SAAT SENI TERGANJAL POLITIK :
Saat Ulun Maanyan Terperangkap Pergolakan Politik 1965
By: Hadi Saputra Miter
Menari karena identitas
Saya dibesarkan dikampung Haringen, sebagai seorang Maanyan
asli saya dibesarkan dengan budaya Maanyan yang saya cintai. Setelah menyelesaikan
pendidikan saya di Tamiang layang, saya masuk militer di Palangkaraya, saya kemudian
di tugaskan di Kapuas dan menikahi seorang perawat cantik yang berasal dari
Buntoi Penda Alai, kami menetap dirumah dinas tentara di kuala Kapuas. Sebagai seorang
pemuda maanyan yang mencintai budayanya, saya sangat pandai dalam menari Bawo, sehingga banyak orang memuji kepandaian saya. Sampai pada
suatu ketika saya bertemu dengan seorang seniman dari LEKRA (Lembaga Kebudayaan
Rakyat) yang diasuh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) saya sering diajak oleh
seniman-seniman LEKRA menari kemana-mana dan saya diijinkan oleh kesatuan.
Sampai pada saat peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober) meletus
di tahun 1965, semua elemen PKI dibersihkan, ditangkap ditahan bahkan ada yang
kabar tersiar banyak anggota simpatisan PKI yang dibantai oleh militer di
Palangkaraya. Nama saya tercantum sebagai anggota PKI karena ada nama saya dalam
catatan anggota penari LEKRA yang notabene sebagai bagian dari PKI. Semua menjadi
kacau istri saya dipecat sebagai perawat, sedangkan saya langsung diberhentikan
dari kesatuan sebagai seorang tentara.
Saya sempat ditahan, namun karena saya memang banyak kenal
tentara disitu maka saya tidak diapa-apakan sehingga sekitar beberapa bulan
kemudian saya dibebaskan, kami diusir barang-barang kami dibuang diteriaki
komunis anjing dan sebagainya. Semua kawan seolah menjauhi saya dan istri,
walaupun saya dilepaskan namun tetap wajib lapor dan KTP saya ditandai sebagai
Eks Tapol yang dianggap terlibat G/30 S (gerakan 30 September) hilanglah semua
hak hidup saya sebagai seorang Warga Negara. Istri saya mengajak untuk pulang
kekampung nya yaitu Buntoi, stigma sebagai PKI membuat saya dan istri
terkucilkan baik digereja, ditempat keramaian sampai ngobrol-ngobrol dengan
orang pun sering dicibir. Saya sering berpikir sungguh tragis nasibku hanya
karena menari atas rasa bangga sabagai Ulun Maanyan, akhirnya membuat hidup saya menjadi
ketar-ketir. Tapi satu hal bahwa saya sampai kapanpun tetap cinta dan bangga sebagi seorang putra Maanyan.
penangkapan orang-orang yang dianggap anggota
PKI (Partai Komunis Indonesia) tahun 1965an
Ulun Ma'anyan di Antara Pergulatan Idiologi dan Seni
Peneliti Amerika A.B Hudson membenarkan bahwa sekitar tahun
1962-1964 ditengah-tengah orang-orang Maanyan terdapatnya tiga lembaga kesenian
yang berafiliasi dengan partai-partai politik seperti LEKRA yang dibawah PKI,
sedangkan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dibawah PNI (Partai Nasional
Indonesia) dan BAKEDA (Badan Kesenian Dayak) namun yang paling aktif dalam
membina kesenian adalah LEKRA.
Alm Pdt.DR Fridolin Ukur juga pernah menulis bahwa pengaruh
partai PKI sangat kuat di Kalimantan, jadi pada tahun 1959 tidak aneh kalau
kantung-kantung anggota PKI banyak tersebar di Barito Timur, Kahayan dan
Kapuas. Secara pribadi saya menilai bahwa banyak Ulun Maanyan yang terlibat
Komunis bukan karena politik tetapi karena ketidak pahaman mereka, bahkan
meletusnya GESTOK sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Mereka hanya
korban dari perang dingin antara dua kubu besar Komunis dan Kapitalis pada masa
silam.
Sumber:
Sumber:
Gerry van
Klinken, Colonizing Borneo:
State-building and Ethnicity in Central Kalimantan.(Cornell University
2004).
Fridolin Ukur,
Tuayannya Sungguh Banyak (Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2002).
Korespondensi
Saudari Ajarani Mangkujati Djandam dengan Alferd Bacon Hudson, di Massecusett
Amerika Serikat Vie E-mail, tahun 2003
Wawancara
penulis dengan Bapak Lidi Bandjeng di Buntoi Kab. Pulang Pisau, tahun 2006.
Arsip Pidato Kawan Messer Tanggap Peleng
(Sekretaris CDB PKI Kalimantan Tengah) tahun 1957.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar