MENDEKONSTRUKSI
MITOS
PUTRI MAYANG
By:
Hadi Saputra Miter
Nisan putri mayang yang dibuat tahun1978
Mengumpulkan
Teka-Teki
Banyak cerita mengenai Putri Mayang
yang kita dengar baik dari penjaga
makamnya maupun dari berbagai sumber yang biasanya memiliki versi berbeda-beda
dan biasanya setiap cerita terdengar sangat epik dan luar biasa, namun pada intinya kita harus jujur dengan
mengesampingkan mitos namun dengan berusaha mencari tahu dengan mengumpulkan
data-data yang ada tentang siapakah yang di sebut dengan Putri Mayang itu ada
rahasia apa dibalik namanya, melewati
tulisan singkat ini kita akan mengungkap fakta dibalik misteriusnya seorang
Putri Mayang. Kita akan mengujinya secara satu persatu.
Teka-teki
awal dimulai dengan pernyataan umum yang sering di dengar bahwa Putri Mayang
adalah seorang Putri dari keraton Kesultanan Banjar, dan diasumsikan bahwa ia adalah Putri dari Sultan Suriansyah
“Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma’anyan, Mayang Sari yang adalah putri Sultan
Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya,
Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di
Keraton Peristirahatan Kayu Tangi pada 13 Juni 1858, yang dalam penanggalan
Dayak Ma’anyan
disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mammai. Sedangkan Noorhayati sendiri,
menurut tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan adalah perempuan Ma’anyan
cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh
Suku Dayak Ma’anyan.”[1]
Data atau tulisan diatas ini, merupakan data yang saya dan Antropolog Marko Mahin kumpulkan untuk keperluan tulisan tentang persaudaraan Dayak dan Banjar, di FORLOG (forum Lintas Agama) Banjarmasin. Dan nampaknya tulisan inilah yang paling banyak beredar.
lukisan Putri Mayang yang biasa dijual di Amuntai
komplek Candi Agung
Walaupun apabila kita merunut silsilah
Sultan Suriansyah nampaknya kita tidak dapat menemukan data yang menujung bahwa
ada putri dari Sultan Suriasnyah bernama Putri Mayang, tapi hal tersebut sangat
memungkinkan terjadi, mengingat statusnya bahwa ia adalah anak dari istri yang kedua,
dan bukan dari istri sah yaitu istri yang pertama. Ditambah lagi dia hanyalah
seorang perempuan, jadi perlu di ingat bahwa Kesultanan Banjar menganut sistem
Patriakhal maka sangat besar kemungkinan nama perempuan dianggap tidak begitu penting dan bisa saja tidak
tercatat. Dan satu-satunya bukti yang
membuktikan dia memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultan Banjar, adalah
sebuah mata kalung berwarna Merah delima yang diukir dengan aksara Arab (dimana
aksara Arab adalah aksara resmi yang digunakan oleh Kerajaan Banjar).
peninggalan Putri Mayang berupa mata Kalung
diukir dengan aksara arab,
Siapa
Uria Lana (Mapas) Dan Siapa Pula Putri Mayang
Selanjutnya ada urusan
apa seorang putri dari Kesultanan Banjar mau berada di kampung orang dayak yang
sekarang bernama Ja’ar?
Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah
kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma’anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman Pangeran
Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang
bernama Uria Rin’nyan
yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya,
Sultan Suriansyah terkena denda Adat atau disebut Bali, yaitu selain membayar
sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.[2]
Kenapa harus menyerahkan perempuan kalau begitu mengapa bukan sang putra mahkota dari kerajaan Banjar saja yaitu Pangeran Rahmatulah. Namun saya mencoba merunut pelan-pelan rangkaian teka-teki ini. Dalam cerita diatas data saya dapatkan dari tulisanya Sutopo Ukip yang berjudul Sejarah Banjar, Maanyan dan Merina di Madagaskar buku ini tidak diterbitkan dan tidak memiliki rujukan ilmiah hanya dicatat dari tradisi oral masyarakat Jaar atau dulu di sebut Sangarwasie. Kembali dalam buku milik Sutopo Ukip, kita mendapat cerita dahsyat yang seperti ini bunyi nya:
"Saat uria Rinyan datang ke Kesultanan banjar, ternyata
istri Sultan Jatuh hati dan terjadi perselinghuhan. Hal itulah yang membuat
Sultan membunuh Uria Rinyan dengan keris bermata intan, namun wakil uria rinyan
Makarua’ng berhasil lolos dan meloprkan kepada orang-orang di kampungnya. Maka
berangkatlah saudara Uria rinyan yaitu Uria Lana ke Banjarmasin, dan mengamuk
di Nagara dengan menggunakan mandau yang bernama Lansar Tawomea…..sampai
akhirnya Sultan Suriansyah meminta berdamai dan berjanji menyerahkan anaknya saat
itu pula nama Uria Lana menjadi uria Mapas.[3]
Plakat atau mungkin makam yang menunjukan
tentang Uria Mapas (masih dipertanyakan)
Jadi pertanyaanya semudah itukah Sultan Suriansyah
menyerah kepada seseorang, kita nampaknya harus menggunakan data yang kuat dan umum digunakan tentang
siapa itu Sultan Suriansyah dan tipe seperti apa orang tersebut. Bagaimana sejarah berbicara tentang dia, maka
saya menggunakan tulisan JJ.Ras yang berjudul, Hikajat Banjar: A Study Of Malay
Histografi, yang menjadi semacam rujukan utama para penulis sejarah
Banjar.
Kemunculan kerajaan Banjar tidak lepas dari kerajaan
daha dimana ada konflik perebutan kekuasaan kerajaan antara pengeran Samudra dengan
pamannya Raden Tumenggung. Pangeran samudra berhasil merebut takhta kerajaan
dengan dibantu pasukan Demak, dengan syarat meng Islamkan kerajaannya apabila berhasil. Pangeran Samudra berhasil
sehingga ia menjadikan kerajaan Daha sebagai kerjaan Islam yang disebut
kerajaan Banjar. Pangeran Samudra mengganti namanya dengan Sultan Suriansyah.[4]
Jadi dapat dibayangkan bahwa Sultan Suriansyah memiliki kekuatan perang yang mematikan, karena kapan saja diperlukan kerajaan Demak dapat siap sedia membantunya menghadapi ancaman. Dan juga perlu diketahui bahwa kekuatan dan pengaruh kerajaan Banjar mampu membuat tunduk kerajaan-kerajaan kecil daerah-daerah disekitarnya:
Sambas, Batang Lawai, Sukadana, kotawaringin, Pembuang,
Sampit, Mendawai, Sebangau dan daerah lainnya berada dibawah naungan
Banjarmasin, maka di tiap-tiap musim barat tiba datanglah mereka menyerahkan
upeti dan pada musim timur kembali keasalnya. Bahkan kerajaan Kutai di
Kalimantan Timur juga harus tunduk serta menyerakan Upeti kepada kerajaan
Banjar namun dikemudian hari nampaknya hal tersebut berakhir dikarenakan
kerajaan Kutai dibeking oleh kerajaan Bugis makasar.[5]
Makam Sultan Suriansyah Th 1900
dok. koleksi Troppen Museum
Dapat dibayangkan kalau ada seorang
Uria Lana melakukan tindakan yang bersifat mengancam eksistensi kerajaan Banjar, tentu bisa saja
kampung-kampung Dayak Maanyan yang ada, dialiran sungai Telang, Karau dan Patai akan dilenyapkan oleh Kesultanan
Banjar. Jadi secara historis sangat tidak masuk akal, kalau peristiwa Uria Lana
mengamuk dan Sultan Suriansyah minta ampun tersebut pernah terjadi.
Dan teka-teki selanjutnya akan kita
bedah apa alasan Putri Mayang berada di Jaar (Sangarwasie) dan juga siapakah
Uria Mapas tersebut saya menyimpulkan sebagai berikut:
- Saya setuju bahwa putri mayang adalah salah seorang putri dari kerajaan Banjar, dikarenakan dia bukan seorang putri dari istri pertama (ibu suri/Ratu) maka ia tidak memiliki jabatan dan hak apapun di kerajaan (walaupun anak seorang selir tidak berhak menyandang gelar Putri, jadi asumsi saya gelar Putri diberikan masyarakat lokal sebagai bentuk penghargaan). Sehingga ia memilih menjadi perpanjangantangan kerajaan untuk mengawasi tanah dayak khususnya ulun Maanyan, dan tidak menutup kemungkinan dia memungut upeti dan pajak dari Ulun Ma’anyan yang ada disana.
- Sedangkan Uria Lana yang kemudian mendapat gelar Uria Mapas Negara dari kerjaan Banjar. Besar kemungkinan ia adalah orang kepercayaan serta pengawal pribadi dari Putri Mayang.
Fakta
Sejarah Tidak Mengubah Makna
Satu-satunya fakta
sejarah yang tertua dan yang berhubungan dengan putri Mayang hanya ada di
Laporan catatan perjalanan/ekspedisi dari Letnan C. Bangert
penguasa sipil kerajaan Hindia Belanda untuk wilayah Bakumpai
(Marabahan) dan Dusun (jalur sungai Barito) Tahun 1857:
22 mei 1857 Aku
berangkat di pagi hari ke kampung Sangarwassie, sekitar 4 jam naik perahu kearah
timur dari Tamiang Laijang. Jalan menuju kesana sebagian besar rawa-
rawa , Kampong Sangarwassie yang sebagian
besar dihuni oleh orang-orang Daijaks, Di kampong Ini ada
tujuh rumah besar tapi bobrok. Total jiwa Sangarwassie ± 400 jiwa.
memiliki 80 atau 90 orang berbadan sehat, dan termasuk ± 30 Melayu (Banjar)………
orang-orang kampung ini mengatakan di zaman
dahulu keberadaan kampung ini tidak lepas
dari seorang putri yang bernama Poetri Maija (Putri Mayang) dan mereka menunjukkan sebuah gundukan
tanah yang menyerupai bukit dan menunjukan barang-barang yang berhubungan
dengan Poetri Maija (Putri Mayang), tidak jauh dari sangarwasie sebagai tempat
makam Poetri Maija (putri Mayang) nampaknya Poetri Maija masih hidup dalam cerita dan tradisi takhayul
mereka.[6]
Bagi saya cerita yang berlebihan dikalangan masyarakat Asia, dan secara khusus Ulun Ma’anyan yang memiliki seni bercerita yang agak hyperbolis. Saya pernah menguji dengan mengajukan pertanyaan tentang Soeta Ono dan yang muncul adalah cerita Raja sakti mandraguna, mistik dan lain sebagainya. Yang kenyataan atau Fakta sejarah bahwa Suta Ono adalah seorang Kepala distrik bukan raja, dan dia sama seperti orang kebanyakan. Di sejarah Nasional pun bisa kita dengar bagaimana gaya Historis hyperbolis itu kita dengar misalkan tentang Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah hanya dengan menggunakan bambu runcing saja, yang terdengar hebat. Hanya karena ada foto era revolusi fisik dimana para pemuda pelajar berbaris memegang bambu runcing.
Begitu pula saat saya
mengajukan pertanyaan tentang Tuan Daningger Missionaris pertama yang ada di
Murtuwu, maka cerita yang anda dapat akan sangat lucu dimana kampung Murtuwu
dikutuk, untuk menjadi kampung yang tidak akan maju, hal itu disebabkan karena Daninger di usir karenakan masalah berkabung (lawen) dengan mayat tikus. Yang sangat bertantangan
dengan fakta sejarah sebenarnya bahwa Daningger pergi dari Murtuwu, dikarenakan meletusnya pemberontakan
Hidayatulah.
Jadi cerita heroik dan kepahlawanan yang
menggebu-gebu, yang tumbuh dalam masyarakat biasanya berhubungan dengan upaya Narsisme dan eksistensi kesukuan. Dimana dengan cerita-cerita yang hyperbolis tersebut mampu membuat bangga dan
decak kagum generasi selanjutnya, namun itu hal yang biasa terjadi hampir
disetiap kebudayaan di dunia. Jadi bisa dipahami bahwa cerita yang berhubungan
dengan Uria Mapas serta penyerahan Putri Mayang oleh Sultan Banjar, dikarenakan
kena denda adat setelah mendapat ancaman nampaknya memang menarik didengar saja,
namun sayang hal tersebut hanya
mengasikan Mitos bukan bagian dari fakta sejarah.
Disini saya hanya
berdiri untuk mencoba menjembatani antara tradisi oral ulun Maanyan dan Fakta
sejarah. Dan intinya walaupun mungkin dari fakta yang saya ungkap akan ada
pergeseran nilai namun saya berharap itu tidak mengubah makna dasar dari
peristiwa tersebut. Dimana bahwa memang pernah ada Purti dari kerajaan Banjar
ada di Sangarwasie atau sekarang di sebut Ja’ar. Dan apakah tulisan saya merupakan
harga mati untuk sebuah fakta sejarah? Saya rasa tidak, tulisan saya masih bisa
diuji dan dibuktikan kembali kebenarannya, dan saya menunggu fakta-fakta otentik
lagi untuk menyempurnakan tulisan saya ini kelak. dan kepada pulaksanai yang terpanggil membantah tulisan saya, bantah dengan tulisan juga dan gunakan sumber data ilmiah sebagai rujukan, bukan ujar kai ku bahari (kata kake ku dulu) terima kasih.
Sumber:
Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku
Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun) halaman tidak
jelas.
J.J Ras, Hikajat Banjar: A Study
Of Malay Histografi (Laiden:KITLV, 1968 )
C.Banggert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken
Van Doessoen Ilir (Laiden: KITLIV 1857)
Ita Syamsiah Ahyat, Kesultanan
Banjar Abad Ke-19: Ekspansi Pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan (Tanggerang:
Serat Alam Media, 2012)
[1] Tulisan
ini saya tulis dengan mengutip buku Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak
Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun). Tulisan ini di muat
dalam Jurnal Rakat di Banjarmasin sekitah tahun 2005 kemudian di sempurnakan
oleh Antropog Marko Mahin dan muncul di Banjarmasin Post tahun 2006. Tulisan ini nampaknya di dapatkan oleh Sutopo Ukip dari cerita masyarakat Jaar. Dan sekarang beredar
di Internet.
[2] Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku
Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa
Tahun) halaman tidak jelas.
[3] Ibid.
[4] Tulisan ditulis oleh Sejahrawan inggris dengan
menterjemahkan manuskrip-manuskrip Melayu lama yang menggunakan aksara Arab ke
dalam bahasa Inggris yaitu J.J
Ras, Hikajat
Banjar: A Study Of Malay Histografi
(Natherland:KITLV, 1968 ) hal.434-438