PERJUANGAN HIDUP
PEREMPUAN DAYAK KRISTEN DI BETO
Ditulis oleh Missionaris Sunderman, Tahun 1912
Ditulis ulang :Hadi Saputra Miter
Indu Badung dengan kedua anak peruempuannya dan jemaat kristen di Beto
Menjadi istri guru di Tamiang Layang
Indue Badung atau Ineh Badung begitu dia dipanggil, dia dilahirkan di desa Teluk Betung. Ayahnya orang Dayak bernama Sandja ibunya bernama Ipak dengan 6 orang anak, yang paling bungsu adalah Indu Badung. Nama aslinya Indu Badung adalah Ambon, dia mengikuti orang tuanya ke Kuala Kapuas untuk bekerja menjadi menjadi pembantu dikediaman missionaris Zimmer, Pada tahun 1878 Stasi Tameang Layang didirikan oleh Misionaris Feige dikalangan orang Maanyan. Sekolah milik missionaris di sana kekurangan guru; tapi dari mana dia mendapatkannya? Di Kuala Kapuas hiduplah seorang pria yang dalam banyak hal terlihat aneh, matanya buta sebelah, "juru tulis", begitulah misionaris Feige sering memanggilnya. Pria ini bernama Timotius Marat, dia telah dibaptis, missionaris Hardeland dan mendidiknya dengan menjadi asistennya di sekolah bahkan membantunya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Dayak Ngaju. Timotius Marat akhirnya menikah dengan perempuan muda Ambon, Ambon sendiri begitu dibaptis mendapatnama baptis yaitu Jemima, mereka berangkat ke Tamiang Layang. Di Tamiang Layang Indu Badung mengajak keponakannya Musa dan anak angkatnya bersama dengannya untuk menemani sang suami Timotius Marat yang juga memboyong ibunya. Missionaris Faige memberikan gajih f10 (10 gulden) perbulan, namun gajih itu tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarga ini, untuk menambah penghasilan mereka berladang. Satu tahun di Tamiang Layang anak pertama mereka lahir, namun anak tersebut meninggal dunia saat dia baru belajar berjalan, akibat sakit panas. Ibu dari Timotius Marat juga meninggal dunia di Tamiang Layang, namun setelah beberapa tahun mereka mendapatkan 2 anak perempuan. Lambat laun semakin banyak anak yang datang ke sekolah Tamiang Layang, oleh karena itu lebih banyak lagi tuntutan bagi sosok guru; tetapi kondisi fisik Timotius Marat mulai meneurun, dan saatnya tiba ketika dia tidak dapat lagi melakukan pekerjaannya, dan seorang guru yang lebih muda harus menggantikannya. Ini bukan hal yang mudah bagi Marat dan keluarganya, karena Badan Missi Rhine tidak ada anggaran bagi pensiunan di Kalimantan saat itu. Dia tidak bisa lagi bekerja keras, dan Misionaris Feige dan istrinya tidak berdaya untuk membantu karena keterbatasan keuangan, Marat dan keluarganya akhirnya tinggal di sebuah gubuk kecil dengan kemiskinan yang parah.
Pindah ke Balai Dato
Karena keadaan tanah di Tameang Lajang tidak subur dan makanan utama orang Dayak yaitu padi, jarang tumbuh subur di sana, banyak keluarga Kristen memutuskan pindah ke Balai Dato, sebuah tempat yang jaraknya 6 jam dari Tamiang Layang berjalan kaki menembus hutan. Hanya sedikit orang yang tinggal di sana, tetapi tanahnya subur dan cocok untuk padi, dan juga tanaman lain, termasuk tembakau. jadi Marat dan istrinya menyiapkan keranjang mereka, meletakkan barang-barang kebutuhan di dalamnya, menggendong putri mereka, dan pindah ke Balai Dato. Di sana mereka membangun gubuk untuk mereka di tengah hutan, Ketika saya datang ke Kalimantan dan Tameang Lajang pada tahun 1886, saya melihat gubuk dan mengenal Marat dan istrinya. Rumah itu berdiri di atas panggung setinggi dua meter dan menyerupai sarang lebah besar terbuat dari kulit kayu dan atap daun palem tidak layak untuk tempat tinggal manusia. Sebagai pendatang baru, saya perlu waktu untuk memahami bahwa pasangan dengan dua anak dapat tinggal di sana dengan bahagia dan puas. Di mana kekuatan Timotius tua tidak cukup untuk menebang pohon-pohon yang berat dan menyiapkan tempat untuk menanam padi, Indu Badong membantu dengan kekuatan besar dan tangannya sendiri, Pasangan hidup puas, meskipun mereka tidak selalu memiliki ikan atau daging untuk dimakan dengan nasi mereka, tetapi hanya dengan garam dan rempah-rempah. Nyonya Feige kadang mengirimkan pakaian untuk mereka.
Musim kemarau tahun 1885 sangat panas dan kering, pandemik kolera sampai ke Balai Dato. Salah satu orang pertama yang menjadi korban adalah Timotius Marat. Dia meninggal dengan bahagia dan damai, tetapi itu merupakan pukulan keras bagi istri dan dua gadis kecilnya. Gubuknya begitu tua dan bobrok sehingga dia tidak bisa lagi tinggal di dalamnya tanpa membahayakan hidupnya; anak-anaknya masih kecil, yang bungsu baru berusia sepuluh bulan. Seorang kerabat, seorang pemuda, yang telah tinggal bersamanya untuk sementara waktu dan membantunya, juga meninggal; jadi dia melihat dirinya sepenuhnya untuk dirinya sendiri dan menyerahkan kepada Tuhan. Sebuah keluarga Kristen mengizinkan dia untuk tinggal di rumah mereka bersama dua anaknya yang masih kecil. Indu Badung bekerja tanpa lelah dari pagi sampai sore untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pada siang hari dia berada di sawah, yang dia buat setiap tahun dengan bantuan tetangga, dan larut malam dia duduk menganyam keranjang dan tikar di bawah cahaya lampu resin. Dari hasil penjualan tikar dia membeli garam dan kebutuhan dia dan anak-anaknya. Dia membesarkan mereka dengan cara yang patut dicontoh dan dengan setia mengirim anak-anaknya ke sekolah. Pada tahun 1891 saya mendirikan stasi Beto dekat dengan kampung Balai Dato; orang-orang Kristen dan juga Indu Badong pindah dari sana ke stasi Beto, Pada tahun 1893 hujan dengan derasnya, yang merupakan hal buruk bagi orang-orang yang menanam padi dengan cara menebang sebidang hutan, membakar kayu dan menanam padi diatas abu, hujan membuat orang tidak dapat membakar lahan. Begitu pula dengan Indu Badong. Dia memanen begitu sedikit beras sehingga hampir habis dimakan sebelum panen selesai.
Gubuk Indue Badung di Beto
Istri saya datang kepada saya, memohon agar saya mengizinkannya membawa Indoe Badong dan anak-anaknya ke rumah kami. Istri saya benar-benar terbantu oleh janda tersebut, tiga anak kami yang masih kecil diasuhnya, kedatangan janda itu ke rumah kami, dan saya tidak pernah menyesali telah memberikan persetujuan saya. Dia segera membuat dirinya dikenal sebagai pelayan yang setia dan rajin, dan dia tidak kekurangan ketangkasan yang diperlukan. Betapa setianya dia merawat anak-anak kami, dan betapa mereka memiliki cinta untuknya, sehingga dalam kebutuhan kecil mereka, mereka pergi kepadanya daripada ibu mereka. Dia telah melayani kami dengan kesetiaan selama lima tahun, tidak pernah meminta upah apa pun. Dia selalu berkata kepada saya, "Apa yang anda berikan kepada saya sangat cukup". Putri sulungnya juga segera belajar melakukan segala macam hal di rumah dan diajari membaca, menulis, dan menjahit oleh istri saya. Putri bungsunya Fransiska adalah teman bermain yang baik untuk anak-anak kami.
Pada tahun 1898 kami berangkat ke Jerman untuk cuti, dan Indue Badung menemani kami sampai ke Banjarmasin. Saat di kapal dia mengucapkan selamat tinggal sambil menangis kepada kami dan anak-anak kami, yang sangat dia cintai seperti anaknya sendiri. Setelah keberangkatan kami, dia tinggal bersama missionaris Tromp dan melayani mereka. Putri sulungnya menikah dengan seorang pemuda dari Jemaat Tameang Layang.
Kembali Ke Tamiang Layang
Ketika saya kembali ke Beto, sayangnya sendirian, karena istri tercinta saya telah meninggal di Jerman dan saya harus meninggalkan anak-anak saya, Indu Badong datang mengunjungi saya dengan berlinang air mata, mengulurkan tangannya dan berkata: “maafkan saya menangis, karena saya terus memikirkan Njonja, yang telah menunjukkan begitu banyak cinta kepada saya dan yang mungkin tidak akan saya temui lagi”. Dia kembali tinggal bersama saya dengan putri bungsunya, dan ketika Tuhan mengijinkan saya kemudian menikah kembali, Indu Badong kembali senang dan melayani Njonja yang baru. Tak lama kemudian, ketika banyak kemalangan menimpa rumah kami dan istri saya jatuh sakit, Indoe Badong sangat berharga bagi kami dimana selama enam minggu dia merawat Godfried kecil kami dengan perawatan yang setia dan tak kenal lelah, tanpa meminta imbalan apapun yang diberikan kepadanya. Kami harus kembali ke tanah Eropa untuk pengobatan istri saya dan lagi-lagi ada perpisahan yang melankolis di atas kapal di Bandjermasin, Indue Badung sangat sedih, bahwa ia harus berpisah dengan bayi kami Godfried yang hampir tidak pernah berpisah dengannya. Putri bungsunya sementara itu menikah dengan seorang guru muda di Tamiang Layang, dan karena putri sulungnya juga tinggal di Tamiang Layang, dia juga memutuskan untuk tinggal dengan anak-anaknya, membantu merawat cucunya. Saya juga tidak akan melupakan wanita tua yang setia itu, dan doa saya untuknya adalah agar Tuhan memberinya banyak sukacita dan kedamaian setelah hidupnya yang penuh peristiwa pahit, berharap dalam iman Kristen suatu hari dia dapat memasuki rumah Bapa dalam kebahagiaan.
Sumber :
SUNDERMANN, HE TROUWE DAJAKSCHE VROÜW, Uitgegeven door de Half stuivers- Vereeniging der Rijnsche Zending. 1912
Tidak ada komentar:
Posting Komentar