Jumat, 13 September 2013

MENDEKONSTRUKSI MITOS PUTRI MAYANG (mengungkap misteri di balik Putri Mayang Sari)


MENDEKONSTRUKSI  MITOS 
PUTRI MAYANG

By: 
Hadi Saputra Miter



 Nisan putri mayang yang dibuat tahun1978


Mengumpulkan Teka-Teki
Banyak cerita mengenai Putri Mayang yang  kita dengar baik dari penjaga makamnya maupun dari berbagai sumber yang biasanya memiliki versi berbeda-beda dan biasanya setiap cerita terdengar sangat epik dan luar biasa, namun pada intinya kita harus jujur dengan mengesampingkan mitos namun dengan berusaha mencari tahu dengan mengumpulkan data-data yang ada tentang siapakah yang di sebut dengan Putri Mayang itu ada rahasia apa dibalik namanya, melewati tulisan singkat ini kita akan mengungkap fakta dibalik misteriusnya seorang Putri Mayang. Kita akan mengujinya secara satu persatu.
       Teka-teki awal dimulai dengan pernyataan umum yang sering di dengar bahwa Putri Mayang adalah seorang Putri dari keraton Kesultanan Banjar, dan diasumsikan bahwa ia adalah Putri dari Sultan Suriansyah
“Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma’anyan, Mayang Sari yang adalah putri Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi pada 13 Juni 1858, yang dalam penanggalan Dayak Ma’anyan disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mammai. Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan adalah perempuan Ma’anyan cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh Suku Dayak Ma’anyan.”[1]
     
     Data atau tulisan diatas ini, merupakan data yang saya dan Antropolog Marko Mahin kumpulkan untuk keperluan tulisan tentang persaudaraan Dayak dan Banjar, di FORLOG (forum Lintas Agama) Banjarmasin. Dan nampaknya tulisan inilah yang paling banyak beredar.

lukisan Putri Mayang yang biasa dijual di Amuntai 
komplek Candi Agung


       Walaupun apabila kita merunut silsilah Sultan Suriansyah nampaknya kita tidak dapat menemukan data yang menujung bahwa ada putri dari Sultan Suriasnyah bernama Putri Mayang, tapi hal tersebut sangat memungkinkan terjadi, mengingat statusnya bahwa ia adalah anak dari istri yang kedua, dan bukan dari istri sah yaitu istri yang pertama. Ditambah lagi dia hanyalah seorang perempuan, jadi perlu di ingat bahwa Kesultanan Banjar menganut sistem Patriakhal maka sangat besar kemungkinan nama perempuan dianggap tidak begitu penting dan bisa saja tidak tercatat.  Dan satu-satunya bukti yang membuktikan dia memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultan Banjar, adalah sebuah mata kalung berwarna Merah delima yang diukir dengan aksara Arab (dimana aksara Arab adalah aksara resmi yang digunakan oleh Kerajaan Banjar).

peninggalan Putri Mayang berupa mata Kalung
diukir dengan aksara arab,


Siapa Uria Lana (Mapas) Dan Siapa Pula Putri Mayang
Selanjutnya ada urusan apa seorang putri dari Kesultanan Banjar mau berada di kampung orang dayak yang sekarang bernama Ja’ar?
Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma’anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman Pangeran Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin’nyan yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya, Sultan Suriansyah terkena denda Adat atau disebut Bali, yaitu selain membayar sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.[2]
 
    Kenapa harus menyerahkan perempuan kalau begitu mengapa bukan sang putra mahkota dari kerajaan Banjar saja yaitu Pangeran Rahmatulah. Namun saya mencoba merunut pelan-pelan rangkaian teka-teki ini. Dalam cerita diatas data saya dapatkan dari tulisanya Sutopo Ukip yang berjudul Sejarah Banjar, Maanyan dan Merina di Madagaskar buku ini tidak diterbitkan dan tidak memiliki rujukan ilmiah hanya dicatat dari tradisi oral masyarakat Jaar atau dulu di sebut Sangarwasie. Kembali dalam buku milik Sutopo Ukip, kita mendapat cerita dahsyat yang seperti ini bunyi nya:
 "Saat uria Rinyan datang ke Kesultanan banjar, ternyata istri Sultan Jatuh hati dan terjadi perselinghuhan. Hal itulah yang membuat Sultan membunuh Uria Rinyan dengan keris bermata intan, namun wakil uria rinyan Makarua’ng berhasil lolos dan meloprkan kepada orang-orang di kampungnya. Maka berangkatlah saudara Uria rinyan yaitu Uria Lana ke Banjarmasin, dan mengamuk di Nagara dengan menggunakan mandau yang bernama Lansar Tawomea…..sampai akhirnya Sultan Suriansyah meminta berdamai dan berjanji menyerahkan anaknya saat itu pula nama Uria Lana menjadi uria Mapas.[3]


Plakat atau mungkin makam yang menunjukan
tentang Uria Mapas (masih dipertanyakan)


      Jadi pertanyaanya semudah itukah Sultan Suriansyah menyerah kepada seseorang, kita nampaknya harus menggunakan data yang kuat dan umum digunakan tentang siapa itu Sultan Suriansyah dan tipe seperti apa orang tersebut. Bagaimana sejarah berbicara tentang dia, maka saya menggunakan tulisan JJ.Ras yang berjudul, Hikajat Banjar: A Study Of Malay Histografi, yang menjadi semacam rujukan utama para penulis sejarah Banjar.
Kemunculan kerajaan Banjar tidak lepas dari kerajaan daha dimana ada konflik perebutan kekuasaan kerajaan antara pengeran Samudra dengan pamannya Raden Tumenggung. Pangeran samudra berhasil merebut takhta kerajaan dengan dibantu pasukan Demak, dengan syarat meng Islamkan kerajaannya  apabila berhasil. Pangeran Samudra berhasil sehingga ia menjadikan kerajaan Daha sebagai kerjaan Islam yang disebut kerajaan Banjar. Pangeran Samudra mengganti namanya dengan Sultan Suriansyah.[4]
      
       Jadi dapat dibayangkan bahwa Sultan Suriansyah memiliki kekuatan perang yang mematikan, karena kapan saja diperlukan kerajaan Demak dapat siap sedia membantunya menghadapi ancaman. Dan juga perlu diketahui bahwa kekuatan dan pengaruh kerajaan Banjar mampu membuat tunduk kerajaan-kerajaan kecil daerah-daerah disekitarnya:
Sambas, Batang Lawai, Sukadana, kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Sebangau dan daerah lainnya berada dibawah naungan Banjarmasin, maka di tiap-tiap musim barat tiba datanglah mereka menyerahkan upeti dan pada musim timur kembali keasalnya. Bahkan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur juga harus tunduk serta menyerakan Upeti kepada kerajaan Banjar namun dikemudian hari nampaknya hal tersebut berakhir dikarenakan kerajaan Kutai dibeking oleh kerajaan Bugis makasar.[5]


Makam Sultan Suriansyah Th 1900
dok. koleksi Troppen Museum 

    Dapat dibayangkan kalau ada seorang Uria Lana melakukan tindakan yang bersifat mengancam eksistensi kerajaan Banjar, tentu bisa saja kampung-kampung Dayak Maanyan yang ada, dialiran sungai Telang, Karau dan Patai akan dilenyapkan oleh Kesultanan Banjar. Jadi secara historis sangat tidak masuk akal, kalau peristiwa Uria Lana mengamuk dan Sultan Suriansyah minta ampun tersebut pernah terjadi.
    Dan teka-teki selanjutnya akan kita bedah apa alasan Putri Mayang berada di Jaar (Sangarwasie) dan juga siapakah Uria Mapas tersebut saya menyimpulkan sebagai berikut:
  1.          Saya setuju bahwa putri mayang adalah salah seorang putri dari kerajaan Banjar, dikarenakan dia bukan seorang putri dari istri pertama (ibu suri/Ratu) maka ia tidak memiliki jabatan dan hak apapun di kerajaan (walaupun anak seorang selir tidak berhak menyandang gelar Putri, jadi asumsi saya gelar Putri diberikan masyarakat lokal sebagai bentuk penghargaan). Sehingga ia memilih menjadi perpanjangantangan kerajaan untuk mengawasi tanah dayak khususnya ulun Maanyan, dan tidak menutup kemungkinan dia memungut upeti dan pajak dari Ulun Ma’anyan yang ada disana. 
  2.     Sedangkan Uria Lana yang kemudian mendapat gelar Uria Mapas Negara dari kerjaan Banjar. Besar kemungkinan ia adalah orang kepercayaan serta pengawal pribadi dari Putri Mayang.
Fakta Sejarah Tidak Mengubah Makna
Satu-satunya fakta sejarah yang tertua dan yang berhubungan dengan putri Mayang hanya ada di Laporan catatan perjalanan/ekspedisi dari Letnan C. Bangert penguasa sipil kerajaan Hindia Belanda untuk wilayah Bakumpai (Marabahan) dan Dusun (jalur sungai Barito) Tahun 1857:
22 mei 1857 Aku berangkat di pagi hari ke kampung Sangarwassie, sekitar 4 jam naik  perahu kearah  timur dari Tamiang Laijang. Jalan menuju kesana sebagian besar rawa- rawa , Kampong  Sangarwassie yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang Daijaks, Di kampong Ini  ada  tujuh rumah besar tapi bobrok. Total jiwa Sangarwassie  ± 400 jiwa. memiliki 80 atau 90 orang berbadan sehat, dan termasuk  ± 30 Melayu (Banjar)………
orang-orang  kampung ini mengatakan di zaman dahulu keberadaan kampung ini tidak lepas dari seorang putri yang bernama Poetri Maija (Putri Mayang) dan mereka menunjukkan sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit dan menunjukan barang-barang yang berhubungan dengan Poetri Maija (Putri Mayang), tidak jauh dari sangarwasie sebagai tempat makam Poetri Maija (putri Mayang) nampaknya Poetri Maija masih hidup dalam cerita dan tradisi takhayul mereka.[6]

Bagi saya cerita yang berlebihan dikalangan masyarakat Asia, dan secara khusus Ulun Ma’anyan yang memiliki seni bercerita yang agak hyperbolis. Saya pernah menguji dengan mengajukan pertanyaan tentang Soeta Ono dan yang muncul adalah cerita Raja sakti mandraguna, mistik  dan lain sebagainya. Yang kenyataan atau Fakta sejarah bahwa Suta Ono adalah seorang Kepala distrik bukan raja, dan dia sama seperti orang kebanyakan. Di sejarah Nasional pun bisa kita dengar bagaimana gaya Historis hyperbolis itu kita dengar misalkan tentang Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah hanya dengan menggunakan bambu runcing saja, yang terdengar  hebat. Hanya karena ada foto era revolusi fisik dimana para pemuda pelajar berbaris memegang bambu runcing. 
Begitu pula saat saya mengajukan pertanyaan tentang Tuan Daningger Missionaris pertama yang ada di Murtuwu, maka cerita yang anda dapat akan sangat lucu dimana kampung Murtuwu dikutuk, untuk menjadi kampung yang tidak akan maju, hal itu disebabkan karena Daninger di usir karenakan masalah berkabung (lawen) dengan mayat tikus. Yang sangat bertantangan dengan fakta sejarah sebenarnya bahwa Daningger pergi dari Murtuwu, dikarenakan meletusnya pemberontakan Hidayatulah. 
Jadi  cerita heroik dan kepahlawanan yang menggebu-gebu, yang tumbuh dalam masyarakat biasanya berhubungan dengan upaya Narsisme dan eksistensi kesukuan. Dimana dengan cerita-cerita yang  hyperbolis tersebut mampu membuat bangga dan decak kagum generasi selanjutnya, namun itu hal yang biasa terjadi hampir disetiap kebudayaan di dunia. Jadi bisa dipahami bahwa cerita yang berhubungan dengan Uria Mapas serta penyerahan Putri Mayang oleh Sultan Banjar, dikarenakan kena denda adat setelah mendapat ancaman nampaknya memang menarik didengar saja, namun sayang hal tersebut hanya  mengasikan Mitos bukan bagian dari fakta sejarah.
Disini saya hanya berdiri untuk mencoba menjembatani antara tradisi oral ulun Maanyan dan Fakta sejarah. Dan intinya walaupun mungkin dari fakta yang saya ungkap akan ada pergeseran nilai namun saya berharap itu tidak mengubah makna dasar dari peristiwa tersebut. Dimana bahwa memang pernah ada Purti dari kerajaan Banjar ada di Sangarwasie atau sekarang di sebut Ja’ar. Dan apakah tulisan saya merupakan harga mati untuk sebuah fakta sejarah? Saya rasa tidak, tulisan saya masih bisa diuji dan dibuktikan kembali kebenarannya, dan saya menunggu fakta-fakta otentik lagi untuk menyempurnakan tulisan saya ini kelak. dan kepada pulaksanai yang terpanggil membantah tulisan saya, bantah dengan tulisan juga dan gunakan sumber data ilmiah sebagai rujukan, bukan ujar kai ku bahari (kata kake ku dulu) terima kasih.


Sumber:
Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun)   halaman tidak jelas.
J.J Ras, Hikajat Banjar: A Study Of Malay Histografi (Laiden:KITLV, 1968 )
C.Banggert, Verslag  Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken Van Doessoen Ilir (Laiden: KITLIV 1857)
Ita Syamsiah Ahyat, Kesultanan Banjar Abad Ke-19: Ekspansi Pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan (Tanggerang: Serat Alam Media, 2012)




[1]           Tulisan ini saya tulis dengan mengutip buku Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun). Tulisan ini di muat dalam Jurnal Rakat di Banjarmasin sekitah tahun 2005 kemudian di sempurnakan oleh Antropog Marko Mahin dan muncul di Banjarmasin Post tahun 2006. Tulisan ini nampaknya di dapatkan oleh Sutopo Ukip dari cerita masyarakat Jaar. Dan sekarang beredar di Internet.
[2]              Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun) halaman tidak jelas.
[3]               Ibid.
[4]         Tulisan ditulis oleh Sejahrawan inggris dengan menterjemahkan manuskrip-manuskrip Melayu lama yang menggunakan aksara Arab ke dalam bahasa Inggris yaitu J.J Ras, Hikajat Banjar: A Study Of Malay Histografi (Natherland:KITLV, 1968 ) hal.434-438
[5]               Ibid, hal. 440
[6]               C.Banggert, Verslag  Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken Van Doessoen Ilir (Laiden: KITLIV 1857)Hal 174.