PDT. MARDONIUS BLANTAN
( Pendeta Ma’anyan Pertama )
by
Hadi Saputra Miter
Mardonius Blantan lahir di Tamiang Layang pada
tanggal 13 Mei 1904, beliau sendiri adalah anak ke dua (2) dari tujuh (7) orang
bersaudara, orang tua beliau bernama Albert Blantan adalah seorang guru lulusan
Seminari Depok Betawi dan menjadi Demang Kepala adat sekaligus Kepala Daerah
Dusun Timur, Tamiang Layang dan ibu beliau bernama Katarina
yang mempunyai anak sbb:
1. Elisabet
2. Mardonius
3. Hermine
4. Emilia
5. Emanda
6. Esra
7. Jeremia
Albert Blantan ayah dari Mardonius Blantan seorang guru di Bagok Foto koleksi Basel mission tahun 1920
Beliau menimba pendidikan di Seminari Banjarmasin, kemudian menjadi
guru dan mengajar di Standar School Tamiang Layang dari tahun 1924 sampai
dengan 1932.
Pada tahun 1932 guru-guru lulusan Seminari
Banjarmasin kembali di panggil oleh pihak Zending dari Banjarmasin, termasuk
Mardonius yang akrap di panggil Donis. Beliu berangkat dari Tamiang Layang
menuju ke Banjarmasin dan di masukan ke sekolah Teologi Banjarmasin yang dipimpin oleh Missionaris Epple, untuk
menjadi pendeta dari Gereja Dayak Evangelis (GDE).
Seminari Banjarmasin tempat sekolah pendidikan guru tempat Mordonuis Blantan menimba ilmu pada tahun 1920an
Pendidikan di Sekolah Teologi Banjarmasin berlangsung
selama 3 tahun. Pada tanggal 5 april tahun 1935 bertepatan dengan perayaan 100
tahun ( Jubelium ) pekabaran Injil ditanah Kalimantan, maka di tahbiskanlah
lima orang pendeta pribumi pertama yaitu:
Eduard Dohong
Gerson Akar
Hernald Dingang
Mardonius Blantan
Pentahbisan pendeta GDE pertama di Barimba Kuala Kapuas : Rudolf Kiting, Eduard Dohong, Gersom Akar, Hernald Dingang Patianum, Mardonius Blantan. dan penginjil Basel Swiss : H. Witschi, S.Weisser, E.Kühnle, G.Weiler, K.Epple
Beliau menikah dengan Wihellie Anggen yang setia mendampinginya dalam
tugas dan pelayanan. Kemudian beliau ditugaskan menjadi pendeta di desa Tewah
Pupuh yang meliputi daerah:
1. Banua
Lima
2. Tabalong
3. Hulu
Sungai
Pada tahun 1940 pecah perang dunia ke II keadaan
menjadi kalut dan kacau, diserbunya Eropa oleh pasukan NAZI-Hitler dari Jerman yang lazim disebut dengan blitzkrieg (serbuan kilat) mengguncang
dunia, dimana Belanda juga jatuh ke tangan Jerman. Seketika itu juga Blanda
yang merupakan pemerintah colonial dari wilayah Indonesia saat itu mengambil
tindakan dengan menangkap dan mengintenir (menahan) orang-orang Jerman,
termasuk para Missionaris walaupun mereka orang Swiss namun mereka berbahasa
Jerman, sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap Jerman. Termasuk saat itu
penginjil Gerlach di Tamiang layang beserta istri di tangkap dan diangkut,
sehingga kosonglah pelayanan di Tamiang layang.
Maka Mardonius Blantan datang dari Tewah Pupuh menuju
ke Tamiang Layang, untuk membantu pelayanan yang kosong ditinggalkan akibat
penangkapan tersebut. Beratnya tugas yang dihadapi beliau sehingga tugas beliau
akhirnya di bantu oleh para “pambarita” penginjil local yang di perbantukan:
- Daerah Banua Lima : Johan Migang
- Daerah Tabalong : Mursalim
- Paju Epat : Rodolf Bukit dan Andros Susi
- Tamiang Layang : Abel Sanggen
- Paku Karau : Alfrit Halim
Mardonius Blantan dan istrinya Wihellie Anggen
Pada tahun 1957 beliau kembali dipanggil ke
Banjarmasin untuk menjadi Bapak Asrama di Sekolah Teologia dan menjadi pengajar
di Akademi Teologia sampai masa emeritus (pensiun). Karena kecintaan beliau
terhadap kampung halamannya, beliau saat pensiun tetap memutuskan untuk Kembali
lagi ke Tamiang Layang, dan tetap bertugas sebagai pendeta serta mengajar
Pelajaran Agama Kristen di SMP dan SMA.
Pada tanggal 14 juli tahun 1980 pendeta pertama dayak
Maanyan itu akhirnya menutup mata, beliau merupakan tokoh yang sangat
berpengaruh dan dihormati, baik Mardonius Blantan dan keluarga besar Blantan
merupakan primus inter peres bagi kekeristenan
di Tamiang Layang.
peristirahatan terakhir pendeta dayak maanyan pertama
Di mana beliau dimakamkan? Semoga dapat menziarahinya dalam pekan ini.
BalasHapusDitamiang layang barito timur
Hapus