Rabu, 01 Juni 2022

PERTOBATAN LUTAK YANG SUKA BERJUDI

 

PERTOBATAN LUTAK YANG SUKA BERJUDI

Ditulis oleh missionaris H. Sundermann, tahun 1919

Disarikan kembali oleh:

Hadi Saputra Miter

 

 

 
Ilustrasi Karl Lutak

 

Si Lutak suka berjudi

Suatu hari di tahun 1888 saya sedang duduk diruang kerja saya di stasiun Tamiang Layang. Seseorang mengetuk, Masuk ujarku, ternyata seorang pria Dayak beragama asli. Saya mengenal pria itu dengan sangat baik, dia adalah Lutak, adik dari Karl Tindong yang baru saja meninggal karena kolera, Tindong meninggal sebagai seorang Kristen. Saya sering bertemu dengan Lutak, juga berbicara dengannya tentang agama, tentang dosa dan anugerah, dan tentang satu hal yang perlu. Tetapi dia selalu menghindari kata-kata saya. Dia suka hidup sesuai dengan prinsip leluhurnya, merayakan aruh Dayak dan suka dalam perjudian. Menjadi seorang Kristen tidak cocok dengan gaya hidupnya, dan dia tidak menemukan cara untuk mengajaknya meninggalkan cara agama lama dan membuat dia menjadi taat kepada Injil seperti kakaknya Tindong "Saya mengundang orang itu untuk duduk dengan saya dan bertanya apa yang dia inginkan. Pertama-tama dia berbicara tentang ini dan itu, seperti yang biasa dilakukan orang Dayak, karena mereka tidak suka mengungkapkan sesuatu secara sekaligus. Saya menunggu dengan sabar sampai kata pengantar selesai. Akhirnya terjadi: dia harus membayar pajak, petugas penagih telah mengingatkannya beberapa kali, dan jika dia tidak punya uang dalam dua hari, maka kepala desa ingin membawanya ke Tanjung menghadap Controleur.

Saya telah sering mengatakan kepadanya untuk menjadi seorang Kristen. Dia memikirkannya, dan jika aku memberitahunya sekarang ingin meminjam 5 gulden agar dia bisa membayar pajaknya maka dia ingin dibaptis. Saya kemudian berbicara dengannya untuk waktu yang lama dan serius dan mengenai pentingnya pembaptisan dan pertobatan dalam menjadi Kristen untuk membuatnya jelas. Akhirnya aku harus memberitahunya bahwa saya tidak bisa dan tidak mau meminjamkan 5 gulden kepadanya, karena saya yakin dia akan singgah di desa berikutnya bermain judi dan kalah dan kemudian tetap tidak bisa membayar pajaknya. saya lebih suka memberinya pekerjaan, maka dia bisa mendapatkan uang yang diperlukan dengan jujur. Tapi dia tidak bisa mengambil keputusan untuk melakukannya. Dia bilang dia tidak bisa tinggal jauh dari rumah dalam waktu lama, dll. Kami kemudian berpisah sebagai teman baik, dia berjanji untuk memikirkan apa yang saya katakan kepadanya. Dia berjalan kembali untuk mencari pinjaman di tempat lain.

 

Lutak mencuri Agong

Dalam perjalanan ke kampungnya di Sangerwasi. Ada banyak orang bermain judi, iapun ikut bermain walau tanpa uang, dia menggadaikan satu pasang pakaiannya sebagai jaminan, dia harus menelan kepahitan dengan kekalahan berjudi, kemudian dia menemukan rumah itu kosong. Di sudut rumah ada Agong (gong tembaga besar), yang harganya bernilai  30-40 gulden. Si Iblis penggoda datang kepadanya. Peluangnya bagus,tapi satu masalah Penghuni rumah mungkin hanya pergi mandi, mereka bisa segera kembali. Tanpa berpikir dua kali, dia mengikat Agong ke keranjang gendong dan kabur. hasil untuk menjual Agong dapat membayar pajak, sisanya masih bisa buat bayar hutang judi dan tersisa satu sen...lumayan. Tapi Lutak salah perkiraan, Pencurian itu tidak berlangsung lama. Ternyata ada saksi mata yang pernah melihatnya membawa Agong. Sebuah laporan dibuat, dan sebelum tiga hari berlalu Lutak berada di penjara oleh Oppas Belanda di Tandjung, dimana ia memiliki kesempatan untuk menyesali hidupnya. Lutak belum pernah makan nasi penjara, dan dia sama sekali tidak menyukainya. Setiap hari mereka pergi bekerja membersihkan jalan dengan tahanan lain dibawah pengawasan seorang pengawas.

Pada saat yang sama dia memikirkan aib karena berada di penjara. Lutak begitu tertekan dan ketakutan di dalam hati, dituduh oleh hati nurani yang bersalah, dia pikir dia tidak tahan lagi di penjara dan datang dengan rencana yang ceroboh dan tidak dipertimbangkan dengan baik. Suatu hari, ketika para tahanan sedang bekerja membersihkan jalan setapak diluar Tandjung ditepi hutan, dia ijin buang air, melangkah ke hutan, dan melarikan diri, meninggalkan petugas sipir penjaral. Lutak secara alami pasti pulang ke kampungnya di Sangarwasi, yang berjarak sekitar 6-7 jam berjalan kaki. Hal tersebut sudah diperkirakan bahwa petugas pasti mencarinya kesana. Itu sebabnya dia tidak berani terlihat didepan orang banyak.

Di hutan terdalam ia mendirikan tempat tinggal sebuah gubuk  yang bobrok. Baru pada malam hari menemui keluarganya untuk mendapatkan makanan. Lutak menyadari bahwa dia tidak bisa lama bersembunyi; pada saat yang sama dia gemetar memikirkan hukuman yang akan datang jika dia tertangkap. Sekarang dia melihat kecerobohannya dan kehidupannya yang telah gagal sebelumnya, hati nuraninya berkecamuk dan Tuhan berbicara kepadanya dalam kesunyian hutan. Dia bersumpah jika dia bisa bebas dia ingin menyingkirkan perjudian, semua keyakinan lama dan akan menjadi seorang Kristen.

 

Lutak Bertobat

Saat ini Presiden Misi Borneo kami (Präses unserer Borneo Mission), Misionaris Braches, datang berkinjung ke Tamiang Layang untuk melihat kemajuan pekerjaan. Kami juga pergi bersama ke cabang Isin tempat Lutak bersembunyi di sana. Disini kami juga mendengar tentang nasib Lutak. Ketika hari sudah gelap di malam hari, kami mengirim utusan kepadanya dan memintanya untuk datang menemui kami sehingga kami berbicara bersamanya, apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia benar-benar datang. Penuh ketakutan, dengan wajah bermasalah, dia memasuki gubuk, tempat kami menginap. hukuman dan teguran tidak perlu kami berikan lagi, karena pria itu jelas dihukum lebih daricukup. Kami hanya bertanya tentang apa bisa kami bantu? Kami mengadakan rapat dan menghasilkan rencana berikut:

Misionaris Braches secara pribadi akan menemui pejabat Belanda di Tandjung. Dia juga akan menulis surat agar Lutak pendapat hukuman diringankan. Surat ini harus dibawa oleh si terpidana secara pribadi ke petugas keesokan paginya dan selanjutnya menunggu hasil keputusan. Mulanya Lutak tidak mau dibujuk untuk kesana. Namun karena tidak menemukan jalan keluar, akhirnya ia bersedia menerima tugas mengantarkan surat itu, ditemani oleh kakak iparnya, kepala desa Sangarwasi. Beberapa hari kemudian kami kembali di Tamiang Layang, Lutak muncul di Tamiang Layang dengan wajah berseri-seri dengan sepucuk surat dari inspektur. Petugas telah membebaskan hukumannya dengan syarat dia mengembalikan Agong yang dicuri kepada pemiliknya, meminta pengampunan dan melakukan layanan sebagai mata-mata petugas pemerintah Belanda. Jadi dia sekarang adalah orang bebas.

 

Lutak memiliki sumpah, yang harus dia selesaikan, asisten jemaat di Isin mengajarinya katekesasi, dan kemudian saya membaptisnya bersama keluarganya. Dia memilih nama baptisan seperti nama kakak laki-lakinya yang baru saja meninggal, yaitu Karl.  Sakarang namanya Karl Lutak, seperti banyak orang lain, tidak selalu menghormati nama Kristennya, tetapi kadang-kadang bahkan salah jalan. Namun, dia membiarkan dirinya dihantam oleh roh Tuhan lagi dan lagi dan tetap setia pada jemaat Kristen. Kami sangat senang dengan semangat penginjilannya yang tidak sering ditemukan di antara orang-orang Kristen Dayak. Dia mendekati semua orang yang dia temui tanpa rasa takut atau malu memperkenalkan Yesus Kristus. Juga di antara orang-orang Islam yang ada di Tandjung dan Kalua dia sering bersaksi bahwa Kekristenan adalah satu-satunya agama yang benar yang dapat membawa kedamaian dihati. Karena dia adalah orang yang bijaksana, kami mungkin berpikir untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan pemahaman Kristennya tentang Firman Tuhan pelatihan khusus. Dia mungkin bisa menjadi penuntun bagi Kristus bagi banyak umatnya jika hidupnya tidak segera menemukan kesimpulan yang menghancurkan sesuai dengan nasihat Tuhan yang luar biasa.

 

Setelah pemberontakan berdarah di Kalimantan yang dihasut oleh orang-orang Muslim Melayu pada tahun 1859, secara bertahap dihancurkan oleh pemerintah Belanda, para pendukung Sultan telah mundur ke hutan yang tidak dapat ditembus di hulu Sungai Barito. Di sana mereka memiliki seorang Raja, keturunan keluarga sultan, yang mereka harapkan akan sekali lagi menjadi penguasa seluruh Kalimantan tenggara dan mengusir Belanda. Dari sana mereka mencoba lagi dan lagi untuk memprovokasi kerusuhan dan pemberontakan di antara orang-orang Muslim Bakumpai di dataran rendah dengan, ada macam-macam desas-desus tentang perjuangan dan pemberontakan. Desas-desus ini juga diceritakan dan direnungkan di kalangan orang Dayak.

 

Karl Lutak berpikir mungkin untuk mencari Raja tersebut di hutannya untuk membujuknya dengan alasan yang masuk akal agar bersedia tunduk kepada pemerintah Belanda. Dan karena dia adalah orang yang fasih, yang menggunakan pidatonya yang meyakinkan untuk menyelesaikan perselisihan dan bernegosiasi di dewan desa, dia pikir dia mungkin bisa melakukannya sendiri. Dia telah merenungkan masalah ini untuk waktu yang lama. Akhirnya dia membuat keputusan yang berani dan agak bodoh untuk melakukan perjalanan, yang akan memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Saat itu saya sedang berada di Eropa untuk cuti. Misionaris Tromp mewakili saya di Stasiun Beto, Karl memutuskan bahwa ia harus pergi dan mendiskusikan segala macam hal dengan Tromp, meskipun sebenarnya dia adalah anggota Misionaris Feige di Tamiang Layang. Jalannya menuju Hulu Barito juga melalui Beto. Tromp sangat terkejut ketika Karl muncul di tempatnya suatu hari, bersiap untuk pergi dengan membawa keranjang dan kebutuhan perjalanan yang diperlukan di punggungnya, dan mengungkapkan kepadanya rencananya yang aneh. Tentu saja, Karl juga memiliki ide untuk memperkenalkan Injil kepada Radja dan rakyatnya. Jadi dia berharap bisa memenangkannya dengan dua cara, pertama untuk politik keamanan Belanda, dan kedua untuk kerajaan Allah. Missionaris Tromp senang mendengar semangatnya, tapi secara pengetahuan agama ia masih sangat kurang. Selain itu, ia mengkhawatirkan keselamatan dari Karl Lutak, tidak hanya secara eksternal tetapi juga secara internal. Karena itu, dia mencoba mencegahnya dari rencananya. Tapi sia-sia. Pada hari berikutnya, Karl Lutak dengan riang memulai perjalanan panjangnya.

 

Akhir Perjalanan Karl Lutak

Selama beberapa hari dia sudah merantau ke tempat tujuannya. Di kesunyian hutan yang liar, ia menghabiskan malam di gubuk bobrok, yang penghuninya menyambutnya dengan ramah. Angin kencang datang di malam hari. Gubuk itu patah pada sambungan dan gubuk runtuh. Orang-orang yang tidur itu berusaha keluar dari bawah puing-puing. Mereka tidak terluka. Hanya Karl Lutak tidak bisa bergerak dari tempat itu. Sebuah balok jatuh telah menghancurkan tulang punggungnya, orang-orang berdiri disana tanpa daya. Karl mengerang dan merintih kesakitan tapi tidak bisa bergerak bergerak. Dia meminta untuk dibawa ke dokter; itu tapi perjalanan berhari-hari yang jauh sekali. Masyarakat memutuskan untuk menuruti permintaan korban. Bagaimanapun mereka bertanggung jawab karena kejadian tersebut di kampung mereka. Mereka menyiapkan perahu dayung kecil. Kemudian turun dulu anak sungai dan kemudian sungai besar Barito. Mereka sudah melakukan beberapa hari perjalanan, Lutak yang malang itu masih hidup dan mereka berharap bisa membawanya dengan selamat ke kota Bandjermasin. Mereka tiba di Marabahan, satu hari perjalanan dari tempat tujuan mereka. Itu adalah akhir dari kekuatan Lutak. Mereka membawa mayat itu ke darat dan menguburnyaDi tanah asing, jauh dari tanah airnya, Karl Lutak kami menemukan tempat peristirahatannya yang terakhir. Apakah mudah baginya untuk berpisah atau apakah ia telah mempercayakan jiwanya ke dalam tangan Yesus ketika ia melakukan perjalanan terakhir, seperti yang dapat diasumsikan, kita tidak mengetahui semua itu.

 

Sumber :

H. Sundermann, Bilder aus der Missions Arbeit auf Borneo (Barmen: Verlag des Missionshauses in Barmen, 1919). 36-42