan.
Jenis satwa :
Di antara binatang buas yang hidup di hutan terdapat banyak monyet besar
dan kecil, termasuk bekantan, monyet hitam dan monyet merah. Orangutan tidak
ditemukan di daerah ini; babi hutan dan rusa dalam jumlah besark; beruang,
tupai, trenggiling, kucing harimau (spesies kecil) ditemukan disemua hutan,
sementara ular yang agak besar ditemukan hamper disetiap tempat.
Burung yang hidup di hutan tidak banyak jumlahnya. Merpati, ayam hutan,
beo, dan beberapa burung kecil tidak dalam jumlah besar di hutan yang luas dan
sepi ini. Di sisi lain, rawa-rawa biasanya dipenuhi dengan segala jenis unggas
air. Burung elang dihormati oleh orang dayak.
Sengai mengalir deras dengan sejumlah ikan yang lezat, di dalamnya
terdapat banyak sekali buaya, beberapa diantaranya panjang dan cukup besar. Kita
dapat menemukan jenis buaya berkepala bulat dan yang lainnya dengan kepala
runcing, yang terakhir dianggap lebih berbahaya daripada yang pertama.
Lebih dari sekali terjadi bahwa orang-orang dan anak-anak diterkam saat
di perahu dan juga ditepi sungai ditarik ke kedalam sungai oleh makhluk ini. Nyamuk
ditemukan dalam jumlah yang sangat besar di daerah berawa; di daerah yang lebih
tinggi hanya ada sedikit, tetapi di sisi lain sangat banyak semua jenis serangga.
Spesies semut terlihat di sini, yang ukurannya kira-kira lima kali lebih besar
dari semut merah pada umumnya.
Makanan penduduk serta iklim :
Adapun makanan penduduk di wilayah ini sangat sederhana. Hampir semua, tidak terkecuali kepala distrik, makan nasi dengan garam ditambah sajor dari bambu muda yang direbus. ikan kering dikonsumsi. Daging monyet dan kalong adalah makanan lezat bagi mereka. Dilaporkan bahwa di distrik Sihong Daijakkers juga ditemukan pemakan daging ular. Sejauh yang saya tahu, tidak ada unsur yang tidak dapat dimakan oleh mereka, atau yang mereka tolak karena sebuah alasan.
Garam adalah makanan istimewa sekaligus sumber kelezatan bagi mereka; Garam
memiliki nilai lebih dari uang. Ketika seseorang membeli sesuatu dari orang
Daijakker, pertanyaan pertamanya adalah apakah dia juga bisa mendapatkan Sedikit
garam.
Ayam, daging kerbau, dll. Hampir tidak pernah dikonsumsi oleh mereka;
bahkan para kepala suku, termasuk Soetaono yang lebih maju, tidak mampu
mendapatkan kemewahan ini.
Pengamatan metereologis tidak dapat diberikan dengan akurat karena
kurangnya instrumen untuk ini. Karena kedekatannya dengan garis khatulistiwa,
perbedaan antara mousson yang baik dan yang jahat tidak terlihat dengan jelas.
Perbedaan suhu pada siang dan malam hari sangatlah signifikan. Pada pagi hari
biasanya dingin dan berkabut, sedangkan pada siang hari suhunya cukup tinggi.
Badai petir sering terjadi disini serta hujan lebat yang berlangsung lama.
Angin di sini sering kali sangat kuat, tetapi hanya untuk waktu yang singkat.
Hampir setiap pagi kabut tebal dan dingin terlihat di sini sampai jam 7 dan kadang
sampai jam 9 pagi.
Tipe rumah Dayak:
Secara keseluruhan daerah ini berpenduduk sangat jarang. Sebagian besar
adalah adalah orang Daijakkers; Orang Melayu kadang ditemukan di sana-sini.
Mereka tinggal bersama di kampung-kampung yang biasanya hanya terdiri dari
beberapa rumah, dimana 8 sampai 15 orang tinggal Bersama dalam satu rumah.
Rumah-rumah ini, yang dibangun diatas panggung setinggi manusia diatas tanah,
biasanya hanya terdiri dari satu ruangan. Dindingnya terdiri dari kadjang,
lantai dahan-dahan diikat jadi satu, bagian bawahnya tempat air, sampah, dll,
sehingga hampir di setiap rumah ada genangan lumpur yang dijadikan babi-babi sebagai
tempat tinggal.
Di depan rumah terdapat tempat terdapat tangga yang terbuat pohon bulat yang
dipahat berlekuk.
Pintu biasanya satu-satunya bukaan yang ditemukan di dinding; tidak ada
bukaan yang berperan sebagai jendela. Terkadang ditemukan lubang udara seukuran
tangan di dalamnya.
Tipe penduduk:
Menurut cerita para kepala suku, seratus tahun yang lalu, orang di
wilayah ini datang dari tempat yang jauh, dimana mereka diganggu dan diserang
dimana mereka akhirnya memutuskan pergi dan menetap di lingkungan atau wilayah ini.
Laki-laki umumnya cukup berkembang dengan baik dalam bentuk tubuh yang baik, memiliki penampilan yang baik, ramah, mereka sering bertubuh tinggi, tetapi sangat sangat malas. Pakaian mereka terdiri dari penutup kepala dan cawat dari kulit pohon, yang digunakan untuk menutupi bagian yang kemaluan.
Biasanya mereka dipersenjatai dengan tombak atau mandaw, yang terdiri
dari sepotong logam runcing yang dipasang di selubung kayu. Pada gagang yang
terbuat dari tulang, biasanya ditemukan potongan 10 atau 25 sen, sedangkan di
bagian bawah sarung dan di gagang dipasang sedikit rambut (manusia atau
kambing). Di sisi sarungnya ada pisau kecil yang dibungkus dengan sarung kulit,
sedangkan beberapa tempayan dari tanah atau tulang kadang terlihat tergantung
di situ (tampat obat loeka).
Mandaw ini juga dikenal sebagai senjata untuk pemburu kepala; namun cara
membunuh ini, menurut cerita para kepala suku, tidak dilakukan oleh suku mereka
atau oleh nenek moyang mereka; itu yang membedakan mereka dengan orang Dayak dari
distrik Karau. Dalam perburuan dan perang, mereka selalu membawa mandaw atau
sumpitan, dengan sumpit mereka berhasil mencapai target dengan tepat pada jarak
50 yard.
Anak panah terdiri dari bambu atau beberapa jenis kayu keras, kadang
dengan ujung tembaga atau gigi ikan halus, yang juga kadang dibubuhi racun. Mereka menyimpannya dalam tabung bambu yang
diikat dengan kain. Racun yang mereka gunakan pada mata panah sumpit tersebut
menghasilkan fenomena tetanik. Saya sampai sekarang, meneliti cara mereka
mendapatkan racun ini; Namun menurut cerita, seekor anjing liar mati karena
keracunan oleh mata sumpit dalam waktu 3/4 jam.
Penutup
Dari catatan Adriaan
Jan Hendrik van der Mijll Dekker ini kita sangat terbantu utnuk melihat keadaan
dan situasi masyarakat Maanyan yang ada di Tamiang Layang pada waktu itu, banyak memang tulisan mengenai Tamiang Layang tetapi salah satu tulisan unik memuat secara detail posisi benteng Tamiang Layang hanya ada dalam tulisan ini
Mantap.ding👍😇teruslah berkarya..semangat n salam sehat🙏❤
BalasHapussekedar mengisi waktu budas
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMantap pakai namah pangarasa,en biar puang mengalami, kude ekat mitah hayalan aku tau membayangkan keadaan saat yiru taun 1862.
BalasHapusNanam ni aku suah membaca upacara upacara IJAME tulisan wat Pdt.DR.F.Ukur sayang ni potocopy ku wawai hg awe. Awat tayang amun hanyu naan kahaba ni up 🙏🙏
hyai iru tulisan beliau hang jurnal oikumene Peninjau
Hapus