Rabu, 03 November 2021

PERJALANAN KE BUNTOK DARI TAMIANG LAYANG TAHUN 1906

 

PERJALANAN KE BUNTOK DARI TAMIANG LAYANG TAHUN 1906

by : Hadi S. Miter

Missionaris Hendrich


Perjalanan ke Buntok dari Tamiang Layang dimulai

Misionaris Tromp dan saya (missionaris Hendrich) telah lama berniat mengunjungi Boentok dan telah mendaftar pada Controleur untuk memberitahukan orang-orang Kristen di Boentok untuk hari kunjungan kami; tetapi sehari sebelum kami pergi, ternyata Tromp harus tinggal di rumah karena sakit kaki. Jadi saya harus berkunjung sendiri, karena kali ini tidak boleh ada penundaan dengan alas an apapun. Bahasa disana basa-ngadju yang dipahami oleh banyak orang; saya sendiri menguasai bahasa malaju (Melayu) dengan sangat minim, atas keyakinan pada Tuhan saya memberanikan diri untuk pergi ditemani oleh dua laki-laki anak asuh dari Missionaris Tromp, kami pergi dengan menunggang kuda. Pemberhentian pertama kami adalah di Dajoe (Dayu), di sana ada sebuah pasar. Saya berharap untuk membeli ikan untuk makan siang, tetapi sudah habis terjual. Kami beristirahat di rumah kediaman kepala desa, kemudian perjalanan dilanjutkan. Tapi sayangnya hujan mulai turun, sehingga saya basah kuyup di istirahat di desa Patong (Patung). Beruntung saya bertemu seorang kenalan dari Beto, yang mengajak kami ke rumah wakil kepala Kampung Patong, beliau adalah seorang Dayak yang ramah. Kami bermalam disana, saya dan anak-anak akhirnya melanjutkan perjalanan setelah mandi dan berganti pakaian.

Hari kedua terus berkuda sampai Kampung Lampeong, menurut kebiasaan setempat maka saya nanti siang akan singgah di Kampung Pinang Tungal, di sana ada kediaman saudara ipar dari guru Daniel Akar asli orang Tewah Popoh sebagai tempat berteduh. Ini juga adalah alasan bagi saya untuk bisa mengunjunginya dan sekaligus mengenalnya. Saya bertemu dengannya di ladang tempat ia bekerja, Ia keturunan Belanda, tetapi bekerja layaknya orang Dayak, ia berladang, memiliki kebun, yang hasil-hasilnya ia jual sendiri di pasar. Dia hidup seperti orang Dayak dan tidak lagi memakai sepatu. Rumahnya sangat kecil, hanya memiliki satu ruangan, yang berfungsi sebagai dapur, ruang tidur dan ruang tamu untuk 8 orang. Bersamanya ada kerabat dari istrinya seorang Kristen Dayak dari Kwala Kapoeas, dan anak-anaknya yang lebih besar membantu melakukan pekerjaan yang paling mudah; dia melakukan melakukan pekerjaan yang berat. Tidak jauh dari rumahnya yang sekarang, ia telah membangun sebuah rumah yang lebih besar; ada juga sawahnya yang baru dia tanam. Ia berharap agar selalu bisa menanam padi di sini (dan tidak berpindah-pindah tempat seperti kebiasaan orang Dayak), karena tanah di daerah Karau sangat subur. Sungai dimana dia mengairi sawahnya sama dengan sungai Nil di Mesir. Kami berbicara tentang pekerjaan misionaris dan dia menyarankan hal-hal yang kongkrit dilakukan oleh misionaris di daerah ini, jika kami tinggal diantara orang Dayak maka harus memperhitungkan kondisi tanah, itu sarannya kepada kami. Ia sosok pria yang setia pada imannya; dia ingin mengirim anak-anaknya ke Missionaris Tromp di Tameang Lajang (Tamiang Layang), agar mereka mendapatkan pendidikan yang layak. 

Malam itu juga dia menemani saya ke Djihi (Jihi), di mana saya menemukan para kuli yang beristirahat setelah melewati jalan pedesaan. Toko-toko pedagang sudah tutup, jadi kami tidak bisa membeli beras, tetapi berkat kebaikan Kepala Kampung Djihi ada pedagang yang bersedia membuka tokonya, kami diberi harga yang murah sebanyak yang kami butuhkan. Istirahat malam di rumah Kepala Kampung Djihi yang luas, yang dibangun untuk kantor dinas Controleur. Kami membutuhkan kekuatan kami untuk meneruskan perjalanan di hari ketiga. Kami masih berjarak 20 Km dari tujuan. Jalan dari Djihi ke Buntok dua kali lebih panjang bagi kami, karena kami harus melewati hutan sekitar 14 Km dan kami tidak melihat sebuah rumahpun sejauh mata memandang dan tidak menemukan buah atau sejenisnya. Pemandangan jalan disini sungguh indah; jalan baru dibangun, dengan lebar 4 M. dan juga permukaannya ditinggikan; tetapi ini tidak memuaskan rasa lapar kami, atau memuaskan dahaga kami. Kami harus menunggu sampai kami tiba di tempat dimana beberapa keluarga berkumpul dan mendirikan sebuah desa. Sambil minum teh saya mencoba sedikit menghibur anak laki-laki teman saya; dengan kata-kata yang baik agar mereka selalu bisa merasa terhibur.

 

Tiba di Buntok setelah 3 hari perjalanan

Ada danau kecil yang lebarnya setengah jam yang harus kami lewati, dan kemudian dua jam berjalan kaki lagi sebelum kami sampai di Boentok. Akhirnya kami tiba di Boentok menjelang malam dan melupakan semua kelelahan, saat melihat ukuran dan keindahan tempat ini! Pada saat yang sama dengan sebuah kapal telah tiba di dermaga Boentok dengan 30 tentara dari Marabahan dan 1 perwira dari Aceh, mereka berdinas dan berpatroli di sini untuk sekitar setengah tahun di Boentok.  Controleur sangat baik kepada kami dan mengijinkan saya tinggal di rumahnya selama 3 hari sangat menyenangkan. Dia tertarik pada tujuan kita, saya adalah tamunya untuk hari itu; sedangkan sisa waktu saya menfaatkan untuk bertemu anggota jemaat; jumlah mereka adalah 19 (dewasa dan anak-anak). Umat Kristen aslinya oloh ngadjoe, mereka berasal dari Bandjermasin dan Kwala Kapoeas. Mereka telah tinggal di sini selama 4 tahun dan tetap setia. Ketua Jemaat mereka  yang adalah pengawas depot garam di Boentok, seorang pejabat Kristen dan gagah berani bernama Efraim. Setiap sore kami berkumpul di rumahnya atau di sekolah. Puncak dari pertemuan persaudaraan kami adalah perayaan Perjamuan Tuhan dimana ada 12 orang ambil bagian.

Saya merasa sangat nyaman dengan orang-orang Kristen di Boentok. Sebagai seorang misionaris, seseorang mengalami apa yang dialami Paulus ketika mengunjungi jemaat, seperti misalnya. ketika dia menulis kepada jemaat di Roma, Rom. 1:11-12 " Sebab aku ingin melihat kamu untuk memberikan karunia a  rohani kepadamu guna menguatkan kamu, yaitu, supaya aku ada di antara kamu dan turut terhibur oleh iman kita bersama, baik oleh imanmu maupun oleh imanku." ketika kita dapat mengatakan kepada orang-orang Kristen: mereka adalah sukacita dan mahkota kita. Itu membuat profesi kami berharga dan seharusnya membuat Anda, Sahabat Misionaris, mencintai Misi di Kalimantan!

Sebagai tanda iman mereka yang hidup saya menerima 6 gulden dari jemaat kecil di Boentok, untuk membantu perbendaharaan di Tameang Lajang. Ini adalah pertanda baik ketika anak memberikan dukungan kepada ibu yang sudah lanjut usia. Dapat dimengerti bahwa orang-orang Kristen di Buntok ingin memiliki seorang Misionaris, tetapi tidak secepat itu; Saya telah menghibur teman-teman, bagaimanapun, dengan mengatakan kepada mereka bahwa saya akan mengunjungi mereka sesering mungkin, jika Tuhan memberi saya kesehatan. Controleur mengatakan bahwa ada baiknya saya berkunjung setiap bulan.

Pada tanggal 18 Oktober 1906 kami berangkat lagi, kali ini dengan perahu, Salah satu orang Kristen dari Boentok bernama Samuel akan menemani saya ke Tameang lajang dan juga ke Beto. Kami mengunjungi desa Saripanji, sebuah desa tiga jam menyusuri sungai dari Boentok, seorang Kristen bernama Seth tinggal di sana, ia layaknya lebah madu yang memiliki kerajaan sendirian. Dia segera datang menghampiri saya, dan meminta untuk membaptiskan istri dan anak-anaknya. Tentu saja ini hanya bisa terjadi jika wanita itu hanya mengenal kebenaran keselamatan yang sejati. Seth juga tahu hal ini, itulah sebabnya dia mulai mengasah dirinya sendiri. Dia memiliki buku yang bagus, dimana, selain lagu, juga 5 bab buku katekesasi. Seth menggunakan buku ini dalam mengajar istrinya. Saya menyarakankan padanya lebih baik jika keluarga ini tinggal di Buntok, karena kemudian dia bisa berhubungan dengan orang-orang Kristen di sana, dan istrinya itu bisa diajar oleh guru Yusuf atau oleh Efraim (yang dulu pernah juga mengajar). Ketika itu dia tidak segera menjawab pertanyaan saya apakah dia mengajari istrinya bernyanyi, saya mulai menyanyikan sebuah lagu, diikuti dengan diskusi Alkitab dan doa, sehingga kami tanpa berpikir mengadakan kebaktian keagamaan. Ketika kami hendak meninggalkan mereka dengan perahu kami, wanita itu membawakan kami beberapa butir telur dan tebu. Dia memberi dari sedikit yang ia miliki; namun ini tidak akan sia-sia.

 

Pasar minggu pagi di Boentok tahun 1924


Pulang Ke Tamiang-Layang lewat Sungai Barito

Saya mempersingkat cerita tentang sisa perjalanan ini. Anak-anak saya suruh pulang lewat darat membawa kuda sadangkan saya akan pulang Ke Tameang Laijang lewat sungai. Kepala Suku dari Bangkoang, yang dengannya kami menghabiskan malam itu. Dia membantu kami keesokan harinya ketika kami mendayung dengan cepat. Tidak jauh dari Mada kami harus turun dari perahu dan berjalan menuju Tameang Lajang. Semakin lama kami mendekati Telang, bekas pos Misi, semakin buruk tanahnya; pasir dan tidak ada apa-apa selain pasir putih yang terlihat di sana. Di Siong, tempat yang harus kami lalui, saya mengalami cerita lucu. Orang-orang polos mengira saya sebagai Controleur; karena mereka tidak pernah melihatnya. Saat saya melewati Desa beberapa orang bertanya kepada saya, "Dari mana Anda berasal?" "dari Boentok," jawabanku. Tidak lama kemudian kepala desa datang dengan beberapa pria, yang bersikap sopan, dan bertanya apakah mereka akan menjadi kuli saya. Karena aturan perintah bahwa barang-barang dari Controleur harus dibawa oleh orang-orang dari satu desa ke desa berikutnya. Saya mengatakan bahwa saya bukan Controleur, tetapi Tuan Pandita, itu tentu merupakan kejutan yang menyenangkan bagi mereka, sehingga mereka tidak perlu membawa barang-barang saya. Aku tertawa terbahak-bahak atas peristiwa ini.


Sumber :

BORNEO. DITBLAD IS HET DAGBOEK VAN K. HENDRICH'S ZENDING. De Rijnsche zending; tijdschrift ter bevordering van het christendom in Nederlandsch Indië, jrg 37, 1906