HARI HARI TERAKHIR MISIONARIS FAIGE :
Menurut Surat Istrinya, Auguste Faige Hacklender
ditulis ulang : Hadi S. Miter
Pembukaan
Sepucuk surat yang dikirimkan Ny Faige kepada badan missi yang ada diJerman surat ditulis pada tahun 1901 isinya merupakan saat saat terakhir dari Missionaris Faige yang nampaknya sudah sakit sejak lama. hal yang menarik tentu saja adalah surat ini ditulis oleh seorang perempuan, karena sebagian besar tulisan para missionaris lebih banyak oleh pria, kemudian kita dapat membayangkan betapa berat yang dihadapi oleh istri missionaris Faige harus hidup ditempat yang jauh dari kampung halam serta menjadi janda. surat ini ditulis dengan lengkap saat saat terakhir sang Rasul untuk ulun Maanyan. berikut isi surat tersebut :
Isi surat tersebut
Rekan-rekan terkasih di Eropa Ketika kalimat-kalimat ini datang kepada Anda, kalian akan mendengar kabar bahwa Tuhan telah membawa suami saya yang terkasih kembali kepada diri-Nya secara tiba-tiba dan tidak terduga pada tanggal 9 Juli. Gagal jantung mengakhiri hidupnya. Semuanya karena kehendak Tuhan, dan saya dengan kerendah hati bersujud di bawah tangan-Nya, betapapun menyedihkan perpisahan yang tiba-tiba ini bagi saya. Namun ketika saya merenungkan bahwa kematian suami saya yang damai, hati saya penuh dengan pujian dan ucapan terima kasih; dia telah tertidur tanpa rasa sakit sedikit pun, namun sebagai seorang manusia yang belum mengalami kematian, dan perpisahan yang tiba-tiba membuat kesedihan yang mendalam memenuhi hatiku. Dalam dua tahun terakhir, suami saya menjadi sangat gemuk, yang membuatnya menjadi semakin sulit bernapas. Saya tidak lagi membiarkan dia bepergian sendirian, karena saya takut terjadi sesuatu padanya. Kami berencana mengunjungi jemaat Pangelak akan bulan Juni; Missionaris Tromp menugaskan putra kami Jonathan Faige ke dekat Pangelak dan kami ingin segera mengunjunginya. Missionaris Tromp mengingatkan agar kami tidak memaksa pergi dalam waktu dekat. Musim panas/kemarau membuat perjalanan panjang akan menjadi sulit dan terlalu berbahaya bagi kesehatan fisik.
Setelah kami membaca Kitab Suci, pada tanggal 14 Juni dan mempercayakan diri kami dalam perlindungan Tuhan, kami tetap memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali. Dalam perjalanan saya bertanya apakah tidak sulit bagi suami saya untuk melakukan perjalanan, saya sedih dengan kesehatannya; lalu dia berkata; tidak masalah sama sekali. Setelah tiga jam perjalanan kami tiba di Taniran, di mana sebuah kereta milik Tuan Smits sudah menunggu kami. Kuda-kuda membawa kami melewati Parintik dan Bahungen, akhirnya kami tiba di Tanjong pada pukul setengah sebelas kami merasa tidak terlalu lelah. Kami beristirahat di sana sampai hari berikutnya, karena suami saya memiliki banyak hal untuk didiskusikan dengan Controleur, dan orang-orang Melayu yang ada disana. Pagi harinya kami berangkat menuju rumah Jonathan di Haruwai pada malam hari.
Keesokan harinya, hari Minggu, ada pasar di Harowai, dan banyak orang Dusson (Dayak) berkumpul di rumah kami, lalu suami saya mengkhotbahkan Injil. Pesan ini sudah tidak asing lagi bagi mereka, karena masyarakat di sekitar sini semuanya adalah suku Pangelak dan merupakan punya ikatan sanak saudara antara satu dengan yang lain. Selama seminggu kami mengunjungi jemaat di daerah itu dengan berjalan kaki dan berpikir sudah waktunya untuk mulai bekerja dengan serius. Pada hari kamis kami berkendara bersama ke Pangelak. Dalam setahun terakhir, suami saya selalu mengeluhkan mengenai rasa mudah kelelahan dan rasa kantuk yang berat, itu membuat pekerjaan kami menjadi lebih sulit dan kami tidak tahu obatnya. Sampai di Pangelak suami saya sangat lelah, tetapi ia tetap menerima banyak tamu dan berbicara dengan guru dan dengan orang-orang disana. Pada Sabtu malam, Jonathan juga datang menyusul untuk ikut dalam baptisan dan ibadah ucapan syukur panen pada hari Minggu; Sabtu malam setelah makan malam, anak-anak nampaknya tidak datang untuk bernyanyi bersama kami; dan suami saya merasa sangat kelelahan kemudian pergi tidur, pada jam 9 aku mendengar dia memanggil. Kami bergegas mendatanginya, karena dia terjatuh di kamar. Kesedihan menyelimuti kami malam itu, serangan itu telah melemahkan suami saya sehingga dia hanya bisa memberikan kotbah singkat pada hari Minggu dan membaptis orang-orang.
Pada hari Senin kami berkendara kembali Haruwai, karena suami saya bermaksud mengunjungi orang-orang Kristen di Burum pada hari Kamis dan pulang pada hari Selasa berikutnya melalui Tewah Pupuh; dikarenakan ada orang yang sedang menunggu ingin menerima Baptisan Kudus dan jemaat ingin merayakan syukuran panen. Saya tidak ingin membiarkan suami saya pergi ke Burum sendirian dan hanya karena dia merasa cukup sehat; Controleur juga menyarankan untuk tidak melakukan perjalanan ke Tewah Pupuh, karena itu berarti kami harus melewati rawa setinggi lutut yang menutupi sebagian jalan, jadi dengan sangat menyesal kami harus membatalkan perjalanan tersebut. Putra kami, memutuskan meminta kami untuk tinggal di Haruwai setidaknya delapan hari lagi. Saya pikir ini saran yang sangat bagus, artinya kami tidak melakukan perjalanan yang sulit dalam waktu dekat. Pada hari-hari berikutnya suami saya beraktifitas seperti biasa, dia membaca kemudian berbicara dengan orang-orang, tetapi dia sedih karena harus membatalkan perjalanan ke Burum, karena ia nampak sangat kelelahan. Bahkan selama ibadah pagi dia tertidur, dan ketika saya bertanya apakah dia kesakitan, dia mengeluh bahwa kepalanya seperi ditekan beban dan dia sangat menyesal tidak bisa melakukan pelayanan dengan baik; dia melihat begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan di antara orang-orang di wilayah Dusson (wilayah Dayak Barito).
Ketika saya berbicara mengenai kesulitan dalam perjalanan, dia menjawab dengan riang dan penuh harap seperti biasa, kirta harus selalu mengandalkan Tuhan katanya; Serahkan semua kekhawatiranmu kepada-Nya, karena Dia membuat segala sesuatu menjadi baik.” Kata ini, yang hampir menjadi kata terakhirnya bagi saya, telah menjadi warisan berharga bagi saya dan telah begitu sering menguatkan saya selama masa sulit ini. Di malam hari setelah kebaktian bersama jemaat, suami saya pergi tidur pada jam 9 dan langsung tertidur biasanya aku menyusul kemudian. Di malam hari, setengah terjaga, saya mendengar suara napas yang dalam dan keras, dan ketika saya sepenuhnya terjaga, semua menjadi sunyi di rumah. Saya pergi melihat suami saya dan menemukan bahwa napasnya telah berhenti, jantungnya berhenti berdetak, dan matanya tertutup selamanya. Dia tertidur untuk pergi ke rumah Bapa, di mana tidak akan ada lagi kesedihan dan air mata. Dia sekarang mungkin melihat apa yang telah dia perjuangkan untuk orang-orang yang sangat ia cintai . Kami memandang dia berduka dan kesepian, namun kami tidak sendirian karena Tuhan, yang mengambil suami dan ayah kami tercinta dari hidup kami, tidak akan meninggalkan kami. Kami telah memutuskan membawa jasadnya ke Tameang Lajang, di mana ia dimakamkan di samping makam putranya yang sudah lama meninggal. Jemaat sangat berduka atas kepergian pendeta dan gurunya, jemaat kita menunjukan rasa sedih dan simpati mereka yang tulus.
Tuan Smits dan Appel (pemilik pekebunan tembakau Pangelak) telah banyak membantu kami, terutama Tuan Smits telah melakukan apa yang ada dalam kekuasaannya, untuk meringankan kami hari-hari sulit ini; kami berutang banyak terima kasih padanya. Controleur juga menawarkan jasanya. Saya di sini bersama anak saya Jonathan Faige untuk sementara waktu, karena Misionaris Tromp tidak membiarkan saya tinggal sendirian di Tameang Lajang; ada sedikit pekerjaan di sana dan guru Albert Blantan bertanggung jawab mengunjungi keluarga-keluarga Kristen di Tameang Layang. Umat Kristen di Pangelak, sebaliknya, sangat senang karena nantinya saya hidup begitu dekat dengan mereka. Mereka dapat mengunjungi saya kapan saja.
Namun, pertama-tama, saya harus sedikit lebih kuat lagi, dan jika Tuhan menghendaki agar saya tetap bekerja dalam meleyani-Nya, Dia juga akan memberi saya kekuatan yang diperlukan untuk melakukannya. Sebelum saya meninggalkan Tameang Lajang saya mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang diseluruh kampung, dan ketika saya sampai ke kepala suku tua ada beberapa wanita yang berdiri di pintu tidak mengizinkan saya masuk. Ini mengejutkan saya, dan ketika saya memanggil kepala suku, dia tampak malu; karena dia berada di rumahnya sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk acara Wadian dan saya tidak diizinkan untuk masuk. Saya kecewa karena dia melakukan ini padahal saat ia mendengar kotbah dari Missionaris Tromp di makam suami saya pada hari Kamis dan pada hari Minggu pagi, ia nampak menyimak dengan baik! Saya tidak bisa memberi tahu pria itu bahwa saya sangat emosi, dan saya pergi dengan sedih. Ketika saya memikirkan semua doa dan air mata suami saya yang terkasih selama dua puluh tiga tahun berjuang disini, saya berkata, Kapan mata orang-orang kita terbuka, berapa banyak materi yang kita keluarkan untuk missi?; apakah kita menerima upah dari ini? Saya mendapat pemikiran: apakah sebenarnya kita telah bekerja di sini dengan sia-sia? tetapi saya juga harus mengatakan: tidak, Tuhan juga pasti akan menghasilkan buah pada waktu-Nya dari benih ini, yang ditaburkan dengan air mata, saya percaya ini. Bahkan sebelum kepergiannya, suami saya sangat bersukacita membaptis ibu dari guru Albert Blantan. Tak terhitung banyaknya doa telah dipanjatkan untuknya, sampai akhirnya dia mengucapkan selamat tinggal pada paganisme. Sekarang dia benar-benar berubah. Walaupun putra sulungnya meninggal sebagai kafir sesaat sebelumnya; selama berhari-hari dia gemetar sampai mati. Albert Blantan bergumul dengan Tuhan untuk jiwa ini.
Haruwai, Agustus 1901.
Auguste Faige Hacklender
Tidak ada komentar:
Posting Komentar