Zakaria Tihen: Pengabdian Sampai Akhir
Ditulis oleh ; E.W
Faige
Disarikan Kembali oleh
: Hadi S. Miter
Tulisan ini ditulis oleh Ernest
Wiliam Faige yang berjudul “Wees Getrouw Tot In Den Dood Of De Levensgeschiedenis Van Zacharia Tihen”
(Setia Sampai Mati : Sejarah Hidup Zacharia Tihen), sebagai bentuk rasa
hormatnya kepada sosok penginjil pribumi Zakaria Tihen. Ini tulisan yang
menarik mengambil setting perkampungan Dayak maanyan di Tamiang Layang, dan
kampung Blai Dato dimana kampung ini kelak berubah menjadi Beto atas Prakarsa Missionaris
Sunderman. Sejauh ini memang tidak banyak tulisan-tulisan tentang para
penginjil pribumi khususnya orang Dayak, saya bersukur bisa mendapatkannya serta
menyajikannya agar dapat kita baca sebagai refleksi atas masa lalu dan apa yang
akan kita petik untuk masa yang kan datang.
Tihen pria Dayak yang cerdas.
Tihen pria Dayak
yang berbakat, dia masuk sekolah yang dikelola oleh misionaris saat dia masih
anak-anak, dia mengikuti sekolah yang dikelola misionaris Beijer di Poelo Telo
(dekat Kuala Kapuas). Ayahnya menentangnya dan mengeluarkannya dari sekolah,
tetapi Tihen orang yang gigih dia tetap pergi kesekolah. Dia belajar menulis
dan membaca serta sangat menyukai sejarah Gereja. Ayahnya meninggal pada Mei
1890. Ketika dia berusia sekitar lima belas tahun dia memutuskan untuk pergi ke
Banjarmasin, di mana dia bekerja dengan orang-orang Eropa disana, Tihen menjadi
asisten seorang Jerman bernama Von dem
Borne, yang dipekerjakan oleh Pemerintah untuk menggambar peta Kalimantan.
Tihen menjelajahi Kalimantan mendampingi Von dem Borne dan dengan demikian ia berkenalan
dengan daerah dan orang-orang yang sebelumnya tidak akan pernah dia lihat.
Saat meletus perang 1859 Tihen
memutuskan pulang, menikah dan menentap di Mandomai, pada tahun 1860an ia menjalani
hidup sebagai seorang Dayak dengan kepercayaan asli di kampung istrinya
Mandomai. Sampai Ketika saya(Faige) ditugaskan dari Wuppertal Jerman ke
Mandomai Pada bulan November 1872. Pada sore hari tanggal 15 April 1873, Tihen
datang kepada saya dan menyatakan bahwa dia telah berbicara dengan ibu, saudara
laki-laki, dan saudara perempuannya bahwa mereka bersedia untuk menerima katekesasi
dan siap untuk dibaptis. Lalu akhirnya Desember Pada tahun 1873 bersama sejumlah
kecil warga jemaat (enam belas orang dengan anak-anak) dibaptis, tidak hanya
para misionaris yang bersukacita dan bersyukur, tetapi juga yang dibaptis, dan
di antara adalah Tihen yang sekarang menerima nama baptis “Zakharia”.
pada tahun 1875 Ketika post misi
di pedalaman dibuka untuk kami, dan saya pindah ke Tamiang Layang. Tihen saya dipromosikan
menjadi guru bantu : “Meskipun Zakharia masih seorang Kristen muda, dia tahu
apa yang dia lakukan; dia memiliki karunia dan keberanian untuk bersaksi dan
menunjukkan bahwa dia adalah seorang Kristen dengan menjalani kehidupan yang
berbeda. Tihen ditempatkan terlebih dahulu sebagai kepala sekolah di Telang dan
nantinya dapat digunakan sesuai situasi." Namun Misionaris CC. Hendrich membutuhkannya
untuk menjadi guru di Mandomai serta mengajar katekesasi untuk calon baptisan ditempat
yang sulit untuk dijangkau, Ketika kami melihat imannya, penyerahannya kepada
Tuhan, kesabaran dan ketundukannya, bahkan di saat-saat tersulit, kami sering
mengatakan bahwa dia adalah teladan bagi semua orang Kristen. Walau kadang kami
para misionaris harus sangat sabar menghadapinya karena ada kecenderungan bahwa
Tihen adalah sosok pemalas, yang membuat ekonominya morat marit dan membuatnya
tampak menjadi sangat miskin; berbanding terbalik dengan saudaranya Silvanus
yang rajin Bertani dan juga berdagang. Kalau bukan karena gajih yang tidak
seberapa dari badan misi untuk pekerjaannya sebagai guru bantu, mungkin Tihen
dan istrinya bersama keenam anaknya mereka mungkin tidak dapat bertahan hidup.
Pindah menjadi guru di Tamiang
Layang
Kehidupannya di
Mandomai semakin melarat jadi dia memutuskan untuk memboyong anak dan istrinya
ke Tamiang Layang pada tahun 1880, dan berladang tidak jauh dari rumah misi di Tamiang
Layang dan mengajar di sekolah. Istri Tihen yaitu Martha bekerja dengan rajin di
ladang mengurus padi mereka. Tuhan memberkati mereka dengan menganugrahkan
mereka panen yang baik, tetapi tahun berikutnya panen buruk, kebutuhan
meningkat, dan untuk menutupi kebutuhan makan harian tidak tercukupi. Pukulan
berat lainnya: Marta jatuh sakit dan meninggal setelah lama menderita. Kami
sering berpikir bahwa Martha ini telah menjadi seorang Kristen hanya untuk
pergi bersama suaminya, tetapi di ranjang kematiannya, menjadi jelas bagi kami
keyakinan batin yang kuat yang dia miliki, dan betapa besar sukacita dan
kedamaian yang dia dapat saat pergi.
Zakharia kini berdiri sendiri
dengan keenam anaknya. Panennya, seperti yang disebutkan di atas, buruk. Kemudian
kami membantunya dengan modal untuk berdagang. Dulu saya pernah membuat cerutu dari
tanaman tembakau yang saya tanam di Tamiang Layang; Saya sekarang mengatur agar
Tihen mengelola pembuatan cerutu dengan
lebih serius. Dia juga kami berikan modal ke Banjarmasin untuk membeli
kebutuhan rumah tangga dan dijual Kembali di Tamiang Layang serta sekitarnya. Jadi
perlahan satu tahun berlalu Tihen memiliki penghasilan yang lumayan untuk
membuat dapurnya tetap berasap dan anak-anaknya tetap makan. setelah kematian
istrinya, nampaknya Zakharia Tihen mulai untuk memikirkan menikah kembali.
Matanya tertuju pada seorang gadis belia dari jemaat di Tamiang Layang, gadis
tersebut hampir seusia dengan putra sulungnya. Saya tentu saja menentang pernikahan
ini, begitu pula orang tua gadis itu, pertentangan ini menjadi tebing yang
sangat berbahaya dan menjadi tempat Tihen tersandung. Pada saat istrinya
meninggal, dia berkata, "Tuhan, jadilah kehendak-Mu," betapapun dia sangat
mencintai almarhum istrinya. Dia telah belajar untuk menanggung banyak hal demi
Kristus, tetapi dalam hal ini dia tidak bisa lepas dari bahaya yang menggoda
imannya, dan suatu sore kami mendapat kabar bahwa dia telah melarikan diri
dengan gadis itu. Sebagai orang Kristen tentu saya sangat malu dan terpukul atas
apa yang dilakukan Zakaria Tihen dihadapan jemaat. Saya tidak dapat bertindak
apa apa atas pilihannya kami hanya menyimpan rasa kecewa.
Sampai suatu hari Tuhan menghukum
Tihen, dimana dia jatuh sakit dan kehilangan pendengarannya. Beberapa hari
berlalu. Saya mengunjunginya beberapa kali, tetapi tidak rasa bersalah dan rasa
penyesalan yang ia utarakan, sehingga saya harus membuatnya merasakan
keseriusan hukuman Tuhan atas dirinya. Pada hari keempat, menjelang malam,
salah satu anaknya mendatangi saya dengan secarik kertas yang di atasnya
tertulis dengan tangan gemetar: “Tuan, aku mohon, datang dan selamatkan aku;
jika tidak, saya tersesat lebih jauh!" Sekarang waktunya telah tiba untuk menunjukan
saya utusan Kristus yang maha pengampun asalkan ada keseriusan mengakui dosanya.
O betapa mulianya bahwa kita memiliki perintah dari Juruselamat ini, baik
kepada para hamba-Nya maupun para pendosa yang malang! Saya menemukan dia
sangat hancur. Tihen mengutip Mazmur 32:5 Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan
kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku
berkata: "Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku"
dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku. Ketika saya datang kepadanya dia
menggenggam tangan saya, dan berteriak, "Selamatkan aku! Selamatkan
aku!" Waktunya telah tiba untuk berdoa bersamanya dan mengampuni dosanya
dalam nama Juruselamat. Sejak saat itu kedamaian Tuhan kembali ke hatinya, dan
demamnya hilang; dia sehat.
Buku karya Tuan Faige “Wees Getrouw Tot In Den Dood Of De Levensgeschiedenis Van Zacharia Tihen” tahun 1895
Menjadi penginjil di Balai
Dato
Sepertinya
bisnis perdagangan tidak berjalan dengan baik, dan menanam padi di daerah ini
membutuhkan banyak usaha, tetapi biasanya tanpa hasil. Sementara itu, umat
Kristen Tamiang Layang mendengar bahwa ada tanah yang subur dengan lokasi yang
cukup jauh dari sini. Suatu ketika Zakharia Tihen pergi dengan istri mudanya
untuk melihat keberadaannya prospek lahan untuk ditanami disana. Dalam
perjalanan ini mereka sampai di daerah Ampari, tepatnya kampung Balai Dato. Padi
berlimpah di sana; mereka diterima dengan baik dan diajak orang setempat tinggal
dan menanam padi disana. Seorang pria kaya menawarkan untuk membantunya dengan
beras sampai panen berikutnya. Zakharia kembali dengan penuh semangat dan
segera siap untuk pindah ke Balai Dato mencari kehidupan yang lebih baik.
hampir semua baptisan kami bersemangat untuk pergi ke sana juga, dan kami
tinggal sendirian di Tamiang Layang. Sebenarnya saya disarankan para penatua untuk
melarang jemaat pergi kesana, tetapi saya tidak punya hak untuk melakukannya
dan saya juga tidak punya dana untuk membantu ekomomi mereka. Kami hanya dapat
mengandalkan komunitas jemaat kecil kami di Balai Dato untuk menjaga iman
mereka agar tidak terancam bahaya.
Zakharia Tihen adalah
benteng jemaat, dia adalah contoh bagaimana jemaat Kristen harus berperilaku di
tengah-tengah lingkungan kafir, agar mereka bisa menjadi garam dan terang dalam
kegelapan. Zakharia melanjutkan perjalanannya dengan semangat yang baik, dan di
waktu luangnya terlibat sebagai penginjil. Pertama-tama dia melakukan audiensi
dengan para pemilik tanah, yang mendengarkan dengan penuh perhatian pada Firman
Tuhan yang diberitakan. pada akhir Oktober 1884 Zakaria Tihen berhasil
membaptis Papong seorang pemilik tanah di Balai Dato. Setelah pesta
pembaptisan, delapan orang datang untuk meminta petunjuk pembaptisan, termasuk
istri dan anak Papong, kegembiraan menjadi lebih besar. Itu adalah waktu yang
indah, yang Tuhan berikan kepada kami melewati seorang Zakaria Tihen. Namun
sayang setelah 6 bulan berlalu Papong meninggal dunia akibat gagal ginjal
orang-orang disitu mau agar Papong dimakamkan secara agama lama, tetapi Zakaria
menolaknya. Zakaria Tihen bercerita sambil berlinang air mata karena ia dapat
membaptis orang Islam yang ada di Balai Dato.
Akhir hayat seorang Zakaria
Tihen
Saat saya
mengunjungi Zakaria Tihen di Balai Dato, dia sedang terbaring demam dan bukan
demam biasa yang dideritanya; itu adalah penderitaan dan tidak jarang berakibat
fatal. Keesokan paginya, dia pingsan akibat gangguan pernapasan dan batuk. Dia
tidak bisa berbaring; yang membuatnya sedikit lega adalah duduk di kursi. “Ya
Tuhan Yesus, maukah Engkau membawaku pulang, lakukan dengan cepat; karena itu
hampir terlalu berat untuk ditanggung!” kata Zakaria Tihen dalam doanya. Dia
yakin bahwa dia berada pada hari-hari terakhir kehidupannya. Pada pagi terakhir
hidupnya, dia meminta kepadaku agar dilayani Perjamuan Kudus. Namun, saya tidak
dapat percaya bahwa Tuhan akan mengambilnya, karena saya masih sangat
membutuhkannya. Tapi dari jam ke jam harapan saya sirna, Zakaria memanggil
anak-anaknya serta menciumi mereka dan memberi tahu mereka bahwa dia sekarang
pergi kepada Juruselamat, dan bahwa mereka harus tetap berpegang pada Kristus.
Setelah itu dia meninggal dengan damai, dia sekarang berbaring dengan gurat
kedamaian di wajahnya; Tihen telah menang, dan menjaga iman; oleh karena itu
mahkota kebenaran akan dianugrahkan kepadanya. Saya sangat sedih mau tidak mau
saya meneteskan air mata memikirkan nasib keenam anak-anak ; tetapi lebih dari
itu, saya kehilangan seorang sahabat. Keesokan paginya masih banyak pekerjaan
yang menunggu; jalan harus dibersihkan dari rumput liar sampai ke tempat
pemakaman; sebuah jembatan harus dibangun di atas sungai dari sebuah pohon besar ditebang dan akhirnya
kuburan harus digali. Selain itu, orang kafir harus dinegosiasikan, karena
tempat kami ingin menguburkan Zakharia ada di dekat perkampungan mereka.
Menjelang siang semuanya sudah siap. Di dalam rumah "Saya berkotbah dari
Matius 13 : 43. " Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya
seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka. Siapa bertelinga, hendaklah ia
mendengar!" Di kuburan kami menyanyikan lagu kidung Bahasa Dayak; Saya
berbicara singkat kepada orang kafir yang hadir tentang harapan orang Kristen,
dan kemudian kami harus menyerahkan jenazah hamba yang setia ini ke dalam bumi.
Saya mempertimbangkan untuk memanggil guru Daniel Akar untuk mengambil alih
tugas pelayanan Zakaria membina jemaat di Balai Dato.
sumber : E. W Faige, Wees Getrouw Tot In Den Dood Of De Levensgeschiedenis Van Zacharia Tihen,
Höveker & Zoon (Amsterdam) 1895.