Rabu, 25 Juni 2014

IJAME : 9 Hari Menuju Datu Tunyung


IJAME :
9 Hari Menuju Datu Tunyung
by: Hadi Saputa Miter


Ijambe itself is a public health officer’s nightmare. Every day pigs are butchered on one side of the balai; food is prepared in the small kitchen attached to the balai by the old women. This food is dedicated to the spirits of the dead by the shamans at night, but fed to the elders after midnight, once it has been festering in the tropical heat all day.
               ( Judit M. Hudson, 1963 )

Apa itu Ijame?
Ijame adalah sebuah proses penghormatan dayak Maanyan Paju epat, untuk mengantarkan dan sebuah penghormatan kepada roh nenek moyang agar ditempatkan di tempat yang layak. Orang Maanyan khususnya sub kelompok paju epat sangat-sangat meyakini bahwa orang mati belum mencapai kesempurnaan kalau belum melaksanakan ijame. Kehidupan adalah roda yang berputar bahkan kematianpun harus diletakan disebuah rasa penghormatan yang tinggi, memerlukan waktu 9 (sembilan) hari agar arah benar-benar bisa pulang ke swarga loka yang disebut datu tunyung.

Papuyan
Situs papuyan adalah kunci utama, dari prosessi ijame ini. Karena situs inilah tempat dibakarnya tulang-belulang orang mati tersebut tanpa papuyan berarti tidak ada ijame. Ketiadaan situs papuyan nampaknya yang mempengaruhi dimana tidak ditemukannya Ijame pada sub suku lain seperti Kampung sapuluh dan Banua Lima.

Ijame dalam catatan sejarah
Ijame sempat disinggung sedikit oleh Missionaris Danninger saat ia bertugas di Murtuwu 1853, dia menggambarkan sebagai berikut:
Festival orang Haiden (Kafir) .
Baru-baru ini saya mengunjungi sebuah festival di Telang . saat itu banyak orang  berkumpul di Balei ( bangunan besar ) .saya melihat  Peti mati terbuat dari kayu gelondongan, yang dikelilingi oleh bertingkat oleh papan dan ditumpuk pada satu sama lain membentuk piramida. Lembaran papan dicat dengan gambar naga dan kekejian lainnya . Piramida dihiasi indah dengan cara lokal , tetapi juga memiliki setiap bagian penting sendiri. Untuk setiap jiwa menggantung daun kelapa yang dikepang. Sekitar piramida terdapat kelapa dan berbagai varietas padi serta tanaman lainnya , semuanya ditujukan untuk  roh dan arwah, kemudian hari peti mati dibakar pada onggokan kayu yang besar . Jika Anda melihat kerumunan  dalam festival kematian itu, seolah-olah mereka serius, ingin memberi mereka yang mati pemurnian dari dosa seperti yang mereka klaim. Tidak hanya sampai disini pengorbanan berdarah sebelumnya dilakukan dengan seekor  kerbau untuk ditukar sebagai pendamaian bagi dosa orang  mati. Apakah sebenarnya yang mereka  tawarkan, mengikat binatang serta melakukan kekejaman terhadap hewan yang terluka apakah itu lucu, dan semua sorakan dari sukacita atas penyiksaan, jika kerbau di tusukan tombak yang tak terhitung jumlahnya tarian kematian diatas bangkai binatang . Tapi ada juga pesta pora bersama, karena binatang tidak terbakar tetapi dimasak dan dimakan, tetapi untuk jiwa-jiwa orang mati kerbau dengan kedua tiba di luar. Namun peristiwa Telang ini bisa saya gunakan untuk mengajarkan tugas saya. Ketika kepala suku datang bersama rombongan orang-orang didalam rumah besar, dan saya mengatakankan tentang  satu-satunya korban yang valid untuk menebus dosa seluruh dunia yaitu Kristus, yang bertentangan dengan kesia-siaan yang mereka lakukan  untuk mereka yang mati tersebut.[1]

Gambaran tersebut memang isinya sangat keras mengecam ijame, namun itu bisa dimaklumi karena itu merupakan bahasa seorang Missionaris Pietis, yang memandang budaya asli sebagai sebuah penghalang Kekristenan.
Tulisan yang cukup netral dari pandangan orang Eropa terhadap Ijame adalah oleh F.Trefferes seorang tentara Belanda berpangkat Mayor, dia menulisnya dalam catatan perjalanannya pada  Maret 1927 di Telang, dia diajak oleh putra Suta Ono yaitu Suta Negara untuk melihat kegiatan yang ia sebut dengan “I Djame” kegiatan tersebut berlangsung dari tanggal 4-12 maret 1927 di desa Balawa.[2]
Sastrawan Gus tf Sakai menggambarkan Ijame dalam novelnya yang berjudul Tiga cinta, ibu :
Siong.
Suara nalente dan panewang berdengung di siang bolong. Menindih deraian tawa bocah, menyapu debu yang berhamburan di jalan tanah-jalan utama kampung-yang tersepak sekian kaki, lalu lepas ke pohon-pohon karet. Angin bertiup lembut, tapi tak berhasil mengusir gerah. Seriuh inikah
nung, nung nig gongngng....
nunb nung, ning, gongengng….
nunb nung, ning, gongengng….
Sampai juga aku di desa ini, tapi ketika upacara ijambe telah berlangsung lima hari. Hari ini adalah hari yang keenam dari tujuh hari ijambe. Dan, sejauh itu, waktuku terpaksa kuserahkan lebih banyak ke warung-wamng tiba di sekitar bale. -tempat di mana upacara dilakukan. Riu ternyata memang berada di sini. Tapi, kekhusyukan upacara di mana gadis itu ikut serta di dalamnya, membuat kami seperti dua orang yang tak pernah kenal. Beberapa kali kami berbaku tatap, namun seperti ada sesuatu yang kalcu mendindingi. Kekakuan yang seperti bulan berasal dari kekhusyukan upacara. Mengganjal, dan aneh.
"Sudah berapa kali menyaksikan ijambe?" tanya Victor, lelaki Batak yang menyuguhkan kebersamaann sejak tadi pagi. Hadir dan berkenalan di sini, karni cepat akrab dalam status, turis lokal. Kuseruput kopi panas dari piring ceper. Kuleletkan lidah. "Baru kali ini; kataku. Di luar warung anak-anak berkeringat. Kotor, dan ada yang bertelanjang dada. "kau?" "Sudah beberapa Victor menggunakan jemari menyisir rambutnya yang pendek.
Gaya bicaranya amat terbuka dengan dialek Batak yang telah pupus. Kocak dan segar, membuat tembok yang membatasi usia kami jadi tak berarti. la beberapa tahun lebih tua, dan masih bujangan. Bolak-balik dari warung tiban ke bale, Victor bonyak bercerita rentang ijambe. Di sepanjang upacara, ia memberitahu apa yang tak kutahu. Kegelisahanku akan sikap Riu yang aneh mengendap sejenak, tenggelam dalam omongan Victor. "Sebentar lagi akan dilakukan nampotei karebau, acara pembunuhan kerbau yang barangkali paling sadis daripada segala pembunuhan yang pernah kau saksikan," terang Victor ketika para mengurak silanya dari lantai bale. Balian-balian itu berdiri. Tetabuhan gong meninggi.
nung, nung nig gongngng....
nunb nung, ning, gongengng….
nunb nung, ning, gongengng….
Lantai bale yang terbuat dari bambu berderit ketika para balian bergerak menuju teras. Balian paling depan mengacung-acungkan luwuk. "Mereka percaya bahwa ayunan luwuk bisa menghindarkan mereka dari tarikan arwah yang sedang mereka doakan," jelas Victor tentang besi yang bentultnya seperti penggaris itu. "Juga luwuk berfungsi sebagai penunjuk jalan agar perjalanan para arwah tidak tersesat." Semua orang di bale, pengikut upacara, yang ridak hanya terbatas pada laki-laki dan perempuan dewasa; juga kanak-kanak, sekarang berdiri. Mengikuti para balian, mereka juga turun ke teras yang terbuat dari cecabangan kayu. Nalente dan panewang kembali dipukul tinggi. Beberapa wanita merapat ke arah balian. Riu kini menating nampan-nampan kecil yangdi dalamnya terdapat sesajen: seniru beras, daging babi, ayam, nasi, yang semuanya dihiasi janur.
Balian balian yang lain sesekali menabur-kan beras, membuat helaian daun sawung yang mencuat dari ubel-ubel merah yang menutupi kepala mereka terangguk-angguk. Kerbau itu, sang korban, dijerat lehernya dengan rali rotan dan diikatkan ke bluntang.. Perempuan yang memirnpin para balian menepiskan kakaman. Yang menjuntai, lalu mulai membaca
ina haiemau kalaau naun
matei na eneey kalaau nalun
ma datu tunyung
Habis membaca hiang, pemimpin balian mengayunkan Luwuk di tangannya ke kepala kerbau. Darah muncrat, dan sang kerbau yang relah dipuasakan beberapa hari itu berontak. Empat lelaki, yang telah bersiap dengan tombak di tangan di setiap sudut lapangan, mulai melaksanakan tugasnyai tombak menancap-nancap! Darah berceceran! Beras terus ditaburkan. Hiang terus dibaca.[3]

Iwuwuh makan bersama di balai
Prosesi Ijame
Perlengkapan ijame
Membuat titian dari rumah kegiatan (lewu putut) menuju Balai yang disebut tetei
Mempersiapkan Tarip atau papan ukir
Tammak: tempat penyimpanan abu (Mapui) setelah pembakaran tulang.
Baluntang: tempat mengikat kerbau yang akan dikorbankan
9 hari diuraikan sebagai berikut:
1.Tarawen
Pembuatan peti mati yang disebut dengan Rarung, kemudian dilakukan ibungkat menggali tulang atau jasad dari pemakaman, tulang dibersihkan dengan minyak tanah dan dikumpulkan didalam rarung kemudian digendong menjuju balai.
2.Neet uwey
Kegiatan ini utamanya adalah neet= meraut, Uwey=rotan yang digunakan untuk sabung ayam
3.Narajak
Dilakukan di situs papuian yaitu mnyusun bambu sehingga membentuk pramid (tarajakan)
4.Muarare
Adalah mengayam bambu, yang disematkan di tarajakan
5.Nahu
Ini adalah proses mengasapi kayu agar menjadi hitam yang nantinya akan diselipkan juga ditarajakan
6.Nyurat
Proses membuat gambar untuk atap papuyan
7.Nansaran
Membuat teras atau lalaya untuk papuyan
8.Munu
Pada hari ini gelanggang adu ayam dibongkar dan Kerbau diikat dibalontang

Munu, proses pengorbanan Kerbau
9.Mapui
Proses terakhir yaitu membakar Tulang,tulang yang dibakar yang sudah membara tersebut dikumpulkan didalam gong dan ditaruh didepan balai yang akan ditangisi oleh pihak keluarga dan akhirnya dicuci dengan air kelapa (tamanung) kemudian diantar ke Tamak.
Kembali saya mengutip Novel Gus Sakai:
Api berkobar-kobar. Rarung bergemererak, membara, bolong, menyembulkan tulang-belulang. Belulang itu hangus, berjatuhan dan mengabu di lantai papuyan. Perbekalan arwah pun rnendapat giliran, tak berdaya dan luluh dalam pembakaran. Ketika seluruh kerangka sempurna menjadi abu, papan sisa rarung yang masih membara dibuang ke ranah. Nalente, gong besar itu, pun melaksanakan fungsinya. Abu kerangka dimasukkan ke situ, lalu disiram dengan wewangian. Selesailah sudah. Iring-iringan kembali terbentuk menuju bale Di depan bale, nalente yang telah dipenuhi abu kembali di-hiangi oleh balian. Terakhir, para balian memegang abu pembakaran mayat. Konon, ijambe berasal dari kata nyambe, yang artinya memegang. Memegang abu, itulah. Kupikir upacara telah selesai, tapi temyata belum. Aku kembali dibawa memasuki jejeran pohon karet. Kali ini ke suatu bangunan yang disebut tambak. Di dalam Tambak itulah segalanya berakhir. Abu pembakaran dimasukan ke dalam sebentuk rarung yang lebih besar. Rarung yang berusia entah telah berapa puluh tahun, dan entah telah menelan berapa manusia. Para arwah telah menuju surga.[4]

Wadian ijame, menunjukan jalan arwah dengan menggunakan luwuk


Tamak, tempat penyimpanan tulang sisa pembakaran
Ijame dan modernitas
     Ijame makin lama makin tersudut oleh kemajuan jaman, Ijame silam adalah sebuah upacara penghargaan yang hidup kepada yang sudah mati. Kepercayaan lokal orang maanyan yang sudah ditinggalkan oleh para generasi post modern ini, menyisakan kisah romanisme saja. Ijame terakhir yang saya ikuti adalah tahun 2010 di Murutuwu saya sempat berbicara dengan seorang wadian yaitu Langu dari Murtuwu, apakah ini Ijame terakhir ujarku? Ia menjawab dengan pandangan menerawang entahlah saya harap tidak. Harapan wadian Langu adalah kecemasan kalau budaya yang ia cintai akan menghilang namun apa mau dikata kebudayaan bukanlah benda mati, yang stagnan ia akan terus berubah menyesuaikan dan kebiasaan manusia di jamannya masing-masing. Sama seperti rumahrumah kayu maanyan yang berubah menjadi beton, jukung digantikan oleh mobil dan sepeda motor jepang serta Hyang Wadian akan digantikan lantunan nyanyian lagu top chart terbaru dari Hand phone android buatan cina.






SUMBER:
Foto-foto adalah koleksi dari Judit Murddock Hudson dan Alfred Bacon Hudson di Massachusetts Amerika Serikat.

F.Ukur 
Ijambe Upacara Pembakaran Tulang Orang Dayak Ma’anyan (Berita Antropologi, 1974)
Wasita
Ijamme Di Telangsiong Kabupaten Barito Timur (Pusat Arkeologi Banjarmasin, 2005)
Budaya Dayak Maanyan: Idjame Pembakaran Tulang Alla Ngaben Di Murutuwu Paju Epat (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Barito Timur 2008). 
 E L. Danninger
Das Mission Auf Morotowo ( Barmen: Berichte Rheinischen Missions Gesellchaft, 1859 ).
F.Trefferes
Een Eigenaardige Adat Bij Manjan Dajaks In De Oost Doesson Landen ( Kolonial Tijdschrift  17 jaargang 1928 ).
Judit Hudson
Waiting for the Durian to Drop: The Fruits of Patience During a Year in Village Borneo: Nine Days And Nine Nights (Pelham, Massachusetts 2001)
H.Sundermann
Religiöse Anschaungen Und Gebrăuche Der Haidnischen Dajakken Auf Borneo (Berlin: Missionszetschrift 1908)
Gus tf Sakai
Tiga cinta, ibu (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002).




[1]  Laporan Missionaris  E L. Danninger di Murtuwo, Das Mission Auf Morotowo ( Barmen: Berichte Rheinischen Missions Gesellchaft, 1859 ).112-114
[2]  F.Trefferes, Een Eigenaardige Adat Bij Manjan Dajaks In De Oost Doesson Landen ( Kolonial Tijdschrift  17 jaargang 1928 ).
[3]  Gus tf Sakai, Tiga cinta, ibu (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002).43-45
[4]  Gus tf Sakai, Tiga cinta, ibu (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002).48-49

4 komentar:

  1. Laknatullahi aalaz zalim min.

    BalasHapus
  2. Laknatullahi aalaz zalim min.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sungguh sedih saya atas hinaan anda, terhadap Kebudayaan kami. saya yakin bahwa ajaran Islam tidak mengajarkan untuk seperti itu
      Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S.Al Hujurot{49}:13).
      Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik ….. ( Q.S. Al hujurot {49} : 11 )

      Hapus
  3. mereka tidak tau tentang apa yng meteka ucapkan...

    BalasHapus