Rabu, 11 Juli 2012

TOKOH MA'ANYAN (1) Fridolin Ukur


Fridolin Ukur :
Tentara, Pendeta, Sastrawan

Dalam penantian ini
Diri tejepit antara gunung kehidupan dan tubir kematian
Keduanya menawarkan pengharapan
Kehidupan kekinian, di sini
Kehidupan keakanan , di sana …

Pendeta berpeci hitam

Putra Dayak Ma’anyan itu.
Fridolin lahir di Tamiang Layang pada tanggal 5 April 1930 dia merupakan anak seorang kepala sekolah dari Sekolah Rakyat di Tamiang Layang, sebagai seorang anak dayak ma’anyan dia tergolong anak yang cerdas.  Setelah menamatkan sekolah rakyat di kampungnya, pada tahun 1936  Ukur (nama panggilannya), bersama abangnya Wilson Ukur melanjutkan pendidikannyake Banjarmasin di Hollandsch-Inlandsche School disingkat HIS (setingkat sekolah dasar untuk anak pribumi) lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs disingkat dengan MULO (setingkat sekolah menengah) dan VHOWN (Voorbereind Hoogere Onderwijs-Wisen Naturkunde Afdl) setingkat SMU.
Pak Ukur pernah naik pitam saat menjalani pendidikan di Banjarmasin karena abangnya Wilson Ukur dihukum karena ketahuan menggunakan bahasa Maanyan disekolah, hal itu dikarenakan mereka wajib menggunakan bahasa Belanda selama bergaul. Keadaan berubah ketika tentara Dai Nippon(Jepang) masuk ke Banjarmasin tahun 1942, akibatnya Ukur harus pulang ke Tamiang Layang. Namun selama itu minat belajarnya taak pernah surut. Di tengah-tengah kesibukan membantu keluarga ia menyempatkan diri membaca buku-buku milik ayahnya, yang waktu itu menjadi kepala sekolah rakyat di kampungnya. Di antara buku-buku milik ayahnya itu ia menemukan sebuah buku, semacam buletin, yang berjudul Pakat Dayak. Buku ini diterbitkan oleh sebuah organisasi bernama Pakat Dayak, yang mengusung isu nasionalisme. Selain itu ia juga membaca buku-buku karangan Bung Karno. Hal inilah yang membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme dalam diri Pak Ukur. Bahkan ia termasuk seorang pengagum Bung Karno.


Dari Tentara ke Pendeta
Semangat dan jiwa nasionalisme itulah yang mendorong Pak Ukur pada tahun 1947 – 1950 untuk bergabung dengan laskar ALRI Divisi IV Kalimantan yang melakukan gerilya di wilayah Barito Selatan dan bermarkas di Sanggu, sebuah desa sekitar 20 km dari Buntok. Karena pendidikannya ia diberi pangkat Pembantu Letnan Satu dengan jabatan Wakil Komandan Kompi. Nama samarannya adalah Effendy Udaya. Sedangkan komandan kompi adalah abangnya sendiri Wilson Ukur (pensiun dengan pangkat kolonel di Pusat Pendidikan Infrantri, Cimahi). Ketika keadaan normal ia kembali ke Banjarmasin dan diangkat sebagai Wakil Komandan Kompi Commando Troop Perserikatan Bangsa-bangsa dan ditempatkan di Kuala Kapuas. Sedangkan jabatan Komandan Kompi dipercayakan kepada abangnya.

Wilson Ukur, Majak Kalatak, Fridolin Ukur

Ketika Sang Abang melanjutkan pendidikan militer di AMN Magelang, jabatan Komandan Kompi diserahkan kepada Pak Ukur. Namun tahun 1950 Pak Ukur memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Hoogere Theologische School waktu itu). Ketika baru kuliah ia masih militer aktif dan masuk ke ruang kuliah pun masih memakai pakaian tentara lengkap dengan atribut kepangkatannya. Ia baru resmi berhenti jadi tentara pada bulan Desember 1950 dengan pangkat terakhir Letnan Satu. 

Setelah di Tahbiskan sebagai Pendeta di Kuala Kapuas tahun 1956, Mengawali karir kependetaannya ia mulai mengajar di Akademi Theologi GKE di Banjarmasin dan  tahun 1963 itu ia dipercayakan untuk memimpin Akademi Theologi GKE (sekarang STT GKE). Salah satu bagian dari proses belajar mengajar yang ia perkenalkan adalah kegiatan Praktik Pengenalan Lapangan bagi setiap mahasiswa yang hendak mengakhiri studynya.

 pentahbisan pendeta di Kuala Kapuas tahun 1956 Pak Ukur berdiri paling depan ditengah

Menimba Ilmu sampai ke Eropa.
Sambil memimpin Akademi Theologia Pak Ukur mulai mempersiapkan diri untuk study doktor. Untuk itu ia belajar ke Fakultas Teologi Universitas Basel, Swiss sekaligus melakukan riset kepustakaan. Dari Fakultas Teologi Basel itu ia meraih gelar doktorandus (kandidat doktor).  Lalu gelar doktor teologi ia peroleh dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1972. Karena sejak awal ia memang berminat dalam bidang sejarah kebudayaan, maka itu pulalah yang menjadi riset doktoralnya, yang ia tuangkan dalam disertasi yang berjudul “Tantang Jawab Suku Dayak”. Ia adalah doktor teologi angkatan pertama dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Setelah merampungkan study doktornya, tahun 1972 itu Pak Ukur dipercaya untuk memimpim sebuah lembaga yang bergengsi, yaitu Lembaga Penelitian dan Study Dewan Gereja-gereja di Indonesia (LPS DGI) di Jakarta. Selama ia menjabat sebagai pimpunan lembaga ini banyak produk-produk riset, kajian, dan penerbitan yang dihasilkan. Salah satu karya monumental lembaga ini adalah buku berjudul “Jerih dan Juang Gereja-gereja di Indonesia”. Sebuah buku yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian mengenai gumul dan juang gereja-gereja di Indonesia dalam konteks sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama-agama. 

Sastrawan Angkatan 66 itu ulun Ma’anyan
                Kritikus sastra, HB Yasin dalam bukunya Angkatan ’66, Prosa dan Puisi menobatkannya sebagai salah seorang penyair Angkatan ’66. Sebagai sastrawan dan penyair ia juga banyak menulis puisi. Dua buku kumpulan puisinya diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan judul Darah dan Peluh dan Wajah Cinta. Waktu pun berbisik:
Pengalaman yang berserakan
Jejak-jejak yang ditinggalkan
Adalah kelopak-kelopak bunga cinta,
Sebuah bunga rampai
Mekar di tangkai;
Seperti bianglala menganyam mimpi
Meraih, menggapai, memeluk fajar
Sebuah harapan tak pernah pudar!

Aku pun ikut berbisik:
Perjalanan ini, sayang
Bukannya ruang sempit dan lorong sepi!
Kembara ini, kasih
Adalah jalan lebar menyemai cinta
Di atas bumi
Di antara sesama ….

Tersirat dalam banyak puisi Ukur bahwa tiap hari merupakan perlombaan lari. Ukur merasa diri berlari, bukan seorang diri melainkan dengan sang waktu, ia berpacu dengan waktu, ia dan waktu berlari bersama tiap hari, namun sering ia merasa ditinggal oleh waktu. Ia merasa dikhianati oleh waktu. Tulisnya:

Apakah waktu mengkhianati aku
Ketika aku disibuki dengan ceramah
Ketika aku berkhotbah tentang
Cakar hitam dan pagi biru,
Ketika gairah kuhabiskan di konferensi
Dan rapat-rapat…
Masih ada waktu melempar bayang
Menanya diri dan kesilaman:
Tentang khianat dan bakti
Tentang dosa dan pengampunan suci
Tentang kawan berdoa pengisi sunyi…

Sastrawan Korrie Layun Rampan mengatakan walau saya tidak dekat dengan Ukur , namun kedekatan kultur  yang ada karena sesama  orang dayak kampung.  Ukur juga seorang kawan yang bersahaja sehingga Korrie Layun Rampan pernah menulis secara khusus tentang Fridolin Ukur pada majalah sastra Horison.


Sisi kemanusiaan seorang Ukur
Menikah dengan Sri Partiwi, seorang gadis Dayak – Jawa dari desa Tamiang Layang dan dianugerahi 1 orang putra, Perah Tamiang Ukur. Sri Partiwi bekerja sebagai PNS adalah seorang guru yang mengajar di SMEA Negeri Banjarmasin, lalu pindah ke Jakarta mengikuti sang suami tercintanya.
Pdt.DR.Fridolin Ukur dan istrinya ibu Sri Pratiwi

Pdt.Andar Ismail mengatakan : Ukur digemari oleh banyak kalangan sebagai penceramah favorit karena pembawaanya yang kocak. Ceramahnya padat dan singkat. Ia cakap bercerita. Hadirin meledak dalam tawa jika ia menceritakan anekdot yang nyerempet politik atau nyerempet pornografi.
Pdt.Jhonson Simanjutak pernah bercerita bahwa pernah diajak makan oleh Pak Ukur dengan lauk Wadi yang baunya sangat menyengat “Pak Juntak ini yang enak “katanya sapai keluar ingusnya Pak Ukur.
Marrie Clarie Barth, bercerita bahwa kesukaan Pak Ukur memakai peci dikarena badannya yang pendek maka Pak Ukur suka memakai peci supaya terlihat agak tinggi. Karena kesukaanya memakai peci pernah beliau dipanggil pak haji oleh seorang pelayan restoran.
Pada Mei 1965 saat perayaan Jubelium 150 Tahun Basel Misson di Swiss pak ukur diminta berpidato maka beliau berdiri dengan tubuhnya yang pendek namun suara menggelegar bagai Guntur dia berpidato berapi-api tentang semangat nasionalis Indonesia dan kecintaanya terhadap bangsa dan negaranya. Pidato itu dilakukan dilapangan terbuka didepan gedung walikota Basel dan dihadiri banyak orang.


Pendeta berpeci itu tutup usia
Sejak operasi ambeien tahun 1989 dokter sudah memperingatkan Pak Ukur akan adanya gejala kanker di ususnya, Pak Ukur juga pernah dioprasi akibat penyempitan pembuluh darah diotak. Namun kesibukannya mengakibatkan ia tidak terlalu memperhatikan peringatan yang diberikan dokter itu. Setelah sebeberapa lama dirawat karena penyakit kanker ususnya, pak Ukur harus menyerah pada penyakit kanker usus yang menggerogotinya, dan ia wafat dengan meninggalkan berbagai kenangan orang tentang diri dan karya kemanusiaannya pada tanggal 27 Juni 2003 pukul 05.25 WIB di Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta. Beliau dimakamkan di kampung halamannya Tamiang Layang.

karya tulis Pak Ukur atau Amah Perah:
Malam Sunyi (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1960)
 Darah dan Peluh (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1961)
Belas Tercurah (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1980)
 Iklan dari Surga (Kumpulan Renungan, terbitan Pustaka Sinar Kasih 1980)
Wajah Cinta (Kumpulan Puisi, terbitan 2001).
Tantang Jawab Suku dayak.
Tuaiannya Sungguh Banyak.

 Buku tentang sejarah Gereja Kalimantan Evangelis karya Pa Ukur


 Kumpulan Puisi"Wajah Cinta"karya F.Ukur


Minggu, 24 Juni 2012

UPACARA WARA TUNTUNAN MENUJU DUNIA PENANTIAN DAYAK LAWANGAN


UPACARA WARA
TUNTUNAN MENUJU DUNIA PENANTIAN
DAYAK LAWANGAN
By:
HADI SAPUTRA MITER


Panitia Upacara Wara yang dilaksanakan di Tamiang Layang Tahun 2012

Kematian sebagai transisi menuju keabadian
Suku dayak Lawangan sangat menghargai kepercayaan para leluhur mereka, antara lain dengan melaksanakan ritus kematian. Orang dayak Ngaju memahami kematian sebagai pintu gerbang masuk ke negeri arwah yang sangat luhur, yaitu negeri dan kediaman asal para leluhur mereka. Pemahaman ini sejajar dengan pemahaman suku Dayak Lawangan khususnya pada acara ritus kematian. Sehingga ritus kematian yang dilakukan oleh keluarga yang meninggal sangatlah menentukan keadaannya di alam baka, apakah Ia tinggal di negeri yang penuh dengan kemakmuran, kekayaan, keindahan serta terbebas dari penderitaan hidup dan bertemu kembali dengan para leluhur, ataukah rohnya akan menjadi arwah gentayangan yang menggagu kehidupan.

Peti mati Orang lawangan tahun 1900
Foto koleksi: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Belanda

             
Mang Nuhur sebegai pengharapan akan ke-akanan
Sebelum peristiwa Mang Munur, suku Dayak Lawangan tidak mengenal adanya kematian sebab menurut kepercayaan mereka, apabila seseorang sudah tiba pada saatnya maka Ia akan menghilang dengan sendirinya atau langsung berpindah ke negeri keluhuran, untuk mengetahui saatnya telah tiba biasanya pada setiap orang yang berbeda-beda dan Ia akan menyatakan perasaannya itu kepada seluruh keluarganya. Seluruh keluarga dan Ia sendiri menyiapkan segala sesuatu untuk perpisahan dengan yang akan berangkat dan yang ditinggalkan. Namun, setelah peristiwa Mang Munur proses kematian suku Dayak Lawangan menjadi berbeda.
            Diceritakan tentang Mang Munur, Ia adalah seorang yang serba berkecukupan , mempunyai kekayaan yang melimpah, mempunyai hamba sahaya, dan mempunyai tujuh orang istri. Namun Ia sama sekali tidak puas dengan apa yang Ia miliki, sebab Ia yakin bahwa sesungguhnya kepuasan hidup Ia dapatkan dalam Tumpuk Tatau atau Tumpuk Adiau. Semua orang yang telah pergi ke sana tidak ada yang kembali pulang ke bumi lagi, hal inilah yang menjadi bukti bahwa di sana kehidupan yang menyenangkan. Memang diakui bahwa ada dunia kekinian dan dunia seberang (Tumpuk Tatau artinya negeri yang kaya raya atau Tumpuk Adiau artinya negeri para arwah), tempat itu dikenal dengan nama Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan. Itu merupakan satu tempat yang menyenangkan sebab tidak ada lagi penderitaan dalam hidup untuk mendapatkan suatu kebahagiaan, kerena di sana semua yang diinginkan telah tersedia tanpa bersusah payah untuk mencarinya.
Didasarkan pada rasa penasaran tersebut maka Mang Munur memerintahkan pada ketujuh istrinya untuk mencari harta Katatau Matei yang pada saat itu dimiliki oleh Jawa Ilang. Uniknya benda yang dinamakan Tajau Wura Tajau Inso (nama bagian dari harta katatau matei) ini ketika Mang Munsur mencobanya dapat membuat aliran sungai menjadi kering, pohon menjadi mati. Betapa senang hati Mang Munur ketika melihat hal tersebut, Ia segera menyuruh ketiga istrinya supaya meletakkan benda tersebut ketubuhnya dan mereka meletakkannya di kaki Mang Munur, ketika itu juga kakinya menjadi mati dan Ia meminta ketujuh istrinya supaya mereka melanjutkannya pada bagian-bagian tubuhnya yang lain hingga akhirnya Ia mati. Sejak itulah dikenal istilah kematian pada kalangan suku Dayak Lawangan.
            Dari uraian di atas, kematian merupakan pintu gerbang ke negeri yang sangat luhur oleh sebab itu baik hidup maupun mati menurut alam pemikiran Dayak Lawangan, penuh dengan tantangan dan kesengsaraan, dan kepercayaan Dayak Hindu Kaharingan memberikan jalan keluar untuk melepaskan diri dari kesengsaraan itu. Keharusan mutlak yang diwajibkan oleh agama mereka bahwa tiap-tiap orang yang meninggal, harus diadakan upacara untuk mengantarkan orang yang meninggal dari alam yang fana ini ke alam yang baka, yaitu dengan upacara Wara.

Mengantarkan Kedunia Keabadian Dengan Wara
Pelaksanaan upacara Wara bisa langsung dilakukan setelah seseorang meninggal, apabila dari pihak keluarga mampu untuk melaksanakannya, Tetapi apabila dari pihak keluarga tidak mampu untuk melaksanakan upacara wara pada saat itu juga maka bisa ditunda sampai pihak keluarga mampu melaksanakannya.
Upacara wara terbagi atas 6 tingkatan, yakni:
1.      Wara satu malam satu hari.
2.      Wara tiga hari tiga malam.
3.      Wara lima hari lima malam.
4.      Wara tujuh haru tujuh malam.
5.      Wara sembilan hari sembilan malam.
6.      Wara empatbelas hari empatbelas malam.
Dalam upacara Wara tergantung pada kemampuan dari pihak keluarga yang meninggal, bila pihak keluarga sudah melaksanakan wara satu hari satu malam maka pihak keluarga sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepa arwah yang meninggal sebab rohnya sudah berkumpul dengan sanak saudaranya yang terlebih dahulu sampai ke Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan. Namun, dikemudian hari apabila dari pihak keluarga punya kemampuan untuk melaksanakan wara yang lebih besar dari satu hari satu malam, bisa dilakukan oleh bihak keluarga yang meninggal. Setelah pihak keluarga telah melaksanakan wara empatbelas hari empat belas malam, akan tetapi mereka masih punya kemampuan dikemudian hari maka bukan wara lagi sebutannya akan tetapi pesta ulang tahun bagi sang arwah.
Pada umumnya dikalangan Dayak Lawangan yang masih beragama Kaharingan, begitu ada salah satu dari anggota keluarganya yang meninggal, mereka langsung melaksanakan wara satu hari satu malam karena biayanya tidak terlalu besar. Upacara wara biasanya biasanya berpusat di rumah atau bisa juga di Balai oleh sebab itu keluarga yang meninggal sangat sibuk bekerja demi kelancaran upacara Wara yang dilakukan.
Dalam urut-urutan pelaksanaan upacara Wara yang dilakukanoleh suku Dayak Lawangan, dimulai dari kematian sampai pada upacara mengantar arwah atau roh orang yang sudah meninggal ke negeri keluhuran, maka akan telihat adanya dua tokoh yang sangat penting, yakni Balian Wara dan Luying Buyas.


Orang lawangan tahun 1900
Foto koleksi: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Belanda

Balian Wara sebagai penunjung jalan menuju swarga loka
Balian Wara mempunyai kedudukan sebagai pemimpin puncak adalah sangat penting untuk menentukan kelancaran tugas untuk mengantar arwah atau roh orang yang sudah meninggal karena kedudukannya sebagai pendeta atau imam, yaitu perantara antara hubungan manusia dengan Yus Allatala ( sosok pencipta/Tuhan istilah Lawangan), tidak semua orang bisa menjadi Balian Wara serta mengerti tentang tata cara memanggil roh orang mati maupun mengantar roh si arwah ke negeri keluhuran. Seseorang yang mendai Balian Wara merupakan keturunan langsung dari Balian Wara sebelumnya, biasanya Ia mengalami kemasukkan roh dari nenek moyangnya yang sebelumnya menjadi Balian Wara, setelah Ia mengalami kemasukkan Roh nenek moyang itulah Ia menjadi seorang Balian Wara.
Balian wara tidak bisa mengantar arwah atau roh orang yang meninggal langsung sampai ke negeri keluhuran sebab sangatn berbahaya untuk keselamatan jiwanya sendiri, apabila Ia memaksakan diri untuk mengantar hingga sampai ke negeri keluhuran maka dapat dipastikan Ia akan mati karena rohnya tidak dapat kembali ke dunia, sebab tidak ada roh yang berada di negeri keluhuran yang mau mengantar rohnya kembali ke dunia. Balian Wara hanya bisa bisa mengantar roh orang yang menionggal tersebut sampai ke puak katar saja dan seterusnya dipimpin oleh Luying Buyas sehingga sampai ke negeri keluhuran. Luying Buyas sendiri adalah jelmaan dari roh beras, Ia digambarkan sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa dan Ia selalu berjalan dibarisan terdepan dalam rombongan semenjak mulai berangkat untuk mengantar arwah atau roh orang yang meninggal.
Luying Buyas melanjutkan perjalanan bersama roh orang yang meninggal tersebut di mulai dari Puak Katar, untuk melanjutkan perjalanan sang arwah sehingga sampai ke negeri keluhuran dan menyerahkannya kepada pikah keluarga yang telah mendahuluinya serta kepada seluruh masyarakat roh yang berada di negeri keluhuran. Dalam acara penyerahan roh sang arwah digambarkan seolah-olah ada pertemuan antara yang meninggal dengan arwah-arwah yang meninggal terlebih dahulu, disamping pertemuan tersebut, Luying Buyas secara resmi menyerahklan arwah yang diantarnya supaya dapat diterima keberadaannya di negeri keluhuran, setelah penyerahan selesai maka Luying Buyas pun berpamitan kepada mereka untuk kembali ke Puak Katar dimana Balian Wara menunggunya. Menurut mereka apabila seseorang tidak dapat berkumpul dengan kelurganya yang terlebih dahulu meninggal setelah Ia meninggal dunia maka Ia telah melakukan suatu kesalahan yang tidak dapat terampuni.
      Upacara Wara dalam kepercayaan Kaharingan juga berarti pembebasan baik bagi yang masih hidup ataupun bagi yang sudah meninggal. Bagi yang meninggal pembebasan dari penderitaan dan kesengsaraan sedangkan bagi yang masih hidup pembebasan dari malapetaka, penyakit, terhindar dari bencana, kemiskinan dan lain-lain.



Sabtu, 23 Juni 2012

ALFRED B.HUDSON DAN JUDIT M.HUDSON "PENELITI DAYAK MA'ANYAN"

ALFRED B.HUDSON 
DAN 
JUDIT MURDDOCK HUDSON
 ( PENELITI DAYAK MA'ANYAN )
by:
Hady Saputra Miter




Mengenal Al dan Judy
   Alfred Hudson dengan panggilan akrab Al, seorang peneliti asal Amerika serikat (US) jurusan antrophologi  dari Cornell University mendalami tentang masyarakat dayak Ma’anyan dengan judul penelitiannya PADJU EPAT :The Etnography And Social Structure Of A Ma’anyan Dajak Group In Southeastern Borneo yang di Sponsori oleh Ford Fundation yang berpusat di Manhhatan New York Amerika Serikat.
    Alfred Bacon Hudson lahir di Amerika tanggal 6 Januari 1932, kuliah Antrophologi di UC Berkeley dan melanjutkan kuliahnya guna mendapat gelar PHD di Cornell University jurusan Antropologi South Asian Studies khusus bidang kebudayaan Indonesiai di Itaca New York. Dan mendapat gelar Frofesor Antropologi dari UMASS Amherst.
   ketertarikan Al dengan kebudayaan dayak dimulai saat ia membaca artikel tentang dayak Siang yang ditulis oleh Jhon. H. Provinse yang berjudul "Cooperative Ricefild Cultivation Among The Siang Dajak of Central Borneo"  terbitan tahun 1937 Oleh American Anthropologis, dari situ Al mulai tertarik membaca beberapa group komunitas dayak di sepanjang aliran sungai Barito. dari tulisan itu pula banyak Al menemukan artikel tentang Kanibalisme dan Perburuan kepala ( Ngayau ) sehingga rasa penasarannya betul-betul menguat. ternyata Perburuan kepala justru tidak Al temukan dalam struktur Budaya Ma'anyan di kemudian hari.
   Tahun baru 1963 Al dengan Istrinya berangkat ke Banjarmasin, di kota itu Al mendatangi Teologi Seminary Gereja Kalimantan Evangelis (STT-GKE) guna mendapatkan data awal dan disitu pula dia menemukan data tentang Dayak Maanyan. yang dikatakannya " I Obtaind my first data on the Ma'anyan from my frend at the Seminary" dari data yang saya temukan teman yang Al maksud adalah bapak Fridolin Ukur.


Judith Murddock Hudson
istri Al Hudson

Kedatangan ke Paju Epat
    Dengan data yang ia miliki Al dan istri berangkat ke Palangka Raya, disanalah Al berkenalan dengan seorang pejabat Provinsi bernama Kristian Njunting. hasil perkenalan itu Kristian Njunting mereomendasikan agar Al memperkecil ruag lingkup penelitiannya kepada masyarakat Paju Epat yang berpusat di Telang. bertepatan pula bapak Njunting ternyata berasal dari Telang dia membantu Al dengan membuat surat pengantar untuk keluarganya di Telang agar menerima Al dan istri.
   Al kembali ke Banjarmasin guna mempersiapkan perbekalan termasuk imunisasi Kolera. dari Banjarmasin Al dan istri ikut kapal sungai dengan rute Banjarmasin-Puruk Cahu, dan mereka singgah di desa Bingkuang melanjutkan perjalanan menggunakan kapal motor kecil (Kelotok) setelah melalui negosiasi, mengingat perjalanan sepanjang 15 Km menuju telang melewati sungai.
kedatangan Al ternyata bertepatan dengan upacara Ijambe (ijame) yang dilaksanakan selama 9 hari 9 malam.

Ford Fondation sponsor penelian 
Al. Hudson dan Judy Hudson 
selama di Indonesia



Menyesuaikan diri di tanah Ulun Ma'anyan.

    Judit M Hudson (Judy), menggambarkan keadaan mereka di Telang :

"Kami sekarang bangga sebagai pemilik satu-satunya toilet di Telang, Rumah tempat kami tinggal memiliki konstruksi rangka kayu dengan atap sirap, dibangun tiga meter diatas tanah. Ada ruang depan yang besar, yang kita gunakan sebagai tempat hidup dan menulis, dan dua kamar kecil di belakang, salah satunya berfungsi untuk  gudang penyimpanan, yang lain yang benar-benar diisi dengan tempat tidur kami ber kanopi kelambu. Dapur adalah ruangan dengan konstruksi lebih kecil  dibangun ke satu samping. Saya baru saja mulai dapat memahamkan cara bekerja di dalamnya. Meskipun perempuan lokal memasak dengan kayu api, namun saya telah menggunakan sebuah kompor minyak tanah kecil, yang  kami beli di Hong Kong, dan saya sangat bersyukur memilikinya. Kami mulai merasakan kesulitan hidup di daerah, bahkan setelah baru beberapa minggu. Ikan yang orang  tangkap hanya cukup untuk rumah tangga mereka sendiri, dan tidak ada satu pun untuk dijual kepada kami untuk pasokan reguler."

   Satu tahun lebih mereka berada di antara orang-orang Ma'anyan, mereka mencatat sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem berfikir, dan tradisi masyarakat tersebut secara lengkap dan akurat. Sehingga tulisan Hudson bisa dianggap sebagai tulisan terlengkap mengenai dayak Ma'anyan khususnya Paju Epat, Al Hudson meggunakan tulisannya sebagai bahan tesis Doctoralnya untuk Cornell University di Itaca New York, yang diberi judul PADJU EPAT: The Etnograpy And Social Structur Of Ma'anyan Dajak Group In Southeastern Borneo
  Tulisan tersebut juga melahirkan sebuah buku yang sangat-sangat di minati di dunia Antropologi yang berjudul:

Padju Epat: The Ma'anyan of Indonesia Borneo



THE BARITO ISOLECTS OF BORNEO: 
A Classification Based On Comparative 
Reconstruction And Lexicostatistics 
(Ithaca: Cornell University, 1967).



     Hudson juga diminta untuk menulis dikumpulan tulisan tentang kempung-kampung yang ada di Indonesia buku tersebut diterbitkan pihak UI (Universitas Indonesia) sekitar tahun 1960-an dengan Editor Koentjaraningrat Antropolog senior UI, sayang buku tersebut sekarang hak patennya malah dibeli oleh Singapura, dan diterbitkan si Singapura sebagai buku klasik tentang Indonesia dengan judul:
Al Hudson menulis artikel berjudul 
TELANG:The Small Village in Centraal Kalimantan.

 Terima Kasih Yang Tak Terhingga
     Al Hudson dan Istrinya banyak membantu memperkenalkan Ulun Ma'anyan kedunia Internasional, adalah sebuah kebanggaan yang tiada bisa kita ucapkan dengan kata-kata. terakhir orang Ma'anyan yang bertemu dengan Al Hudson dan Judy adalah Nano Djandam saat dia kuliah di Amerika. 
   Al dan Judy sekarang menghabiskan masa tua mereka di: 111 Amherst Rd. Pelham, MA 01002 Masecussett Amerika Serikat. serta aktif menulis untuk jurnal pendakian gunung serta pengurus sejarah dan arsip di Randolph Mountain Club. kami segenap ulun Ma'anyan memberiakan penghormatan atas dedikasi Al dan Judy terhadap dunia Pendidikan dan perhatiannya kepada orang dayak Ma'anyan.



Al dan Judi memiliki dua orang anak yaitu :

Katherine Hudson (Kate Hudson)

 Geoffrey Hudson




Sumber :

A.B Hudson
PADJU EPAT: The Etnograpy And Social Structur Of Ma'anyan Dajak Group In Southeastern Borneo (Michigan: University Of Microfilm, 1967).

Padju Epat: The Ma'anyan of Indonesia Borneo (New York: Rainhart & Winston, 1972)

THE BARITO ISOLECTS OF BORNEO: A Classification Based On Comparative Reconstruction And Lexicostatistics (Ithaca: Cornell University, 1967).

Death Cermonies Of The Padju Epat Ma'anyan Dayaks (Jurnal Serawak Museum 1966)

Judy Hudson.
Letter From Kalimantan I, Journal Of Indonesia (Ithaca: Cornell University, 1966)

Letter From Kalimantan II, Journal Of Indonesia (Ithaca: Cornell University, 1966)

Letter From Kalimantan III, Journal Of Indonesia (Ithaca: Cornell University, 1967)

Some Observation Of Dance In Kalimantan, Journal Of Indonesia (Ithaca: Cornell University, 1967)

Informasi dari Saudari Ibu Sinta Djandam tentang pertemuan Nano Djandam dengan Kakah Hudson saat study di Amerika Serikat.