Minggu, 23 Juni 2019

RAJUN JULAI, PANGULU SENIOR DARI MURUTUWU


RAJUN JULAI, 
PANGULU SENIOR DARI MURUTUWU
 by
Judith Hudson
disarikan kembali oleh : Hadi S.Miter

Pangulu Murutuwu (Rajun Julai) 

Setiap desa memiliki ahli adatnya sendiri atau pangulu, posisi yang sering berpindah dari ayah ke anak. Pangulu Murutuwu adalah pakar adat Paju Epat yang cukup terkenal (tahun 1963). Rajun adalah nama kelahirannya dan sesuai dengan kebiasaan Indonesia, ia mengambil nama ayahnya, Julai, sehingga menjadi Rajun Julai. Saya tidak pernah mendengar nama "Rajun" itu dipanggil atau dengan juga dengan nama belakangnya" Julai"; dia selalu dikenal sebagai "pangulu" atau "pangulu Murutuwu" jika ada pangulu lain hadir. Dia bersifat kekanak-kanakan dalam mengkritik kesalahan yang telah dibuat oleh orang lain yang dia anggap kurang terampil.

Rendah hati dan humoris
Rajun hampir selalu memakai topi beludru gaya Indonesia (peci), bersama dengan kemeja dan celana pendek atau celana usang. Dalam penampilannya, tidak ada yang membedakannya dengan penduduk desa lainnya. Seorang lelaki berusia enam puluh satu ketika kami pertama kali mengenalnya (1963), wajahnya yang dicukur klimis dan mulutnya yang lebar memancarkan semacam kelembutan dan kesopanan. Saya tidak pernah melihatnya marah, atau setidaknya menunjukkan kesal dengan orang lain. Dia dipercayakan untuk menyampaikan pidato penutup untuk upacara Ijamme di Siong, sebuah katalog laporan kegiatan Ijamme disusun yang ternyata oleh Rajun temui penuh kesalahan kesalahan, dengan nada yang agak lucu yang Ia menertawakan isi dari apa yang dilaporkan dalam katalog itu.

                                                    
Rajun saat rapat adat 

Dibesarkan saat era kolonial Belanda
        Berpendidikan lebih baik daripada sebagian besar orang seumurannya di Murutuwu (yang sebagian besar, buta huruf) ia mengenyam tiga tahun pendidikan dalam bahasa Melayu saat masa penjajahan Belanda, ketika itu  ayahnya seorang prajurit pemerintah kolonial Belanda. Dia tidak pernah berharap untuk didengar, tetapi menunggu dengan tenang untuk ditanya, seperti biasanya. Prinsip hidupnya selalu realistis: ia tidak dirongrong oleh tradisi dan akan tetapi mendengarkan dengan cermat kedua belah pihak yang berargumen sebelum mengajukan pendapat. Dia berpikiran luas dan pragmatis. Ketika dia mendengar tentang "perkawinan sejenis" yang terjadi diantara dua orang wanita, yang salah satunya berpakaian seperti pria, dia tampak tidak terkejut tetapi mengatakan untuk membuktikan bahwa dia seorang "pria" dengan membuka bajunya.

Menolak menjadi duda
Tiga bulan setelah kematian istrinya Rajun memutuskan untuk menikah lagi. Tindakan cepat  ini agak mengejutkan banyak orang, Mengapa begitu cepat Rajun menikah lagi? Jawabannya ada pada pembagian antara kerja pria dan wanita. Tanpa istri, dia tidak punya siapa pun yang  memasak untuknya, mencuci pakaiannya dan sebagainya, Ini bukan pekerjaan yang layak bagi pria. Rosmida anak perempuannya baru saja pergi mengikut suaminya. Dia berbagi rumah di desa dengan putranya yang memiliki lima anak ; dua yang dewasa, tiga anak berusia di bawah lima tahun, dan ini membuat banyak pekerjaan bagi menantu perempuannya.
     Ia menikahi Tu Wenden, Wanita paruh baya pemilik sebuah warung kecil di Telang, dia adalah seorang wanita berusia pertengahan empat puluhan. Dia juga dikenal memiliki lidah yang cukup tajam. Tu Wenden ternyata telah menikah 3 atau 4 kali;  Rajun sendiri adalah suaminya yang kedelapan. Malam setelah pasar Telang, sebuah upacara pernikahan besar diadakan, dikediaman adik pengantin wanita di Telang. Untungnya, semua pengaturan telah dibuat sebelumnya - atau kompromi telah tercapai, hanya masalah dimana mereka akan tinggal belum diselesaikan. Pangulu ingin tinggal di Murutuwu dan istrinya ingin tinggal di Telang, dimana dia memiliki warung. Setiap seminggu sekali mereka bergantian bolak-balik diantara kedua desa, Telang dan Murutuwu. 

 Tu Wenden, istri baru Rajun Julai                                                                

Penutur yang handal
Dari Pangulu Rajun, Antropolog A.B Hudson mempelajari nama-nama ulun Ma'anyan pertama diturunkan yaitu dari Kakah Warikung dan istrinya Itak Ayan; kami membuat daftar urutan desa dari awal waktu. Kemudian di desa Lilikumeah sebelum ada adat, dan ketika sebuah perahu emas turun dari langit. Bagaimana wadian pertama terbentuk dan bagaimana pernikahan harus dikonsekrasikan dengan benar. Bagaimana sebuah bola benang emas jatuh ke desa dari surga, yang hanya bisa dibuka oleh lelaki yang ditakdirkan untuk menjadi kepala desa. Kemudian kisah pertengkaran antara dua monyet: “Petir ada di langit; jamur ada di batang pohon”, kata salah satu. [Kelat hang langit, kulat hang watang] Yang lain bersikeras bahwa kelat ada di pohon, dan kulat di langit. Hudson berhasil menghasilkan beberapa teks sejarah Ma'anyan kuno dengan cara ini, yaitu dengan minum Johnnie Walker Red Label, pasokan khusus yang kami beli dari kapten kapal di Banjarmasin dan diangkut dari Tamiang Layang dengan menggunakan sepeda. Pangulu mengklaim bahwa wiski dapat "membersihkan tulang" - meskipun cenderung membuat Rajun menjadi kurang fokus bercerita.
Hudson mengemukakan bahwa, Pada tahun 1960-an tidak hanya pangulu tetapi banyak dari pria yang lebih tua mempertahankan pengetahuan yang cukup tentang cerita-cerita lama. Ini adalah kisah-kisah yang diceritakan pada acara-acara seremonial, terutama selama ijambe dan upacara prakremasi lainnya untuk orang mati atau di pesta pernikahan. Keterampilan sebagai pendongeng sangat dihargai oleh Ma'anyan, dan kami mendengar cerita itu diulang dari upacara ke upacara hingga bahkan kami cukup mengerti untuk tertawa di tempat yang tepat. Retensi tumbuh besar sejarah lisan ini menjadi masalah bagi banyak orang muda bahkan saat itu. Sebagian besar anak muda melek huruf, dan tidak lagi memiliki kesabaran untuk menghafal berjam-jam sejarah lisan.

Menjadi Katolik pada akhir hidup
Akal sehatnya juga mencakup masalah agama. Dimana  pada tahun 1992 bahwa sebelum kematiannya, Rajun memutuskan  memeluk agama Katolik. Ia merasa bahwa arwahnya tidak dapat dihantarkan dengan baik ke Swarga lokanya ulun Ma'anyan karena orang-orang tidak lagi mengetahui semua detail dari upacara ijamme. Dia takut jiwanya akan merana di suatu tempat di sepanjang jalan menuju akhirat semacam limbo ulun Ma'anyan.
Tahun 1992 saat antropholog A.B Hudson berkunjung ke Telang, Damang Serep Juku menjelaskan alasan kenapa pamannya Rajun Julai memilih memeluk keyakinan Katolik :

“ Kami terkejut bahwa ia dimakamkan sebagai seorang Katolik dan kemudian berbicara dengan keponakannya Serep Juku. Seperti biasa dengan lelaki yang luar biasa ini, pragmatisme tampaknya telah menjadi yang terpenting: Protestan menurut  Serep Juku, harus menunggu kedatangan Yesus yang kedua untuk mencapai surga, sedangkan Katolik, hanya perlu tiga hari [atau lebih kata pastor meyakinkan Rajun saat itu]. Tidak ada pertanyaan sama sekali untuk pangulu dalam menentukan bahwa jalan yang lebih cepat adalah yang lebih baik untuk diambil. Serep Juku mengatakan dia menjadi sangat ceroboh sebelum dia meninggal, dalam pidatonya melantur tanpa henti, tidak tentu arah dan kadang-kadang berlangsung selama berjam- jam, bicaranya itu  menjadi sulit untuk dihentikan kalau sudah dimulai ”.

Senin, 18 September 2017

ERNST WILHELM FEIGE (Yang Terlupakan)



 ERNST WILHELM FEIGE 
(Yang Terlupakan)
     
 by: Hadi Saputra Miter

 


     Ditengah kesibukan menjalani perkuliahan di negri orang, dan hiruk pikuknya University Day atau ulang tahun Universitas, saya memutuskan mengambil waktu untuk menulis dikarenakan hutang yang belum juga terbayar sampai saat ini dimana blog terlalu lama menganggur beberapa teman menyindir  “itu blog kok lama gak update” memang persoalan menulis kadang juga harus disertai dengan mood.
     Sudah cukup lama waktu bergulir, sebelum berangkat kuliah sempat iseng-iseng menengok makam Missionaris Ernest W. Faige yang menjadi kontroversial karena tulisan yang saya lemparkan tempo hari. kedatangan saya bertepatan dengan jemaat bekerja bakti membersihkan lahan pastori dan Ketua Resot Tamiang Layang bapak Pdt.Gunedi, MT.h merencanakan untuk memindahkan makan si Missionaris karena memang dianggap tidak layak berada disamping Saptic Tank (tangki tinja). Saya membandingkan dengan keberadaan makam missionaris dengan makam Putri Mayang yang dikeramatkan walaupun (maaf) cerita tentang si putri sendiri masih simpang siur, yang  menjadi destinasi wisata unggulan di Bartim..tidak salah hanya sekedar sebagai pembanding. Hal yang sama juga terjadi saat kita berbicara makan kepala suku Paju Epat Suta Ono yang dikeramatkan tersebut, kalau kita bandingkan dengan makam Missionaris Faige yang tidak terurus disamping saptic tank dan tempo hari juga dijadikan tempat pembuangan sampah. Jangankan menjadi destinasi wisata, diperdulikan pun tidak.

ERNST WILHELM FEIGE
    Siapa itu Ernst Wilihiem Faige, saya akan ungapkan dengan perlahan. Keberadaan Faige di Kalimantan tidak terlepas dari Duo missionaris Jerman yang diutus ke tanah maanyan setelah sempat ditinggalkan karena meletusnya “Perang Banjar” tahun 1859, dua serangkai itu adalah  Ernest Whiliam Faige dan Missionaris Tromp dari badan missi RMG ( Rheinische Missionsgesellschaft ) dengan keputusan Resident di Banjarmasin. Keputusan tersebut dikeluarkan tanggal 4 Juni 1875 yang isinya memberikan ijin kepada dua orang missionaris RMG yang baruuntuk diutus bertugas di daerah Maanyan, dengan syarat yang tercantum dalam poin sebagai berikut:

·         Selalu melaporkan setiap kegiatan dan pekerjaan mereka secara rutin.
·         Para misionaris diharuskan untuk menetap di dekat kediaman dari Soeta - Ana (Soeta Ono-red)di kampung Telang.
·         Bahwa tugas mereka (penginjilan) hanya untuk wilayah landscape Sihong.
·         Perjalanan atau ekspedisi keluar atau ke wilayah lain di luar Doessan timur (hal yang berhubungan dengan pelayanan) bisa dilakukan, di kemudian hari setelah mendapat persetujuan dari warga"sejauh apabila semuanya berjalan dengan baik”.[1]


      Pada tahun 1875 pintu tanah Maanyan terbuka lagi untuk misi. Di Telang misionaris Feige dan Tromp menetap dengan sejumlah Pandeling Ngaju (Jipen). Pada awal kedatangan mereka, sesuai dengan Keputusan Resident maka mereka tinggal di kediaman Soeta Ono, tapi setelah itu mereka pindah ke Balai sebuah bengunan besar yang berfungsi semacam gedung pertemuan.  Sampai akhirnya membuat tempat kediaman sendiri. Tromp memutuskan tinggal di Telang sedangkan Faige ke Tamiang Layang.
     Ernst W. Feige membuka kembali pos missi di Tamiang Layang, dia tinggal menetap di Tamiang Layang pada tahun 1878. Tidak terdapat lagi bekas-bekas dari pekerjaan dari missionaris Klammer, nampaknya karena bertahun-tahun ditinggalkan maka orang-orang yang pernah dibaptis Oleh Klammer, yang karena ketiadaannya bimbingan maka mereka kembali kepada kepercayaan lamanya. Feige menghadapi persoalan yang rumit dimana Penduduk maanyan Tamiang Layang, tidak bersedia apabila bergabung dengan jemaat orang pandeling/budak dari suku lain. Namun demikian Feige dengan tekat yang kuat berbekal pengalamannya, yang sudah mengenal tipikal orang Ma’anyan di Telang. Pada 1879 ia berhasil membaptis sebuah keluarga, dan termasuk mereka sekarang tinggal di sekitar posnya. Ada 24 orang Kristen dan kebanyakan saat kebaktian dihadiri hanya oleh orang- orang ini. Mengenai pendidikan dan sekolah yang dirintis oleh Feige di Tamiang Layang, sekolah memiliki 14 orang siswa dan pada tahun 1880 ditempatkan Timotius Marat sebagai guru untuk menunjang bidang pendidikan[2]
      Orang pertama yang dibaptis adalah oleh Faige adalah seorang pria Tuli dari kampung Sangarwasie bernama Tindong, setelah mendapatkan pendidikan katekesasi selama 3 minggu, maka Feige membaptisnya pada 19 November 1882. Ia memilih sendiri nama baptisnya yaitu Karl sehingga namanya menjadi Karl Tindong. Istri dan keluarga Karl Tindong pun mulai tertarik untuk diajarkan tentang Kekeristenan. [3]


Schüler mit Schulhaus in Djaar 1890an
(sekolah di Jaar yang didirikan oleh missionaris Faige)
   
     Dalam perjalan penginjilannya di medan berat tanah Ma’anyan ini, Feige berjalan dengan telanjang kaki, celana digulung serta mengenakan topi ayaman dan pada malam hari Karl Tindong berjalan didepan sambil memegang obor. Di setiap kampung yang mereka temui maka mereka singgah serta mengumpulan orang dan berkotbah. Feige biasanya kotbah pertama, baru kemudian dilanjutkan oleh Karl Tindong, dengan memberi kesaksian. Ibadah dijalankan dengan teratur dan ditulis suatu tata ibadah dalam bahasa Ma’anyan. Di kampung-kampung Misim, Bagok, Burum, Jaar, dan Tewah Popoh merupakan anak jemaat Tamiang Layang. [4]


Perintis Jemaat Beto
     Tahun 1888 Feige berhasil mencapai sebuah kampung yang bernama Beto. Kata Beto berasal dari kata Balai Dato. Kampung Beto adalah kampung yang orang-orangnya merupakan campuran dari orang Maanyan, Ngaju dan Lawangan. Harapan Feige adalah mengumpulkan orang-orang yang tersebar ke sana kemari agar menetap di Beto secara permanen. Di sana dipercayakan oleh Feige seorang Dayak kristen bernama Zakaria, perkembangan cukup signifikan terlihat dengan dibaptisnya salah seorang Kepala Suku Dayak di Beto.
     Namun di luar dugaan, ternyata wabah Kolera menyebar di Beto, Tindong dan Zakaria meninggal dunia akibat peristiwa tersebut. Bersama juga 6 orang jemaat Kristen meninggal dunia dalam peristiwa tersebut, buntut dari wabah tersebut berujung pada kekurangan bahan makanan.

 Schule und Kirche Beto 
(sekolah dan Gereja di Beto foto tahun 1890an)

Menolak kembali ke Jerman, namun kembali ke rumah Bapa
Menurut statistik pada tahun 1899 di cabang-cabang Stasi Tamiang Layang tercatat jumlah Staf Misionaris terdiri dari empat asisten penginjil dan dua orang senior. Jumlah anggota gereja adalah 204 jiwa, termasuk 82 komunikan (persiapan baptisan), Keempat sekolah memiliki 70 siswa. Pada tahun 1900 kondisi kesehatan Missionaris Faige semakin memburuk sejak ia terjatuh dari kudanya, sehingga ia semakin sering beristirahat dikediamannya di Tamiang Layang. Pihak RMG menghimbau Faige untuk mengambil cuti dan pulang ke Eropa, namun itu ditolaknya dengan alasan tidak ingin meninggalkan Stasinya atau menunggu penggantinya baru setelah itu ia mau pulang ke Eropa. Namun pada 9 Juli 1901 pria dengan nama lengkap Ernst Wilhem Feige yang akrab dipanggil dengan lidah lokal orang Maanyan dengan sebutan “Tuan Tije”. Dimana Sakit parahnya tersebut, membuat ia kembali ke pangkuan bapa disorga dan dimakamkan di Tamiang Layang.

 tragisnya peristirahatan terakhir missionaris Faige
 diantara sampah dan saptic tank


Biodata singkat
Nama                   : ERNST WILHELM FEIGE (Panggilan Tuan Tije)
Lahir                    : Wilschkowitz (Silesia) Jerman sepelum Perang Dunia I : 25, Mei-1840.
Meninggal dunia  : Tamiang Layang : 9, Juli-1901
Pekerjaan sebelum bergabung dengan badan missi RMG adalah blacksmith (pandai besi). 
Menikah dengan  :  AUGUSE NEE HACKLAENDER, lahir  23, Desember 1842,  meninggal 8, Mei 1918
bersama-sama mereka memiliki 6 orang anak.
Wilayah Penginjilan:
  • Telang
  • Tamiang Layang
  • Puruk Cahu

Sumber
Wolfgang Apelt : Archives and museum foundation of UEM - archives/library Rudolfstr. 137, D42285 wuppertal


[1] A.Kuyper, Eenige Kameradviezen uit de Jaren 1874 En 1875 (J.A Wormser: Amsterdam 1890).68
[2] Tomotius Marat adalah asisten dari Missionaris Hadeland dalam menulis Alkitab bahasa dayak Ngaju.
[3] S.Coolsma, De Zendingseeuw Voor Nederlandsch Oost-Indie ( Utriech: Braijer 1901). 548
[4] Ibid

Jumat, 24 Juni 2016

JUKUNG Berperahu Sampai Akhirat



JUKUNG
Berperahu Sampai Akhirat
by
Hadi Saputra Miter

Membawa Jukung untuk dijual
 Telang 1992 dok.Judi Hudson
 

Jukung Riwayatmu Kini
Jalanan berbatu-batu serta sesekali tanah menuju ke desa Patai, yang membuat perut menjadi terasa kencang, dan berakhir tepat ditengah desa Patai. Pelan-pelan saya menuju sungai Patai yang mengalir menuju sungai Barito. Seorang pria tua Kakah Eto, bercerita bahwa dulu sungai inilah jalan yang menghubungkan dari desa Patai menuju Tamiang Layang. Menggunakan apa orang dulu? JUKUNG katanya, jukung adalah jenis perahu yang dibuat oleh orang-orang Maanyan sebagai alat transportasi dan sungai sebagai jalan raya nya. Istilah Jukung nampaknya lazim digunakan didaerah Kalimantan Tengah dan Selatan.
                Orang-orang sekarang tentu saja sudah jarang menggunakan transportasi sungai, terutama jukung sebagai kendaraan mereka. Di patai sendiri sedikit sekali orang menggunakan jukung, begitu juga dengan pengrajinnya yang semakin lama semakin sedikit. Untuk Patai sendiri tersisa hanya ada sekitar 3 orang pengrajin jukung termasuk Kakah Eto sendiri. 

Sungai Patai Dan Jukungnya

Made In Maanyan Yang Tersohor
Padahal dimasa lalu, kemampuan ulun Maanyan dalam membuat jukung sangat tersohor, hal itu tertuang dalam laporannya pejabat Kolonial Belanda yaitu, C.Banggert tahun 1850an:

Pembuatan perahu adalah sebuah industry yang sangat menguntungkan bagi orang dayak Sihong, ribuan perahu dibuat dan dikirimkan ke Banjarmasin dan Kesultanan setiap tahunnya, semua dibuat secara eksklusif.[1]

Jukung Maanyan dijual disungai Martapura Banjarmasin 
tahun 1930an dok.Basel Mission Swiss

 

Pada jaman dahulu daerah-daerah Maanyan adalah daerah yang memiliki potensi ekonomi, hanya saja dalam menjangkaunya tentu tidak bisa menggunakan kapal besar. Mengingat mereka hidup disungai-sungai kecil yang hanya memungkinkan untuk dicapai menggunakan perahu kecil atau jukung. Tamiang Layang hanya dapat dicapai melewati sungai Sirau atau terkadang disebut dengan sungai Patai.
                Jukung adalah istilah yang digunakan oleh seluruh masyarakat didataran rendah Barito. Saking terkenalnya Jukung Maanyan, maka ada satu jukung yang disebut dengan jukung Patai. Jenis-jenis kayu yang digunakan dalam menggunakan jenis:[2]

  • ·         Cangkal  (Neobalancerpus heimii)
  • ·         Resek  (Cotyllelobium)
  • ·         Balangiran (Shorea Balangeran)
  • ·         Lanan (Shorea cutisii)
  • ·         Dll.

Proses pembuatannya juga memerlukan kehati-hatian, Kakah Eto mengatakan yang paling sulit ialah nyalai atau mamaru atau juga proses membuka perahu dengan memanaskannya di atas api. Mahadin iru (sulit proses itu) ucapnya dengan senyuman khas, lha sekarang apa masih ada orang order Jukung? Jarang, dapat dua kali setahun juga sudah bagus. Membuat jukung sudah tidak bisa untuk menggantungkan hidup, senyumnya mengambang lagi.


Bajukung Sampai Mati
Jukung bagi orang dayak, bukan hanya sekedar alat transportasi didunia kehidupan. Tetapi juga menjadi alat transportasi bagi manusia saat menyeberang kedunia kematian. Sehingga pada masyarakat Maanyan Paju Epat, peti mati yang disebut dengan Rarung berbentuk  jukung. Begitu juga saat seseorang tulang akan di kremasi atau di Ijame kan, maka tempat tulang disimpan disebut dengan idaran.
Jukung memang sudah tergantikankan, oleh deru motor buatan jepang yang hampir selalu ada hadir  disetiap rumah orang Maanyan, seakan menjadi barang wajib. Iklan dan kredit motor murah telah membuat Jukung kelak harus menjadi pajangan saja. Apakah ulun Maanyan kelak akan mengganti peti matinya menjadi bentuk sepeda motor tokh, hanya waktu yang bisa menjawabnya alah hu alam. Kakah Eto  menaiki jukungnya dan meluncur menghilang dari pandanganku, hendak menjenguk kebun karet ujarnya. Aku sendiri balik badan, manaiki sepeda motor buatan perusahaan Jepang, belum lunas pula kreditnya oalahhhh….
 Rarung Jukung menuju kehidupan abadi
               


[1] C.Banggert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Glegene Straken Van Doessoen Ilir ( Laiden: Indische Taal Land En Volkenkunde 1860).150
[2]Erik Piterson, JUKUNG: Dari Dataran Rendah Barito (Banjarmasin: B Post Group 2001).9