TONGGAK
SEJARAH PENDIDIKAN
DALAM
MASYARAKAT MA’ANYAN
Sekolah milik Zending di Tamiang Layang tahun 1927
(Dok: milik Zending Basel Swiss)
Ditulis:
Hadi Saputra Miter
Ulun
Ma’anyan Sebagai Masyarakat Yang Lugu
Ulun Ma’anyan dalam memperoleh
pendidikan biasanya mendapatkan secara alami, dalam pengertian didapatkan dengan
dasar naluri atau insting. Apakah hal tersebut merupakan keperluan untuk
bertahan hidup seperti ikut ke ladang, mencari ikan di sungai, menangkap burung
dan juga budi pekerti serta norma adat istiadat. Yang didapatkan dari nasehat atau petuah orang tua atau
bahkan dari cerita (Tanuhui) yang
diselipkan pesan moral.
Orang Dayak bisa dikatakan lugu,
hal tersebut membuat mereka menjadi korban penguasa lokal saat itu, dimana
kekuatan feodal yang mendominasi orang-orang dayak termasuk ulun ma’anyan ialah
Kesultanan Banjar. Sehingga sejarah mencatat ulun Ma’anyan berada dibawah kendali kesutanan Banjar, baik secara sosial maupun
secara ekonomi.
“para sultan Banjarmasin dalam soal perdagangan menjalankan politik
tertutup bagi suku-suku Daya (K) di pedalaman. Mereka tidak diperbolehkan
menjual hasil hutan dan lainnya secara langsung kepada pedagang asing. Hasil
hutan dan lainnya hanya boleh dijual dan dibeli diperbatasan kesultanan dengan
harga murah, lalu diangkut ke Banjarmasin dan dijual kepada orang luar negri
dengan harga mahal”.[1]
Dalam menarik pajak kepada orang dayak pada khususnya Ulun Ma’anyan maka
pihak Banjar terkadang mengirimkan orang Bakumpai, dan menurut Antropolog DR Marko
Mahin, bahwa
pihak Banjar juga kadang mengangkat orang lokal yang dianggap setia untuk
mengumpulkan pajak dan upeti yang diserahkan ke Banjarmasin, mereka dianugrahi
gelar seperti Raden, Tumenggung, Patinggi dll.
Sampai pada saat dimana Kesultanan Banjar secara resmi menyerahkan tanah
jajahannya kepada pihak Belanda hal tersebut dikenal dengan perjanjian sultan
adam, hal itu terjadi pada 4 mei 1826 dimana pejabat senior Belanda M.H.
Halewijn melakukan penandatanganan kontrak dengan Sultan Adam. Dimana pihak
kesultanan Banjar diwakili Sultan Adam menyerahkan tanah-tanahnya kepada
Belanda atas:
"Pulau Tatas dan Sungai Kuin sampai tepi sungai Antasan Kecil;Pulau Burung dan daratan Sungai Maesa sampai Tanah Laut; Sepanjang Sungai Barito Sampai ke Tanah Dusun sejauh Siang; perbatasan Pontianak, Termasuk Sungai Dayak Kecil dan sungai Dayak Besar. Dan pada 18 maret 1845 Sultan Adam bersama dengan Sultan muda dan Ratu Anom Mangkubumi Kencana membagi secara sah antara Tanah Gubernemen (Pemerintah Belanda) dengan Tanah-Tanah Kerajaan."
"Pulau Tatas dan Sungai Kuin sampai tepi sungai Antasan Kecil;Pulau Burung dan daratan Sungai Maesa sampai Tanah Laut; Sepanjang Sungai Barito Sampai ke Tanah Dusun sejauh Siang; perbatasan Pontianak, Termasuk Sungai Dayak Kecil dan sungai Dayak Besar. Dan pada 18 maret 1845 Sultan Adam bersama dengan Sultan muda dan Ratu Anom Mangkubumi Kencana membagi secara sah antara Tanah Gubernemen (Pemerintah Belanda) dengan Tanah-Tanah Kerajaan."
Sekolah di desa Waman (Bamban)
dekat Pasar Panas tahun 1920an
(dok:Zending Basel Swiss)
Ulun
Ma’anyan mendapatkan pendidikan Formal pertama kali
Dari Jerman munculah lembaga Penginjilan
(Zending) yang disebut dengan Rheinische
Mission-gesellschaft (selanjutnya ditulis dengan RMG) yang mengirimkan tenaga penginjilnya pada tahun 1834 kewilayah kolonial Belanda, untuk dapat bertugas di Borneo maka haruslah mendapatkan ijin resmi dari pemerintah Kolonial Belanda. Setelah dapat ijin, maka diutuslah Carl Barnstein pada tanggal 26
juni 1835 datang ke Banjarmasin, kemudian Barnstein memperkenalkan pendidikan resmi, dengan mendirikan sekolah di
Banjarmasin. Setelah dianggap berhasil dan memungkinkan untuk menambah pelayanan, maka RMG menambah personil dengan mengirimkan
beberapa Missionarisnya ke Kalimantan. Pemerintah Belanda pun nampaknya menghormati agama Islam yang dimiliki oleh Kesultanan Banjar. maka pihak Kolonial hanya
mengijinkan pekabaran injil dilakukan di Tanah-tanah Gubernemen (milik
Pemerintah Belanda), sedangkan ditanah yang dianggap milik kesultanan Banjar
tidak diijinkan.
Danninger seorang pembersih cerobong asap yang bertobat, yang dilatih
untuk menjadi pekerja Missi Zending RMG di Barmen Jerman, dan pada Oktober 1847 perjalanan hidupnya sebagai seorang utusan misi dimulai, dia dikirim ke Kalimantan. Di Kalimantan Daninger dipercaya mengelola sebuah stasi (pusat penginjilan) di kampung Ulun Ma'anyan tepatnya di Murutuwu. Danninger mendirikan sekolah yang dihadiri
oleh anak-anak setempat dan juga beberapa perkampungan Ma’anyan sekitarnya,
serta ditambah peraturan pemerintah Belanda pada tahun 1846 yang mewajibkan
anak-anak pada usia tertentu untuk bersekolah.[2] Mengenai sekolah yang didirikan oleh Danninger, C.Banggert seorang pejabat
pemerintah Belanda untuk daerah Bakumpai dan Dusun Hilir yang berkedudukan di
Marabahan saat melakukan perjalanan ke Murutuwu sekitar
bulan mei sampai juli tahun 1857, Banggert menulis:
Untuk sekolah nampaknya berbuah baik, pendidikan yang bertahap sukses
mengendalikan pemikiran yang tidak masuk akal (takhayul) digenerasi ini kelak,
serta menanamkan moralitas yang baik.
Sekolah dikunjungi oleh berbagai usia. Anak-anak dayak nampaknya mampu
mengikuti pelajaran dengan mudah. Saya melihat anak-anak itu duduk
bersama-sama, memperhatikan dengan seksama tentang pelajaran berhitung dan
terkadang membaca sesuatu dengan nyaring. Terkadang saat musim panen tiba
sekolah menjadi kosong, pengajaran dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu
dan bahasa dayak Ngaju dialek Pulau Petak, sedangkan untuk menulis mereka
diajarkan tulisan huruf latin dan huruf Arab (nampaknya karena kesultanan
Banjar menggunakan tulisan-tulisan Arab, agar orang-orang dayak bisa
memahaminya). Nampaknya pengetahuan geografi anak-anak dayak hanya terbatas
pada Palestina saja, hal itu karena saya hanya melihat peta Palestina saja
didinding sekolah mereka.[3]
Pendidikan pertama yang dilaksanakan
Daningger merupakan sebuah tonggak perubahan yang besar dimana C.Banggert, saat
berada di kampung Dayu pada tahun 1857. Bertemu dengan orang-orang Ma’anyan yang bisa
baca tulis, rupannya mereka diajarkan baca tulis oleh para pemuda yang pernah merasakan bersekolah
disekolah milik Missionaris Daninger di Murtuwu.
CARL JOHANN KLAMMER yang juga seorang missionaris RMG, pada tanggal 28 agustus 1857 Klammer mendirikan sekolah di
Tamiang Layang. Sekolah yang didirikan Klammer mendapatkan sambutan positif, hal tersebut pastilah
setelah masyarakat mendapat kabar tentang sekolah milik Danninger di Murutuwu, yang memberikan banyak hal
baik kepada masyarakat. Terlebih ditambah lagi dengan peraturan pemerintah Belanda yang
mewajibkan anak-anak daerah jajahan untuk bersekolah.
Namun sekolah-sekolah yang didirikan oleh RMG ini terpaksa harus ditutup, karena pergolakan
politik (dimana pihak Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar, dan Hidayatulah tidak terima. Hidayat mengobarkan kampanye anti kulit putih) yang terjadi akibat pemberontakan Pangeran Hidayat. peristiwa tersebut meletus secara bertahap dimulai
dari tanggal 1 mei 1859 menyebar menjadi teror berdarah, yang membuat banyak korban orang-orang kulit putih, diantaranya termasuk sebagian Missionaris RMG.
Pendidikan Dan Sekolah Dibangun Kembali.
Setelah
jaminan keamanan diberikan oleh para kepala suku Dayak, beserta perlindungan secara militer oleh pemerintah Belanda. Maka persekolahan dapat dijalankan kembali,
maka sekolah-sekolah rakyat itu pun dibangun kembali. Sekolah lazim disebut dengan Volkschool dan Vervolgschool, untuk membantu pengajaran di sekolah maka diperlukan tenaga dari orang-orang dayak maka didirikan pula sekolah guru di Kapuas tahun 1872 namun
sekolah ini dipindahkan ke Depok. Pada tahun 1878 tokoh Ma’anyan seperti Albert Blantan. Mendapat
pendidikan guru di Depok. Kemudian baru tahun 1902 didirikan Seminarie (Particulire Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers) di Banjarmasin
yang melahirkan banyak guru-guru Ma’anyan.
Itulah sekilas
sejarah singkat bagaimana banyaknya lahir Ulun Ma’anyan berpendidikan formal,
dari rentang tahun 1850an sampai sekarang. Jadi janganlah juga kita lupakan bahwa suka
tidak suka, pendidikan formal tersebut justru hadir dan didapatkan dari pihak asing. dimana pihak kolonial banyak memberi juga hal positif bukan hanya hal negatif.
Muda-mudahan tulisan ini bisa menjadi informasi bermanfaat bagi generasi Ma'anyan sekarang.
Sumber :
Dokumentasi wali gereja , Sejarah Gereja Katolik di Indonesia
(Jakarta,KWI: 1974).
Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial,
Politik, Etnis, Dan Dinasti Perlawanan Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah 1859-1906 (Jakarta:Balai Pustaka 2001)
C. Bangert, Verslag der reis in de binnenwaarts gelegene streken
van Doessoen Ilir, (Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860)
Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak (Jakarta:BPK Gunung
Mulia 2001)
Fri
[1] Dokumentasi Wali Gereja , Sejarah
Gereja Katolik di Indonesia
(Jakarta,KWI: 1974) 337
[2] Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial,
Politik, Etnis, Dan Dinasti Perlawanan Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah 1859-1906 (Jakarta:Balai Pustaka 2001) 89
[3] C. Bangert, Verslag
der reis in de binnenwaarts gelegene streken van Doessoen Ilir, (Indische
Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860)
Hadi...teka awe hanyu kaiyuh foto datu' kami??? (Albert Blantan)... naan hang sampul kronologi blog nu.....balalu kami sa puang uweng nyimuh foto sa ina.
BalasHapusthanks.
teka arsip Basel Mission hang Swiss..ibu Claudia Within sa ngami
Hapus