Selasa, 02 Februari 2021

DAYAK MAANYAN BUKAN ANJING KOLONIAL (seputar peran ulun Maanyan dalam revolusi kemerdekaan Indonesia)

 

DAYAK MAANYAN BUKAN ANJING KOLONIAL

by : Hadi Saputra Miter

               Sekolah Pakat Dayak di Tamiang Layang tahun 1940
 

 

Tulisan saya tentang Suta Ono yang berjudul, Suta Ono: Pahlawan Ataukah Kaki Tangan Kolonial? Lumayan memancing kontroversial.[1] Banyak yang mencaci maki bahwa Maanyan adalah penjajah dan segenap kata-kata tuduhan mengarah ke rasis. Saya menyadari bahwa ketidak samaan pandangan hadir karena mereka menggunaan kacamata dunia saat ini sebagai cermin untuk melihat masa lalu, yang tentu saja kontek's dan situasi yang berbeda. Kemudian mereka juga membandingkan bahwa Kerajaan Banjar adalah Indonesia, sedangkan Belanda Penjajah dan orang Maanyan sebagai kolaboratornya, sebuah pandangan picik yang mengekerdilkan arti sejarah. Suta Ono adalah produk Maanyan masa lalu yang merasakan bagaimana hidup dibawah kontek's tirani  raja-raja local yaitu Kesultanan Banjar yang bahkan diera belum ada yang namanya Negara Indonesia. 


Dayak menuntut keadilan

Lalu pertanyaanya apakah Maanyan itu hanya benalu negara ini, tanpa ada kontribusi apapun bagi negeri ini? Kita akan bicara apa peran orang-orang Dayak Maanyan dalam konteks pergulatan lahirnya sebuah negara yang bernama Indonesia tersebut. Para intelektual Maanyan rata-rata lahir dari pendidikan sekolah yang didirikan Zending, namun sekolah sekolah tersebut tidak diakui oleh pemerintah Belanda sebagai sekolah standart, karena untuk menjadi pegawai birokrat pemerintah Hindia Belanda harus menempuh pendidikan berstandart dari pemerintah Kolonial. Sehingga lulusan sekolah Zending (volkschool) hanya terbatas menjadi menjadi guru untuk sekolah Kristen, pegawai kantor zending saja dan memegang jabatan lokal saja (kepala adat).  Oleh karena itu pada tahun 1920an  anak-anak Dayak hanya menjadi penonton saja, sedangkan orang-orang dari suku Banjar yang hidup diperkotaan bisa mendapatkan akses pendidikan standart Hoofden School dan bekerja dibirokrasi pemerintah Belanda, serta menduduki jabatan strategis untuk orang pribumi.

  Sidang Kongres kesadaran Bangsa Dayak "Pakat Dayak"

 Pakat Dayak dan Indonesia

Atas dasar itu orang Dayak dipimpin Hoesman Baboe tahun 1922 mendirikan sebuah kelompok yang bernama “Sarikat Dayak” kemudian berubah menjadi  “Pakat Dayak” yang terinspirasi dari Sarikat Islam. Sebuah organisasi yang meminta keadilan agar orang-orang Dayak punya akses memiliki pendidikan berstandart dari pemerintah Belanda dan agar orang-orang Dayak juga bisa bekerja dibirokrasi. Karena itu Pakat Dayak mendirikan sekolah yang dinamakan Hollands Dajak school (HDS) pada 1 Juli 1924 di Desa Hampatong, Kuala Kapuas. yang kemudian sekolah-sekolah HDS juga didirikan diwilayah lain seperti juga wilayah Maanyan pada akhir 1939. sekolah tersebut berdiri dari uang anggota Pakat Dayak dan bantuan dari Badan missi jadi bukan dari pemerintah Belanda. Pada tahun 1938 dibentuk Kongres kesadaran Bangsa Dayak yang mempersatukan orang-orang Ngaju, Maanyan, Lawangan, Oot Danum dll. Sebagai upaya agar orang Dayak bisa mengirim wakil diparlement (Volkstraad) sedangkan Banjar sudah memiliki wakil di Batavia. Komite Kesadaran Bangsa Dayak memberikan dua putra Maanyan terbaik yaitu Cornelis Luran dan Doeradjat, kelahiran Telang:

Ketua         : Mahir Mahar.

Wakil          : E.S Handoeran.

Sekertaris : Cornelis Luran.

Komisi I   : Doeradjat.

Tokoh Maanyan dari Pakat Dayak, Cornelis Luran
                

Media propaganda Pakat Dayak "Suara Pakat"

Kelompok ini juga memiliki corong propaganda yang bernama Suara Pakat, yang mulai membicarakan ide-ide nasional mengenai isu kemerdekaan bangsa Dayak dan Indonesia Raya. Suara pakat edisi 1940 menulis :

“Pakat Dajak berdiri boeat menpesatoekan Indonesir Dajak, mengkat deradjat martabat dan hakekat Indonesir dajak atau mengambil tindakan akan menjelma hak Indonesir Dajak terhadap noesa dan bangsa lain disekelilingnja….”[2]

Cucu dari Suta Ono sendiri dari istri ke 2 yaitu anak dari Kiai Badowo, dia adalah Mangan Badowo, dia meyandang jabatan Kiai (camat) ditengah situasi peralihan antara Belanda dengan Jepang, Mangan Badowo pada tahun 1942 diposisikan sebagai kepala adat untuk wilayah Paju Epat, dimana status Paju Epat dan Dusun Timur era Jepang merosot menjadi anak distrik dibawah Kalua.[3] Namun dilain pihak situasi ini nampaknya yang membuat Mangan Badowo mulai menemukan inspirasi tentang pergerakan Nasional dan perjuangan melawan imperialisme Barat yang dihembuskan oleh Jepang, sehingga saat Belanda kembali mengambil kekuasaan dari tangan Jepang. Mangan Badowo dilaporkan dan dipecat dari jabatannya serta status pegawai dari pemerintah Belanda pada tahun 1949 melayang, dikarenakan sikap Nasionalisnya yang mulai vokal mendukung kemerdekaan Indonesia.[4]

 

Mangan Badowo

Fridolin Ukur dan nafas Nasionalisme

Pdt. Fridolin Ukur mengakui bahwa semangat kebangsaan dan nasionalisme yang diamiliki sehingga memtuskan untuk akngkat senjata membela Negara Indonesia melawan agresi militer Belanda paska kejatuhan Jepang dipengaruhi tulisan kelompok Pakat Dayak :

“Pada awal kedatangan Jepang, pak Ukur pulang ke kampung. Suatu Ketika ia melihat buku-buku ayahnya, dan ia menemukan sebuah buku organisasi pakat Dayak. Di halaman pertama buku tersebut ada lagu Indonesia Raya dan halam-halaman selanjutnya beris Anggaran Dasar Rumat Tangga Pakat Dayak, kemudian lagu-lagu tentang Pulau Kalimantan. Dari situ muncul semangat kebangsaan dalam diri Ukur kecil yang ternyata sangat besar perannya dalam membentuk watak kebangsaannya dikemudian hari.”[5]

     Pak Ukur akhirnya  bergabung dalam organisasi Pemuda pemudi Kristen Indonesia(P3KI) menjadi greliyawan menyeludupkan pidato-pidato nasional Bung Karno kepada masyarakat dan kemudian dia yang bergabung dalam ALRI Devisi  IV Kalimantan. Dia dengan abangnya Wilson Ukur mendirikan markas perlawanan terhadap pemerintah Belanda bernama "Banteng Hitam" di desa Sanggu.

 

Maayan Indonesia

Dayak Maanyan sebuah kelompok yang juga sadar bahwa dibawah kesultanan Banjar mereka hanya akan menjadi hamba dari sultan oleh sebab itu mereka berlindung dengan Belanda, tetapi setelah muncul ide-ide persatuan dan semangat nasionalisme kebangsaan setelah gerakan sumpah pemuda tahun 1928 secara pelan-pelan mereka bergabung dalam sebuah kelompok yang juga ingin ber Indonesia. Berawal dari rasa ketidakadilan yang dilakukan terhadap orang Dayak kemudian mereka menuntut keadilan dan kesamaan hak kepada Belanda. Sayang upaya tersebut terhenti karena kedatangan Jepang, namun setelah Jepang pergi orang Maanyan melanjutkan kebulatan tekadnya akan sebuah negara Indonesia merdeka Bersama suku-suku yang lain. kami bukan anjing kolonial kami bangsa merdeka yang bebas bukan hamba Kesultanan dan juga bukan hamba Kerajaan Belanda.



[1] Tulisan saya dikutip oleh penulis dari pihak Kesultanan Banjar dalam buku,  Ahmad Bardjie, Perang Banjar Barito 1859-1906 (Martapura : Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2015). 264

[2] Dana Listiana, Satu Dayak menjadi Indonesia-Dayak : Impian Persatuan Bangsa Dayak dalam soera pakat terbitan Banjarmasin pada tahun 1940-an. Dalam, Penguatan dan Pelemahan Persatuan Bangsa Media dan Tokoh di kalimantan Selatan ( 1923- 1959 ), (Bandung: Media Jaya Abadi) .58

[3] Surat Pengakuan No.3/494/2/1942 diterbitkan oleh Minseibu Bandjermasin Shutchoscho-Cho atas nama Mangan sebagai kepala adat Paju IV, tertanggal 1 Juli 1942.

[4] A.B Hudson, Padju Epat : The Ethnography And Social Structure Of A Ma'anjan Dayak Group In Southeastern Borneo (Michigan USA: University Microfilm, 1967). 234

[5]Darius Dubut ... [et al.],  Kurban yang berbau harum : 65 tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur (Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan PGI bekerja sama dengan Sinode Gereja Kalimantan Evangelis, 1995.).5-6.

Selasa, 03 September 2019

PANDAM Sistem kasta dalam masyarakat Maanyan Paju Epat tempo dulu


PANDAM
Sistem kasta dalam masyarakat Maanyan Paju Epat tempo dulu
by 
Hadi S. Miter 


Guru Miden, Ngawar (kakah Lelo) 
dan Judith Hudson di lokasi Tamak


Dikalangan masyarakat Maanyan Paju Epat, mengenal tradisi pembakaran tulang yang disebut dengan Ijame, dalam ritus tersebut ditemukan semacam susunan masyarakat berdasarkan kelas. Fridolin Ukur mencatat ada terdapat 7 kelas :
1.      Mangku
2.      Patinggi
3.      Jaksa
4.      Giritan
5.      Singa Langgawa
6.      Jarang Bayohan
7.      Mangasiau
Setiap tingkat memiliki Tamak[1] sebagai lambang strata sosialnya. Ukur mengutip pendapat Malincordt yang menyebut masyarakat Paju Epat mengenal kelas yang di istilahkan dengan Pandam. Contohnya seperti ini:
1.    Tamak Mamandi terpecah menjadi : Pandam Singa Langgawa dan Pandam Giritan.
2.    Tamak Tumenggung pecah menjadi : Pandam jarang Buyuhan
3.    Tammak Patinggi pecah menjadi : Pandam Masiau
Ada juga semacam tingkat terendah, dalam sistem masyarakat ini yang disebut dengan Putak Walah (kelas budak). Mereka tidak masuk kedalam Tamak melainkan dalam guci. Namun pada tahun 1960an perbedaan tersebut dihilangkan, tidak lagi macam-macam Tamak melainkan satu Tamak dalam satu komplek, sebagai contoh di Balawa, yang disebut Tamak Bugawan Dime.[2]
Tamak

Sedangkan Hudson dalam penelitiannya melihat bahwa Tamak juga mewakili sebuah status sosial hal tersebut dapat dilihat dari tipe Tamak. Tamak sendiri terbuat dari kayu ulin dan terbagi dalam tiga gaya dasar, masing-masing dengan nama tertentu: kariring, Pulang gayung, dan Ginun Rewau.
1.      Tamak kariring pada ujung penutupnya, disisir ke atas dan menunjuk.  
2.      Tamak Pulang Gayung tidak memiliki tutup dan berbentuk agak menggantung, tapi ada tonjolan melengkung ke bawah yang melekat pada setiap akhir dari kotak, dan juga melengkung pada tutupnya.
3.    Tamak Ginun Rewau dibedakan karena ujungnya diukir kepala kerbau (karewau) disalah satu ujung tutup. 


Tamak mewakili empat kelas: Bangsawan (pemimpin); panglima (kesatria atau prajurit); Panganak Rama (orang biasa); dan walah (budak ). Namun, sebenarnya dengan kelas yang terkait dengan Panganak Rama atau “orang biasa” tidak punya Tambak yang menjadi ciri khas mereka sendiri. Singkatnya, Tamak menunjukkan sistem tiga kelas yang terdiri dari Bangsawan, Panglima dan Walah. Perbedaan utama yang diakui dalam sistem kelas seperti ini adalah antara Bangsawan dan Panglima di satu sisi, sedangkan untuk Walah disisi yang lain. Dua kelas pertama bisa disatukan dalam "kelas masyarakat bebas" dimana mereka adalah anggota penuh, anggota independen dari masyarakat yang bebas. Sedangkan walah, membentuk kelas masyarakat yang anggotanya tergantung atau kehidupannya ditanggung oleh masyarakat "kelas bebas". Sebagai contoh Walah diberikan ladang untuk tempat bekerja; dan ia juga sangat mungkin diizinkan untuk menikah.
Jadi secara teori, tulang seseorang yang menyandang status Walah tidak dapat disimpan di tamak "kelas bebas" dan memang secara ekonomi Walah tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun Tamak sendiri. Dengan demikian, Tulang Walah ditempatkan dalam guci tanah (kosi). Dalam masyarakat Maanyan Paju Epat seorang individu memang tidak ditakdirkan untuk hidup menetap dalam status Walah. Status tersebut dapat dipulihkan atau dapat bisa hidup bergabung dengan kelompo dari "kelas bebas" dengan membayar denda yang disebut pamutak. Dimana jika ia bisa menikah dengan seseorang dari kelompok masyarakat "kelas bebas" maka statusnya dapat berubah dan bisa masuk kedalam kelompok Tamak orang “Kelas bebas” dari pasangannya.[3] Suta Ono sendiri tulangnya disimpan dalam Tamak Mas, yang juga secara tidak langsung ingin menunjukan status sosialnya dalam komunitas masyarakat Maanyan Paju Epat.
Namun pada saat era kolonial Belanda Khususnya saat Suta Ono berkuasa di wilayah Paju Epat, sistem budak tersebut sudah terlihat agak memudar. Hal tersebut dapat kita lihat dalam dari laporan penguasa Sipil di Marabahan yaitu Letnan C.Banggert saat berkunjung ke Telang dan wilayah Dusun Hilir pada tahun 1857, mengungkapkan beberapa hal mengenai bentuk perbudakan di kalangan orang Maanyan Paju Epat:
Di Siong ada semacam budak karena utang; yang nampaknya terjadi secara turun temurun hal tersebut masih dapat ditemukan dibeberap tampat, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Namun, pada kenyataanya tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya budak; mereka hanya dipanggil untuk membuat beberapa layanan seperti bekerja saat panen atau pada saat ada kesibukan; dan untuk sisanya, mereka bebas; Mereka tidak diperjual belikan dengan cara yang tak beradab. Mereka hanya sebagai warisan pemilik generasi terdahulu. Suta Ono dalam hal ini menyusun gagasan berani yaitu secara bertahap menghapuskan sistem ini. Walaupun nampaknya dia masih belum mengambil keputusan, tentang bagaimana prosesnya untuk mencapai ini (Penghapusan budak). Jumlah penduduk distrik Sihong adalah 834 Jiwa.[4]

Sistem kasta yang berlaku nampaknya tidak begitu kuat dikalangan orang Maanyan, dimana kemudian hari tidak ada lagi masyarakat yang menganut sistem ini, semua orang bebas dan punya kesempatan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Pengaruh pemikiran barat tidak selamanya negatif, ide tentang masyarakat bebas didukung penuh oleh para Missionaris berhasil menghapuskan sistem kasta yang mebuat manusia menjadi terkurung dalam kelas-kelas.


[1] Tamak adalah, kotak kayu memanjang yang berfungsi sebagai wadah untuk abu tulang yang telah dibakar. Dengan tutup bagian atas yang dapat dilepas. Tamak memiliki berbagai ukuran dari sekitar 64-89 inci panjang, sekitar 12 inci lebar, dan 18-24 inci. Kotak-kotak ini didirikan 46-66 inci diatas tanah.

[2] Fridolin Ukur, Ijambe dalam Jurnal Peninjau, Tahun I No.1(Jakarta: LPS-DGI, 1974).19

[3] A.B Hudson, Death Ceremonies Of The Padju Epat Maanyan Dayaks dalam Tom Harrison (ed) Borneo Writing and Realated Matters (Serawak: Serawak Museum Jurnal, 1966).5-7


[4] C. Bangert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Streken Van Doessoen Ilir, Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860. 158

Rabu, 14 Agustus 2019

Matak Batung (Pa Duno) : Pria Maanyan Dengan Ratusan Talenta


 MATAK BATUNG (PA DUNO)
 Pria Maanyan Dengan Ratusan Talenta


By : Judith Hudson (Pelham, Amerika Serikat)
ditulis ulang oleh: Hadi Saputra Miter


Popular dan berduit
Pa Duno atau Matak Batung atau juga Matak, adalah sosok pria yang bertubuh ramping dan tampan, berusia sekitar 48 (Tahun 1963) dia adalah tokoh yang memainkan peran penting di desa Murutuwu. Pa Duno adalah sosok partisipan langsung dalam dunia ekonomi modern di desa Maanyan Murutuwu. Dia sosok yang juga sering terlihat mengenakan semacam seragam (kemeja resmi biru tua dan celana panjang), serta mengenakan topi khas yang dikenakan pada perjalanannya keluar daerah. Dia tidak pernah segan untuk menonjolkan dirinya ketika sekelompok pejabat pemerintah datang dan mengobrol dengan mereka. Selain itu, ia juga nyambi sebegai rentenir (tempat berhutang para penjudi), dengan keuntungan sepuluh persen bunga perbulan. Dia dengan seorang lelaki lain berkongsi membangun semacam ruko di pasar Telang, tempat tersebut dia sewakan untuk tempat berdagang pada hari pasar. Kadang-kadang, ia menyewakan tempat itu per-los, sebagai penginapan bagi orang-orang dari Mengkatip yang datang untuk memotong rotan di sepanjang sungai di Telang dan Murtuwu. Kadang-kadang istrinya juga membuka semacam kafe (kedai) di Telang pada hari pasar.
Dia adalah sosok yang dominan di Murutuwu - orang terkaya disana, ia tinggal bersama istri dan ketiga putranya disebuah rumah besar didekat sungai tempat pemandian umum. Sebagai pedagang dan juga petani, ia berurusan dengan apa pun termasuk membeli dan menjual kembali barang antik, banyak juga yang ia bawa langsung ke Banjarmasin untuk dijual kembali. Dia juga makelar untuk semua jenis barang – dari barang rumah tangga yang datang dari luar, dan juga sebagai pembeli karet, rotan, serta kayu gelondongan dari penduduk desa. Pada Agustus 1963 dia memberi tahu kami bahwa: Gubernur Kalimantan Tengah memberinya kontrak grosir minyak tanah untuk seluruh wilayah administratif di wilayah kami. Dia diizinkan membeli tiga puluh tiga drum minyak tanah setiap bulan dari perusahaan minyak, Perusahaan Minyak Nasional (Permina). Dia menghitung laba kotornya pada bisnisnya tersebut lebih dari Rp.85.000 (untuk kurs 1963) setiap bulan.
 
Sosok cerdas dan perduli dengan pendidikan
Pak Duno menjalani  tiga tahun pendidikan formal pada zaman Belanda. (Sebagai hasil dari pendidikan ini, dia menjadi fasih dalam berbahasa Indonesia - atau bahasa Melayu) Matak bersekolah disekolah yang dikelola oleh misionaris Jerman di Tamiang Layang, lulus dari kelas tiga. Dia jelas melihat bahwa pendidikan akan menjadi jalan menuju masa depan keberhasilan. Semua anaknya  bersekolah dan lulus setidaknya kelas enam; Anak kedua Matak, seorang putranya pada tahun kedua  saat bersekolah di sekolah menengah pertama, di Tamiang Layang saat meninggal karena sakit demam. Sedangkan, anaknya Iperman (Pak Antin) pergi melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di Banjarmasin namun saat naik ke kelas dua. Iperman memutuskan kembali ke Murutuwu, ia mengatakan “bahwa dia sudah muak bersekolah, dan dia sangat yakin bahwa ayahnya bisa mendapatkan posisi yang baik untuknya sebagai seorang guru.” Ketika kami mengunjungi Murutuwu pada tahun 1992, ternyata benar Iperman telah menjadi guru disekolah milik pemerintah di Telang, sementara putra bungsu Matak atau Iperman menjadi guru di Murutuwu. Putra sulungnya adalah  kepala desa Murutuwu ditahun 1992.
Matak adalah sosok yang mewakili kekuatan besar didunia kepercayaan tradisional dayak Maanyan. Dia memiliki kedudukan sebagai seorang tetua adat dan menyuarakan pendapatnya dengan keras; dia bukan tipe orang yang bisa berkompromi ketika dia yakin bahwa pendapat dia benar. Dia jua seorang wadian yang terampil dan penyanyi (tumet) serta penari terkenal. Saya tidak bertanta dengannya tentang bagaimana dia berhasil menyembunyikan kepercayaan animisnya saat memperoleh pendidikan dari sekolah misi dari para misionaris di Tamiang Layang yang dikenal sangat ketat serta melarang partisipasi murid-murid mereka dalam segala jenis kegiatan kafir, terutama upacara balian dan dukun. Sebagai orang dewasa, Matak merasa nyaman hidup dalam  kedua bidang yaitu politik birokrasi modern serta Keahliannya sebagai penyanyi syair dan pantun dimana dengan mudah dia pernah menantang Gubernur Tjilik Riwut dalam adu pantun. Ia sosok yang berani melakukan tawar-menawar dalam mendapatkan izin atau dukungan pemerintah untuk sebuah proyek. Namun dilain pihak ketika ada  perayaan atau upacara, dia berubah menjadi sosok tetua adat tradisional yang klasik.
   

Seorang “Don Juan” Maanyan Pada Masanya
Pa Duno sering berada dipusat acara-acara desa: dominan selama upacara ijambe di Murutuwu, seorang orator yang kuat dengan gaya tradisional, sering terlihat ditengah-tengah acara sabung ayam atau permainan judi, mengadakan pertandingan minum dengan para tetua. Seorang penyanyi yang terampil dan improvisasi bait tradisional berima, ia selalu dinanti disebagian besar acara-acara meriah. Saat kami berada di desa, Pa Duno terlibat dalam gugatan dari seorang ayah. Dia dituduh menghamili seorang wanita muda, Semua memuji keberanian serta pilihan dari wanita muda tersebut karena Pa Duno tentu saja merupakan satu-satunya pilihan yang tepat dari pada sekelompok pemuda miskin di Murutuwu. Adat Maanyan memang memungkinkan seorang lelaki untuk mengambil istri kedua, meskipun poligami relatif jarang. Bahkan yang lebih jarang adalah perkawinan poligami. Pa Duno menikahi wanita muda yang hamil tersebut dengan tenang serta membawanya ke rumahnya untuk menunggu kelahiran anak tersebut. Karena tidak ada satu pun dari keluarganya yang benar-benar menyetujui pernikahan tembak ditempat ini, maka penikahan itu bubar dengan sendirinya setelah kelahiran si bayi.

Bertemu Pak Duno di usia senja
Pada tahun 1992 kami bertemu dengan Pa Duno, ciri khasnya adalah mengenakan topi beludru pemerintah yang berwarna hitam dan bertali emas, dia menyambut kami dengan hangat ( berusia 78 tahun 1992), ia tampak jauh lebih kecil, keriput, tulang pipi menonjol di wajahnya yang kurus. Dia mengatakan kepada kami dengan bangga bahwa 5 anaknya sendiri telah memberi dia 55 cucu dan juga 15 cicit. Kami mengenang kejadian-kejadian masa lalu dan memberinya foto-foto hasil jepretan kami saat dia menari ditahun 1963, saat dia menari sebagai dukun bawu. Dia senang melihat versi dirinya yang lebih muda - dia mungkin berusia 49 atau 50 tahun ketika kami mengambil foto - dengan tubuh bertelanjang dada, mengenakan kalung manik-manik dan gigi binatang yang bersilangan, gelang perunggu berat, sarung dan selendang tari dipinggang. Aku seolah-olah mendengar bait berirama yang keluar dari mulutnya yang mengatakan bahwa tarian ini dipersembahkan pada "tuan dari Amerika" sebelum ia memulai tariannya.

Kemudian dalam kunjungan kami ke rumahnya dimana Pa Duno dan ketiga putranya, yang berencana untuk mengadakan tarian hiburan untuk menghormati kedatangan kami, dia mengundang kami untuk datang ke desa Murutuwu. Kami akhirnya menemukan rumahnya, yang sekarang sedikit berbeda, rumahnya sekarang dibangun kembali dengan struktur yang lebih kecil, disebidang tanah yang sama dengan rumah lamanya. Istrinya sekarang sakit parah tinggal dan disana ia juga bersama putra bungsunya, serta menantu perempuan beserta tiga anak mereka yang masih kecil. Dia bukan lagi orang terkaya di Murutuwu: rumahnya kecil dan nampak belum dimodernkan. Dua tempat tidur besar dengan kelambu mendominasi ruang utama. Ada sebuah lemari dengan benda-benda pusaka: mangkuk, nampan berkaki dari kuningan, dan satu guci dengan motif naga yang indah, itu yang pertama kali kita lihat sejak kami kembali. Beberapa beralatan tari terlihat didalam rumahnya seperti gendang (karempet), satu set kangkanong dan lima buah gong dan berbagai gelang untuk menari tersimpan di bawah tempat tidur dan di balik pintu. Ruang gelap disudut sudut rumahnya juga menghasilkan persediaan kecoak yang cukup banyak, yang berkeliaran mencari makan pada malam hari.
Istrinya, sekarang (tahun 1992) berusia 80 tahun "Dia dua tahun lebih tua dari saya," kata Pak Duno, istrinya berbaring ditempat tidur. Bukan saja kehilangan penglihatannya, tetapi istrinya juga sebagian besar kehilangan ingatan dan kesadarannya. Baru-baru ini Pa Duno membawanya ke rumah sakit jiwa di Banjarmasin, serta menghabiskan hampir Rp.100.000 (kurs tahun 1992) hanya untuk transportasi saja. Dia diberi tahu pihak RS bahwa tidak ada yang bisa dilakukan dan hanya diberikan beberapa pil tidur itupun sekarang sudah habis. 


Tarian hiburan untuk penyambutan kamipun digelar, dimana penonton yang hadir mungkin mencapai 60 orang. Kerumunan terkumpul pada satu titik, di sekitar halaman depan rumah Pa Duno sebagian  duduk diteras, pagar, dan di jalan yang berdekatan. Banyak pula anak-anak yang hadir. Pertunjukan ini mencakup keseluruhan tarian dari berbagai usia. Pa Duno, mengatakan bahwa ia tidak pernah tampil lama karena pengaruh usia, ia menari bawu sebentar tetapi masih dengan ketangkasan dan keterampilan yang tinggi. Meskipun sekarang mengenakan baju dan celana tetapi dia mampu mengkomunikasikan gerakan tarian tersebut seolah olah kita semua dipindahkan ke waktu dan tempat lain. Kami mengikuti tarian hiburan malam itu sampai laut, kemudian kami bermalam dirumah mungil milik Tu Antin dan Pak Antin di sebelah rumah Pa Duno. Malam penuh kesan:
Kami diberi kasur dilantai, dengan obat nyamuk untuk mengusir serangga, sementara Pak Antin dan istrinya tidur diruang kamar sebelah. Kami disugguhkan serangkaian suara yang benar-benar baru pada malam itu seperti: babi menggaruk punggung mereka ditiang rumah, anjing melolong dan suara gumaman istri Pa Duno, buah kelapa jang jatuh menimpa atap seng. Beberapa makhluk, yang sepertinya berniat ingin menghancurkan rumah, menggesek bagian pintu depan rumah; ketika kami bangun dipagi hari, kami menemukan bahwa kambing lah pelakunya, yang menggesek-gesekan dirinya serta mengunyah sedikit papan rumah.
Sumber  :
Judith Hudson, Waiting Durian Drops (Pelham, 2001)