Rabu, 03 Maret 2021

ULUN MAANYAN MENGAHADAPI PANDEMI DISENTRI

 

ULUN MAANYAN MENGAHADAPI PANDEMI DISENTRI


Sesajen penangkal kolera yang dibuat orang Maanyan tahun 1913


Cerita pengalaman dokter Jerman Dr. H. Bretainstein yang bertugas

di Benteng Militer Muara Teweh pada tahun 1880

(Dr. H. Bretainstein, 21 Jahre in Indien. Aus dem Tagebuche eines Militärarztes.)

disarikan kembali oleh :

Hadi Saputra Miter 


surat dari anak Sota Ono

Pada tahun 1880, putra dari kepala suku Suto-Ono menulis surat kepada saya, dalam bahasa Melayu. Dia memberi tahu saya bahwa wabah disentri telah merebak di distriknya; dia menggambarkan gejala pasien yang tidak Bahagia, sehingga gambaran tentang disentri menjadi jelas bagi saya, dan bahwa saya juga mengagumi ejaan yang tepat dan jelas dari orang Dayak ini. Buntok terletak di dekat area yang terinfeksi; Saya khawatir epidemi dapat mencapai benteng kami jika tidak dihentikan dalam perkembangannya.

Jadi dengan surat ini saya pergi kepada pejabat Cotrolleur, yang jabatannya membawahi para kepala distrik . Surat itu sangat merepotkan bagi para pejabat yang dimana saya menemui pejabat disarankan oleh Cotrolleur , karena akan berdampak dalam laporan rutin pemerintahan mereka, karena: "Kesehatan yang baik, akan menguntungkan kondisi dan jabatan politik. "

Mengapa anda mendapat izin membaca surat ini (Dia bertanya kepada saya)?

Saya beralasan mungkin saya dapat memberikan saran dan bantuan bantuan kepada orang Dayak yang malang ini, yang nampaknya menderita penyakit parah; mungkin kondisi yang higienis dapat mengurangi epidemi dan segera berakhir; Saya juga khawatir pandemic ini akan mencapai benteng, di mana 150 orang tinggal bersama dalam ruang yang relatif sempit, dan akan terlambat untuk menutupi sumur ketika anak sapi telah tenggelam. Tahukah Anda adat istiadat orang Dayak, bahwa mereka mengharapkan manfaat saran sekecil apa pun dari aturan higienis? "

“Ya, oleh karena itulah mengapa saya ingin pergi ke sana, tidak hanya untuk melihat bahwa pasien yang malang ini terbebas dari rasa sakit yang mengerikan dan sembuh, tetapi juga memeriksa kotorannya. “

Ah, sekarang saya mengerti , Dokter!...” dia melakukan gerakan menghitung uang dengan jari-jarinya. Saya tidak peduli tentang yang ia pikirkan tentang saya, tetapi saya memperingatkan dia untuk tidak memberi saya sindiran didepan wajah saya dengan sok berhitung, karena dengan begitu saya akan menggerakkan jari-jari saya juga langsung tepat di pipinya.

karena sebenarnya seolah olah dia ingin menunjukkan dengan gerakan jarinya bahwa partisipasi saya untuk orang  Dayak yang "malang" tidak lebih dari spekulasi uang saja.

Benteng Muara Teweh tahun 1880

Ekspedisi ke Telang dan Tamiang Layang

Saya kemudian pergi ke komandan militer, memberi tahu dia tentang kejadian itu, dan memintanya untuk mengambil liburan pribadi selama beberapa hari sehingga saya melakukan ekspedisi untuk mengatasi epidemi ini. Karena menurut aturan dia hanya memiliki wewenang untuk bekerja sebagai dokter di benteng selama empat hari selama saya tidak ada, dia ingin berbicara dengan pengawas tentang hal itu lagi. Meskipun ini ekspedisi kecil namun menghabiskan biaya yang besar, saya mendapat ijin selama empat hari, menyewa perahu dengan enam pendayung, membawa bahan makanan untuk empat hari. Pelayan yang menemani saya bisa berbahasa Dajak, dia adalah penerjemah, sekaligus koki, rekan kerja saya, dll.

Perahu itu sangat panjang sehingga aku berbaring di dalamnya, sedangkan para pendayung adalah orang Dajak dan pelayanku juga bisa duduk dengan nyaman dengan bersila (seperti biasa). Separuh bagian belakang perahu ada atap, yang melindungi saya dari hujan dan sinar matahari; Saya juga membawa senjata, namun dibalik itu prinsip saya bahwa satu senjata baik revolver atau pedang, tidak bisa membantu saya melawan musuh, karena lebih baik "mendapatkan kepercayaan dan pertemanan".

Ada banyak anak sungai dan Antassan antara Buntok dan Mengkatip; yaitu sungai Karrauw saya memasuki daerah yang dilanda epidemi.

Kampung Telang adalah tujuan perjalanan saya, terletak di sungai kecil dengan nama yang sama, lagi-lagi merupakan anak sungai Sungei Siong, yang mengalir ke Barito antara S. Pattai dan Karrauw (L 1 37°SB). Tepiannya memiliki semak-semak rendah; mulut sungai dipenuhi dengan kayu yang mengapung, perjalanan yang tak terlupakan; Saya harus mengganti perahu, dengan perahu kecil bernama Djukung, sehingga ekspedisi kami menjadi 3 jukung, begitu banyak kayu mengapung sehingga para pendayung kesulitan. Kadang para pendayung mengarahkan perahu kecil tersebut untuk melewati kayu-kayu tersebut; mereka keluar dari perahu dan melompat-lompat di atas balok kayu seperti cerita Paman Tom di atas es yang mengapung.

Akhirnya tujuan tercapai, jalan dengan hamparan batu kapur seputih salju yang indah yang mengarah ke rumah misionaris Faige. Saya tinggal di sini selama enam hari (hari kedatangan dan keberangkatan, yang tidak diperhitung oleh komandan militer)

Pak kepala distrik mengantar saya berkeliling, dan menemukan lapangan yang luas untuk lokasi kegiatan saya. Tempat dimana saya dapat merawat banyak pasien , missionaris Faige nampaknya kesulitan mengajarkan kebersihan kepada orang dayak. Orang Dayak meletakan jenazah korban dysentri di dalam rumah selama tiga hari, sampai akhirnya mereka memindahkan peti mati kedalam hutan; ada dua kasus tentang peti mati ada yang ditutup dengan penutup yang terbuat dari kayu memiliki lubang dengan kecil di tengah bagian bawah; untuk mengeluarkan cairan dari mayat yang membusuk. Saat jenazah masih disemayamkan dalam rumah, bau mayat dalam wadah penyimpanan cairan itu menusuk hidung , walah kadang sudah dicampur dengan minyak dan jeruk nipis. Yang kedua jenazah diletakan di ladang atau di pinggiran kampung, butuh waktu lama menunggu "festival upacara kematian". Mereka menunggu sampai jenazah benar-benar kering atau menunggu sampai punya uang. Kadang butuh waktu 1 sampai 2 tahun sebelum jenazah dikremasi.

Ketika saya tiba, sebagian besar keluarga almarhum bahkan tidak memiliki tempat untuk menampung cairan dari pembusukan mayat; mengenai kondisi epidemi tidak didiskusikan lebih lanjut karena situasi sudah agak reda. Dilain pihak tentu saja, saya tidak berhasil mengatur agar jenazah segera dikuburkan, tetapi setidaknya mereka setuju agar jenazah dalam peti mati dimasukan campuran kapur, belerang, dan abu untuk mengurangi bau. Saya juga menyarakan agar jenazah yang busuk sebaiknya jangan diletakan didalam rumah, tetapi di luar yang jauh dari perkampungan.

Keesokan harinya saya pindah ke ke Tameang Layang, di mana Pak Faige menemani saya. Menemui Seorang misionaris dari Barmer Mission Society tinggal di sini bernama Tromp bersama istri dan anaknya. Di Tamiang Layang mereka bercerita tentang keberhasilan mereka dalam memindahkan hari pasar Dayak yang biasanya diadakan setiap hari Minggu, menjadi hari Senin. Jadi pada hari keenam saya memberikan masukan kepada kedua misionaris tersebut menyadari apa yang dapat dilakukan dalam waktu singkat ini.

Saya heran kenapa Orang Dayak kulitnya tidak sekelam orang Melayu di pantai, saya melihat kulit mereka yang cerah, jadi saya meminta penjelasan dari Kepala distrik. Dengan senyuman dia menunjukkan kepadaku di kejauhan  ada reruntuhan benteng yang berdiri di sana dua puluh tahun yang lalu. Itu bagian dari adalah perbaikan ras melalui pernikahan tak resmi dengan tentara Eropa, ini mungkin akan menjadi hal yang unik di sana, karena dua puluh tahun kemudian di Muara Teweh pasti tidak ada tentara Eropa yang berani menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita Dayak.


Disentri di Hindia Belanda

Saya memberi petunjuk kepada misionaris tentang bagaimana memperlakukan para pasien dysentri malang dan meningkatkan kondisi kebersihan serta sanitasi mereka. saya juga meminta para kepala desa untuk memberi tahu saya tentang penyebaran epidemi melalui laporan mingguan, saya mendapat gambaran yang baik tentang kemajuannya, yang sayangnya sangat mengkhawatirkan saya; setiap minggu saya menerima laporan dari Kampung, yang lebih dekat ke benteng. Kami berhasul menekan penyebaran pandemic disentri dengan biaya yang tidak sedikit.

Ini adalah kasus pertama dan satu-satunya epidemi disentri yang pernah saya lihat di Hindia Belanda; Pada tahun 1895 saya melihat banyak pasien disentri di Magelang (Jawa) Memang masih ada pertanyaan apakah saat ini masih terdapat kasus disentri di Jawa. Diagnosis "disentri" sangat sering dibuat oleh orang awam. Setiap kali kasus darah muncul di tinja; padahal diagnosis ini membutuhkan lebih banyak perbandingan kasus. Dalam keadaan normal di Jawa, para dokter hampir tidak pernah melihat kasus disentri setiap tahun; Bahkan sebelum tahun 1894 diragukan apakah disenteria tropica masih terjadi di Jawa; karena di seluruh tentara dari tahun 1891 hingga 1894 ada 12, 10, 9, 14, atau rata-rata 11 pasien disentri dirawat, sehingga peristiwa ini dikaitkan apakah orang Eropa dan penduduk asli, minum air sawah tanpa menyaringnya dan merebusnya, perlu study yang lebih dalam lagi.

 

Selasa, 02 Februari 2021

DAYAK MAANYAN BUKAN ANJING KOLONIAL (seputar peran ulun Maanyan dalam revolusi kemerdekaan Indonesia)

 

DAYAK MAANYAN BUKAN ANJING KOLONIAL

by : Hadi Saputra Miter

               Sekolah Pakat Dayak di Tamiang Layang tahun 1940
 

 

Tulisan saya tentang Suta Ono yang berjudul, Suta Ono: Pahlawan Ataukah Kaki Tangan Kolonial? Lumayan memancing kontroversial.[1] Banyak yang mencaci maki bahwa Maanyan adalah penjajah dan segenap kata-kata tuduhan mengarah ke rasis. Saya menyadari bahwa ketidak samaan pandangan hadir karena mereka menggunaan kacamata dunia saat ini sebagai cermin untuk melihat masa lalu, yang tentu saja kontek's dan situasi yang berbeda. Kemudian mereka juga membandingkan bahwa Kerajaan Banjar adalah Indonesia, sedangkan Belanda Penjajah dan orang Maanyan sebagai kolaboratornya, sebuah pandangan picik yang mengekerdilkan arti sejarah. Suta Ono adalah produk Maanyan masa lalu yang merasakan bagaimana hidup dibawah kontek's tirani  raja-raja local yaitu Kesultanan Banjar yang bahkan diera belum ada yang namanya Negara Indonesia. 


Dayak menuntut keadilan

Lalu pertanyaanya apakah Maanyan itu hanya benalu negara ini, tanpa ada kontribusi apapun bagi negeri ini? Kita akan bicara apa peran orang-orang Dayak Maanyan dalam konteks pergulatan lahirnya sebuah negara yang bernama Indonesia tersebut. Para intelektual Maanyan rata-rata lahir dari pendidikan sekolah yang didirikan Zending, namun sekolah sekolah tersebut tidak diakui oleh pemerintah Belanda sebagai sekolah standart, karena untuk menjadi pegawai birokrat pemerintah Hindia Belanda harus menempuh pendidikan berstandart dari pemerintah Kolonial. Sehingga lulusan sekolah Zending (volkschool) hanya terbatas menjadi menjadi guru untuk sekolah Kristen, pegawai kantor zending saja dan memegang jabatan lokal saja (kepala adat).  Oleh karena itu pada tahun 1920an  anak-anak Dayak hanya menjadi penonton saja, sedangkan orang-orang dari suku Banjar yang hidup diperkotaan bisa mendapatkan akses pendidikan standart Hoofden School dan bekerja dibirokrasi pemerintah Belanda, serta menduduki jabatan strategis untuk orang pribumi.

  Sidang Kongres kesadaran Bangsa Dayak "Pakat Dayak"

 Pakat Dayak dan Indonesia

Atas dasar itu orang Dayak dipimpin Hoesman Baboe tahun 1922 mendirikan sebuah kelompok yang bernama “Sarikat Dayak” kemudian berubah menjadi  “Pakat Dayak” yang terinspirasi dari Sarikat Islam. Sebuah organisasi yang meminta keadilan agar orang-orang Dayak punya akses memiliki pendidikan berstandart dari pemerintah Belanda dan agar orang-orang Dayak juga bisa bekerja dibirokrasi. Karena itu Pakat Dayak mendirikan sekolah yang dinamakan Hollands Dajak school (HDS) pada 1 Juli 1924 di Desa Hampatong, Kuala Kapuas. yang kemudian sekolah-sekolah HDS juga didirikan diwilayah lain seperti juga wilayah Maanyan pada akhir 1939. sekolah tersebut berdiri dari uang anggota Pakat Dayak dan bantuan dari Badan missi jadi bukan dari pemerintah Belanda. Pada tahun 1938 dibentuk Kongres kesadaran Bangsa Dayak yang mempersatukan orang-orang Ngaju, Maanyan, Lawangan, Oot Danum dll. Sebagai upaya agar orang Dayak bisa mengirim wakil diparlement (Volkstraad) sedangkan Banjar sudah memiliki wakil di Batavia. Komite Kesadaran Bangsa Dayak memberikan dua putra Maanyan terbaik yaitu Cornelis Luran dan Doeradjat, kelahiran Telang:

Ketua         : Mahir Mahar.

Wakil          : E.S Handoeran.

Sekertaris : Cornelis Luran.

Komisi I   : Doeradjat.

Tokoh Maanyan dari Pakat Dayak, Cornelis Luran
                

Media propaganda Pakat Dayak "Suara Pakat"

Kelompok ini juga memiliki corong propaganda yang bernama Suara Pakat, yang mulai membicarakan ide-ide nasional mengenai isu kemerdekaan bangsa Dayak dan Indonesia Raya. Suara pakat edisi 1940 menulis :

“Pakat Dajak berdiri boeat menpesatoekan Indonesir Dajak, mengkat deradjat martabat dan hakekat Indonesir dajak atau mengambil tindakan akan menjelma hak Indonesir Dajak terhadap noesa dan bangsa lain disekelilingnja….”[2]

Cucu dari Suta Ono sendiri dari istri ke 2 yaitu anak dari Kiai Badowo, dia adalah Mangan Badowo, dia meyandang jabatan Kiai (camat) ditengah situasi peralihan antara Belanda dengan Jepang, Mangan Badowo pada tahun 1942 diposisikan sebagai kepala adat untuk wilayah Paju Epat, dimana status Paju Epat dan Dusun Timur era Jepang merosot menjadi anak distrik dibawah Kalua.[3] Namun dilain pihak situasi ini nampaknya yang membuat Mangan Badowo mulai menemukan inspirasi tentang pergerakan Nasional dan perjuangan melawan imperialisme Barat yang dihembuskan oleh Jepang, sehingga saat Belanda kembali mengambil kekuasaan dari tangan Jepang. Mangan Badowo dilaporkan dan dipecat dari jabatannya serta status pegawai dari pemerintah Belanda pada tahun 1949 melayang, dikarenakan sikap Nasionalisnya yang mulai vokal mendukung kemerdekaan Indonesia.[4]

 

Mangan Badowo

Fridolin Ukur dan nafas Nasionalisme

Pdt. Fridolin Ukur mengakui bahwa semangat kebangsaan dan nasionalisme yang diamiliki sehingga memtuskan untuk akngkat senjata membela Negara Indonesia melawan agresi militer Belanda paska kejatuhan Jepang dipengaruhi tulisan kelompok Pakat Dayak :

“Pada awal kedatangan Jepang, pak Ukur pulang ke kampung. Suatu Ketika ia melihat buku-buku ayahnya, dan ia menemukan sebuah buku organisasi pakat Dayak. Di halaman pertama buku tersebut ada lagu Indonesia Raya dan halam-halaman selanjutnya beris Anggaran Dasar Rumat Tangga Pakat Dayak, kemudian lagu-lagu tentang Pulau Kalimantan. Dari situ muncul semangat kebangsaan dalam diri Ukur kecil yang ternyata sangat besar perannya dalam membentuk watak kebangsaannya dikemudian hari.”[5]

     Pak Ukur akhirnya  bergabung dalam organisasi Pemuda pemudi Kristen Indonesia(P3KI) menjadi greliyawan menyeludupkan pidato-pidato nasional Bung Karno kepada masyarakat dan kemudian dia yang bergabung dalam ALRI Devisi  IV Kalimantan. Dia dengan abangnya Wilson Ukur mendirikan markas perlawanan terhadap pemerintah Belanda bernama "Banteng Hitam" di desa Sanggu.

 

Maayan Indonesia

Dayak Maanyan sebuah kelompok yang juga sadar bahwa dibawah kesultanan Banjar mereka hanya akan menjadi hamba dari sultan oleh sebab itu mereka berlindung dengan Belanda, tetapi setelah muncul ide-ide persatuan dan semangat nasionalisme kebangsaan setelah gerakan sumpah pemuda tahun 1928 secara pelan-pelan mereka bergabung dalam sebuah kelompok yang juga ingin ber Indonesia. Berawal dari rasa ketidakadilan yang dilakukan terhadap orang Dayak kemudian mereka menuntut keadilan dan kesamaan hak kepada Belanda. Sayang upaya tersebut terhenti karena kedatangan Jepang, namun setelah Jepang pergi orang Maanyan melanjutkan kebulatan tekadnya akan sebuah negara Indonesia merdeka Bersama suku-suku yang lain. kami bukan anjing kolonial kami bangsa merdeka yang bebas bukan hamba Kesultanan dan juga bukan hamba Kerajaan Belanda.



[1] Tulisan saya dikutip oleh penulis dari pihak Kesultanan Banjar dalam buku,  Ahmad Bardjie, Perang Banjar Barito 1859-1906 (Martapura : Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2015). 264

[2] Dana Listiana, Satu Dayak menjadi Indonesia-Dayak : Impian Persatuan Bangsa Dayak dalam soera pakat terbitan Banjarmasin pada tahun 1940-an. Dalam, Penguatan dan Pelemahan Persatuan Bangsa Media dan Tokoh di kalimantan Selatan ( 1923- 1959 ), (Bandung: Media Jaya Abadi) .58

[3] Surat Pengakuan No.3/494/2/1942 diterbitkan oleh Minseibu Bandjermasin Shutchoscho-Cho atas nama Mangan sebagai kepala adat Paju IV, tertanggal 1 Juli 1942.

[4] A.B Hudson, Padju Epat : The Ethnography And Social Structure Of A Ma'anjan Dayak Group In Southeastern Borneo (Michigan USA: University Microfilm, 1967). 234

[5]Darius Dubut ... [et al.],  Kurban yang berbau harum : 65 tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur (Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan PGI bekerja sama dengan Sinode Gereja Kalimantan Evangelis, 1995.).5-6.

Selasa, 03 September 2019

PANDAM Sistem kasta dalam masyarakat Maanyan Paju Epat tempo dulu


PANDAM
Sistem kasta dalam masyarakat Maanyan Paju Epat tempo dulu
by 
Hadi S. Miter 


Guru Miden, Ngawar (kakah Lelo) 
dan Judith Hudson di lokasi Tamak


Dikalangan masyarakat Maanyan Paju Epat, mengenal tradisi pembakaran tulang yang disebut dengan Ijame, dalam ritus tersebut ditemukan semacam susunan masyarakat berdasarkan kelas. Fridolin Ukur mencatat ada terdapat 7 kelas :
1.      Mangku
2.      Patinggi
3.      Jaksa
4.      Giritan
5.      Singa Langgawa
6.      Jarang Bayohan
7.      Mangasiau
Setiap tingkat memiliki Tamak[1] sebagai lambang strata sosialnya. Ukur mengutip pendapat Malincordt yang menyebut masyarakat Paju Epat mengenal kelas yang di istilahkan dengan Pandam. Contohnya seperti ini:
1.    Tamak Mamandi terpecah menjadi : Pandam Singa Langgawa dan Pandam Giritan.
2.    Tamak Tumenggung pecah menjadi : Pandam jarang Buyuhan
3.    Tammak Patinggi pecah menjadi : Pandam Masiau
Ada juga semacam tingkat terendah, dalam sistem masyarakat ini yang disebut dengan Putak Walah (kelas budak). Mereka tidak masuk kedalam Tamak melainkan dalam guci. Namun pada tahun 1960an perbedaan tersebut dihilangkan, tidak lagi macam-macam Tamak melainkan satu Tamak dalam satu komplek, sebagai contoh di Balawa, yang disebut Tamak Bugawan Dime.[2]
Tamak

Sedangkan Hudson dalam penelitiannya melihat bahwa Tamak juga mewakili sebuah status sosial hal tersebut dapat dilihat dari tipe Tamak. Tamak sendiri terbuat dari kayu ulin dan terbagi dalam tiga gaya dasar, masing-masing dengan nama tertentu: kariring, Pulang gayung, dan Ginun Rewau.
1.      Tamak kariring pada ujung penutupnya, disisir ke atas dan menunjuk.  
2.      Tamak Pulang Gayung tidak memiliki tutup dan berbentuk agak menggantung, tapi ada tonjolan melengkung ke bawah yang melekat pada setiap akhir dari kotak, dan juga melengkung pada tutupnya.
3.    Tamak Ginun Rewau dibedakan karena ujungnya diukir kepala kerbau (karewau) disalah satu ujung tutup. 


Tamak mewakili empat kelas: Bangsawan (pemimpin); panglima (kesatria atau prajurit); Panganak Rama (orang biasa); dan walah (budak ). Namun, sebenarnya dengan kelas yang terkait dengan Panganak Rama atau “orang biasa” tidak punya Tambak yang menjadi ciri khas mereka sendiri. Singkatnya, Tamak menunjukkan sistem tiga kelas yang terdiri dari Bangsawan, Panglima dan Walah. Perbedaan utama yang diakui dalam sistem kelas seperti ini adalah antara Bangsawan dan Panglima di satu sisi, sedangkan untuk Walah disisi yang lain. Dua kelas pertama bisa disatukan dalam "kelas masyarakat bebas" dimana mereka adalah anggota penuh, anggota independen dari masyarakat yang bebas. Sedangkan walah, membentuk kelas masyarakat yang anggotanya tergantung atau kehidupannya ditanggung oleh masyarakat "kelas bebas". Sebagai contoh Walah diberikan ladang untuk tempat bekerja; dan ia juga sangat mungkin diizinkan untuk menikah.
Jadi secara teori, tulang seseorang yang menyandang status Walah tidak dapat disimpan di tamak "kelas bebas" dan memang secara ekonomi Walah tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun Tamak sendiri. Dengan demikian, Tulang Walah ditempatkan dalam guci tanah (kosi). Dalam masyarakat Maanyan Paju Epat seorang individu memang tidak ditakdirkan untuk hidup menetap dalam status Walah. Status tersebut dapat dipulihkan atau dapat bisa hidup bergabung dengan kelompo dari "kelas bebas" dengan membayar denda yang disebut pamutak. Dimana jika ia bisa menikah dengan seseorang dari kelompok masyarakat "kelas bebas" maka statusnya dapat berubah dan bisa masuk kedalam kelompok Tamak orang “Kelas bebas” dari pasangannya.[3] Suta Ono sendiri tulangnya disimpan dalam Tamak Mas, yang juga secara tidak langsung ingin menunjukan status sosialnya dalam komunitas masyarakat Maanyan Paju Epat.
Namun pada saat era kolonial Belanda Khususnya saat Suta Ono berkuasa di wilayah Paju Epat, sistem budak tersebut sudah terlihat agak memudar. Hal tersebut dapat kita lihat dalam dari laporan penguasa Sipil di Marabahan yaitu Letnan C.Banggert saat berkunjung ke Telang dan wilayah Dusun Hilir pada tahun 1857, mengungkapkan beberapa hal mengenai bentuk perbudakan di kalangan orang Maanyan Paju Epat:
Di Siong ada semacam budak karena utang; yang nampaknya terjadi secara turun temurun hal tersebut masih dapat ditemukan dibeberap tampat, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Namun, pada kenyataanya tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya budak; mereka hanya dipanggil untuk membuat beberapa layanan seperti bekerja saat panen atau pada saat ada kesibukan; dan untuk sisanya, mereka bebas; Mereka tidak diperjual belikan dengan cara yang tak beradab. Mereka hanya sebagai warisan pemilik generasi terdahulu. Suta Ono dalam hal ini menyusun gagasan berani yaitu secara bertahap menghapuskan sistem ini. Walaupun nampaknya dia masih belum mengambil keputusan, tentang bagaimana prosesnya untuk mencapai ini (Penghapusan budak). Jumlah penduduk distrik Sihong adalah 834 Jiwa.[4]

Sistem kasta yang berlaku nampaknya tidak begitu kuat dikalangan orang Maanyan, dimana kemudian hari tidak ada lagi masyarakat yang menganut sistem ini, semua orang bebas dan punya kesempatan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Pengaruh pemikiran barat tidak selamanya negatif, ide tentang masyarakat bebas didukung penuh oleh para Missionaris berhasil menghapuskan sistem kasta yang mebuat manusia menjadi terkurung dalam kelas-kelas.


[1] Tamak adalah, kotak kayu memanjang yang berfungsi sebagai wadah untuk abu tulang yang telah dibakar. Dengan tutup bagian atas yang dapat dilepas. Tamak memiliki berbagai ukuran dari sekitar 64-89 inci panjang, sekitar 12 inci lebar, dan 18-24 inci. Kotak-kotak ini didirikan 46-66 inci diatas tanah.

[2] Fridolin Ukur, Ijambe dalam Jurnal Peninjau, Tahun I No.1(Jakarta: LPS-DGI, 1974).19

[3] A.B Hudson, Death Ceremonies Of The Padju Epat Maanyan Dayaks dalam Tom Harrison (ed) Borneo Writing and Realated Matters (Serawak: Serawak Museum Jurnal, 1966).5-7


[4] C. Bangert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Streken Van Doessoen Ilir, Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860. 158