Rabu, 03 Maret 2021

ULUN MAANYAN MENGAHADAPI PANDEMI DISENTRI

 

ULUN MAANYAN MENGAHADAPI PANDEMI DISENTRI


Sesajen penangkal kolera yang dibuat orang Maanyan tahun 1913


Cerita pengalaman dokter Jerman Dr. H. Bretainstein yang bertugas

di Benteng Militer Muara Teweh pada tahun 1880

(Dr. H. Bretainstein, 21 Jahre in Indien. Aus dem Tagebuche eines Militärarztes.)

disarikan kembali oleh :

Hadi Saputra Miter 


surat dari anak Sota Ono

Pada tahun 1880, putra dari kepala suku Suto-Ono menulis surat kepada saya, dalam bahasa Melayu. Dia memberi tahu saya bahwa wabah disentri telah merebak di distriknya; dia menggambarkan gejala pasien yang tidak Bahagia, sehingga gambaran tentang disentri menjadi jelas bagi saya, dan bahwa saya juga mengagumi ejaan yang tepat dan jelas dari orang Dayak ini. Buntok terletak di dekat area yang terinfeksi; Saya khawatir epidemi dapat mencapai benteng kami jika tidak dihentikan dalam perkembangannya.

Jadi dengan surat ini saya pergi kepada pejabat Cotrolleur, yang jabatannya membawahi para kepala distrik . Surat itu sangat merepotkan bagi para pejabat yang dimana saya menemui pejabat disarankan oleh Cotrolleur , karena akan berdampak dalam laporan rutin pemerintahan mereka, karena: "Kesehatan yang baik, akan menguntungkan kondisi dan jabatan politik. "

Mengapa anda mendapat izin membaca surat ini (Dia bertanya kepada saya)?

Saya beralasan mungkin saya dapat memberikan saran dan bantuan bantuan kepada orang Dayak yang malang ini, yang nampaknya menderita penyakit parah; mungkin kondisi yang higienis dapat mengurangi epidemi dan segera berakhir; Saya juga khawatir pandemic ini akan mencapai benteng, di mana 150 orang tinggal bersama dalam ruang yang relatif sempit, dan akan terlambat untuk menutupi sumur ketika anak sapi telah tenggelam. Tahukah Anda adat istiadat orang Dayak, bahwa mereka mengharapkan manfaat saran sekecil apa pun dari aturan higienis? "

“Ya, oleh karena itulah mengapa saya ingin pergi ke sana, tidak hanya untuk melihat bahwa pasien yang malang ini terbebas dari rasa sakit yang mengerikan dan sembuh, tetapi juga memeriksa kotorannya. “

Ah, sekarang saya mengerti , Dokter!...” dia melakukan gerakan menghitung uang dengan jari-jarinya. Saya tidak peduli tentang yang ia pikirkan tentang saya, tetapi saya memperingatkan dia untuk tidak memberi saya sindiran didepan wajah saya dengan sok berhitung, karena dengan begitu saya akan menggerakkan jari-jari saya juga langsung tepat di pipinya.

karena sebenarnya seolah olah dia ingin menunjukkan dengan gerakan jarinya bahwa partisipasi saya untuk orang  Dayak yang "malang" tidak lebih dari spekulasi uang saja.

Benteng Muara Teweh tahun 1880

Ekspedisi ke Telang dan Tamiang Layang

Saya kemudian pergi ke komandan militer, memberi tahu dia tentang kejadian itu, dan memintanya untuk mengambil liburan pribadi selama beberapa hari sehingga saya melakukan ekspedisi untuk mengatasi epidemi ini. Karena menurut aturan dia hanya memiliki wewenang untuk bekerja sebagai dokter di benteng selama empat hari selama saya tidak ada, dia ingin berbicara dengan pengawas tentang hal itu lagi. Meskipun ini ekspedisi kecil namun menghabiskan biaya yang besar, saya mendapat ijin selama empat hari, menyewa perahu dengan enam pendayung, membawa bahan makanan untuk empat hari. Pelayan yang menemani saya bisa berbahasa Dajak, dia adalah penerjemah, sekaligus koki, rekan kerja saya, dll.

Perahu itu sangat panjang sehingga aku berbaring di dalamnya, sedangkan para pendayung adalah orang Dajak dan pelayanku juga bisa duduk dengan nyaman dengan bersila (seperti biasa). Separuh bagian belakang perahu ada atap, yang melindungi saya dari hujan dan sinar matahari; Saya juga membawa senjata, namun dibalik itu prinsip saya bahwa satu senjata baik revolver atau pedang, tidak bisa membantu saya melawan musuh, karena lebih baik "mendapatkan kepercayaan dan pertemanan".

Ada banyak anak sungai dan Antassan antara Buntok dan Mengkatip; yaitu sungai Karrauw saya memasuki daerah yang dilanda epidemi.

Kampung Telang adalah tujuan perjalanan saya, terletak di sungai kecil dengan nama yang sama, lagi-lagi merupakan anak sungai Sungei Siong, yang mengalir ke Barito antara S. Pattai dan Karrauw (L 1 37°SB). Tepiannya memiliki semak-semak rendah; mulut sungai dipenuhi dengan kayu yang mengapung, perjalanan yang tak terlupakan; Saya harus mengganti perahu, dengan perahu kecil bernama Djukung, sehingga ekspedisi kami menjadi 3 jukung, begitu banyak kayu mengapung sehingga para pendayung kesulitan. Kadang para pendayung mengarahkan perahu kecil tersebut untuk melewati kayu-kayu tersebut; mereka keluar dari perahu dan melompat-lompat di atas balok kayu seperti cerita Paman Tom di atas es yang mengapung.

Akhirnya tujuan tercapai, jalan dengan hamparan batu kapur seputih salju yang indah yang mengarah ke rumah misionaris Faige. Saya tinggal di sini selama enam hari (hari kedatangan dan keberangkatan, yang tidak diperhitung oleh komandan militer)

Pak kepala distrik mengantar saya berkeliling, dan menemukan lapangan yang luas untuk lokasi kegiatan saya. Tempat dimana saya dapat merawat banyak pasien , missionaris Faige nampaknya kesulitan mengajarkan kebersihan kepada orang dayak. Orang Dayak meletakan jenazah korban dysentri di dalam rumah selama tiga hari, sampai akhirnya mereka memindahkan peti mati kedalam hutan; ada dua kasus tentang peti mati ada yang ditutup dengan penutup yang terbuat dari kayu memiliki lubang dengan kecil di tengah bagian bawah; untuk mengeluarkan cairan dari mayat yang membusuk. Saat jenazah masih disemayamkan dalam rumah, bau mayat dalam wadah penyimpanan cairan itu menusuk hidung , walah kadang sudah dicampur dengan minyak dan jeruk nipis. Yang kedua jenazah diletakan di ladang atau di pinggiran kampung, butuh waktu lama menunggu "festival upacara kematian". Mereka menunggu sampai jenazah benar-benar kering atau menunggu sampai punya uang. Kadang butuh waktu 1 sampai 2 tahun sebelum jenazah dikremasi.

Ketika saya tiba, sebagian besar keluarga almarhum bahkan tidak memiliki tempat untuk menampung cairan dari pembusukan mayat; mengenai kondisi epidemi tidak didiskusikan lebih lanjut karena situasi sudah agak reda. Dilain pihak tentu saja, saya tidak berhasil mengatur agar jenazah segera dikuburkan, tetapi setidaknya mereka setuju agar jenazah dalam peti mati dimasukan campuran kapur, belerang, dan abu untuk mengurangi bau. Saya juga menyarakan agar jenazah yang busuk sebaiknya jangan diletakan didalam rumah, tetapi di luar yang jauh dari perkampungan.

Keesokan harinya saya pindah ke ke Tameang Layang, di mana Pak Faige menemani saya. Menemui Seorang misionaris dari Barmer Mission Society tinggal di sini bernama Tromp bersama istri dan anaknya. Di Tamiang Layang mereka bercerita tentang keberhasilan mereka dalam memindahkan hari pasar Dayak yang biasanya diadakan setiap hari Minggu, menjadi hari Senin. Jadi pada hari keenam saya memberikan masukan kepada kedua misionaris tersebut menyadari apa yang dapat dilakukan dalam waktu singkat ini.

Saya heran kenapa Orang Dayak kulitnya tidak sekelam orang Melayu di pantai, saya melihat kulit mereka yang cerah, jadi saya meminta penjelasan dari Kepala distrik. Dengan senyuman dia menunjukkan kepadaku di kejauhan  ada reruntuhan benteng yang berdiri di sana dua puluh tahun yang lalu. Itu bagian dari adalah perbaikan ras melalui pernikahan tak resmi dengan tentara Eropa, ini mungkin akan menjadi hal yang unik di sana, karena dua puluh tahun kemudian di Muara Teweh pasti tidak ada tentara Eropa yang berani menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita Dayak.


Disentri di Hindia Belanda

Saya memberi petunjuk kepada misionaris tentang bagaimana memperlakukan para pasien dysentri malang dan meningkatkan kondisi kebersihan serta sanitasi mereka. saya juga meminta para kepala desa untuk memberi tahu saya tentang penyebaran epidemi melalui laporan mingguan, saya mendapat gambaran yang baik tentang kemajuannya, yang sayangnya sangat mengkhawatirkan saya; setiap minggu saya menerima laporan dari Kampung, yang lebih dekat ke benteng. Kami berhasul menekan penyebaran pandemic disentri dengan biaya yang tidak sedikit.

Ini adalah kasus pertama dan satu-satunya epidemi disentri yang pernah saya lihat di Hindia Belanda; Pada tahun 1895 saya melihat banyak pasien disentri di Magelang (Jawa) Memang masih ada pertanyaan apakah saat ini masih terdapat kasus disentri di Jawa. Diagnosis "disentri" sangat sering dibuat oleh orang awam. Setiap kali kasus darah muncul di tinja; padahal diagnosis ini membutuhkan lebih banyak perbandingan kasus. Dalam keadaan normal di Jawa, para dokter hampir tidak pernah melihat kasus disentri setiap tahun; Bahkan sebelum tahun 1894 diragukan apakah disenteria tropica masih terjadi di Jawa; karena di seluruh tentara dari tahun 1891 hingga 1894 ada 12, 10, 9, 14, atau rata-rata 11 pasien disentri dirawat, sehingga peristiwa ini dikaitkan apakah orang Eropa dan penduduk asli, minum air sawah tanpa menyaringnya dan merebusnya, perlu study yang lebih dalam lagi.