Senin, 18 September 2017

ERNST WILHELM FEIGE (Yang Terlupakan)



 ERNST WILHELM FEIGE 
(Yang Terlupakan)
     
 by: Hadi Saputra Miter

 


     Ditengah kesibukan menjalani perkuliahan di negri orang, dan hiruk pikuknya University Day atau ulang tahun Universitas, saya memutuskan mengambil waktu untuk menulis dikarenakan hutang yang belum juga terbayar sampai saat ini dimana blog terlalu lama menganggur beberapa teman menyindir  “itu blog kok lama gak update” memang persoalan menulis kadang juga harus disertai dengan mood.
     Sudah cukup lama waktu bergulir, sebelum berangkat kuliah sempat iseng-iseng menengok makam Missionaris Ernest W. Faige yang menjadi kontroversial karena tulisan yang saya lemparkan tempo hari. kedatangan saya bertepatan dengan jemaat bekerja bakti membersihkan lahan pastori dan Ketua Resot Tamiang Layang bapak Pdt.Gunedi, MT.h merencanakan untuk memindahkan makan si Missionaris karena memang dianggap tidak layak berada disamping Saptic Tank (tangki tinja). Saya membandingkan dengan keberadaan makam missionaris dengan makam Putri Mayang yang dikeramatkan walaupun (maaf) cerita tentang si putri sendiri masih simpang siur, yang  menjadi destinasi wisata unggulan di Bartim..tidak salah hanya sekedar sebagai pembanding. Hal yang sama juga terjadi saat kita berbicara makan kepala suku Paju Epat Suta Ono yang dikeramatkan tersebut, kalau kita bandingkan dengan makam Missionaris Faige yang tidak terurus disamping saptic tank dan tempo hari juga dijadikan tempat pembuangan sampah. Jangankan menjadi destinasi wisata, diperdulikan pun tidak.

ERNST WILHELM FEIGE
    Siapa itu Ernst Wilihiem Faige, saya akan ungapkan dengan perlahan. Keberadaan Faige di Kalimantan tidak terlepas dari Duo missionaris Jerman yang diutus ke tanah maanyan setelah sempat ditinggalkan karena meletusnya “Perang Banjar” tahun 1859, dua serangkai itu adalah  Ernest Whiliam Faige dan Missionaris Tromp dari badan missi RMG ( Rheinische Missionsgesellschaft ) dengan keputusan Resident di Banjarmasin. Keputusan tersebut dikeluarkan tanggal 4 Juni 1875 yang isinya memberikan ijin kepada dua orang missionaris RMG yang baruuntuk diutus bertugas di daerah Maanyan, dengan syarat yang tercantum dalam poin sebagai berikut:

·         Selalu melaporkan setiap kegiatan dan pekerjaan mereka secara rutin.
·         Para misionaris diharuskan untuk menetap di dekat kediaman dari Soeta - Ana (Soeta Ono-red)di kampung Telang.
·         Bahwa tugas mereka (penginjilan) hanya untuk wilayah landscape Sihong.
·         Perjalanan atau ekspedisi keluar atau ke wilayah lain di luar Doessan timur (hal yang berhubungan dengan pelayanan) bisa dilakukan, di kemudian hari setelah mendapat persetujuan dari warga"sejauh apabila semuanya berjalan dengan baik”.[1]


      Pada tahun 1875 pintu tanah Maanyan terbuka lagi untuk misi. Di Telang misionaris Feige dan Tromp menetap dengan sejumlah Pandeling Ngaju (Jipen). Pada awal kedatangan mereka, sesuai dengan Keputusan Resident maka mereka tinggal di kediaman Soeta Ono, tapi setelah itu mereka pindah ke Balai sebuah bengunan besar yang berfungsi semacam gedung pertemuan.  Sampai akhirnya membuat tempat kediaman sendiri. Tromp memutuskan tinggal di Telang sedangkan Faige ke Tamiang Layang.
     Ernst W. Feige membuka kembali pos missi di Tamiang Layang, dia tinggal menetap di Tamiang Layang pada tahun 1878. Tidak terdapat lagi bekas-bekas dari pekerjaan dari missionaris Klammer, nampaknya karena bertahun-tahun ditinggalkan maka orang-orang yang pernah dibaptis Oleh Klammer, yang karena ketiadaannya bimbingan maka mereka kembali kepada kepercayaan lamanya. Feige menghadapi persoalan yang rumit dimana Penduduk maanyan Tamiang Layang, tidak bersedia apabila bergabung dengan jemaat orang pandeling/budak dari suku lain. Namun demikian Feige dengan tekat yang kuat berbekal pengalamannya, yang sudah mengenal tipikal orang Ma’anyan di Telang. Pada 1879 ia berhasil membaptis sebuah keluarga, dan termasuk mereka sekarang tinggal di sekitar posnya. Ada 24 orang Kristen dan kebanyakan saat kebaktian dihadiri hanya oleh orang- orang ini. Mengenai pendidikan dan sekolah yang dirintis oleh Feige di Tamiang Layang, sekolah memiliki 14 orang siswa dan pada tahun 1880 ditempatkan Timotius Marat sebagai guru untuk menunjang bidang pendidikan[2]
      Orang pertama yang dibaptis adalah oleh Faige adalah seorang pria Tuli dari kampung Sangarwasie bernama Tindong, setelah mendapatkan pendidikan katekesasi selama 3 minggu, maka Feige membaptisnya pada 19 November 1882. Ia memilih sendiri nama baptisnya yaitu Karl sehingga namanya menjadi Karl Tindong. Istri dan keluarga Karl Tindong pun mulai tertarik untuk diajarkan tentang Kekeristenan. [3]


Schüler mit Schulhaus in Djaar 1890an
(sekolah di Jaar yang didirikan oleh missionaris Faige)
   
     Dalam perjalan penginjilannya di medan berat tanah Ma’anyan ini, Feige berjalan dengan telanjang kaki, celana digulung serta mengenakan topi ayaman dan pada malam hari Karl Tindong berjalan didepan sambil memegang obor. Di setiap kampung yang mereka temui maka mereka singgah serta mengumpulan orang dan berkotbah. Feige biasanya kotbah pertama, baru kemudian dilanjutkan oleh Karl Tindong, dengan memberi kesaksian. Ibadah dijalankan dengan teratur dan ditulis suatu tata ibadah dalam bahasa Ma’anyan. Di kampung-kampung Misim, Bagok, Burum, Jaar, dan Tewah Popoh merupakan anak jemaat Tamiang Layang. [4]


Perintis Jemaat Beto
     Tahun 1888 Feige berhasil mencapai sebuah kampung yang bernama Beto. Kata Beto berasal dari kata Balai Dato. Kampung Beto adalah kampung yang orang-orangnya merupakan campuran dari orang Maanyan, Ngaju dan Lawangan. Harapan Feige adalah mengumpulkan orang-orang yang tersebar ke sana kemari agar menetap di Beto secara permanen. Di sana dipercayakan oleh Feige seorang Dayak kristen bernama Zakaria, perkembangan cukup signifikan terlihat dengan dibaptisnya salah seorang Kepala Suku Dayak di Beto.
     Namun di luar dugaan, ternyata wabah Kolera menyebar di Beto, Tindong dan Zakaria meninggal dunia akibat peristiwa tersebut. Bersama juga 6 orang jemaat Kristen meninggal dunia dalam peristiwa tersebut, buntut dari wabah tersebut berujung pada kekurangan bahan makanan.

 Schule und Kirche Beto 
(sekolah dan Gereja di Beto foto tahun 1890an)

Menolak kembali ke Jerman, namun kembali ke rumah Bapa
Menurut statistik pada tahun 1899 di cabang-cabang Stasi Tamiang Layang tercatat jumlah Staf Misionaris terdiri dari empat asisten penginjil dan dua orang senior. Jumlah anggota gereja adalah 204 jiwa, termasuk 82 komunikan (persiapan baptisan), Keempat sekolah memiliki 70 siswa. Pada tahun 1900 kondisi kesehatan Missionaris Faige semakin memburuk sejak ia terjatuh dari kudanya, sehingga ia semakin sering beristirahat dikediamannya di Tamiang Layang. Pihak RMG menghimbau Faige untuk mengambil cuti dan pulang ke Eropa, namun itu ditolaknya dengan alasan tidak ingin meninggalkan Stasinya atau menunggu penggantinya baru setelah itu ia mau pulang ke Eropa. Namun pada 9 Juli 1901 pria dengan nama lengkap Ernst Wilhem Feige yang akrab dipanggil dengan lidah lokal orang Maanyan dengan sebutan “Tuan Tije”. Dimana Sakit parahnya tersebut, membuat ia kembali ke pangkuan bapa disorga dan dimakamkan di Tamiang Layang.

 tragisnya peristirahatan terakhir missionaris Faige
 diantara sampah dan saptic tank


Biodata singkat
Nama                   : ERNST WILHELM FEIGE (Panggilan Tuan Tije)
Lahir                    : Wilschkowitz (Silesia) Jerman sepelum Perang Dunia I : 25, Mei-1840.
Meninggal dunia  : Tamiang Layang : 9, Juli-1901
Pekerjaan sebelum bergabung dengan badan missi RMG adalah blacksmith (pandai besi). 
Menikah dengan  :  AUGUSE NEE HACKLAENDER, lahir  23, Desember 1842,  meninggal 8, Mei 1918
bersama-sama mereka memiliki 6 orang anak.
Wilayah Penginjilan:
  • Telang
  • Tamiang Layang
  • Puruk Cahu

Sumber
Wolfgang Apelt : Archives and museum foundation of UEM - archives/library Rudolfstr. 137, D42285 wuppertal


[1] A.Kuyper, Eenige Kameradviezen uit de Jaren 1874 En 1875 (J.A Wormser: Amsterdam 1890).68
[2] Tomotius Marat adalah asisten dari Missionaris Hadeland dalam menulis Alkitab bahasa dayak Ngaju.
[3] S.Coolsma, De Zendingseeuw Voor Nederlandsch Oost-Indie ( Utriech: Braijer 1901). 548
[4] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar