UPACARA WARA
TUNTUNAN MENUJU DUNIA PENANTIAN
DAYAK LAWANGAN
By:
HADI SAPUTRA MITER
Panitia Upacara Wara yang dilaksanakan di Tamiang Layang Tahun 2012
Kematian sebagai transisi menuju keabadian
Suku dayak Lawangan sangat menghargai kepercayaan para
leluhur mereka, antara lain dengan melaksanakan ritus kematian. Orang dayak
Ngaju memahami kematian sebagai pintu gerbang masuk ke negeri arwah yang sangat
luhur, yaitu negeri dan kediaman asal para leluhur mereka. Pemahaman ini
sejajar dengan pemahaman suku Dayak Lawangan khususnya pada acara ritus
kematian. Sehingga ritus kematian yang dilakukan oleh keluarga yang meninggal
sangatlah menentukan keadaannya di alam baka, apakah Ia tinggal di negeri yang
penuh dengan kemakmuran, kekayaan, keindahan serta terbebas dari penderitaan
hidup dan bertemu kembali dengan para leluhur, ataukah rohnya akan menjadi
arwah gentayangan yang menggagu kehidupan.
Peti mati Orang lawangan tahun 1900
Foto koleksi: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
Belanda
Mang Nuhur sebegai pengharapan akan ke-akanan
Sebelum peristiwa Mang
Munur, suku Dayak Lawangan tidak mengenal adanya kematian sebab menurut
kepercayaan mereka, apabila seseorang sudah tiba pada saatnya maka Ia akan
menghilang dengan sendirinya atau langsung berpindah ke negeri keluhuran, untuk
mengetahui saatnya telah tiba biasanya pada setiap orang yang berbeda-beda dan
Ia akan menyatakan perasaannya itu kepada seluruh keluarganya. Seluruh keluarga
dan Ia sendiri menyiapkan segala sesuatu untuk perpisahan dengan yang akan
berangkat dan yang ditinggalkan. Namun, setelah peristiwa Mang Munur proses kematian suku Dayak Lawangan menjadi berbeda.
Diceritakan tentang Mang Munur,
Ia adalah seorang yang serba
berkecukupan , mempunyai kekayaan yang melimpah, mempunyai hamba sahaya, dan
mempunyai tujuh orang istri. Namun
Ia sama sekali tidak puas dengan
apa yang Ia miliki, sebab Ia yakin bahwa sesungguhnya kepuasan hidup Ia
dapatkan dalam Tumpuk Tatau atau Tumpuk Adiau. Semua orang yang telah
pergi ke sana tidak ada yang kembali pulang ke
bumi lagi, hal inilah yang menjadi bukti bahwa di sana kehidupan yang menyenangkan. Memang
diakui bahwa ada dunia kekinian dan dunia seberang (Tumpuk Tatau artinya negeri yang kaya raya atau Tumpuk Adiau artinya negeri para arwah),
tempat itu dikenal dengan nama Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan.
Itu merupakan satu tempat yang menyenangkan sebab tidak ada lagi penderitaan
dalam hidup untuk mendapatkan suatu kebahagiaan, kerena di sana semua yang
diinginkan telah tersedia tanpa bersusah payah untuk mencarinya.
Didasarkan pada rasa penasaran tersebut maka Mang Munur memerintahkan pada ketujuh
istrinya untuk mencari harta Katatau
Matei yang pada saat itu dimiliki oleh Jawa
Ilang. Uniknya benda yang dinamakan Tajau
Wura Tajau Inso (nama bagian dari harta katatau matei) ini ketika Mang Munsur mencobanya dapat membuat
aliran sungai menjadi kering, pohon menjadi mati. Betapa senang hati Mang Munur ketika melihat hal tersebut,
Ia segera menyuruh ketiga istrinya supaya meletakkan benda tersebut ketubuhnya
dan mereka meletakkannya di kaki Mang
Munur, ketika itu juga kakinya menjadi mati dan Ia meminta ketujuh istrinya
supaya mereka melanjutkannya pada bagian-bagian tubuhnya yang lain hingga
akhirnya Ia mati. Sejak itulah dikenal istilah kematian pada kalangan suku
Dayak Lawangan.
Dari uraian di atas, kematian
merupakan pintu gerbang ke negeri yang sangat luhur oleh sebab itu baik hidup
maupun mati menurut alam pemikiran Dayak Lawangan, penuh dengan tantangan dan
kesengsaraan, dan kepercayaan Dayak Hindu Kaharingan memberikan jalan keluar
untuk melepaskan diri dari kesengsaraan itu. Keharusan mutlak yang diwajibkan
oleh agama mereka bahwa tiap-tiap orang yang meninggal, harus diadakan upacara
untuk mengantarkan orang yang meninggal dari alam yang fana ini ke alam yang
baka, yaitu dengan upacara Wara.
Mengantarkan Kedunia Keabadian Dengan Wara
Pelaksanaan upacara Wara
bisa langsung dilakukan setelah seseorang meninggal, apabila dari pihak
keluarga mampu untuk melaksanakannya, Tetapi apabila dari pihak keluarga tidak
mampu untuk melaksanakan upacara wara pada saat itu juga maka bisa ditunda
sampai pihak keluarga mampu melaksanakannya.
Upacara
wara terbagi atas 6 tingkatan, yakni:
1.
Wara satu malam satu hari.
2.
Wara tiga hari tiga malam.
3.
Wara lima hari lima malam.
4.
Wara tujuh haru tujuh malam.
5.
Wara sembilan hari sembilan malam.
6.
Wara empatbelas hari empatbelas malam.
Dalam upacara Wara tergantung pada kemampuan dari pihak
keluarga yang meninggal, bila pihak keluarga sudah melaksanakan wara satu hari
satu malam maka pihak keluarga sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
kepa arwah yang meninggal sebab rohnya sudah berkumpul dengan sanak saudaranya
yang terlebih dahulu sampai ke Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan.
Namun, dikemudian hari apabila dari pihak keluarga punya kemampuan untuk
melaksanakan wara yang lebih besar dari satu hari satu malam, bisa dilakukan
oleh bihak keluarga yang meninggal. Setelah pihak keluarga telah melaksanakan
wara empatbelas hari empat belas malam, akan tetapi mereka masih punya
kemampuan dikemudian hari maka bukan wara lagi sebutannya akan tetapi pesta ulang
tahun bagi sang arwah.
Pada umumnya dikalangan Dayak Lawangan yang masih
beragama Kaharingan, begitu ada salah satu dari anggota keluarganya yang
meninggal, mereka langsung melaksanakan wara satu hari satu malam karena
biayanya tidak terlalu besar. Upacara wara biasanya biasanya berpusat di rumah
atau bisa juga di Balai oleh sebab itu keluarga yang meninggal sangat sibuk
bekerja demi kelancaran upacara Wara yang dilakukan.
Dalam urut-urutan pelaksanaan upacara Wara yang
dilakukanoleh suku Dayak Lawangan, dimulai dari kematian sampai pada upacara
mengantar arwah atau roh orang yang sudah meninggal ke negeri keluhuran, maka
akan telihat adanya dua tokoh yang sangat penting, yakni Balian Wara dan Luying Buyas.
Orang lawangan tahun 1900
Foto koleksi: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
Belanda
Balian Wara sebagai penunjung jalan menuju
swarga loka
Balian Wara mempunyai kedudukan sebagai pemimpin puncak
adalah sangat penting untuk menentukan kelancaran tugas untuk mengantar arwah
atau roh orang yang sudah meninggal karena kedudukannya sebagai pendeta atau
imam, yaitu perantara antara hubungan manusia dengan Yus Allatala ( sosok
pencipta/Tuhan istilah Lawangan), tidak semua orang bisa menjadi Balian Wara
serta mengerti tentang tata cara memanggil roh orang mati maupun mengantar roh
si arwah ke negeri keluhuran. Seseorang yang mendai Balian Wara merupakan
keturunan langsung dari Balian Wara sebelumnya, biasanya Ia mengalami
kemasukkan roh dari nenek moyangnya yang sebelumnya menjadi Balian Wara,
setelah Ia mengalami kemasukkan Roh nenek moyang itulah Ia menjadi seorang
Balian Wara.
Balian wara tidak bisa mengantar arwah atau roh orang
yang meninggal langsung sampai ke negeri keluhuran sebab sangatn berbahaya
untuk keselamatan jiwanya sendiri, apabila Ia memaksakan diri untuk mengantar
hingga sampai ke negeri keluhuran maka dapat dipastikan Ia akan mati karena
rohnya tidak dapat kembali ke dunia, sebab tidak ada roh yang berada di negeri
keluhuran yang mau mengantar rohnya kembali ke dunia. Balian Wara hanya bisa
bisa mengantar roh orang yang menionggal tersebut sampai ke puak katar saja dan seterusnya dipimpin
oleh Luying Buyas sehingga sampai ke
negeri keluhuran. Luying Buyas
sendiri adalah jelmaan dari roh beras, Ia digambarkan sebagai seorang laki-laki
yang gagah perkasa dan Ia selalu berjalan dibarisan terdepan dalam rombongan
semenjak mulai berangkat untuk mengantar arwah atau roh orang yang meninggal.
Luying Buyas
melanjutkan perjalanan bersama roh orang yang meninggal tersebut di mulai dari Puak Katar, untuk melanjutkan perjalanan
sang arwah sehingga sampai ke negeri keluhuran dan menyerahkannya kepada pikah
keluarga yang telah mendahuluinya serta kepada seluruh masyarakat roh yang
berada di negeri keluhuran. Dalam acara penyerahan roh sang arwah digambarkan
seolah-olah ada pertemuan antara yang meninggal dengan arwah-arwah yang
meninggal terlebih dahulu, disamping pertemuan tersebut, Luying Buyas secara resmi menyerahklan arwah yang diantarnya supaya
dapat diterima keberadaannya di negeri keluhuran, setelah penyerahan selesai
maka Luying Buyas pun berpamitan kepada mereka untuk kembali ke Puak Katar dimana Balian Wara menunggunya. Menurut mereka apabila seseorang tidak
dapat berkumpul dengan kelurganya yang terlebih dahulu meninggal setelah Ia
meninggal dunia maka Ia telah melakukan suatu kesalahan yang tidak dapat
terampuni.
Upacara Wara
dalam kepercayaan Kaharingan juga berarti pembebasan baik bagi yang masih hidup
ataupun bagi yang sudah meninggal. Bagi yang meninggal pembebasan dari
penderitaan dan kesengsaraan sedangkan bagi yang masih hidup pembebasan dari
malapetaka, penyakit, terhindar dari bencana, kemiskinan dan lain-lain.
Wah fotonya dari acara wara di Rumah saya tahun 2012 lalu,bulan 7 kami mengadakan ini wara terakhir tuk kakek saya Yarsin Ngantas acara 14 hari di kalahien..datang ya om Hadi
BalasHapuswah di Kalahien ya, mudahan-mudahan bisa datang..salam buat keluarga besarnya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAcara pembukaan dimulai tanggal 26 juni sampai selesai selama 14 hari om
BalasHapusterima kasih undangannya...saya usahakan
BalasHapus