RAJUN JULAI,
PANGULU SENIOR DARI MURUTUWU
by
Judith Hudson
disarikan kembali oleh : Hadi S.Miter
Pangulu Murutuwu (Rajun Julai)
Setiap desa memiliki ahli adatnya sendiri
atau pangulu, posisi yang sering berpindah dari ayah ke anak. Pangulu Murutuwu adalah pakar adat Paju Epat yang cukup terkenal
(tahun 1963). Rajun adalah nama kelahirannya dan sesuai
dengan kebiasaan Indonesia, ia mengambil nama ayahnya, Julai, sehingga menjadi
Rajun Julai. Saya tidak pernah mendengar nama "Rajun" itu
dipanggil atau dengan juga dengan nama belakangnya" Julai"; dia
selalu dikenal sebagai "pangulu" atau "pangulu Murutuwu"
jika ada pangulu lain hadir. Dia bersifat kekanak-kanakan
dalam mengkritik kesalahan yang telah dibuat oleh orang lain yang dia anggap kurang
terampil.
Rendah hati dan
humoris
Rajun hampir selalu memakai topi beludru
gaya Indonesia (peci), bersama dengan kemeja dan celana pendek atau celana
usang. Dalam penampilannya, tidak ada yang membedakannya
dengan penduduk desa lainnya. Seorang lelaki berusia enam
puluh satu ketika kami pertama kali mengenalnya (1963), wajahnya yang dicukur
klimis dan mulutnya yang lebar memancarkan semacam kelembutan dan kesopanan.
Saya tidak pernah melihatnya marah, atau setidaknya menunjukkan
kesal dengan orang lain. Dia dipercayakan untuk menyampaikan pidato
penutup untuk upacara Ijamme di Siong, sebuah katalog laporan kegiatan Ijamme disusun yang ternyata oleh Rajun temui penuh kesalahan kesalahan, dengan nada yang agak lucu yang Ia menertawakan isi dari apa
yang dilaporkan dalam katalog itu.
Rajun saat rapat adat
Dibesarkan saat era
kolonial Belanda
Berpendidikan lebih baik daripada sebagian besar orang
seumurannya di Murutuwu (yang sebagian besar, buta huruf) ia mengenyam tiga
tahun pendidikan dalam bahasa Melayu saat masa penjajahan Belanda, ketika itu ayahnya seorang prajurit pemerintah kolonial Belanda.
Dia tidak pernah berharap untuk didengar, tetapi menunggu
dengan tenang untuk ditanya, seperti biasanya. Prinsip hidupnya
selalu realistis: ia tidak dirongrong oleh tradisi dan akan tetapi mendengarkan
dengan cermat kedua belah pihak yang berargumen sebelum mengajukan pendapat.
Dia berpikiran luas dan pragmatis. Ketika
dia mendengar tentang "perkawinan sejenis" yang terjadi diantara dua orang
wanita, yang salah satunya berpakaian seperti pria, dia tampak tidak terkejut
tetapi mengatakan untuk membuktikan bahwa dia seorang "pria" dengan membuka bajunya.
Menolak menjadi
duda
Tiga bulan setelah kematian istrinya Rajun
memutuskan untuk menikah lagi. Tindakan cepat ini agak mengejutkan banyak orang, Mengapa
begitu cepat Rajun menikah lagi? Jawabannya ada pada
pembagian antara kerja pria dan wanita. Tanpa istri, dia
tidak punya siapa pun yang memasak
untuknya, mencuci pakaiannya dan sebagainya, Ini bukan pekerjaan
yang layak bagi pria. Rosmida anak perempuannya baru saja
pergi mengikut suaminya. Dia berbagi rumah di desa dengan
putranya yang memiliki lima anak ; dua yang dewasa, tiga anak berusia di bawah
lima tahun, dan ini membuat banyak pekerjaan bagi menantu perempuannya.
Ia menikahi Tu Wenden, Wanita paruh baya pemilik sebuah warung kecil di
Telang, dia adalah seorang wanita berusia pertengahan empat puluhan. Dia juga dikenal memiliki lidah yang cukup tajam. Tu Wenden ternyata telah menikah 3 atau 4 kali; Rajun sendiri adalah suaminya yang kedelapan. Malam setelah pasar Telang, sebuah upacara pernikahan
besar diadakan, dikediaman adik pengantin wanita di Telang. Untungnya,
semua pengaturan telah dibuat sebelumnya - atau kompromi telah tercapai, hanya
masalah dimana mereka akan tinggal belum diselesaikan. Pangulu
ingin tinggal di Murutuwu dan istrinya ingin tinggal di Telang, dimana dia
memiliki warung. Setiap seminggu sekali mereka
bergantian bolak-balik diantara kedua desa, Telang dan Murutuwu.
Tu Wenden, istri baru Rajun Julai
Penutur yang handal
Dari Pangulu Rajun, Antropolog A.B Hudson mempelajari
nama-nama ulun Ma'anyan pertama diturunkan yaitu dari Kakah Warikung dan
istrinya Itak Ayan; kami membuat daftar urutan desa dari
awal waktu. Kemudian di desa Lilikumeah sebelum ada adat,
dan ketika sebuah perahu emas turun dari langit. Bagaimana
wadian pertama terbentuk dan bagaimana pernikahan harus dikonsekrasikan dengan
benar. Bagaimana sebuah bola benang emas jatuh ke desa
dari surga, yang hanya bisa dibuka oleh lelaki yang ditakdirkan untuk menjadi
kepala desa. Kemudian kisah pertengkaran antara dua
monyet: “Petir ada di langit; jamur ada di batang pohon”,
kata salah satu. [Kelat hang langit, kulat hang watang]
Yang lain bersikeras bahwa kelat ada di pohon, dan kulat di langit. Hudson
berhasil menghasilkan beberapa teks sejarah Ma'anyan kuno dengan cara ini, yaitu
dengan minum Johnnie Walker Red Label,
pasokan khusus yang kami beli dari kapten kapal di Banjarmasin dan diangkut
dari Tamiang Layang dengan menggunakan sepeda. Pangulu mengklaim bahwa wiski dapat "membersihkan tulang" -
meskipun cenderung membuat Rajun menjadi kurang fokus bercerita.
Hudson mengemukakan bahwa, Pada tahun 1960-an tidak hanya pangulu tetapi
banyak dari pria yang lebih tua mempertahankan pengetahuan yang cukup tentang
cerita-cerita lama. Ini adalah kisah-kisah yang diceritakan pada acara-acara
seremonial, terutama selama ijambe dan upacara prakremasi lainnya untuk orang
mati atau di pesta pernikahan. Keterampilan sebagai pendongeng sangat dihargai
oleh Ma'anyan, dan kami mendengar cerita itu diulang dari upacara ke upacara
hingga bahkan kami cukup mengerti untuk tertawa di tempat yang tepat. Retensi
tumbuh besar sejarah lisan ini menjadi masalah bagi banyak orang muda bahkan
saat itu. Sebagian besar anak muda melek huruf, dan tidak lagi memiliki
kesabaran untuk menghafal berjam-jam sejarah lisan.
Menjadi Katolik
pada akhir hidup
Akal sehatnya juga mencakup masalah agama.
Dimana pada tahun 1992
bahwa sebelum kematiannya, Rajun memutuskan memeluk agama Katolik. Ia
merasa bahwa arwahnya tidak dapat dihantarkan dengan baik ke Swarga lokanya
ulun Ma'anyan karena orang-orang tidak lagi mengetahui semua detail dari
upacara ijamme. Dia takut jiwanya akan merana di suatu
tempat di sepanjang jalan menuju akhirat semacam limbo ulun Ma'anyan.
Tahun 1992 saat antropholog A.B Hudson berkunjung ke Telang, Damang
Serep Juku menjelaskan alasan kenapa pamannya Rajun Julai memilih memeluk keyakinan Katolik :
“ Kami
terkejut bahwa ia dimakamkan sebagai seorang Katolik dan kemudian berbicara
dengan keponakannya Serep Juku. Seperti biasa dengan lelaki yang luar biasa
ini, pragmatisme tampaknya telah menjadi yang terpenting: Protestan menurut Serep Juku, harus menunggu kedatangan Yesus
yang kedua untuk mencapai surga, sedangkan Katolik, hanya perlu tiga hari [atau
lebih kata pastor meyakinkan Rajun saat itu]. Tidak ada pertanyaan sama sekali
untuk pangulu dalam menentukan bahwa jalan yang lebih cepat adalah yang lebih
baik untuk diambil. Serep Juku mengatakan dia menjadi sangat ceroboh sebelum
dia meninggal, dalam pidatonya melantur tanpa henti, tidak tentu arah dan
kadang-kadang berlangsung selama berjam- jam, bicaranya itu menjadi sulit untuk dihentikan kalau sudah dimulai ”.