Selasa, 22 Februari 2022

HARI HARI TERAKHIR MISIONARIS FAIGE : Menurut Surat Istrinya, Auguste Faige Hacklender

 HARI HARI TERAKHIR MISIONARIS FAIGE :

Menurut Surat Istrinya, Auguste Faige Hacklender

ditulis ulang : Hadi S. Miter

 Auguste Faige Hacklender




Pembukaan

Sepucuk surat yang dikirimkan Ny Faige kepada badan missi yang ada diJerman surat ditulis pada tahun 1901 isinya merupakan saat saat terakhir dari Missionaris Faige yang nampaknya sudah sakit sejak lama. hal yang menarik tentu saja adalah surat ini ditulis oleh seorang perempuan, karena sebagian besar tulisan para missionaris lebih banyak oleh pria, kemudian kita dapat membayangkan betapa berat yang dihadapi oleh istri missionaris Faige harus hidup ditempat yang jauh dari kampung halam serta menjadi janda. surat ini ditulis dengan lengkap saat saat terakhir sang Rasul untuk ulun Maanyan. berikut isi surat tersebut :


Isi surat tersebut

Rekan-rekan terkasih di Eropa Ketika kalimat-kalimat ini datang kepada Anda, kalian akan mendengar kabar bahwa Tuhan telah membawa suami saya yang terkasih kembali kepada diri-Nya secara tiba-tiba dan tidak terduga pada tanggal 9 Juli. Gagal jantung mengakhiri hidupnya. Semuanya karena kehendak Tuhan, dan saya dengan kerendah hati bersujud di bawah tangan-Nya, betapapun menyedihkan perpisahan yang tiba-tiba ini bagi saya. Namun ketika saya merenungkan bahwa kematian suami saya yang damai, hati saya penuh dengan pujian dan ucapan terima kasih; dia telah tertidur tanpa rasa sakit sedikit pun, namun sebagai seorang manusia yang belum mengalami kematian, dan perpisahan yang tiba-tiba membuat kesedihan yang mendalam memenuhi hatiku. Dalam dua tahun terakhir, suami saya menjadi sangat gemuk, yang membuatnya menjadi semakin sulit bernapas. Saya tidak lagi membiarkan dia bepergian sendirian, karena saya takut terjadi sesuatu padanya. Kami berencana mengunjungi jemaat Pangelak akan bulan Juni; Missionaris Tromp menugaskan putra kami Jonathan Faige ke dekat Pangelak dan kami ingin segera mengunjunginya. Missionaris Tromp mengingatkan agar kami tidak memaksa pergi dalam waktu dekat. Musim panas/kemarau membuat perjalanan panjang  akan menjadi sulit dan terlalu berbahaya bagi kesehatan fisik. 

Setelah kami membaca Kitab Suci, pada tanggal 14 Juni dan mempercayakan diri kami dalam perlindungan Tuhan, kami tetap memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali. Dalam perjalanan saya bertanya apakah tidak sulit bagi suami saya untuk melakukan perjalanan, saya sedih dengan kesehatannya; lalu dia berkata; tidak masalah sama sekali. Setelah tiga jam perjalanan kami tiba di Taniran, di mana sebuah kereta milik Tuan Smits sudah menunggu kami. Kuda-kuda membawa kami melewati Parintik dan Bahungen,  akhirnya kami tiba di Tanjong pada pukul setengah sebelas kami merasa tidak terlalu lelah. Kami beristirahat di sana sampai hari berikutnya, karena suami saya memiliki banyak hal untuk didiskusikan dengan Controleur, dan orang-orang Melayu yang ada disana. Pagi harinya kami berangkat menuju rumah Jonathan di Haruwai pada malam hari.

Keesokan harinya, hari Minggu, ada pasar di Harowai, dan banyak orang Dusson (Dayak) berkumpul di rumah kami, lalu suami saya mengkhotbahkan Injil. Pesan ini sudah tidak asing lagi bagi mereka, karena masyarakat di sekitar sini semuanya adalah suku Pangelak dan merupakan punya ikatan sanak saudara antara satu dengan yang lain. Selama seminggu kami mengunjungi jemaat di daerah itu dengan berjalan kaki dan berpikir sudah waktunya untuk mulai bekerja dengan serius. Pada hari kamis kami berkendara bersama ke Pangelak. Dalam setahun terakhir, suami saya selalu mengeluhkan mengenai rasa mudah kelelahan dan rasa kantuk yang berat, itu membuat pekerjaan kami menjadi lebih sulit dan kami tidak tahu obatnya. Sampai di Pangelak suami saya sangat lelah, tetapi ia tetap menerima banyak tamu dan berbicara dengan guru dan dengan orang-orang disana. Pada Sabtu malam, Jonathan juga datang menyusul untuk ikut dalam baptisan dan ibadah ucapan syukur panen pada hari Minggu; Sabtu malam setelah makan malam, anak-anak nampaknya tidak datang untuk bernyanyi bersama kami; dan suami saya merasa sangat kelelahan kemudian pergi tidur, pada jam 9 aku mendengar dia memanggil. Kami bergegas mendatanginya, karena dia terjatuh di kamar. Kesedihan menyelimuti kami malam itu, serangan itu telah melemahkan suami saya sehingga dia hanya bisa memberikan kotbah singkat pada hari Minggu dan membaptis orang-orang.

Pada hari Senin kami berkendara kembali Haruwai, karena suami saya bermaksud mengunjungi orang-orang Kristen di Burum pada hari Kamis dan pulang pada hari Selasa berikutnya melalui Tewah Pupuh; dikarenakan ada orang yang sedang menunggu ingin menerima Baptisan Kudus dan jemaat ingin merayakan syukuran panen. Saya tidak ingin membiarkan suami saya pergi ke Burum sendirian dan hanya karena dia merasa cukup sehat; Controleur juga menyarankan untuk tidak melakukan perjalanan ke Tewah Pupuh, karena itu berarti kami harus melewati rawa setinggi lutut yang menutupi sebagian jalan, jadi dengan sangat menyesal kami harus membatalkan perjalanan tersebut. Putra kami, memutuskan meminta kami untuk tinggal di Haruwai setidaknya delapan hari lagi. Saya pikir ini saran yang sangat bagus, artinya kami tidak melakukan perjalanan yang sulit dalam waktu dekat. Pada hari-hari berikutnya suami saya beraktifitas seperti biasa, dia membaca kemudian berbicara dengan orang-orang, tetapi dia sedih karena harus membatalkan perjalanan ke Burum, karena ia nampak sangat kelelahan. Bahkan selama ibadah pagi dia tertidur, dan ketika saya bertanya apakah dia kesakitan, dia mengeluh bahwa kepalanya seperi ditekan beban dan dia sangat menyesal tidak bisa melakukan pelayanan dengan baik; dia melihat begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan di antara orang-orang di wilayah Dusson (wilayah Dayak Barito).

Ketika saya berbicara mengenai kesulitan dalam perjalanan, dia menjawab dengan riang dan penuh harap seperti biasa, kirta harus selalu mengandalkan Tuhan katanya; Serahkan semua kekhawatiranmu kepada-Nya, karena Dia membuat segala sesuatu menjadi baik.” Kata ini, yang hampir menjadi kata terakhirnya bagi saya, telah menjadi warisan berharga bagi saya dan telah begitu sering menguatkan saya selama masa sulit ini. Di malam hari setelah kebaktian bersama jemaat, suami saya pergi tidur pada jam 9 dan langsung tertidur biasanya aku menyusul kemudian. Di malam hari, setengah terjaga, saya mendengar suara napas yang dalam dan keras, dan ketika saya sepenuhnya terjaga, semua menjadi sunyi di rumah. Saya pergi melihat suami saya dan menemukan bahwa napasnya telah berhenti, jantungnya berhenti berdetak, dan matanya tertutup selamanya. Dia tertidur untuk pergi ke rumah Bapa, di mana tidak akan ada lagi kesedihan dan air mata. Dia sekarang mungkin melihat apa yang telah dia perjuangkan untuk orang-orang yang sangat ia cintai . Kami memandang dia berduka dan kesepian, namun kami tidak sendirian karena Tuhan, yang mengambil suami dan ayah kami tercinta dari hidup kami, tidak akan meninggalkan kami. Kami telah memutuskan membawa jasadnya ke Tameang Lajang, di mana ia dimakamkan di samping makam putranya yang sudah lama meninggal. Jemaat sangat berduka atas kepergian pendeta dan gurunya, jemaat kita menunjukan rasa sedih dan simpati mereka yang tulus.

Tuan Smits dan Appel (pemilik pekebunan tembakau Pangelak) telah banyak membantu kami, terutama Tuan Smits telah melakukan apa yang ada dalam kekuasaannya, untuk meringankan kami hari-hari sulit ini; kami berutang banyak terima kasih padanya. Controleur juga menawarkan jasanya. Saya di sini bersama anak saya Jonathan Faige untuk sementara waktu, karena Misionaris Tromp tidak membiarkan saya tinggal sendirian di Tameang Lajang; ada sedikit pekerjaan di sana dan guru Albert Blantan bertanggung jawab mengunjungi keluarga-keluarga Kristen di Tameang Layang. Umat ​​Kristen di Pangelak, sebaliknya, sangat senang karena nantinya saya hidup begitu dekat dengan mereka. Mereka dapat mengunjungi saya kapan saja.

Namun, pertama-tama, saya harus sedikit lebih kuat lagi, dan jika Tuhan menghendaki agar saya tetap bekerja dalam meleyani-Nya, Dia juga akan memberi saya kekuatan yang diperlukan untuk melakukannya. Sebelum saya meninggalkan Tameang Lajang saya mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang diseluruh kampung, dan ketika saya sampai ke kepala suku tua ada beberapa wanita yang berdiri di pintu tidak mengizinkan saya masuk. Ini mengejutkan saya, dan ketika saya memanggil kepala suku, dia tampak malu; karena dia berada di rumahnya sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk acara Wadian dan saya tidak diizinkan untuk masuk. Saya kecewa karena dia melakukan ini padahal saat ia mendengar kotbah dari Missionaris Tromp di makam suami saya pada hari Kamis dan pada hari Minggu pagi, ia nampak menyimak dengan baik! Saya tidak bisa memberi tahu pria itu bahwa saya sangat emosi, dan saya pergi dengan sedih. Ketika saya memikirkan semua doa dan air mata suami saya yang terkasih selama dua puluh tiga tahun berjuang disini, saya berkata, Kapan mata orang-orang kita terbuka, berapa banyak materi yang kita keluarkan untuk missi?; apakah kita menerima upah  dari ini? Saya mendapat pemikiran: apakah sebenarnya kita telah bekerja di sini dengan sia-sia? tetapi saya juga harus mengatakan: tidak, Tuhan juga pasti akan menghasilkan buah pada waktu-Nya dari benih ini, yang ditaburkan dengan air mata, saya percaya ini. Bahkan sebelum kepergiannya, suami saya sangat bersukacita membaptis ibu dari guru Albert Blantan. Tak terhitung banyaknya doa telah dipanjatkan untuknya, sampai akhirnya dia mengucapkan selamat tinggal pada paganisme. Sekarang dia benar-benar berubah. Walaupun putra sulungnya meninggal sebagai kafir sesaat sebelumnya; selama berhari-hari dia gemetar sampai mati. Albert Blantan bergumul dengan Tuhan untuk jiwa ini.

Haruwai, Agustus 1901.

Auguste Faige Hacklender


Penutup 
Menarik sekali isi surat berisikan hari-hari terakhir menjelang dipanggil kerumah bapa sosok dari Missionaris Faige atau tuan Tidje,ada beberapa catatan dalam surat tersebut mengani putranya Jonatan Faige yang ikut mengabdikan diri dalam pelayanan, juga kegalauan dari Albert Blantan dimana orang tuanya yang Kristen masih mempraktikan ajaran lama yang dianggap sebuah penghianatan iman. terelepas dari semua itu surat ini merupakan sebuah catatan penting untuk diketahui oleh orang-orang Maanyan.

Sumber : 

BRIEF VAN ZUSTER FEIGE. De Rijnsche zending; tijdschrift ter bevordering van het christendom in Nederlandsch Indië, 1901 Hal 141-145


Senin, 10 Januari 2022

PERJUANGAN HIDUP PEREMPUAN DAYAK KRISTEN DI BETO



PERJUANGAN HIDUP 

PEREMPUAN DAYAK KRISTEN DI BETO

Ditulis oleh Missionaris Sunderman, Tahun 1912

 Ditulis ulang :Hadi Saputra Miter



Indu Badung dengan kedua anak peruempuannya dan jemaat kristen di Beto


Menjadi istri guru di Tamiang Layang

Indue Badung atau Ineh Badung begitu dia dipanggil, dia dilahirkan di desa Teluk Betung. Ayahnya orang Dayak bernama Sandja ibunya bernama Ipak dengan 6 orang anak, yang paling bungsu adalah Indu Badung. Nama aslinya Indu Badung adalah Ambon, dia mengikuti orang tuanya ke Kuala Kapuas untuk bekerja menjadi menjadi pembantu dikediaman missionaris Zimmer, Pada tahun 1878 Stasi Tameang Layang didirikan oleh Misionaris Feige dikalangan orang Maanyan. Sekolah milik missionaris di sana kekurangan guru; tapi dari mana dia mendapatkannya?  Di Kuala Kapuas hiduplah seorang pria yang dalam banyak hal terlihat aneh, matanya buta sebelah, "juru tulis", begitulah misionaris Feige sering memanggilnya. Pria ini bernama Timotius Marat, dia telah dibaptis, missionaris Hardeland  dan mendidiknya dengan menjadi asistennya di sekolah bahkan membantunya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Dayak Ngaju. Timotius Marat akhirnya menikah dengan perempuan muda Ambon, Ambon sendiri begitu dibaptis mendapatnama baptis yaitu Jemima, mereka berangkat ke Tamiang Layang. Di Tamiang Layang Indu Badung mengajak keponakannya Musa dan anak angkatnya bersama dengannya untuk menemani sang suami Timotius Marat yang juga memboyong ibunya. Missionaris Faige memberikan gajih f10 (10 gulden) perbulan, namun gajih itu tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarga ini, untuk menambah penghasilan mereka berladang. Satu tahun di Tamiang Layang anak pertama mereka lahir, namun anak tersebut meninggal dunia saat dia baru belajar berjalan, akibat sakit panas. Ibu dari Timotius Marat juga meninggal dunia di Tamiang Layang, namun setelah beberapa tahun mereka mendapatkan 2 anak perempuan. Lambat laun semakin banyak anak yang datang ke sekolah Tamiang Layang, oleh karena itu lebih banyak lagi tuntutan bagi sosok guru; tetapi kondisi fisik Timotius Marat mulai meneurun, dan saatnya tiba ketika dia tidak dapat lagi melakukan pekerjaannya, dan seorang guru yang lebih muda harus menggantikannya. Ini bukan hal yang mudah bagi Marat dan keluarganya, karena Badan Missi Rhine tidak ada anggaran bagi pensiunan di Kalimantan saat itu. Dia tidak bisa lagi bekerja keras, dan Misionaris Feige dan istrinya tidak berdaya untuk membantu karena keterbatasan keuangan, Marat dan keluarganya akhirnya tinggal di sebuah gubuk kecil dengan kemiskinan yang parah. 

 

Pindah ke Balai Dato

Karena keadaan tanah di Tameang Lajang tidak subur dan makanan utama orang Dayak yaitu padi, jarang tumbuh subur di sana, banyak keluarga Kristen memutuskan pindah ke Balai Dato, sebuah tempat yang jaraknya 6 jam dari Tamiang Layang berjalan kaki menembus hutan. Hanya sedikit orang yang tinggal di sana, tetapi tanahnya subur dan cocok untuk padi, dan juga tanaman lain, termasuk tembakau. jadi Marat dan istrinya menyiapkan keranjang mereka, meletakkan barang-barang kebutuhan di dalamnya, menggendong putri mereka, dan pindah ke Balai Dato. Di sana mereka membangun gubuk untuk mereka di tengah hutan, Ketika saya datang ke Kalimantan dan Tameang Lajang pada tahun 1886, saya melihat gubuk dan mengenal Marat dan istrinya. Rumah itu berdiri di atas panggung setinggi dua meter dan menyerupai sarang lebah besar terbuat dari kulit kayu dan atap daun palem tidak layak untuk tempat tinggal manusia. Sebagai pendatang baru, saya perlu waktu untuk memahami bahwa pasangan dengan dua anak dapat tinggal di sana dengan bahagia dan puas. Di mana kekuatan Timotius tua tidak cukup untuk menebang pohon-pohon yang berat dan menyiapkan tempat untuk menanam padi, Indu Badong membantu dengan kekuatan besar dan tangannya sendiri, Pasangan hidup puas, meskipun mereka tidak selalu memiliki ikan atau daging untuk dimakan dengan nasi mereka, tetapi hanya dengan garam dan rempah-rempah. Nyonya Feige kadang mengirimkan pakaian untuk mereka.

Musim kemarau tahun 1885 sangat panas dan kering, pandemik kolera sampai ke Balai Dato. Salah satu orang pertama yang menjadi korban adalah Timotius Marat. Dia meninggal dengan bahagia dan damai, tetapi itu merupakan pukulan keras bagi istri dan dua gadis kecilnya. Gubuknya begitu tua dan bobrok sehingga dia tidak bisa lagi tinggal di dalamnya tanpa membahayakan hidupnya; anak-anaknya masih kecil, yang bungsu baru berusia sepuluh bulan. Seorang kerabat, seorang pemuda, yang telah tinggal bersamanya untuk sementara waktu dan membantunya, juga meninggal; jadi dia melihat dirinya sepenuhnya untuk dirinya sendiri dan menyerahkan kepada Tuhan. Sebuah keluarga Kristen mengizinkan dia untuk tinggal di rumah mereka bersama dua anaknya yang masih kecil. Indu Badung bekerja tanpa lelah dari pagi sampai sore untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pada siang hari dia berada di sawah, yang dia buat setiap tahun dengan bantuan tetangga, dan larut malam dia duduk menganyam keranjang dan tikar di bawah cahaya lampu resin. Dari hasil penjualan tikar dia membeli garam dan kebutuhan dia dan anak-anaknya. Dia membesarkan mereka dengan cara yang patut dicontoh dan dengan setia mengirim anak-anaknya ke sekolah. Pada tahun 1891 saya mendirikan stasi Beto dekat dengan kampung Balai Dato; orang-orang Kristen dan juga Indu Badong pindah dari sana ke stasi Beto, Pada tahun 1893 hujan dengan derasnya, yang merupakan hal buruk bagi orang-orang yang menanam padi dengan cara menebang sebidang hutan, membakar kayu dan menanam padi diatas abu, hujan membuat orang tidak dapat membakar lahan. Begitu pula dengan Indu Badong. Dia memanen begitu sedikit beras sehingga hampir habis dimakan sebelum panen selesai.

 

Gubuk Indue Badung di Beto

 

Istri saya datang kepada saya, memohon agar saya mengizinkannya membawa Indoe Badong dan anak-anaknya ke rumah kami. Istri saya benar-benar terbantu oleh janda tersebut, tiga anak kami yang masih kecil diasuhnya, kedatangan janda itu  ke rumah kami, dan saya tidak pernah menyesali telah memberikan persetujuan saya. Dia segera membuat dirinya dikenal sebagai pelayan yang setia dan rajin, dan dia tidak kekurangan ketangkasan yang diperlukan. Betapa setianya dia merawat anak-anak kami, dan betapa mereka memiliki cinta untuknya, sehingga dalam kebutuhan kecil mereka, mereka pergi kepadanya daripada ibu mereka. Dia telah melayani kami dengan kesetiaan selama lima tahun, tidak pernah meminta upah apa pun. Dia selalu berkata kepada saya, "Apa yang anda berikan kepada saya sangat cukup". Putri sulungnya juga segera belajar melakukan segala macam hal di rumah dan diajari membaca, menulis, dan menjahit oleh istri saya. Putri bungsunya Fransiska adalah teman bermain yang baik untuk anak-anak kami.  

Pada tahun 1898 kami berangkat ke Jerman untuk cuti, dan Indue Badung menemani kami sampai ke Banjarmasin. Saat di kapal dia mengucapkan selamat tinggal sambil menangis kepada kami dan anak-anak kami, yang sangat dia cintai seperti anaknya sendiri. Setelah keberangkatan kami, dia tinggal bersama missionaris Tromp dan melayani mereka. Putri sulungnya menikah dengan seorang pemuda dari Jemaat Tameang Layang. 

 

Kembali Ke Tamiang Layang

Ketika saya kembali ke Beto, sayangnya sendirian, karena istri tercinta saya telah meninggal di Jerman dan saya harus meninggalkan anak-anak saya, Indu Badong datang mengunjungi saya dengan berlinang air mata, mengulurkan tangannya dan berkata: “maafkan saya menangis, karena saya terus memikirkan Njonja, yang telah menunjukkan begitu banyak cinta kepada saya dan yang mungkin tidak akan saya temui lagi”. Dia kembali tinggal bersama saya dengan putri bungsunya, dan ketika Tuhan mengijinkan saya kemudian menikah kembali, Indu Badong kembali senang dan melayani Njonja yang baru. Tak lama kemudian, ketika banyak kemalangan menimpa rumah kami dan istri saya jatuh sakit, Indoe Badong sangat berharga bagi kami dimana selama enam minggu dia merawat Godfried kecil kami dengan perawatan yang setia dan tak kenal lelah, tanpa meminta imbalan apapun yang diberikan kepadanya. Kami harus kembali ke tanah Eropa untuk pengobatan istri saya dan lagi-lagi ada perpisahan yang melankolis di atas kapal di Bandjermasin, Indue Badung sangat sedih, bahwa ia harus berpisah dengan bayi kami Godfried yang hampir tidak pernah berpisah dengannya. Putri bungsunya sementara itu menikah dengan seorang guru muda di Tamiang Layang, dan karena putri sulungnya juga tinggal di Tamiang Layang, dia juga memutuskan untuk tinggal dengan anak-anaknya, membantu merawat cucunya. Saya juga tidak akan melupakan wanita tua yang setia itu, dan doa saya untuknya adalah agar Tuhan memberinya banyak sukacita dan kedamaian setelah hidupnya yang penuh peristiwa pahit, berharap dalam iman Kristen suatu hari dia dapat memasuki rumah Bapa dalam kebahagiaan.

Sumber :

SUNDERMANN, HE TROUWE DAJAKSCHE VROÃœW, Uitgegeven door de Half stuivers- Vereeniging der Rijnsche Zending. 1912