MATAK BATUNG (PA DUNO)
Pria Maanyan Dengan Ratusan Talenta
By : Judith Hudson (Pelham, Amerika Serikat)
ditulis ulang oleh: Hadi Saputra Miter
Popular dan
berduit
Pa Duno atau Matak Batung atau juga
Matak, adalah sosok pria yang bertubuh ramping dan tampan, berusia sekitar 48 (Tahun
1963) dia adalah tokoh yang memainkan peran penting di desa Murutuwu. Pa Duno
adalah sosok partisipan langsung dalam dunia ekonomi modern di desa Maanyan
Murutuwu. Dia sosok yang juga sering terlihat mengenakan semacam seragam
(kemeja resmi biru tua dan celana panjang), serta mengenakan topi khas yang
dikenakan pada perjalanannya keluar daerah. Dia tidak pernah segan untuk menonjolkan
dirinya ketika sekelompok pejabat pemerintah datang dan mengobrol dengan mereka.
Selain itu, ia juga nyambi sebegai rentenir (tempat berhutang para penjudi), dengan
keuntungan sepuluh persen bunga perbulan. Dia dengan seorang lelaki lain berkongsi
membangun semacam ruko di pasar Telang, tempat tersebut dia sewakan untuk tempat berdagang pada
hari pasar. Kadang-kadang, ia menyewakan tempat itu per-los, sebagai penginapan bagi orang-orang dari Mengkatip yang datang untuk memotong
rotan di sepanjang sungai di Telang dan Murtuwu. Kadang-kadang istrinya juga
membuka semacam kafe (kedai) di Telang pada hari pasar.
Dia adalah sosok yang dominan di
Murutuwu - orang terkaya disana, ia tinggal bersama istri dan ketiga putranya
disebuah rumah besar didekat sungai tempat pemandian umum. Sebagai pedagang dan
juga petani, ia berurusan dengan apa pun termasuk membeli dan menjual kembali barang
antik, banyak juga yang ia bawa langsung ke Banjarmasin untuk dijual kembali. Dia juga
makelar untuk semua jenis barang – dari barang rumah tangga yang datang dari luar,
dan juga sebagai pembeli karet, rotan, serta kayu gelondongan dari penduduk desa. Pada
Agustus 1963 dia memberi tahu kami bahwa: Gubernur Kalimantan Tengah memberinya
kontrak grosir minyak tanah untuk seluruh wilayah administratif di wilayah
kami. Dia diizinkan membeli tiga puluh tiga drum minyak tanah setiap bulan dari
perusahaan minyak, Perusahaan Minyak Nasional (Permina). Dia menghitung laba
kotornya pada bisnisnya tersebut lebih dari Rp.85.000 (untuk kurs 1963) setiap bulan.
Sosok cerdas
dan perduli dengan pendidikan
Pak Duno menjalani tiga tahun pendidikan formal pada zaman Belanda.
(Sebagai hasil dari pendidikan ini, dia menjadi fasih dalam berbahasa Indonesia
- atau bahasa Melayu) Matak bersekolah disekolah yang dikelola oleh misionaris
Jerman di Tamiang Layang, lulus dari kelas tiga. Dia jelas melihat bahwa
pendidikan akan menjadi jalan menuju masa depan keberhasilan. Semua anaknya bersekolah dan lulus setidaknya kelas enam; Anak kedua Matak, seorang putranya pada tahun kedua saat bersekolah di sekolah menengah pertama, di
Tamiang Layang saat meninggal karena sakit demam. Sedangkan, anaknya Iperman
(Pak Antin) pergi melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di Banjarmasin namun saat naik ke kelas
dua. Iperman memutuskan kembali ke Murutuwu, ia mengatakan “bahwa dia sudah muak bersekolah, dan dia sangat yakin bahwa ayahnya bisa mendapatkan posisi yang baik untuknya sebagai seorang guru.”
Ketika kami mengunjungi Murutuwu pada tahun 1992, ternyata benar Iperman telah menjadi
guru disekolah milik pemerintah di Telang, sementara putra bungsu Matak atau Iperman
menjadi guru di Murutuwu. Putra sulungnya adalah kepala desa Murutuwu ditahun 1992.
Matak adalah sosok yang mewakili kekuatan besar didunia kepercayaan tradisional dayak Maanyan. Dia memiliki kedudukan sebagai
seorang tetua adat dan menyuarakan pendapatnya dengan keras; dia bukan tipe orang
yang bisa berkompromi ketika dia yakin bahwa pendapat dia benar. Dia jua
seorang wadian yang terampil dan penyanyi (tumet) serta penari terkenal. Saya
tidak bertanta dengannya tentang bagaimana dia berhasil menyembunyikan
kepercayaan animisnya saat memperoleh pendidikan dari sekolah misi dari para
misionaris di Tamiang Layang yang dikenal sangat ketat serta melarang
partisipasi murid-murid mereka dalam segala jenis kegiatan kafir, terutama
upacara balian dan dukun. Sebagai orang dewasa, Matak merasa nyaman hidup dalam
kedua bidang yaitu politik birokrasi
modern serta Keahliannya sebagai penyanyi syair dan pantun dimana dengan mudah dia
pernah menantang Gubernur Tjilik Riwut dalam adu pantun. Ia sosok yang berani
melakukan tawar-menawar dalam mendapatkan izin atau dukungan pemerintah untuk
sebuah proyek. Namun dilain pihak ketika ada perayaan atau upacara, dia berubah menjadi
sosok tetua adat tradisional yang klasik.
Seorang “Don Juan” Maanyan Pada Masanya
Pa
Duno sering berada dipusat acara-acara desa: dominan selama upacara ijambe di
Murutuwu, seorang orator yang kuat dengan gaya tradisional, sering terlihat ditengah-tengah
acara sabung ayam atau permainan judi, mengadakan pertandingan minum dengan
para tetua. Seorang penyanyi yang terampil dan
improvisasi bait tradisional berima, ia selalu dinanti disebagian besar
acara-acara meriah. Saat kami berada di desa, Pa Duno
terlibat dalam gugatan dari seorang ayah. Dia dituduh menghamili
seorang wanita muda, Semua memuji keberanian serta pilihan dari wanita
muda tersebut karena Pa Duno tentu saja merupakan satu-satunya pilihan yang tepat
dari pada sekelompok pemuda miskin di Murutuwu. Adat Maanyan memang memungkinkan
seorang lelaki untuk mengambil istri kedua, meskipun poligami relatif jarang.
Bahkan yang lebih jarang adalah perkawinan poligami. Pa Duno menikahi wanita
muda yang hamil tersebut dengan tenang serta membawanya ke rumahnya untuk
menunggu kelahiran anak tersebut. Karena tidak ada satu pun dari keluarganya
yang benar-benar menyetujui pernikahan tembak ditempat ini, maka penikahan itu bubar
dengan sendirinya setelah kelahiran si bayi.
Bertemu Pak
Duno di usia senja
Pada tahun 1992 kami bertemu dengan Pa Duno, ciri khasnya adalah mengenakan
topi beludru pemerintah yang berwarna hitam dan bertali emas, dia menyambut kami dengan hangat ( berusia
78 tahun 1992), ia tampak jauh lebih kecil, keriput, tulang pipi menonjol di
wajahnya yang kurus. Dia mengatakan kepada kami dengan bangga bahwa 5 anaknya
sendiri telah memberi dia 55 cucu dan juga 15 cicit. Kami mengenang
kejadian-kejadian masa lalu dan memberinya foto-foto hasil jepretan kami saat
dia menari ditahun 1963, saat dia menari sebagai dukun bawu. Dia senang melihat
versi dirinya yang lebih muda - dia mungkin berusia 49 atau 50 tahun ketika
kami mengambil foto - dengan tubuh bertelanjang dada, mengenakan kalung
manik-manik dan gigi binatang yang bersilangan, gelang perunggu berat, sarung
dan selendang tari dipinggang. Aku seolah-olah mendengar bait berirama yang keluar
dari mulutnya yang mengatakan bahwa tarian ini dipersembahkan pada "tuan
dari Amerika" sebelum ia memulai tariannya.
Kemudian dalam kunjungan kami ke
rumahnya dimana Pa Duno dan ketiga putranya, yang berencana untuk mengadakan tarian
hiburan untuk menghormati kedatangan kami, dia mengundang kami untuk datang ke desa
Murutuwu. Kami akhirnya menemukan rumahnya, yang sekarang sedikit berbeda,
rumahnya sekarang dibangun kembali dengan struktur yang lebih kecil, disebidang tanah
yang sama dengan rumah lamanya. Istrinya sekarang sakit parah tinggal dan disana ia juga bersama putra bungsunya, serta menantu perempuan beserta tiga anak mereka
yang masih kecil. Dia bukan lagi orang terkaya di Murutuwu: rumahnya kecil dan
nampak belum dimodernkan. Dua tempat tidur besar dengan kelambu mendominasi ruang
utama. Ada sebuah lemari dengan benda-benda pusaka: mangkuk, nampan berkaki dari
kuningan, dan satu guci dengan motif naga yang indah, itu yang pertama kali
kita lihat sejak kami kembali. Beberapa beralatan tari terlihat didalam
rumahnya seperti gendang (karempet), satu set kangkanong dan lima buah gong dan
berbagai gelang untuk menari tersimpan di bawah tempat tidur dan di balik
pintu. Ruang gelap disudut sudut rumahnya juga menghasilkan persediaan kecoak yang
cukup banyak, yang berkeliaran mencari makan pada malam hari.
Istrinya, sekarang (tahun 1992) berusia
80 tahun "Dia dua tahun lebih tua dari saya," kata Pak Duno, istrinya
berbaring ditempat tidur. Bukan saja kehilangan penglihatannya, tetapi istrinya
juga sebagian besar kehilangan ingatan dan kesadarannya. Baru-baru ini Pa Duno
membawanya ke rumah sakit jiwa di Banjarmasin, serta menghabiskan hampir
Rp.100.000 (kurs tahun 1992) hanya untuk transportasi saja. Dia diberi tahu pihak
RS bahwa tidak ada yang bisa dilakukan dan hanya diberikan beberapa pil tidur itupun
sekarang sudah habis.
Tarian hiburan untuk penyambutan kamipun
digelar, dimana penonton yang hadir mungkin mencapai 60 orang. Kerumunan terkumpul
pada satu titik, di sekitar halaman depan rumah Pa Duno sebagian duduk diteras, pagar, dan di jalan yang
berdekatan. Banyak pula anak-anak yang hadir. Pertunjukan ini mencakup
keseluruhan tarian dari berbagai usia. Pa Duno, mengatakan bahwa ia tidak
pernah tampil lama karena pengaruh usia, ia menari bawu sebentar tetapi masih
dengan ketangkasan dan keterampilan yang tinggi. Meskipun sekarang mengenakan
baju dan celana tetapi dia mampu mengkomunikasikan gerakan tarian tersebut
seolah olah kita semua dipindahkan ke waktu dan tempat lain. Kami mengikuti tarian
hiburan malam itu sampai laut, kemudian kami bermalam dirumah mungil milik Tu Antin
dan Pak Antin di sebelah rumah Pa Duno. Malam penuh kesan:
Kami diberi kasur dilantai, dengan
obat nyamuk untuk mengusir serangga, sementara Pak Antin dan istrinya tidur
diruang kamar sebelah. Kami disugguhkan serangkaian suara yang benar-benar baru
pada malam itu seperti: babi menggaruk punggung mereka ditiang rumah, anjing melolong dan suara
gumaman istri Pa Duno, buah kelapa jang jatuh menimpa atap seng. Beberapa makhluk, yang sepertinya berniat ingin menghancurkan
rumah, menggesek bagian pintu depan rumah; ketika kami bangun dipagi hari, kami
menemukan bahwa kambing lah pelakunya, yang menggesek-gesekan dirinya serta
mengunyah sedikit papan rumah.
Sumber :
Judith Hudson, Waiting Durian Drops (Pelham, 2001)
Ta'un 1992 ri amput aku nanya / nanja kinsai galang bawo lagi aq rumis pd dlm rangka menyuguhkan tarian pakai tuan Hudson wkt iru.. Udeu-udeu
BalasHapus