Senin, 03 Agustus 2015

RESENSI BUKU: AMIRUE DAN ROH KUDUS








      Masuknya Injil ke Tanah m'aanyan memang memerlukan perjuangan ekstra, para missionaris yang tersulut api semangat Pietesme datang ke tanah Borneo. banyak hal yang dikorbankan pada paruh abad ke-19 itu, orang maanyan yang masih liar, diperkenalkan sebuah dogma yang sulit untuk mereka mngerti. ada darah dan air mata, sebuah perjuangan keras. para missionaris menggambarkan keadaan itu sebagai anak sakit (Kinder kranke) yang tak dapat bertumbuh, upaya Christianisierung yang bisa dikatakan mengalami kebuntuan.sebuah cerita yang luar biasa, buku ini tidak disajikan dalam bentuk tulisan sejarah yang membosankan, melainkan mengajak anda masuk dalam sebuah situasi seolah anda langsung terlibat didalamnya. tulisan ini mengandalkan data-data valid yang lengkap dari catatan para missionaris dan beberapa wawancara dari pelaku sejarah.
      Amirue dan Roh Kudus: Sejarah Perjumpaan Ulun Maanyan Dengan Kekristenan, bukan hanya layak dibaca oleh orang maanyan saja melainkan layak dibaca oleh setiap kalangan. buku ini berbicara panjang mengennai proses demi proses Kekristenan itu masuk, diawali dengan penolakan dan berakhir dengan diterimanya sebagai sebuah kepercayaan terbesar dikalangan orang maanyan.



Senin, 23 Maret 2015

NGUME: Ladang Sebagai Bagian Penting Dalam Lingkaran Kehidupan


NGUME:
Ladang Sebagai Bagian Penting Dalam Lingkaran Kehidupan
by: Hadi Saputra miter




Istilah ladang berpindah sebenarnya sangat tidak tepat, karena kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan Ladang: sistem bercocok tanam berpindah-pindah dari satu bidang tanah (ladang) ke bidang tanah yg lain, biasanya dibuka dengan menebang dan membakar sebagian hutan”. Jadi hampir tidak perlu lagi istilah Ladang berpindah, sebenarnya.
Orang maanyan hampir sama dengan masyarakat dayak pada umumnya dimana mereka menggunakan sistem berladang dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka, , beras atau weah adalah makanan utama disamping makanan yang lain atau disebut dengan beras sentris. Penggunaan system ladang inilah pada masa lalu membuat gerah para missionaris  dalam sebuah laporannya Missionaris Tromp saat di Telang ke badan missi di Jerman menyebutkan:
“Ladang berpindah ternyata juga menjadi sebuah permasalahan, dimana ladang berpindah membuat masyarakat dayak maanyan menjadi sulit untuk ditemui. Tromp mencoba meminta bantuan dari pemerintah Belanda untuk mengambil sikap melarang sistem ladang berpindah, namun permintaan Tromp tersebut nampaknya tidak diperhatikan oleh pemerintah Belanda.”[1]

Bagaimana konsep orang Maanyan tentang ladang dan beras

Masyarakat Maanyan sebelum memulai berladang biasanya membaca tanda-tanda alam, seperti melihat wawahiang awahat atau tanda bintang dilangit apakah boleh napas wini melepas bibit. Dalam konsep mereka padi atau parei memiliki roh, mereka menyebut roh beras akan pergi berlayar dengan perahu besar yang bernama “Banung Mantiar” yang melakukan perjalanan ke Banjarmasin dan baru kembali saat musim panen (masi).[2] 

tempat roh beras yang ditaruh diladang


Proses penanaman padi dimulai sebagai berikut:
1.      Pembukaan lahan atau tamaruh neweng.
Proses ini dilakukan dengan melakukan penebangan, penebasan dan pembakaran agar lahan benar-benar bisa untuk tempat menanam. Dalam proses pembukaan lahan ada beberapa pantangan (padi pamantang), seperti:
·     Kalau parang untuk membersihkan patah maka perladangan disitu harus dibatalkan
·  Begitu juga kalau ada sarang tawon (wani) dilahan yang akan digarap, artinya memang harus dibatalkan.
a)     Tamaruh; memotong kayu-kayu kecil
b)     Neweng ; menebang pohon-pohon besar
c)      Nutung ; membakar hasil tebangan melewati proses yang bernama ngekai jewe atau membiarkan hasil tebangan kering untuk dibakar
d)     Ipandruk ; membakar kembali sisa-sisa pembakaran agar ladang lebih bersih

 proses tamaruh neweng


2.      Penanaman padi atau Mu’aw.
          Proses penanaman berlangsung, dengan mengumpulkan orang penanaman berlangsung dimana kaum pria yang membuat lubang tanam menggunakan tongkat yang disebut piehek. Serta kaum perempuan dan anak-anak yang memasukan bibit kedalam lubang
            Ada juga konsep yang menarik, apabila satu keluarga baru dan membuka lahan sendiri untuk berladang. Maka mereka harus membawa benih dari masing-masing keluarga untuk dinikahkan “ngadu wini”, sehingga benih yang akan ditanam merupakan benih baru dalam sebuah keluarga yang baru. Ada 3 jenis varian bibit (wini) padi dalam masyarakay maanyan: 1. Lungkung 2.Gilai 3.Dite

 pembuat lubang didepan, penanam dibelakang
 tanrik ehek hiburan kala senggang

Kebanyakan orang maanyan akan meninggalkan kampung dan pergi ketempat yang jauh untuk mengurus dan menjaga ladangnya. Pondok kecil dibangun untuk menjaga ladang, berbulan-bulan meninggalkan kampung. Namun tetap akan berkumpul kembali ke kampung pada saat ada hal-hal yang dianggap penting seperti pernikahan, kematian atau pesta adat.

Penutup
            Maanyan masa kini berbeda mereka sebagaian besar sedah bukan masyarakat peladang, mereka sekarang cendrung konsumtif dalam pengertian pembeli beras bukan penghasil beras. Hal itu juga nampaknya pengaruh dari perubahan budaya masyarakat yang memang tidak bisa dibendung lagi. Kehadiran agama samawi juga nampaknya membuat nilai-nilai sistem berladang juga mengalami berubahan dalam hal penyesuaian budaya. Namun modernitas juga nampaknya tidak bisa serta merta mengubah kebiasaan beras sentris nya orang maanyan, toh kehadiran roti dan mie instan juga tidak mampu menggeser keperkasaan beras. Puang wising amun puang kuman nguta nahi....setuju.
            Selanjutnya isu latah Global warming yang digulirkan dan menunjuk hidung orang-orang peladang sebagai tersangka, nampaknya juga tidak terlalu digubris oleh orang maanyan. Mereka akan menjawab silahkan saja, memang bisa membuka lahan dengan tidak dibakar. Jawabanya juga satu boleh membakar asal jangan sampai hutan yang terbakar, ya sudahlah...win-win solution.


[1]  S.Coolsma, De Zendingseeuw Voor Nederlandsch Oost-Indie ( Utriech: Braijer 1901). 548
[2]  Judith Hudson: The Rhythm Of Life (Pelham, Masecusset, 2001).116