Selasa, 17 Desember 2013

KISAH SEDIH DARI TANAH BORNEO


KISAH SEDIH DARI TANAH BORNEO
BY;
HADI SAPUTRA MITER

               
KORBAN PERISTIWA 1859 MISSIONAR WIGAND DAN ISTRI,
Tengah:MISSIONAR ROTT, MISSIONAR KIND DAN ISTRI,
Dibelakang: MISSIONARIS HOFFMASTER DAN ISTRI


Titik Awal Pemicu
        Adanya intrik perebutan kekuasaan kesultanan Banjar yang nantinya menjadi cikal-bakal perang Banjar, ditambah pihak Belanda yang dianggap ikut campur dalam intrik antara Pangeran Tamdjidilah dan Pangeran Hidayatullah. Pihak Belanda mengusung Tamdjidilah yang tidak disenangi rakyat untuk menjadi sultan, sehingga membuat berang Hidayat yang didukung rakyat kesultanan, perang tak dapat dielakan lagi. Orang-orang yang pro Hidayat, melakukan aksi teror kepada aset-aset baik tambang batu bara (batu harang), sampai perkebunan Belanda yang dilakukan secara berantai sejak tanggal 28 April 1859. Setiap penyerbuan selalu disusul dengan penjarahan dan pembantaian terhadap para pegawai sipil dan serdadu Belanda.

Peristiwa Mandomai
        Pada awal Mei terdapat di situ ketiga keluarga misionaris yaitu Rott,  dan Kind. Kedua keluarga terakhir hanya mampir dalam perjalnan ke tempat tugas yang baru. Pada pagi tgl 7 mai para pembunuh, yang pada hari sebelumnya gagal menyerang Stasion Bethabara karena kehadiran kapal api dan serdadu Belanda, mengepung gedung stasion Tanggohan. Pelayan Missionaris seorang Anak Dayak berteriak dan misionaris Rott turun ke depan rumah, dimana ternyata anak tersebut kena tombak; keluarga para misionaris  datang ke beranda dan berusaha berbicara dengan penggepung agar diizinkan pergi dengan selamat, tetapi pemberontak itu mentertawakan mereka itu dan menembak anak panah yang beracun sebagai jawaban.
        Missionaris Rott berusaha melarikan diri dengan istrinya ke jamban untuk naik perahu,  Namun perahu itu sudah dirampas. Di jamban misionaris Rott dibunuh, dalam pelukan isterinya. Keluarga Wiegand saling berpegangan. Ibu Kind yang masih muda berdiri di samping suaminya bersama anak Maria Rott. Ketika para pembunuh mendekat, misionaris Rott berdoa : “Bapa, ke dalam tanganmu kuserahkan nyawaku“ dan puteri kecil Maria menyambung : “Sebentar kita sampai pada Tuhan Yesus yang dikasihi“, Ibu Kind menyuruh anak itu mengatakan pada para gerombolan bahwa korban-korban yang mereka bunuh mengampuni tindakan mereka dengan setulus hati. Setelah itu para perempuan itu didorong oleh para pembunuh ke dalam sungai Kapuas bersama para bapa yang terluka  dan kedua anak kecil mereka. Ibu Rott dengan puteranya yang sudah pingsan diselamatkan dari air oleh seorang pemuda Dayak, tapi dengan maksud menyiksa dia.
        Ia ditahan tiga hari dan tiga malam di rumah kepala suku. kedua Puterinya yang dilarikan ke hutan oleh seorang pembantu, akhirnya diantarkan kepadanya. Ia membela martabatnya sebagai perempuan dan kedua anaknya Ny.Rott berkata :  “Saya memberitahukan pada kepala suku bahwa saya lebih suka mati dari pada menyangkal iman saya atau dijadikan budak“ diceritaknanya kemudian pada ibunya. Pada tgl 10 mai kapal api pemerintah beserta serdadu bersenjata sampai ke Tanggohan. Orang yang menyekap Ny. Rott melarikan diri ketakutan kedalam hutan. Ibu muda itu berdiri bersama kedua anaknya di tepi sungai ketika kapal penyelamat berlabuh.

Pembunuhan Orang Eropa Oleh Orang Dayak

Peristiwa Buntoi Penda Alai
     Sementara itu salah satu kapal pemerintah yang lain menyeberang ke muara Kahayan dan menghilir sampai ke Buntoi Penda Alai, stasion keluarga Hofmeister. Ketika mereka tiba pada tgl 15 mei mereka menemui rumah misi di mana semua dirampok dan diacak-acak, terdapat suatu papan dimana tertulis dengan kapur: “Tuan Hofmeister dan isterinya sudah dibunuh“. Kuburan mereka terdapat di belakang rumah. Keempat anak missionaris diculik oleh gerombolan penyerang. Dua tahun kemudian pelayan yang menulis berita di atas papan, menceritakan bagaimana proses terjadi pembunuhan itu.
      Ketika misionaris Hofmeister pergi melihat situasi ribut-ribut, ia ditebas dengan parang. Ia masih dapat pulang ke rumah dan mendatangi keluarganya ke beranda yang dikepung oleh seratus penyerang. Ia berlutut bersma isteri dan anak-anak dan berdoa untuk para pembunuhnya. Seorang saksi menberitahukan kemudian pada misionaris Zimmer tentang isi doa terakhir misionaris Hofmeister :“ Tuhan yang dikasihi, Engkau yang menjadi Juruselamat kami, kasihanilah bangsa ini. Jangan mengambil kembali anugerah-Mu dari pada mereka dan karuniakan lagi Firman-Mu yang berharga kepada mereka.“ Setelah itu ia menyuruh orang untuk segera bertindak. Ia dieksekusi dengan cara ditembak setelah kena beberapa peluru dan Ia rebah. Isterinya memeluk dia.
        Sementara anak-anak coba memegang orang tuanya, para pembunuh datang, memotong kepala mereka dan merobek tubuh mereka. Pada malam berikut dua murid katekisasi menguburkan kedua mayat suami istri tersebut. Dua bulan kemudian keempat anak ditemui dalam keadaan yang menyedihkan dihutan, namun mereka selamat dan diantarkan ke Banjarmasin. Dan salah satu anak missionaris itu, yang sudah lanjut usia (82 tahun), dapat menghadiri perayaan 100 tahun misi di antara orang Dayak (tahun 1955) dan ikut memuliakan Tuhan oleh karena itu, dan memaafkan semua peristiwa tersebut.

Penutup
cerita kali ini ingin mengingatkan kepada kita bahwa, ada pengorbanan dalam pekabaran Injil. adakah masih nama-nama mereka kita kenang? tulisan kali ini memang tidak berbicara tentang maanyan secara spesifik namun perlu diketahui, peristiwa inilah yang juga melatar belakangi kepergian missionarir Daninger dan Klammer dari tanah Maanyan.

Sumber:
Van Hoevell
Tijdschrift  voor  Nederlandsch-Indie 23 jaargang
Herman Witschi
Cristus Siegt: Geschichte Der Dajak Mission Auf Borneo (Basel: Bassel Mission Library, 1942)
sebagian sumber berisikan hasil introgasi pemerintah Hindia Belanda, terhadap saksi-saksi atas kejadian pembantaian tersebut, sebagai laporan resmi yang dirangkum dalam Tijdschrift  voor  Nederlandsch-Indie 23 jaargang

Selasa, 15 Oktober 2013

BEKANTAN KECIL DAN ORANG HUTAN

Bekantan dan Orang Hutan

    Sebuah cerita yang sangat mengharukan dari seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda saat bertugas di Balikpapan yang memiliki kegemaran dengan satwa dan fotografi.
     tentang Orang Utan dan Bekantan kecil, bagaimana fauna di Kalimantan ini berhasil membuat sebuah cerita yang menarik, walaupun kali ini tidak berhubungan langsung dengan Maanyan.
    Objek Foto Borneo ketiga pada dasarnya adalah sebuah keluarga bekantan. Bekantan (Nasalis larvatus) biasa menghuni hutan bakau dan banyak ditemui di sekitar Balikpapan. Ketika menyusuri sungai orang sering melihat keluarga bekantan, terutama pada waktu matahari terbit dan terbenam, tetapi hanya dan jauh. Setiap kali didekati, hewan-hewan yang pemalu itu segera melarikan dir Karena itu jarang ada Bekantan yang tertangkap. Monyet itu tentu saja bisa ditembak mati atau dilukai dengan tembakan, tetapi baru-baru im pemerintah Hindia-Belanda telah melarang perbuatan konyol tersebut.
     Salah satu cara yang mengerikan untuk mendapatkan monyet muda, tetapi masih lazim dipakai oleh pemburu tertentu asal Eropa—cara  sering digunakan terutama untuk menangkap bekantan muda—adalah menembak induk bekantan yang sedang menyusui, kemudian merampas anaknya yang biasanya tidak terluka, karena dilindungi oleh sang induk dengan menggunakan tubunya sendiri.
     Orang Utan jantan yang berdasarkan giginya sudah berusia lanjut, melarikan diri ke pabrik parafin di Balikpapan ketika terjadi kebakaran hutan, lalu membiarkan dirinya ditangkap tanpa memberi perlawanan. Setelah dua minggu yang dilewati dalam keadaan terbelenggu, orang utan itu mendapat sedikit kebebasan di pekarangan saya.
      Orang utan sangat jinak dan makan dengan lahap, terutama pisang. Sayangnya, makanan utamanya, yaitu buah dan tunas bakau, tidak dapat disediakan dengan segera. Dengan tinggi yang kurang lebih sama dengan orang Jawa. Sekitar 1,5 meter dalam keadaan berdiri tegak—dan dengan otot kekar serta bulu tebal dan lembut berwarna cokelat kemerahan dan kelabu keperakan, orang utan itu selalu bersikap anggun dan pasrah.
      Bau yang terus menempel pada tangan yang sempat membelai bulunya dan tetap tidak hilang setelah beberapa kali mencuci tangan pun, menghalangi terbentuknya tali persahabatan antara monyet tersebut dan para pembantu dan tukang kebun dan Jawa. Baunya seperti serdadu India, begitu pendapat umum di sini, dan dengan cara inilah orang-orang Jawa yang sangat menentingkan kebersihan diri mengungkapkan rasa jijik mereka.

       Kasih sayang para pembantu menjamin usia panjang para penghuni rumah. Setelah satu minggu kawan serumah yang baru itu mati, rupanya akibat serangan melankolia karena rasa rindu kepada hutan bakau yang tenang dan penuh pesona. Bekantan betina disergap di hutan bersama anaknya oleh orang-orang Bugis yang sangat gesit, lalu ditangkap dalam keadaan linglung, seperti yang sering menimpa bekantan ketika terdesak dan bingung. Saya mengupayakan agar sang induk, yang sangat pemalu dan mengusir anaknya selama dalam penangkaran, dapat segera dibebaskan kembali. Bayinya diurus seperti bayi manusia, dengan hasil yang sangat baik, lalu kami satukan dengan orang utan.
      Betina muda yang sudah kita kenal dari portofolio Borneo pertama untuk menghindari akibat buruk dan rasa kesepian. Dan sekian banyak gambar dadakan yang saya buat, sedapat mungkin tanpa menarik perhatian dan mengganggu hewan-hewan itu. Orang utan betina muda itu berperan sebagai kakak perempuan yang sudah lebih dewasa. Sikapnya terhadap bayi bekantan yang mencari perlindungan dan bantuan bukan sekadar antropomorf, tetapi nyaris dapat disebut sepenuhnya manusiawi. Ini dapat menjadi contoh pedagogis untuk mengilustrasikan kamar anak dan lembaga pendidikan lainnya.
          Ketika pertama kali berhadapan dengan orangutan di pekarangan, bekantan cilik itu berusaha kabur dari Si orang utan, yang sejak awal sudah memperhatikan bekantan kecil tersebut dibawa begitu dibawa masuk, tanpa kesulitan menangkapnya dengan memegang ekorya yang panjang, kemudian memeluknya sedemikian rupa, sehingga si Kecil merasa tentram dan membenamkan wajahnya ke dada orang utan yang berbulu lebat.
      Selanjutnyn menyusul ciuman selamat datang pada puting susu, yang perlahan-lahan ditolak orang utan sampai si Kecil menjerit kesakitan. Pemeriksaan seluruh badan lalu dilakukan oleh seorang juru rawat. Berlangsungnya pemeriksaan mendetail mengenai latar belakang dan asal-usul pun dapat terbaca pada raut wajah si orang utan yang terlihat serius dan berkesan menyelidik, dan juga pada roman muka si bekantan kecil yang kadang-kadang tampak mencibir, namun terkadang seperti berusaha meyakinkan.
 
     Permainan pun silih berganti dengan pengajaran. Orang utan yang tidak selalu puas permainan sesekali orang utan mencengkram tengkuk muridnya si bekantan kecil dan mengancamnya atau meneggor si kecil, sehingga terjadi hubungan yang sangat luar biasa antara keduannya. Sayangnya saya tidak berhasil mencegah bahwa setelah tiga minggu si Bekantan Kecil dimasukkan ke dalam kurungan dan dinaikkan ke atas kapal dalam keadaan sehat walafiat, untuk dibawa ke kebun binatang di Eropa. Namun tiga hari kemudian bekantan kecil itu mati. 

Orang Utan ( Genius Pongo )


Bekantan (Nasalis larvatus)



Monkeys (Bekantan
and Apes (orang utan)

      a very touching story of a Dutch government official while on duty in Balikpapan who have a penchant predictably wildlife and photography.
about the Orang Utan and Proboscis small, how fauna in Borneo's managed to make an interesting story, although this time it is not directly related to Maanyan.
 The subject of the third Borneo portfolio is mainly a pro bosc iis monkey family. The Borneo proboscis monkey (Nasalis larva tus) lives in the mangroves and is frequently found near Balikpapan. On a river trip you can often see numerous fami liies, especially at sunrise and sunset, though usually only at a distance. They are shy animals and quickly flee if you approach them. This is why proboscis monkeys are rarely captured. Though you can shoot them, the governing Dutch East Indies Company has recently forbidden this nonsense.
    A dreadful and unfortunately still common way some European hunters use to capture young monkeys, especially young gibbons, is to shoot down a nursing mother monkey and then tear the usually uninjured offspring from the dying mother, which protects it with her body right up to the last moment. The male proboscis monkey already quite old based on his teeth—took refuge in the paraffin factory of Balikpapan when a fire broke out in the jungle and was captured there without any resistance. He languished two weeks in chains and then was given a degree of freedom in my garden. He was extremely good-natured and ate with relish, mostly bananas. Unfortunately, his main nourishment fruits and sprouts of rhizophora (red mangrove). could not be immediately obtained. when erect he was as tall as a Javanese man (about 1.5 meters). 
      A strong, musky odor that even repeated washings could not remove from a hand that had stroked his fur hindered the ftiendship between him and the Javanese house servants and gardener. The general opinion here was that he stunk like a Laskar soldier, which is how the physically very clean javanese expressed his disgust. He was strongly muscled, wrapped in a thick soft fur that was bright auburn and pure silver gray, and he always behaved in a dignified manner concerning his fate.
     The love of the servants guarantees the house residents a long life. After one week the new housemate died, but apparently due to extreme melancholy, longing for the peace and magic of its mangrove forest. and her offspring were surprised in the forest by very nimble Buginese and captured in a state of mental paralysis, a phenomenon also observed in gibbons when they are harassed and helpless. I immediately freed the mother, who rejected her offspring in captivity and was very shy. The baby was fed according to the rules of human infant care, with great success by the way, and to avoid the consequences of loneliness already known from the first Borneo portfolio, it was put together with an orangutan fenale for company.  
Older, more highly developed sister to the foster proboscis baby seeking protection and help. This could serve as an educational model for children's nurseries other child-rearing institutions. were selected from a great many snapshots I made unnoticed and without disturbing the animals. More than anthropomorphic, one might almost say human, the orangutan female here plays the role of an when the liitle proboscis monkey came near the orangutan in the garden for the first time, it tried to escape.
The orangutan, which had watched with interest as the little one was brought in, effortlessly grabbed her long tail and enfolded her in her arms, prompting such trust that the little proboscis monkey buried her head in the orangutan's hairy chest. This was followed by a greeting kiss on the baby’s nipple, which slowly extended until the baby monkey could no longer suppress a cry of pain. A thorough physical examination was then performed with the delicacy of a model nurse. On the one hand a meticulous inspection of the type and origin of the baby proboscis monkey could be read in the serious face of the researcher and her snippy expression, and on the other hand she reassured the little one with her gestures. Games alternated with instruction.
     Not always satisfied with her ward's success, the orangutan would grab the student vigorously on the collar an.d threaten her. The baby proboscis monkey was in excellent health, but unfortunately after three weeks I could not prevent her from being put in a cage on a ship that would deliver her to a European zoo. She died within three days.

Sumber:

Gregor Krause, Borneo in 1920-1925 ( Jakarta: Lontar Fundation, 2013) sebuah narasi pengalaman Gregor Krause pria kelahiran 1883, selama menjadi tentara Hindia Belanda dan bertugas di Balikpapan selama khususnya perusahaan minyak milik perusahaan Belanda di Hindia Timur. sempat di tahan Jepang bebas tahun 1945 menetap di Australia mencintai seni foto dan budaya Indonesia. meninggal di Dalfsen Belanda 1959.