Senin, 10 Januari 2022

PERJUANGAN HIDUP PEREMPUAN DAYAK KRISTEN DI BETO



PERJUANGAN HIDUP 

PEREMPUAN DAYAK KRISTEN DI BETO

Ditulis oleh Missionaris Sunderman, Tahun 1912

 Ditulis ulang :Hadi Saputra Miter



Indu Badung dengan kedua anak peruempuannya dan jemaat kristen di Beto


Menjadi istri guru di Tamiang Layang

Indue Badung atau Ineh Badung begitu dia dipanggil, dia dilahirkan di desa Teluk Betung. Ayahnya orang Dayak bernama Sandja ibunya bernama Ipak dengan 6 orang anak, yang paling bungsu adalah Indu Badung. Nama aslinya Indu Badung adalah Ambon, dia mengikuti orang tuanya ke Kuala Kapuas untuk bekerja menjadi menjadi pembantu dikediaman missionaris Zimmer, Pada tahun 1878 Stasi Tameang Layang didirikan oleh Misionaris Feige dikalangan orang Maanyan. Sekolah milik missionaris di sana kekurangan guru; tapi dari mana dia mendapatkannya?  Di Kuala Kapuas hiduplah seorang pria yang dalam banyak hal terlihat aneh, matanya buta sebelah, "juru tulis", begitulah misionaris Feige sering memanggilnya. Pria ini bernama Timotius Marat, dia telah dibaptis, missionaris Hardeland  dan mendidiknya dengan menjadi asistennya di sekolah bahkan membantunya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Dayak Ngaju. Timotius Marat akhirnya menikah dengan perempuan muda Ambon, Ambon sendiri begitu dibaptis mendapatnama baptis yaitu Jemima, mereka berangkat ke Tamiang Layang. Di Tamiang Layang Indu Badung mengajak keponakannya Musa dan anak angkatnya bersama dengannya untuk menemani sang suami Timotius Marat yang juga memboyong ibunya. Missionaris Faige memberikan gajih f10 (10 gulden) perbulan, namun gajih itu tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarga ini, untuk menambah penghasilan mereka berladang. Satu tahun di Tamiang Layang anak pertama mereka lahir, namun anak tersebut meninggal dunia saat dia baru belajar berjalan, akibat sakit panas. Ibu dari Timotius Marat juga meninggal dunia di Tamiang Layang, namun setelah beberapa tahun mereka mendapatkan 2 anak perempuan. Lambat laun semakin banyak anak yang datang ke sekolah Tamiang Layang, oleh karena itu lebih banyak lagi tuntutan bagi sosok guru; tetapi kondisi fisik Timotius Marat mulai meneurun, dan saatnya tiba ketika dia tidak dapat lagi melakukan pekerjaannya, dan seorang guru yang lebih muda harus menggantikannya. Ini bukan hal yang mudah bagi Marat dan keluarganya, karena Badan Missi Rhine tidak ada anggaran bagi pensiunan di Kalimantan saat itu. Dia tidak bisa lagi bekerja keras, dan Misionaris Feige dan istrinya tidak berdaya untuk membantu karena keterbatasan keuangan, Marat dan keluarganya akhirnya tinggal di sebuah gubuk kecil dengan kemiskinan yang parah. 

 

Pindah ke Balai Dato

Karena keadaan tanah di Tameang Lajang tidak subur dan makanan utama orang Dayak yaitu padi, jarang tumbuh subur di sana, banyak keluarga Kristen memutuskan pindah ke Balai Dato, sebuah tempat yang jaraknya 6 jam dari Tamiang Layang berjalan kaki menembus hutan. Hanya sedikit orang yang tinggal di sana, tetapi tanahnya subur dan cocok untuk padi, dan juga tanaman lain, termasuk tembakau. jadi Marat dan istrinya menyiapkan keranjang mereka, meletakkan barang-barang kebutuhan di dalamnya, menggendong putri mereka, dan pindah ke Balai Dato. Di sana mereka membangun gubuk untuk mereka di tengah hutan, Ketika saya datang ke Kalimantan dan Tameang Lajang pada tahun 1886, saya melihat gubuk dan mengenal Marat dan istrinya. Rumah itu berdiri di atas panggung setinggi dua meter dan menyerupai sarang lebah besar terbuat dari kulit kayu dan atap daun palem tidak layak untuk tempat tinggal manusia. Sebagai pendatang baru, saya perlu waktu untuk memahami bahwa pasangan dengan dua anak dapat tinggal di sana dengan bahagia dan puas. Di mana kekuatan Timotius tua tidak cukup untuk menebang pohon-pohon yang berat dan menyiapkan tempat untuk menanam padi, Indu Badong membantu dengan kekuatan besar dan tangannya sendiri, Pasangan hidup puas, meskipun mereka tidak selalu memiliki ikan atau daging untuk dimakan dengan nasi mereka, tetapi hanya dengan garam dan rempah-rempah. Nyonya Feige kadang mengirimkan pakaian untuk mereka.

Musim kemarau tahun 1885 sangat panas dan kering, pandemik kolera sampai ke Balai Dato. Salah satu orang pertama yang menjadi korban adalah Timotius Marat. Dia meninggal dengan bahagia dan damai, tetapi itu merupakan pukulan keras bagi istri dan dua gadis kecilnya. Gubuknya begitu tua dan bobrok sehingga dia tidak bisa lagi tinggal di dalamnya tanpa membahayakan hidupnya; anak-anaknya masih kecil, yang bungsu baru berusia sepuluh bulan. Seorang kerabat, seorang pemuda, yang telah tinggal bersamanya untuk sementara waktu dan membantunya, juga meninggal; jadi dia melihat dirinya sepenuhnya untuk dirinya sendiri dan menyerahkan kepada Tuhan. Sebuah keluarga Kristen mengizinkan dia untuk tinggal di rumah mereka bersama dua anaknya yang masih kecil. Indu Badung bekerja tanpa lelah dari pagi sampai sore untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pada siang hari dia berada di sawah, yang dia buat setiap tahun dengan bantuan tetangga, dan larut malam dia duduk menganyam keranjang dan tikar di bawah cahaya lampu resin. Dari hasil penjualan tikar dia membeli garam dan kebutuhan dia dan anak-anaknya. Dia membesarkan mereka dengan cara yang patut dicontoh dan dengan setia mengirim anak-anaknya ke sekolah. Pada tahun 1891 saya mendirikan stasi Beto dekat dengan kampung Balai Dato; orang-orang Kristen dan juga Indu Badong pindah dari sana ke stasi Beto, Pada tahun 1893 hujan dengan derasnya, yang merupakan hal buruk bagi orang-orang yang menanam padi dengan cara menebang sebidang hutan, membakar kayu dan menanam padi diatas abu, hujan membuat orang tidak dapat membakar lahan. Begitu pula dengan Indu Badong. Dia memanen begitu sedikit beras sehingga hampir habis dimakan sebelum panen selesai.

 

Gubuk Indue Badung di Beto

 

Istri saya datang kepada saya, memohon agar saya mengizinkannya membawa Indoe Badong dan anak-anaknya ke rumah kami. Istri saya benar-benar terbantu oleh janda tersebut, tiga anak kami yang masih kecil diasuhnya, kedatangan janda itu  ke rumah kami, dan saya tidak pernah menyesali telah memberikan persetujuan saya. Dia segera membuat dirinya dikenal sebagai pelayan yang setia dan rajin, dan dia tidak kekurangan ketangkasan yang diperlukan. Betapa setianya dia merawat anak-anak kami, dan betapa mereka memiliki cinta untuknya, sehingga dalam kebutuhan kecil mereka, mereka pergi kepadanya daripada ibu mereka. Dia telah melayani kami dengan kesetiaan selama lima tahun, tidak pernah meminta upah apa pun. Dia selalu berkata kepada saya, "Apa yang anda berikan kepada saya sangat cukup". Putri sulungnya juga segera belajar melakukan segala macam hal di rumah dan diajari membaca, menulis, dan menjahit oleh istri saya. Putri bungsunya Fransiska adalah teman bermain yang baik untuk anak-anak kami.  

Pada tahun 1898 kami berangkat ke Jerman untuk cuti, dan Indue Badung menemani kami sampai ke Banjarmasin. Saat di kapal dia mengucapkan selamat tinggal sambil menangis kepada kami dan anak-anak kami, yang sangat dia cintai seperti anaknya sendiri. Setelah keberangkatan kami, dia tinggal bersama missionaris Tromp dan melayani mereka. Putri sulungnya menikah dengan seorang pemuda dari Jemaat Tameang Layang. 

 

Kembali Ke Tamiang Layang

Ketika saya kembali ke Beto, sayangnya sendirian, karena istri tercinta saya telah meninggal di Jerman dan saya harus meninggalkan anak-anak saya, Indu Badong datang mengunjungi saya dengan berlinang air mata, mengulurkan tangannya dan berkata: “maafkan saya menangis, karena saya terus memikirkan Njonja, yang telah menunjukkan begitu banyak cinta kepada saya dan yang mungkin tidak akan saya temui lagi”. Dia kembali tinggal bersama saya dengan putri bungsunya, dan ketika Tuhan mengijinkan saya kemudian menikah kembali, Indu Badong kembali senang dan melayani Njonja yang baru. Tak lama kemudian, ketika banyak kemalangan menimpa rumah kami dan istri saya jatuh sakit, Indoe Badong sangat berharga bagi kami dimana selama enam minggu dia merawat Godfried kecil kami dengan perawatan yang setia dan tak kenal lelah, tanpa meminta imbalan apapun yang diberikan kepadanya. Kami harus kembali ke tanah Eropa untuk pengobatan istri saya dan lagi-lagi ada perpisahan yang melankolis di atas kapal di Bandjermasin, Indue Badung sangat sedih, bahwa ia harus berpisah dengan bayi kami Godfried yang hampir tidak pernah berpisah dengannya. Putri bungsunya sementara itu menikah dengan seorang guru muda di Tamiang Layang, dan karena putri sulungnya juga tinggal di Tamiang Layang, dia juga memutuskan untuk tinggal dengan anak-anaknya, membantu merawat cucunya. Saya juga tidak akan melupakan wanita tua yang setia itu, dan doa saya untuknya adalah agar Tuhan memberinya banyak sukacita dan kedamaian setelah hidupnya yang penuh peristiwa pahit, berharap dalam iman Kristen suatu hari dia dapat memasuki rumah Bapa dalam kebahagiaan.

Sumber :

SUNDERMANN, HE TROUWE DAJAKSCHE VROÃœW, Uitgegeven door de Half stuivers- Vereeniging der Rijnsche Zending. 1912

 

Rabu, 01 Desember 2021

TINDONG : Orang Kristen pertama dari desa Jaar (Sangarwasi)

 

TINDONG : 

Orang Kristen Pertama Dari Desa Jaar (Sangarwasi)

by. Hadi Saputra Miter


Gambar Ilustrasi Tindong


Surat berikut dari Saudara Feige, yang dikirimkan kepada kami dari Tameang Layang pada bulan Desember tahun 1882. Ia menulis :

“Dalam pekerjaan pekabaran Injil berjalan seperti biasa, dan saya melanjutkan aktivitas saya di antara penduduk asli dengan mengunjungi desa dan ladang seperti sebelumnya. Selama empat bulan saya menikmati hari yang menyenangkan dalam kunjungan semacam itu. Di Matabu saya bertemu banyak orang di pasar, dan ingin mengumpulkan orang-orang untuk saya, tetapi tidak berhasil. Oleh karena itu saya berangkat ke tempat yang agak jauh yaitu desa Sangerwasi, dan di sana saya berkotbah di rumah kepala suku dan juga  kepada orang-orang yang saya temukan di sana. Tapi di sini juga saya sepertinya sedang membajak batu yang keras. Namun, ketika saya berbicara, salah satu pria mendekati saya dan berkata, ”Saya suka mendengar perkataan anda, tetapi saya tidak dapat memahaminya, karena saya tuli. Jika Anda memberi saya sebuah buku untuk dibaca, saya akan mengerti, karena saya dapat membaca dan menulis.” Kemudian sekeras yang saya bisa, saya kemudian berbicara ke telinganya mengenai kabar baik tentang Kristus Yesus, dan kemudian saya memintanya untuk datang mengunjungi saya. Saya kemudian akan melihat apakah saya punya obat untuknya. Beberapa waktu kemudian pria tuli ini datang kepada saya, dan memohon saya untuk mendapatkan obat, dan menyampaikan maksudnya: Jika Anda dapat membantu saya untuk mendengar lagi, saya akan memutuskan untuk menjadi Sarani (Kristen) dan akan tinggal bersama Anda. Tentu saja saya tidak terlalu mempedulikan janji itu, tetapi saya mengatakan kepadanya apa artinya menjadi Sarani, Kalau dia sendiri belum memahaminya. Saya memberinya obat dan dia pergi beberapa minggu kemudian, istrinya yang tidak saya kenal mendatangi saya, ditemani oleh tetangga kami sebegai penerjemah dia meminta pekerjaan untuk suaminya. Dia berkata bahwa dia ingin tinggal bersama kami untuk waktu yang lebih lama, dankarena  jika hujan terus berlanjut mereka tidak dapat membakar kayu untuk membuka ladang. Selama kami di sini, kami ingin memiliki penduduk asli yang mau melayani kami, karena itu keinginan mereka saya penuhi. Delapan hari kemudian mereka datang, Tindong begitu dia disapa benar-benar datang kepada kami untuk melayani dan tinggal Bersama kami untuk pertama kalinya selama sebulan. Dia menekankan bahwa dia ingin tetap sepenuhnya bebas dalam masalah agama. Saya mengatakan bahwa tidak ada yang dipaksa atau terpaksa untuk menjadi seorang Kristen, tetapi itu sepenuhnya tergantung pada keputusan pribadinya. Mendengar itu dia puas, dan dia memulai melakukan pekerjaannya. Di waktu senggangnya, dia sering mendatangi saya dengan berbagai macam pertanyaan. saya memberinya bacaan buku sekolah, Selain buku A B C kami, dimana ada beberapa buku sejarah, saya memberinya beberapa pamflet. Dia juga berteman baik dengan orang-orang yang saya baptis, dan mereka berteman dengannya dengan kebaikan yang tulus, terutama setelah saya menunjukkan kepada mereka bahwa sekarang adalah masalah bagaimana memberikan terang bagi orang itu. Dengan demikian dia memiliki kesempatan untuk mendengar dan melihat Kekristenan, dan nampaknya dia memperhatikannya.

Tepat pada akhir minggu pertama, ketika hari Minggu tiba, dia berkata kepada seorang pria disini: “Hari ini adalah hari Minggu, maka kita memiliki hari libur sepanjang hari; saya percaya saya akan menjadi Sarani juga kelak. Ketika dia mengetahui bahwa Samuel juga adalah seorang orang Maanyan, dia secara khusus bergabung dengannya, dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang masih asing baginya. Ketika saya mendengar apa yang terjadi dalam dirinya, saya sering memintanya datang kepada saya di malam hari, dan menemaninya selama berjam-jam. Percakapan kadang dilakukan secara tertulis, kadang juga secara lisan. Beberapa waktu kemudian dia bertanya kepada saya; “apa yang ia lakukan tidak cukup, dan lelah dengan ibadah rumah tangga dan umum akhir-akhir ini? Setelah itu saya memberinya jawaban tertulis dibuku yang terperinci, untuk menjelaskan kepadanya bahwa pembersihan dosa melalui Yesus, Anak Allah, yang disalibkan mati untuk dosa-dosa kita. Ini terjadi melalui baptisan, ketika kita berpegang teguh pada iman kepada Yesus sebagai Juruselamat kita. Ia menjawab: “Saya percaya bahwa Yesus Kristus, Putra Allah, mati untuk dosa-dosa saya; Saya ingin disucikan, Kapankah kamu akan menyucikan (membaptis) aku?” "Kalau begitu kamu harus diajari dulu," jawabku. Karena hari berikutnya adalah hari hujan, dan dia tidak bisa datang bekerja, saya meminta dia datang kepada saya pada hari berikutnya dan berbicara panjang lebar dengannya. Sekali lagi dia meminta saya untuk segera membaptisnya, agar dia dibebaskan dari kuasa setan. Dia juga bertanya kepada saya apakah melalui iman kepada Yesus seseorang juga dapat dibebaskan dari konsekuensi kutukan dari orang tua. Ketika saya meyakinkannya tentang hal ini, kegembiraannya semakin besar. Ternyata dia telah dikutuk oleh ayahnya. Betapa mulianya bagi saya untuk dapat meyakinkannya tentang segala kemurahan kasih karunia. Dia sekarang juga berbicara akan keinginannya memiliki nama baru, yaitu nama Karl atau Karel,itu adalah nama yang ia usulkan, nama tersebut pernah dia baca di suatu tempat, dan itu nama yang sangat membuatnya senang.

 

Schüler mit Schulhaus in Djaar 1890an


Dia sekarang melanjutkan dengan belajar persiapan baptisan. Saya menulis untuknya dalam sebuah buku kecil Syahadat (pengakuan iman), Doa Bapa Kami, dan serangkaian cerita dari kitab suci. Buku kecil ini sekarang menjadi hartanya, yang selalu dibawanya kecuali saat dia bekerja. Pengajaran dilakukan setiap hari, dan Samuel juga sering membantu sampai larut malam. Samuel merasa dilahirkan kembali melalui iman anak laki-laki ini, sehingga dia dan Joseph sering meyakinkan aku untuk segera membaptis orang ini; apa yang masih kurang dalam pengetahuannya akan dipenuhi dengan imannya. Itu adalah keyakinan saya juga dan karena Tindong berulang kali meminta saya untuk melakukannya, saya berjanji untuk membaptisnya pada tanggal 19 November 1882. 

Sampai menunggu hari itu, dia masih menerima pengajaran setiap hari, dan setiap pemikiran baru membangkitkan minatnya sampai tingkat yang tinggi. Jika dia memahaminya dengan benar, maka kegembiraannya bisa terbaca di wajahnya. Suatu kali dia bertanya kepada saya:"Katakan padaku bagaimana dengan umat ​​Islam, apakah mereka juga bisa masuk surga? “Pernyataan saya bahwa Yesus sendiri yang dapat membawa kita ke sana, sedangkan para pengikut Muhammad tidak percaya kepada Yesus, mereka tidak dapat mengambil bagian di dalamnya.” Sekarang saya mengetahui dari dia, bahwa dulunya dia sangat sibuk dengan ajaran Islam, dan pertanyaan saya mengapa dia tidak masuk Islam, dia menjawab: “Apakah saya dalam Islam dapat menemukan sesuatu yang memuaskan, seperti yang saya dengar dari Anda? Kalua ya, seharusnya saya sudah menjadi Muslim sejak lama.” Setiap hari saya mengerjakan sesuatu untuknya, menuliskan doa untuknya, dan mengajarinya arti doa. Dia akan mendengarkan dengan mulut terbuka. Dengan demikian, setelah tiga minggu mengajar, keinginannya untuk dibaptis akhirnya dapat terpenuhi. Agar dia mengetahui dengan baik seberapa berat pembaptisan itu, saya telah menulis kepadanya seluruh tahapan pembaptisan. Samuel duduk di sampingnya, mengarahkan jarinya ke setiap kata yang saya baca sehingga dia dapat dengan mudah mengikuti saya. Tetapi saya mengucapkan doa dan rumusan baptisan ke telinganya dengan sangat keras sehingga dia bisa mengerti. Itu adalah upacara besar bagi jemaat kami, sekarang jemaat kami berjumlah sekitar lima puluh jiwa, dan Karel senang bahwa beban itu telah diangkat dari pundaknya.

 

Keesokan harinya istrinya datang menjemputnya untuk membantu menanam di ladang. Di hadapan saya dia berkata: “kita harus berubah, kita harus dibebaskan dari dosa-dosa kita. Sekarang saya tahu bahwa ini dapat dilakukan hanya oleh darah Yesus, Anak Allah. Saya sudah dibersihkan kemarin, bukan dengan paksaan, tetapi dengan kehendak bebas, dan saya harap kamu mengikuti saya." Istrinya nampak menolak, tetapi setelah Karel berbicara dengannya selama beberapa jam, akhirnya dia juga menyatakan dirinya siap tetapi ingin menunggu dulu.

Sore hari mereka pulang bersama ke ladang mereka tiga jam perjalanan. Karel dengan hati gembira, dan istrinya juga puas dengan cara hidup yang telah dipilihnya. Pada saat Natal mereka tidak muncul, tetapi sudah pada hari, dan di hari sabtu berikutnya mereka kembali dengan ketiga anak mereka; mereka ingin bergabung dengan kami dalam pelayanan kami. Tetapi seperti yang selalu saya harapkan, saya harus kebiasaan aneh selama ini. Saya memiliki harapan bahwa dia juga akan mengakui Yesus di sana di lingkungannya, seperti yang telah dia mulai lakukan di sini. Istri dan putri sulungnya juga menyatakan bersedia menerima pendidikan, yang segera mungkin akan saya berikan. Dengan mereka itu penggarap ladang hati yang sunyi, tetapi itu juga bisa dikerjakan. Mereka sekarang kembali bekerja di ladang, tetapi kami gembira dengan harapan mereka, dan percaya bahwa lebih banyak lagi yang akan mengikuti mereka. Peristiwa itu telah menyebabkan kehebohan, dan banyak orang datang dan bertanya apakah benar Tindong dibaptis. Disitulah Tuhan berkenan untuk menunjukkan kepada kita buah yang akan berlanjut dan itu ada di tangan-Nya sendiri.

Sumber :

Faige, De eerste bres in ben sterke vesting, De Rijnsche zending; tijdschrift ter bevordering van het christendom in Nederlandsch Indië, jrg 14, 1883 hal 74-79


Rabu, 03 November 2021

PERJALANAN KE BUNTOK DARI TAMIANG LAYANG TAHUN 1906

 

PERJALANAN KE BUNTOK DARI TAMIANG LAYANG TAHUN 1906

by : Hadi S. Miter

Missionaris Hendrich


Perjalanan ke Buntok dari Tamiang Layang dimulai

Misionaris Tromp dan saya (missionaris Hendrich) telah lama berniat mengunjungi Boentok dan telah mendaftar pada Controleur untuk memberitahukan orang-orang Kristen di Boentok untuk hari kunjungan kami; tetapi sehari sebelum kami pergi, ternyata Tromp harus tinggal di rumah karena sakit kaki. Jadi saya harus berkunjung sendiri, karena kali ini tidak boleh ada penundaan dengan alas an apapun. Bahasa disana basa-ngadju yang dipahami oleh banyak orang; saya sendiri menguasai bahasa malaju (Melayu) dengan sangat minim, atas keyakinan pada Tuhan saya memberanikan diri untuk pergi ditemani oleh dua laki-laki anak asuh dari Missionaris Tromp, kami pergi dengan menunggang kuda. Pemberhentian pertama kami adalah di Dajoe (Dayu), di sana ada sebuah pasar. Saya berharap untuk membeli ikan untuk makan siang, tetapi sudah habis terjual. Kami beristirahat di rumah kediaman kepala desa, kemudian perjalanan dilanjutkan. Tapi sayangnya hujan mulai turun, sehingga saya basah kuyup di istirahat di desa Patong (Patung). Beruntung saya bertemu seorang kenalan dari Beto, yang mengajak kami ke rumah wakil kepala Kampung Patong, beliau adalah seorang Dayak yang ramah. Kami bermalam disana, saya dan anak-anak akhirnya melanjutkan perjalanan setelah mandi dan berganti pakaian.

Hari kedua terus berkuda sampai Kampung Lampeong, menurut kebiasaan setempat maka saya nanti siang akan singgah di Kampung Pinang Tungal, di sana ada kediaman saudara ipar dari guru Daniel Akar asli orang Tewah Popoh sebagai tempat berteduh. Ini juga adalah alasan bagi saya untuk bisa mengunjunginya dan sekaligus mengenalnya. Saya bertemu dengannya di ladang tempat ia bekerja, Ia keturunan Belanda, tetapi bekerja layaknya orang Dayak, ia berladang, memiliki kebun, yang hasil-hasilnya ia jual sendiri di pasar. Dia hidup seperti orang Dayak dan tidak lagi memakai sepatu. Rumahnya sangat kecil, hanya memiliki satu ruangan, yang berfungsi sebagai dapur, ruang tidur dan ruang tamu untuk 8 orang. Bersamanya ada kerabat dari istrinya seorang Kristen Dayak dari Kwala Kapoeas, dan anak-anaknya yang lebih besar membantu melakukan pekerjaan yang paling mudah; dia melakukan melakukan pekerjaan yang berat. Tidak jauh dari rumahnya yang sekarang, ia telah membangun sebuah rumah yang lebih besar; ada juga sawahnya yang baru dia tanam. Ia berharap agar selalu bisa menanam padi di sini (dan tidak berpindah-pindah tempat seperti kebiasaan orang Dayak), karena tanah di daerah Karau sangat subur. Sungai dimana dia mengairi sawahnya sama dengan sungai Nil di Mesir. Kami berbicara tentang pekerjaan misionaris dan dia menyarankan hal-hal yang kongkrit dilakukan oleh misionaris di daerah ini, jika kami tinggal diantara orang Dayak maka harus memperhitungkan kondisi tanah, itu sarannya kepada kami. Ia sosok pria yang setia pada imannya; dia ingin mengirim anak-anaknya ke Missionaris Tromp di Tameang Lajang (Tamiang Layang), agar mereka mendapatkan pendidikan yang layak. 

Malam itu juga dia menemani saya ke Djihi (Jihi), di mana saya menemukan para kuli yang beristirahat setelah melewati jalan pedesaan. Toko-toko pedagang sudah tutup, jadi kami tidak bisa membeli beras, tetapi berkat kebaikan Kepala Kampung Djihi ada pedagang yang bersedia membuka tokonya, kami diberi harga yang murah sebanyak yang kami butuhkan. Istirahat malam di rumah Kepala Kampung Djihi yang luas, yang dibangun untuk kantor dinas Controleur. Kami membutuhkan kekuatan kami untuk meneruskan perjalanan di hari ketiga. Kami masih berjarak 20 Km dari tujuan. Jalan dari Djihi ke Buntok dua kali lebih panjang bagi kami, karena kami harus melewati hutan sekitar 14 Km dan kami tidak melihat sebuah rumahpun sejauh mata memandang dan tidak menemukan buah atau sejenisnya. Pemandangan jalan disini sungguh indah; jalan baru dibangun, dengan lebar 4 M. dan juga permukaannya ditinggikan; tetapi ini tidak memuaskan rasa lapar kami, atau memuaskan dahaga kami. Kami harus menunggu sampai kami tiba di tempat dimana beberapa keluarga berkumpul dan mendirikan sebuah desa. Sambil minum teh saya mencoba sedikit menghibur anak laki-laki teman saya; dengan kata-kata yang baik agar mereka selalu bisa merasa terhibur.

 

Tiba di Buntok setelah 3 hari perjalanan

Ada danau kecil yang lebarnya setengah jam yang harus kami lewati, dan kemudian dua jam berjalan kaki lagi sebelum kami sampai di Boentok. Akhirnya kami tiba di Boentok menjelang malam dan melupakan semua kelelahan, saat melihat ukuran dan keindahan tempat ini! Pada saat yang sama dengan sebuah kapal telah tiba di dermaga Boentok dengan 30 tentara dari Marabahan dan 1 perwira dari Aceh, mereka berdinas dan berpatroli di sini untuk sekitar setengah tahun di Boentok.  Controleur sangat baik kepada kami dan mengijinkan saya tinggal di rumahnya selama 3 hari sangat menyenangkan. Dia tertarik pada tujuan kita, saya adalah tamunya untuk hari itu; sedangkan sisa waktu saya menfaatkan untuk bertemu anggota jemaat; jumlah mereka adalah 19 (dewasa dan anak-anak). Umat Kristen aslinya oloh ngadjoe, mereka berasal dari Bandjermasin dan Kwala Kapoeas. Mereka telah tinggal di sini selama 4 tahun dan tetap setia. Ketua Jemaat mereka  yang adalah pengawas depot garam di Boentok, seorang pejabat Kristen dan gagah berani bernama Efraim. Setiap sore kami berkumpul di rumahnya atau di sekolah. Puncak dari pertemuan persaudaraan kami adalah perayaan Perjamuan Tuhan dimana ada 12 orang ambil bagian.

Saya merasa sangat nyaman dengan orang-orang Kristen di Boentok. Sebagai seorang misionaris, seseorang mengalami apa yang dialami Paulus ketika mengunjungi jemaat, seperti misalnya. ketika dia menulis kepada jemaat di Roma, Rom. 1:11-12 " Sebab aku ingin melihat kamu untuk memberikan karunia a  rohani kepadamu guna menguatkan kamu, yaitu, supaya aku ada di antara kamu dan turut terhibur oleh iman kita bersama, baik oleh imanmu maupun oleh imanku." ketika kita dapat mengatakan kepada orang-orang Kristen: mereka adalah sukacita dan mahkota kita. Itu membuat profesi kami berharga dan seharusnya membuat Anda, Sahabat Misionaris, mencintai Misi di Kalimantan!

Sebagai tanda iman mereka yang hidup saya menerima 6 gulden dari jemaat kecil di Boentok, untuk membantu perbendaharaan di Tameang Lajang. Ini adalah pertanda baik ketika anak memberikan dukungan kepada ibu yang sudah lanjut usia. Dapat dimengerti bahwa orang-orang Kristen di Buntok ingin memiliki seorang Misionaris, tetapi tidak secepat itu; Saya telah menghibur teman-teman, bagaimanapun, dengan mengatakan kepada mereka bahwa saya akan mengunjungi mereka sesering mungkin, jika Tuhan memberi saya kesehatan. Controleur mengatakan bahwa ada baiknya saya berkunjung setiap bulan.

Pada tanggal 18 Oktober 1906 kami berangkat lagi, kali ini dengan perahu, Salah satu orang Kristen dari Boentok bernama Samuel akan menemani saya ke Tameang lajang dan juga ke Beto. Kami mengunjungi desa Saripanji, sebuah desa tiga jam menyusuri sungai dari Boentok, seorang Kristen bernama Seth tinggal di sana, ia layaknya lebah madu yang memiliki kerajaan sendirian. Dia segera datang menghampiri saya, dan meminta untuk membaptiskan istri dan anak-anaknya. Tentu saja ini hanya bisa terjadi jika wanita itu hanya mengenal kebenaran keselamatan yang sejati. Seth juga tahu hal ini, itulah sebabnya dia mulai mengasah dirinya sendiri. Dia memiliki buku yang bagus, dimana, selain lagu, juga 5 bab buku katekesasi. Seth menggunakan buku ini dalam mengajar istrinya. Saya menyarakankan padanya lebih baik jika keluarga ini tinggal di Buntok, karena kemudian dia bisa berhubungan dengan orang-orang Kristen di sana, dan istrinya itu bisa diajar oleh guru Yusuf atau oleh Efraim (yang dulu pernah juga mengajar). Ketika itu dia tidak segera menjawab pertanyaan saya apakah dia mengajari istrinya bernyanyi, saya mulai menyanyikan sebuah lagu, diikuti dengan diskusi Alkitab dan doa, sehingga kami tanpa berpikir mengadakan kebaktian keagamaan. Ketika kami hendak meninggalkan mereka dengan perahu kami, wanita itu membawakan kami beberapa butir telur dan tebu. Dia memberi dari sedikit yang ia miliki; namun ini tidak akan sia-sia.

 

Pasar minggu pagi di Boentok tahun 1924


Pulang Ke Tamiang-Layang lewat Sungai Barito

Saya mempersingkat cerita tentang sisa perjalanan ini. Anak-anak saya suruh pulang lewat darat membawa kuda sadangkan saya akan pulang Ke Tameang Laijang lewat sungai. Kepala Suku dari Bangkoang, yang dengannya kami menghabiskan malam itu. Dia membantu kami keesokan harinya ketika kami mendayung dengan cepat. Tidak jauh dari Mada kami harus turun dari perahu dan berjalan menuju Tameang Lajang. Semakin lama kami mendekati Telang, bekas pos Misi, semakin buruk tanahnya; pasir dan tidak ada apa-apa selain pasir putih yang terlihat di sana. Di Siong, tempat yang harus kami lalui, saya mengalami cerita lucu. Orang-orang polos mengira saya sebagai Controleur; karena mereka tidak pernah melihatnya. Saat saya melewati Desa beberapa orang bertanya kepada saya, "Dari mana Anda berasal?" "dari Boentok," jawabanku. Tidak lama kemudian kepala desa datang dengan beberapa pria, yang bersikap sopan, dan bertanya apakah mereka akan menjadi kuli saya. Karena aturan perintah bahwa barang-barang dari Controleur harus dibawa oleh orang-orang dari satu desa ke desa berikutnya. Saya mengatakan bahwa saya bukan Controleur, tetapi Tuan Pandita, itu tentu merupakan kejutan yang menyenangkan bagi mereka, sehingga mereka tidak perlu membawa barang-barang saya. Aku tertawa terbahak-bahak atas peristiwa ini.


Sumber :

BORNEO. DITBLAD IS HET DAGBOEK VAN K. HENDRICH'S ZENDING. De Rijnsche zending; tijdschrift ter bevordering van het christendom in Nederlandsch Indië, jrg 37, 1906