Jumat, 19 April 2013

TONGGAK SEJARAH AWAL PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT MA’ANYAN


 TONGGAK SEJARAH PENDIDIKAN
DALAM MASYARAKAT MA’ANYAN
Sekolah milik Zending di Tamiang Layang tahun 1927 
(Dok: milik Zending Basel Swiss)

Ditulis:
Hadi Saputra Miter


Ulun Ma’anyan Sebagai Masyarakat Yang Lugu
    Ulun Ma’anyan dalam memperoleh pendidikan biasanya mendapatkan secara alami, dalam pengertian didapatkan dengan dasar naluri atau insting. Apakah hal tersebut merupakan keperluan untuk bertahan hidup seperti ikut ke ladang, mencari ikan di sungai, menangkap burung dan juga budi pekerti serta norma adat istiadat. Yang didapatkan dari nasehat atau petuah orang tua atau bahkan dari cerita (Tanuhui) yang diselipkan pesan moral.
    Orang Dayak bisa dikatakan lugu, hal tersebut membuat mereka menjadi korban penguasa lokal saat itu, dimana kekuatan feodal yang mendominasi orang-orang dayak termasuk ulun ma’anyan ialah Kesultanan Banjar. Sehingga sejarah mencatat ulun Ma’anyan berada dibawah kendali  kesutanan Banjar, baik secara sosial maupun secara ekonomi.
“para sultan Banjarmasin dalam soal perdagangan menjalankan politik tertutup bagi suku-suku Daya (K) di pedalaman. Mereka tidak diperbolehkan menjual hasil hutan dan lainnya secara langsung kepada pedagang asing. Hasil hutan dan lainnya hanya boleh dijual dan dibeli diperbatasan kesultanan dengan harga murah, lalu diangkut ke Banjarmasin dan dijual kepada orang luar negri dengan harga mahal”.[1]
  Dalam menarik pajak kepada orang dayak pada khususnya Ulun Ma’anyan maka pihak Banjar terkadang mengirimkan orang Bakumpai, dan menurut Antropolog DR Marko Mahin, bahwa pihak Banjar juga kadang mengangkat orang lokal yang dianggap setia untuk mengumpulkan pajak dan upeti yang diserahkan ke Banjarmasin, mereka dianugrahi gelar seperti Raden, Tumenggung, Patinggi dll.
      Sampai pada saat dimana Kesultanan Banjar secara resmi menyerahkan tanah jajahannya kepada pihak Belanda hal tersebut dikenal dengan perjanjian sultan adam, hal itu terjadi pada 4 mei 1826 dimana pejabat senior Belanda M.H. Halewijn melakukan penandatanganan kontrak dengan Sultan Adam. Dimana pihak kesultanan Banjar diwakili Sultan Adam menyerahkan tanah-tanahnya kepada Belanda atas:
"Pulau Tatas dan Sungai Kuin sampai tepi sungai Antasan Kecil;Pulau Burung dan daratan Sungai Maesa sampai Tanah Laut; Sepanjang Sungai Barito Sampai ke Tanah Dusun sejauh Siang; perbatasan Pontianak, Termasuk Sungai Dayak Kecil dan sungai Dayak Besar. Dan pada 18 maret 1845 Sultan Adam bersama dengan Sultan muda dan Ratu Anom Mangkubumi Kencana membagi secara sah antara Tanah Gubernemen (Pemerintah Belanda) dengan Tanah-Tanah Kerajaan."

Sekolah di desa Waman (Bamban) 
dekat Pasar Panas tahun 1920an
(dok:Zending Basel Swiss)

Ulun Ma’anyan mendapatkan pendidikan Formal pertama kali
    Dari Jerman munculah lembaga Penginjilan (Zending) yang disebut dengan Rheinische Mission-gesellschaft (selanjutnya ditulis dengan RMG) yang mengirimkan tenaga penginjilnya pada tahun 1834 kewilayah kolonial Belanda, untuk dapat bertugas di Borneo maka haruslah mendapatkan ijin resmi dari pemerintah Kolonial Belanda. Setelah dapat ijin, maka diutuslah Carl Barnstein pada tanggal 26 juni 1835 datang ke Banjarmasin, kemudian Barnstein memperkenalkan pendidikan resmi, dengan mendirikan sekolah di Banjarmasin. Setelah dianggap berhasil dan memungkinkan untuk menambah pelayanan, maka RMG menambah personil dengan mengirimkan beberapa Missionarisnya ke Kalimantan. Pemerintah Belanda pun nampaknya menghormati agama Islam yang dimiliki oleh Kesultanan Banjar. maka pihak Kolonial hanya mengijinkan pekabaran injil dilakukan di Tanah-tanah Gubernemen (milik Pemerintah Belanda), sedangkan ditanah yang dianggap milik kesultanan Banjar tidak diijinkan.
      Danninger seorang pembersih cerobong asap yang bertobat, yang dilatih untuk menjadi pekerja Missi Zending RMG di Barmen Jerman, dan pada Oktober 1847 perjalanan hidupnya sebagai seorang utusan misi dimulai, dia dikirim ke Kalimantan. Di Kalimantan Daninger dipercaya mengelola sebuah stasi (pusat penginjilan) di kampung Ulun Ma'anyan tepatnya di Murutuwu. Danninger mendirikan sekolah yang dihadiri oleh anak-anak setempat dan juga beberapa perkampungan Ma’anyan sekitarnya, serta ditambah peraturan pemerintah Belanda pada tahun 1846 yang mewajibkan anak-anak pada usia tertentu untuk bersekolah.[2] Mengenai sekolah yang didirikan oleh Danninger, C.Banggert seorang pejabat pemerintah Belanda untuk daerah Bakumpai dan Dusun Hilir yang berkedudukan di Marabahan saat melakukan perjalanan ke Murutuwu sekitar bulan mei sampai juli tahun 1857, Banggert menulis:
           Untuk sekolah nampaknya berbuah baik, pendidikan yang bertahap sukses mengendalikan pemikiran yang tidak masuk akal (takhayul) digenerasi ini kelak, serta menanamkan  moralitas yang baik. Sekolah dikunjungi oleh berbagai usia. Anak-anak dayak nampaknya mampu mengikuti pelajaran dengan mudah. Saya melihat anak-anak itu duduk bersama-sama, memperhatikan dengan seksama tentang pelajaran berhitung dan terkadang membaca sesuatu dengan nyaring. Terkadang saat musim panen tiba sekolah menjadi kosong, pengajaran dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu dan bahasa dayak Ngaju dialek Pulau Petak, sedangkan untuk menulis mereka diajarkan tulisan huruf latin dan huruf Arab (nampaknya karena kesultanan Banjar menggunakan tulisan-tulisan Arab, agar orang-orang dayak bisa memahaminya). Nampaknya pengetahuan geografi anak-anak dayak hanya terbatas pada Palestina saja, hal itu karena saya hanya melihat peta Palestina saja didinding sekolah mereka.[3]
     Pendidikan pertama yang dilaksanakan Daningger merupakan sebuah tonggak perubahan yang besar dimana C.Banggert, saat berada di kampung Dayu pada tahun 1857. Bertemu dengan orang-orang Ma’anyan yang bisa baca tulis, rupannya mereka diajarkan baca tulis oleh para pemuda yang pernah merasakan bersekolah disekolah milik Missionaris Daninger di Murtuwu.
     CARL JOHANN KLAMMER yang juga seorang missionaris RMG, pada tanggal 28 agustus 1857 Klammer mendirikan sekolah di Tamiang Layang. Sekolah yang didirikan Klammer mendapatkan sambutan positif, hal tersebut pastilah setelah masyarakat mendapat kabar tentang sekolah milik Danninger di Murutuwu, yang memberikan banyak hal baik kepada masyarakat. Terlebih ditambah lagi dengan peraturan pemerintah Belanda yang mewajibkan anak-anak daerah jajahan untuk bersekolah.
     Namun sekolah-sekolah yang didirikan oleh RMG ini terpaksa harus ditutup, karena pergolakan politik (dimana pihak Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar, dan Hidayatulah tidak terima. Hidayat mengobarkan kampanye anti kulit putihyang terjadi akibat pemberontakan Pangeran Hidayat. peristiwa tersebut meletus secara bertahap dimulai dari tanggal 1 mei 1859 menyebar menjadi teror berdarah, yang membuat banyak korban orang-orang kulit putih, diantaranya termasuk sebagian Missionaris RMG. 

Pendidikan Dan Sekolah Dibangun Kembali.
    Setelah jaminan keamanan diberikan oleh para kepala suku Dayak, beserta perlindungan secara militer oleh pemerintah Belanda. Maka persekolahan dapat dijalankan kembali, maka sekolah-sekolah rakyat itu pun dibangun kembali. Sekolah lazim  disebut dengan Volkschool dan Vervolgschool, untuk membantu pengajaran di sekolah maka diperlukan tenaga dari orang-orang dayak maka didirikan pula sekolah guru di Kapuas tahun 1872 namun sekolah ini dipindahkan ke Depok. Pada tahun 1878  tokoh Ma’anyan seperti Albert Blantan. Mendapat pendidikan guru di Depok. Kemudian baru tahun 1902 didirikan Seminarie (Particulire Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers) di Banjarmasin yang melahirkan banyak guru-guru Ma’anyan.
 Itulah sekilas sejarah singkat bagaimana banyaknya lahir Ulun Ma’anyan berpendidikan formal, dari rentang tahun 1850an sampai sekarang. Jadi janganlah juga kita lupakan bahwa suka tidak suka, pendidikan formal tersebut justru hadir dan didapatkan dari pihak asing. dimana pihak kolonial banyak memberi juga hal positif bukan hanya hal negatif. Muda-mudahan tulisan ini bisa menjadi informasi bermanfaat bagi generasi Ma'anyan sekarang.


Sumber :
Dokumentasi wali gereja , Sejarah Gereja Katolik  di Indonesia   (Jakarta,KWI: 1974).
Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, Dan Dinasti Perlawanan Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta:Balai Pustaka 2001)
C. Bangert, Verslag der reis in de binnenwaarts gelegene streken van Doessoen Ilir, (Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860)
Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak (Jakarta:BPK Gunung Mulia 2001)
Fri




[1]        Dokumentasi Wali Gereja , Sejarah Gereja Katolik  di Indonesia (Jakarta,KWI: 1974) 337
[2]      Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, Dan Dinasti Perlawanan Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta:Balai Pustaka 2001) 89
[3]         C. Bangert, Verslag der reis in de binnenwaarts gelegene streken van Doessoen Ilir, (Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860)

2 komentar:

  1. Hadi...teka awe hanyu kaiyuh foto datu' kami??? (Albert Blantan)... naan hang sampul kronologi blog nu.....balalu kami sa puang uweng nyimuh foto sa ina.
    thanks.

    BalasHapus
    Balasan
    1. teka arsip Basel Mission hang Swiss..ibu Claudia Within sa ngami

      Hapus