Rabu, 26 Maret 2014

Sekilas Mengetahui Tokoh: TUMENGGUNG JAYA KARTI (Djaelan)



Sekilas Mengetahui Tokoh:
TUMENGGUNG JAYA KARTI (Djaelan)
By: Hadi Saputra Miter



Adakah yang mengenal Tomenggung Djaja Karti? saya mencoba menyelidiki tokoh ini dari Dinas Pariwisata Kabupaten Barito Timur  terutama bidang sejarah dan kepurbakalaan, saya mendapatkan penjelasan yang tidak memuaskan yaitu:
“Tumenggung Jaya Karti dikenal dengan sifat "Taguh Gansang Mape Maleh" yang artinya : Teguh, Kuat dan Kebal…dan setia membela tanah leluhur suku dayak. Makamnya terletak di ibukota Tamiang layang dan dinilai sebagai tokoh yang mempunyai nilai sejarah juga mitos karena memiliki sifat pemberani berpengaruh bagi masyarakat Dayak”. (buku dinas pariwisata Barito Timur 2008)
Saya merasa sangat tidak nyambung dengan penjelasan diatas, nampaknya pihak pemerintah sama sekali tidak memiliki data yang menunjang selain dari pragraf yang dibuat asal-asalan tersebut.
Investigasi tentang tokoh Tumenggung ini saya lakukan dengan pendekatan wawancara dengan keluarga ataupun keturunan beliau. Hal tersebut merupakan pintu masuk.
Misteri tidak begitu saya terungkap pihak keluarga hanya menyatakan bahwa Djaelan atau Tumenggung Djaya Karti ini berasal dari patai, dan keluarga besarnya adalah keluarga Blantan yang ada di Tamiang layang. Dari petunjuk keluarga bahwa orang yang  memiliki data cukup lengkap adalah (Alm) Pdt.Dr Fridolin Ukur. Apa mau dikata kalau begitu data otomatis menghilang, kemudia keluarga merekomendasikan untuk menemui Bapak Satria Ngindra. Keadaan makin rumit Satria Ngindra dalam keadaan sakit terlebih dia harus dibawa anaknya ke Tanjung tabalong untuk menjalani perawatan pasca oprasi kataraknya.
Jalan terakhir saya dipertemukan dengan mantak Kepala Sekolah SMA 1 Tamiang Layang bapak Drs. Karno.A Dandan, beliau memiliki arsip silsilah (jereh) dari keluarga besar Tumenggung Jaya karti dari tulisan tangan (alm)F.Ukur, luar biasa saya sangat tertolong, walaupun informasi tentang diri Tumenggung Jaya Karti sangat minim. Namun silsilah ini saya anggap sesuatu hal yang sangat membantu selanjutnya dalam investigasi saya.

Manuskrip silsilah Tumenggung Jaya karti (di susun Alm.Pdt.DR.Fridolin Ukur)


Kunci selanjutnya yang saya gunakan adalah menggunakan arsip-arsip pemerintah Belanda, dan yang sangat mengejutkan bagi saya adalah saya menemukan nama Tumenggong Djaya Karti bahkan peristiwa kapan dia diangkat menjadi tomenggong terangkum cukup akurat oleh Letnan C.Bangert ( Kepala sipil untuk wilayah bakumpai dan tanah dusun) dalam catatan perjalanannya ke wilayah maanyan tahun 1857 yang diberi judul VERSLAG DER REIS IN DE BINNENWAARTS GELEGENE STREKEN VAN DOESSOEN ILIR yang isinya sebagai berikut :
“Tanggal 20 mei 1857 saya tiba di tameang Laijang  dan Kepala suku  Tamian Laijang adalah seorang pria tua, ia cukup disegani oleh masyarakat hanya usianya yang sudah tua membuat beberapa perkara tidak bisa ditangani olehnya, Dia adalah orang Daijak, bahkan sebagai seluruh desa Tameang laijang ini hanya dihuni orang Daijaks
Tingkat populasi ini berkisar  300 jiwa,  laki-laki berbadan sehat  60 jiwa.  Dalam kampong ada terdapat  dua rumah  berkonstruksi besar, mereka juga memiliki baleij sangat besar atau pondoppo (di sini disebut Balai) dibuat di sana. Rumah ini sangat menyenangkan, karena perumahan sedemikian jauh lebih baik daripada  rumah orang dayak pada umumnya. Jadi saya memutuskan untuk tinggal di  baleij (balay) ini dan meninggalkan barang-barang  saya disana.
Tapi segera saya menerima kabar dari kepala adat/suku Tamian Laijang bahwa ia akan meminta saya berjaga pada malam hari, karena saya memiliki banyak barang untuk berhati-hati karena ada  pencuri dari Patai. saya memberi orang kesempatan untuk bertemu dengan mereka dan mendengarkan tentang perselisihan serta permasalahan yang mereka hadapi. Banyak kasus kecil diselesaikan oleh saya hari itu di kalangan kepala suku. Nampaknya semua permasalahan tersebut berpangkal karena sang Kepala suku yang ada sudah sangat tua
Aku mengambil dalam pertimbangan semua yang disebutkan diatas sehingga untuk menyenangkan hati mereka pertama dalam permintaannya mereka adalah untuk pemberhentian kepala suku yang sudah usia lanjut ini. setelah mendengar tentang alasan tersebut, maka keinginan mereka ini yaitu memilih kepala suku agar diselenggarakan, saya ditunjuk untuk pertama kalinya kepala suku dan akhirnya yang terpilih adalah seorang laki-laki yang berasal dari dari kampung kiri distrik Patay untuk menjadi  kepala kampong/suku Tamiang Laijang di beri gelar Tomongong Djaija, Semua kepala desa distrik Patay hadir dalam pemilihan tersebut.
Tanggal 21 mei 1857 kepala suku yang baru diangkat dengan sumpah dan ketaatan dengan cara Dayak ke tangan saya. Dia berdiri di tempat terbuka, di dalam lingkaran penonton, Semua kepala desa distrik Patay  duduk tempat barisan pertama. Kemudian mereka mengacungkan Mandau (pedang dayak) ke cakrawala, ia memohon kepada dewa dan Hantu bersaksi bahwa ia akan ketaatan kepada pemerintah dan keadilan untuk rakyatnya akan diberikan. Kemudian Dia berjongkok.  Selanjutnya Mandou diletakan atas kepalanya, dan dia menyatakan siap mati untuk keadilan selanjutnya dia berdiri. Kemudian datang kepadanya semua kepala desa dan menyentuh dada dan tangan dengan lehernya, kemudia Menyerahkan ayam yang baru dibunuh , yang ada di tangan mereka masing-masing.
Hal ini dijelaskan kepada saya untuk menjadi tanda bahwa para kepala desa tunduk kepada perintahnya. Akhirnya beberapa wanita tua, mendekati Tomongong yang baru serta menaburinya dengan beras kuning. Dengan ini upacara selesai.[1]
                
keluarga besar Blantan keturunan 
Tumenggung Jaya Karti tahun 1940an

        Bisa kita lihat kedekatan Tomenggung Jaya Karti dengan orang Eropa, salah satu kedekatannya terlihat saat kedatangan missionaries Klammer di Tamiang Layang hal tersebut terungkap dalam surat  Missionaris Klammer saat memulai penginjilannya di Tamiang Layang yang dikirimkannya kepada badan missi di Barmen Jerman:
                Pertimbangan saya dalam memilih tempat ini. Yang  pertama ; kepala-kepala suku  tinggal di sini, kedua; bahwa Tamiang Layang pusat semua  kegiatan  di distrik  PateI , dan yang ketiga ; walau  sekarang air sungai agak mengeringkan waktu saya tetap dapat datang ke tempat ini, walaupun hanya dengan  Djukong ( perahu kecil ) di waktu musim panas , bagaimanapun nampaknya air  lebih banyak turun daripada di Sihong .
                kedatangan kami disambut  hangat . saya juga tidak ingin lama bersembunyi dari orang-orang, dan ingin menceritakan tujuan kedatangan kami. Tempat kediaman kami diberikan oleh  Tommonggong – dan tanaman yang ada disepenjang jalan pun boleh kami petik untuk kebutuhan kami , karena itulah mengapa Tamiang Layang bukan  Sarapat atau tempat lain tentang karena kami juga tidak lagi diragukan.
Di malam hari pertemuan besar untuk menjelaskan maksud dan tujuan kami berada disini kepada kepala suku, dan juga memperlihatkan surat-surat tugas dan surat ijin dari pemerintah, bahwa Pandita harus tinggal di antara mereka. Kami juga untuk menyampaikan firman Tuhan. Tidak ada yang membantah, hanya Tommonggong  itu memohon  agar menentukan sebuah hari di mana ia dapat memanggil kepala suku dari tempat-tempat lain, dan kemudian untuk membahas masalah ini dengan mereka .  Mungkin seharusnya tidak menentang apa otoritas perintah mereka, nampaknya ini menjadi  hadad (custom ) . Akan lebih baik kalau hal itu bisa dilakukan sekitar 8 hari kemudian, karena kemudian mereka akan melaksanakan acara besar  mengenai permintaan  Kami  tersebut , dan kami berjanji untuk kembali setelah lagi setelah 8 hari.  Maka Tommenggong  akan membantu menyediakan untuk orang-orang , (untuk  menebang semak )  segera dalam 8 hari ……
Di Baley ( bangunan terbuka ). Malam harinya ada lagi pertemuan besar.  kerumunan besar hadir di Balei itu merupakan pemandangan yang luar biasa, Puji Tuhan . …  Semuanya berjalan seperti yang diinginkan. Hanya Tommonggong  mengatakan bahwa ia merasa kasian dengan anak-anak dari Sangerwasi agak jauh untuk anak-anak tersebut  untuk bisa ke sekolah, bagaimana jika mereka sedang dalam perjalanan, dan mereka ketakutan dijalan karena suara burung atau binatang hutan, maka mereka kembali pulang karena ketakutan,  apakah mereka kemudian akan dihukum?  Tapi untung  saudara Denninger bisa memberikan penjelasan  dengan mengatakan hal tersebut akan mereka pertimbangkan dan sumua itu bisa diatur nanti. Seekor babi akhirnya kami beli seharga 140 sen kemudian diberikan untuk dimasak dan dimakan bersama , karena kami mengadakan  pesta besar . Untuk 80 orang yang hadir. Dengan tanganku, aku memainkan harmonika dan disambut dengan sukacita, karena nampaknya music ini tidak pernah dilihat dan didengar  oleh mereka.[2]
               
Begitu pula saat meletusnya perang Banjar maka Tumenggung ikut memberikan kontribusi pasukan dalam melakukan pengepuangan ke Gunung Tongka, yaitu dengan memberkin support pasukan sebesar 176 orang dari distrik patai yang dia pimpin.[3] untuk foto diri dari Tumenggung sampai hari ini memang belum ditemukan.
memang tidak bisa dipungkiri Tumenggung Jaya Karti dan keturunannya mengambil kedudukan penting dalam pentas perjalanan sejarah di Tamiang Layang. kontribusinya juga bukan hanya kemajuan agama Kristen melainkan juga kepada pendidikan dan memberi keamanan sepada pemerintah Belanda saat itu. sehingga akses jalan darat bisa dicapai di Tamiang Layang.




[1] C.Banggert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Streken Van Doessoen Ilir (Indische Taal Land Volkenkunde IX) 161-163
[2]  Klammer, Der Aufang auf Tameang Laijang: Berichte der Rheisinche Missions Gesellschaft  ( Barmen 1858)27-29
[3] W.A Van Rees, De Banjarmasinsche Krijg 1859-1863 ( Arnhem 1865) . 43

Selasa, 17 Desember 2013

KISAH SEDIH DARI TANAH BORNEO


KISAH SEDIH DARI TANAH BORNEO
BY;
HADI SAPUTRA MITER

               
KORBAN PERISTIWA 1859 MISSIONAR WIGAND DAN ISTRI,
Tengah:MISSIONAR ROTT, MISSIONAR KIND DAN ISTRI,
Dibelakang: MISSIONARIS HOFFMASTER DAN ISTRI


Titik Awal Pemicu
        Adanya intrik perebutan kekuasaan kesultanan Banjar yang nantinya menjadi cikal-bakal perang Banjar, ditambah pihak Belanda yang dianggap ikut campur dalam intrik antara Pangeran Tamdjidilah dan Pangeran Hidayatullah. Pihak Belanda mengusung Tamdjidilah yang tidak disenangi rakyat untuk menjadi sultan, sehingga membuat berang Hidayat yang didukung rakyat kesultanan, perang tak dapat dielakan lagi. Orang-orang yang pro Hidayat, melakukan aksi teror kepada aset-aset baik tambang batu bara (batu harang), sampai perkebunan Belanda yang dilakukan secara berantai sejak tanggal 28 April 1859. Setiap penyerbuan selalu disusul dengan penjarahan dan pembantaian terhadap para pegawai sipil dan serdadu Belanda.

Peristiwa Mandomai
        Pada awal Mei terdapat di situ ketiga keluarga misionaris yaitu Rott,  dan Kind. Kedua keluarga terakhir hanya mampir dalam perjalnan ke tempat tugas yang baru. Pada pagi tgl 7 mai para pembunuh, yang pada hari sebelumnya gagal menyerang Stasion Bethabara karena kehadiran kapal api dan serdadu Belanda, mengepung gedung stasion Tanggohan. Pelayan Missionaris seorang Anak Dayak berteriak dan misionaris Rott turun ke depan rumah, dimana ternyata anak tersebut kena tombak; keluarga para misionaris  datang ke beranda dan berusaha berbicara dengan penggepung agar diizinkan pergi dengan selamat, tetapi pemberontak itu mentertawakan mereka itu dan menembak anak panah yang beracun sebagai jawaban.
        Missionaris Rott berusaha melarikan diri dengan istrinya ke jamban untuk naik perahu,  Namun perahu itu sudah dirampas. Di jamban misionaris Rott dibunuh, dalam pelukan isterinya. Keluarga Wiegand saling berpegangan. Ibu Kind yang masih muda berdiri di samping suaminya bersama anak Maria Rott. Ketika para pembunuh mendekat, misionaris Rott berdoa : “Bapa, ke dalam tanganmu kuserahkan nyawaku“ dan puteri kecil Maria menyambung : “Sebentar kita sampai pada Tuhan Yesus yang dikasihi“, Ibu Kind menyuruh anak itu mengatakan pada para gerombolan bahwa korban-korban yang mereka bunuh mengampuni tindakan mereka dengan setulus hati. Setelah itu para perempuan itu didorong oleh para pembunuh ke dalam sungai Kapuas bersama para bapa yang terluka  dan kedua anak kecil mereka. Ibu Rott dengan puteranya yang sudah pingsan diselamatkan dari air oleh seorang pemuda Dayak, tapi dengan maksud menyiksa dia.
        Ia ditahan tiga hari dan tiga malam di rumah kepala suku. kedua Puterinya yang dilarikan ke hutan oleh seorang pembantu, akhirnya diantarkan kepadanya. Ia membela martabatnya sebagai perempuan dan kedua anaknya Ny.Rott berkata :  “Saya memberitahukan pada kepala suku bahwa saya lebih suka mati dari pada menyangkal iman saya atau dijadikan budak“ diceritaknanya kemudian pada ibunya. Pada tgl 10 mai kapal api pemerintah beserta serdadu bersenjata sampai ke Tanggohan. Orang yang menyekap Ny. Rott melarikan diri ketakutan kedalam hutan. Ibu muda itu berdiri bersama kedua anaknya di tepi sungai ketika kapal penyelamat berlabuh.

Pembunuhan Orang Eropa Oleh Orang Dayak

Peristiwa Buntoi Penda Alai
     Sementara itu salah satu kapal pemerintah yang lain menyeberang ke muara Kahayan dan menghilir sampai ke Buntoi Penda Alai, stasion keluarga Hofmeister. Ketika mereka tiba pada tgl 15 mei mereka menemui rumah misi di mana semua dirampok dan diacak-acak, terdapat suatu papan dimana tertulis dengan kapur: “Tuan Hofmeister dan isterinya sudah dibunuh“. Kuburan mereka terdapat di belakang rumah. Keempat anak missionaris diculik oleh gerombolan penyerang. Dua tahun kemudian pelayan yang menulis berita di atas papan, menceritakan bagaimana proses terjadi pembunuhan itu.
      Ketika misionaris Hofmeister pergi melihat situasi ribut-ribut, ia ditebas dengan parang. Ia masih dapat pulang ke rumah dan mendatangi keluarganya ke beranda yang dikepung oleh seratus penyerang. Ia berlutut bersma isteri dan anak-anak dan berdoa untuk para pembunuhnya. Seorang saksi menberitahukan kemudian pada misionaris Zimmer tentang isi doa terakhir misionaris Hofmeister :“ Tuhan yang dikasihi, Engkau yang menjadi Juruselamat kami, kasihanilah bangsa ini. Jangan mengambil kembali anugerah-Mu dari pada mereka dan karuniakan lagi Firman-Mu yang berharga kepada mereka.“ Setelah itu ia menyuruh orang untuk segera bertindak. Ia dieksekusi dengan cara ditembak setelah kena beberapa peluru dan Ia rebah. Isterinya memeluk dia.
        Sementara anak-anak coba memegang orang tuanya, para pembunuh datang, memotong kepala mereka dan merobek tubuh mereka. Pada malam berikut dua murid katekisasi menguburkan kedua mayat suami istri tersebut. Dua bulan kemudian keempat anak ditemui dalam keadaan yang menyedihkan dihutan, namun mereka selamat dan diantarkan ke Banjarmasin. Dan salah satu anak missionaris itu, yang sudah lanjut usia (82 tahun), dapat menghadiri perayaan 100 tahun misi di antara orang Dayak (tahun 1955) dan ikut memuliakan Tuhan oleh karena itu, dan memaafkan semua peristiwa tersebut.

Penutup
cerita kali ini ingin mengingatkan kepada kita bahwa, ada pengorbanan dalam pekabaran Injil. adakah masih nama-nama mereka kita kenang? tulisan kali ini memang tidak berbicara tentang maanyan secara spesifik namun perlu diketahui, peristiwa inilah yang juga melatar belakangi kepergian missionarir Daninger dan Klammer dari tanah Maanyan.

Sumber:
Van Hoevell
Tijdschrift  voor  Nederlandsch-Indie 23 jaargang
Herman Witschi
Cristus Siegt: Geschichte Der Dajak Mission Auf Borneo (Basel: Bassel Mission Library, 1942)
sebagian sumber berisikan hasil introgasi pemerintah Hindia Belanda, terhadap saksi-saksi atas kejadian pembantaian tersebut, sebagai laporan resmi yang dirangkum dalam Tijdschrift  voor  Nederlandsch-Indie 23 jaargang

Selasa, 15 Oktober 2013

BEKANTAN KECIL DAN ORANG HUTAN

Bekantan dan Orang Hutan

    Sebuah cerita yang sangat mengharukan dari seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda saat bertugas di Balikpapan yang memiliki kegemaran dengan satwa dan fotografi.
     tentang Orang Utan dan Bekantan kecil, bagaimana fauna di Kalimantan ini berhasil membuat sebuah cerita yang menarik, walaupun kali ini tidak berhubungan langsung dengan Maanyan.
    Objek Foto Borneo ketiga pada dasarnya adalah sebuah keluarga bekantan. Bekantan (Nasalis larvatus) biasa menghuni hutan bakau dan banyak ditemui di sekitar Balikpapan. Ketika menyusuri sungai orang sering melihat keluarga bekantan, terutama pada waktu matahari terbit dan terbenam, tetapi hanya dan jauh. Setiap kali didekati, hewan-hewan yang pemalu itu segera melarikan dir Karena itu jarang ada Bekantan yang tertangkap. Monyet itu tentu saja bisa ditembak mati atau dilukai dengan tembakan, tetapi baru-baru im pemerintah Hindia-Belanda telah melarang perbuatan konyol tersebut.
     Salah satu cara yang mengerikan untuk mendapatkan monyet muda, tetapi masih lazim dipakai oleh pemburu tertentu asal Eropa—cara  sering digunakan terutama untuk menangkap bekantan muda—adalah menembak induk bekantan yang sedang menyusui, kemudian merampas anaknya yang biasanya tidak terluka, karena dilindungi oleh sang induk dengan menggunakan tubunya sendiri.
     Orang Utan jantan yang berdasarkan giginya sudah berusia lanjut, melarikan diri ke pabrik parafin di Balikpapan ketika terjadi kebakaran hutan, lalu membiarkan dirinya ditangkap tanpa memberi perlawanan. Setelah dua minggu yang dilewati dalam keadaan terbelenggu, orang utan itu mendapat sedikit kebebasan di pekarangan saya.
      Orang utan sangat jinak dan makan dengan lahap, terutama pisang. Sayangnya, makanan utamanya, yaitu buah dan tunas bakau, tidak dapat disediakan dengan segera. Dengan tinggi yang kurang lebih sama dengan orang Jawa. Sekitar 1,5 meter dalam keadaan berdiri tegak—dan dengan otot kekar serta bulu tebal dan lembut berwarna cokelat kemerahan dan kelabu keperakan, orang utan itu selalu bersikap anggun dan pasrah.
      Bau yang terus menempel pada tangan yang sempat membelai bulunya dan tetap tidak hilang setelah beberapa kali mencuci tangan pun, menghalangi terbentuknya tali persahabatan antara monyet tersebut dan para pembantu dan tukang kebun dan Jawa. Baunya seperti serdadu India, begitu pendapat umum di sini, dan dengan cara inilah orang-orang Jawa yang sangat menentingkan kebersihan diri mengungkapkan rasa jijik mereka.

       Kasih sayang para pembantu menjamin usia panjang para penghuni rumah. Setelah satu minggu kawan serumah yang baru itu mati, rupanya akibat serangan melankolia karena rasa rindu kepada hutan bakau yang tenang dan penuh pesona. Bekantan betina disergap di hutan bersama anaknya oleh orang-orang Bugis yang sangat gesit, lalu ditangkap dalam keadaan linglung, seperti yang sering menimpa bekantan ketika terdesak dan bingung. Saya mengupayakan agar sang induk, yang sangat pemalu dan mengusir anaknya selama dalam penangkaran, dapat segera dibebaskan kembali. Bayinya diurus seperti bayi manusia, dengan hasil yang sangat baik, lalu kami satukan dengan orang utan.
      Betina muda yang sudah kita kenal dari portofolio Borneo pertama untuk menghindari akibat buruk dan rasa kesepian. Dan sekian banyak gambar dadakan yang saya buat, sedapat mungkin tanpa menarik perhatian dan mengganggu hewan-hewan itu. Orang utan betina muda itu berperan sebagai kakak perempuan yang sudah lebih dewasa. Sikapnya terhadap bayi bekantan yang mencari perlindungan dan bantuan bukan sekadar antropomorf, tetapi nyaris dapat disebut sepenuhnya manusiawi. Ini dapat menjadi contoh pedagogis untuk mengilustrasikan kamar anak dan lembaga pendidikan lainnya.
          Ketika pertama kali berhadapan dengan orangutan di pekarangan, bekantan cilik itu berusaha kabur dari Si orang utan, yang sejak awal sudah memperhatikan bekantan kecil tersebut dibawa begitu dibawa masuk, tanpa kesulitan menangkapnya dengan memegang ekorya yang panjang, kemudian memeluknya sedemikian rupa, sehingga si Kecil merasa tentram dan membenamkan wajahnya ke dada orang utan yang berbulu lebat.
      Selanjutnyn menyusul ciuman selamat datang pada puting susu, yang perlahan-lahan ditolak orang utan sampai si Kecil menjerit kesakitan. Pemeriksaan seluruh badan lalu dilakukan oleh seorang juru rawat. Berlangsungnya pemeriksaan mendetail mengenai latar belakang dan asal-usul pun dapat terbaca pada raut wajah si orang utan yang terlihat serius dan berkesan menyelidik, dan juga pada roman muka si bekantan kecil yang kadang-kadang tampak mencibir, namun terkadang seperti berusaha meyakinkan.
 
     Permainan pun silih berganti dengan pengajaran. Orang utan yang tidak selalu puas permainan sesekali orang utan mencengkram tengkuk muridnya si bekantan kecil dan mengancamnya atau meneggor si kecil, sehingga terjadi hubungan yang sangat luar biasa antara keduannya. Sayangnya saya tidak berhasil mencegah bahwa setelah tiga minggu si Bekantan Kecil dimasukkan ke dalam kurungan dan dinaikkan ke atas kapal dalam keadaan sehat walafiat, untuk dibawa ke kebun binatang di Eropa. Namun tiga hari kemudian bekantan kecil itu mati. 

Orang Utan ( Genius Pongo )


Bekantan (Nasalis larvatus)



Monkeys (Bekantan
and Apes (orang utan)

      a very touching story of a Dutch government official while on duty in Balikpapan who have a penchant predictably wildlife and photography.
about the Orang Utan and Proboscis small, how fauna in Borneo's managed to make an interesting story, although this time it is not directly related to Maanyan.
 The subject of the third Borneo portfolio is mainly a pro bosc iis monkey family. The Borneo proboscis monkey (Nasalis larva tus) lives in the mangroves and is frequently found near Balikpapan. On a river trip you can often see numerous fami liies, especially at sunrise and sunset, though usually only at a distance. They are shy animals and quickly flee if you approach them. This is why proboscis monkeys are rarely captured. Though you can shoot them, the governing Dutch East Indies Company has recently forbidden this nonsense.
    A dreadful and unfortunately still common way some European hunters use to capture young monkeys, especially young gibbons, is to shoot down a nursing mother monkey and then tear the usually uninjured offspring from the dying mother, which protects it with her body right up to the last moment. The male proboscis monkey already quite old based on his teeth—took refuge in the paraffin factory of Balikpapan when a fire broke out in the jungle and was captured there without any resistance. He languished two weeks in chains and then was given a degree of freedom in my garden. He was extremely good-natured and ate with relish, mostly bananas. Unfortunately, his main nourishment fruits and sprouts of rhizophora (red mangrove). could not be immediately obtained. when erect he was as tall as a Javanese man (about 1.5 meters). 
      A strong, musky odor that even repeated washings could not remove from a hand that had stroked his fur hindered the ftiendship between him and the Javanese house servants and gardener. The general opinion here was that he stunk like a Laskar soldier, which is how the physically very clean javanese expressed his disgust. He was strongly muscled, wrapped in a thick soft fur that was bright auburn and pure silver gray, and he always behaved in a dignified manner concerning his fate.
     The love of the servants guarantees the house residents a long life. After one week the new housemate died, but apparently due to extreme melancholy, longing for the peace and magic of its mangrove forest. and her offspring were surprised in the forest by very nimble Buginese and captured in a state of mental paralysis, a phenomenon also observed in gibbons when they are harassed and helpless. I immediately freed the mother, who rejected her offspring in captivity and was very shy. The baby was fed according to the rules of human infant care, with great success by the way, and to avoid the consequences of loneliness already known from the first Borneo portfolio, it was put together with an orangutan fenale for company.  
Older, more highly developed sister to the foster proboscis baby seeking protection and help. This could serve as an educational model for children's nurseries other child-rearing institutions. were selected from a great many snapshots I made unnoticed and without disturbing the animals. More than anthropomorphic, one might almost say human, the orangutan female here plays the role of an when the liitle proboscis monkey came near the orangutan in the garden for the first time, it tried to escape.
The orangutan, which had watched with interest as the little one was brought in, effortlessly grabbed her long tail and enfolded her in her arms, prompting such trust that the little proboscis monkey buried her head in the orangutan's hairy chest. This was followed by a greeting kiss on the baby’s nipple, which slowly extended until the baby monkey could no longer suppress a cry of pain. A thorough physical examination was then performed with the delicacy of a model nurse. On the one hand a meticulous inspection of the type and origin of the baby proboscis monkey could be read in the serious face of the researcher and her snippy expression, and on the other hand she reassured the little one with her gestures. Games alternated with instruction.
     Not always satisfied with her ward's success, the orangutan would grab the student vigorously on the collar an.d threaten her. The baby proboscis monkey was in excellent health, but unfortunately after three weeks I could not prevent her from being put in a cage on a ship that would deliver her to a European zoo. She died within three days.

Sumber:

Gregor Krause, Borneo in 1920-1925 ( Jakarta: Lontar Fundation, 2013) sebuah narasi pengalaman Gregor Krause pria kelahiran 1883, selama menjadi tentara Hindia Belanda dan bertugas di Balikpapan selama khususnya perusahaan minyak milik perusahaan Belanda di Hindia Timur. sempat di tahan Jepang bebas tahun 1945 menetap di Australia mencintai seni foto dan budaya Indonesia. meninggal di Dalfsen Belanda 1959.