Jumat, 29 Januari 2016

ULUN MAANYAN DALAM LEMBAR-LEMBAR CATATAN SEJARAH



ULUN MAANYAN DALAM
LEMBAR-LEMBAR  CATATAN SEJARAH
by
Hadi Saputra Miter

sketsa orang Patai dibuat oleh seorang Belanda bernama G.Hendich
dibuat tahun 1845

Sejak kapan ulun maanyan dikenal?saya coba melacaknya dari arsip-arsip serta catatan para peneliti asing. Memang ada beragam tulisan mulai yang samar-samar menunjukan keberadaan orang maanyan sampai yang menyebutkan secara terang-terangan, namun saya berharap tulisan saya kali ini bisa membantu khazanah pengetahuan kita tentang siapa dan bagaimana ulun Maanyan di dalam sejarah dunia, dan bagaimana para peneliti asing memahami mereka.
Memang awalnya catatan ekspedisi orang Eropa ke Kalimantan nampaknya tidak mengkategorikan secara khusus orang-orang dayak, mereka menggeneralisasikannya dengan orang dayak saja seperti itu. Pada tahun 1790 secara samar-samar seorang serdadu Belanda berpangkat sersan yang bernama F.J HARTMANN, bertemu orang-orang Maanyan saat perjalanannya ke Muara Teweh lewat sungai Barito.[1] Selanjutnya tentu saja peneliti ahli ilmu alam C.A.L.M SCHWANER tahun 1840an akhir yang mendata kampung-kampung maanyan yang ia temui diwilayah sungai Patai dan sungai Siong[2], nampaknya ini yang ditiru oleh orang-orang Eropa lainnya, berikut daftar nama kampung maanyan menurut catatan Schwaner :

No.
Kampung disungai patai
Kampung disungai Siong
1
Kampung Hawaijong (Hayaping)
Kampung Talangson ( ?)
2
Kampung Halara (Harara)
Kampung Mowara to-oe (Murtuwu)
3
Kampung Kiri
Kampung Gauting (Ganting)
4
Kampung Djaar (jaar)
Kampung Telang
5
Kampung Goempa
Kampung Maloekai
6
Kampung Buta
Kampung Siong
7
Kampung Liga
Kampung Hawattan
8
Kampung Pangarapan
Kampung Rakoetan
9
Kampung Toembang Laijang (Tamiang Layang)
Kampung Maipai (Maipe)
10
Kampung Sarapat
Kampung Klarat (Kararat)
11
Kampung Karang Langit
Kampung Loekomangkka
12
Kampung Pinang Moesok
Kampung Blawat (Balawa)
13
Kampung Ladwong
Kampung Napotawang (Napu)
14
Kampung Tomonang

15
Kampung Haringen


Pada tahun-tahun selanjutnya baru setelah missionaris Jerman RMG (Rheinischen Missionsgesellschaft) pada tahun 1851 diutuslah ERNST LUDWIG DANINGGER untuk menginjili orang-orang maanyan di daerah sungai Siong dan berkedudukan di Murtuwu, baru dapat terlihat gambaran yang cukup utuh tentang orang SIhong.[3] Dilanjutkan oleh KLAMMMER pada tahun 1857 di Tamiang Layang, yang menuliskan keadaan Tamiang dengan orang-orangnya.[4] Begitu juga tulisan paling lengkap dan prima dari letnan Belanda C.Banggert mengenai orang Maanyan, saat ekspedisi nya ditanah dusun dan sungai Barito di tahun 1857an. Selanjutnya ada tulisan dari perawat kesehatan militer belanda VAN GOENS tahun 1864 yang menulis tentang penyakit yang melanda orang Tamiang Layang.[5]



 sketsa orang Dusun jalur sungai Barito
 yang dibuat oleh missionaris paruh abad 19


Selanjutnya tulisan-tulisan tentang Ulun Maanyan banyak di dominasi oleh para Missionaris paska perang hidayat tahun 1859. Baik FAIGE maupun TROMP mulai mencatat bentuk-bentuk tradisi orang-orang maanyan di Tamiang Layang dan Telang pada tahun 1877, Faige misalnya menggunakan istilah Maanyan dalam tulisannya seperti Maanjan-Patai yang merujuk Tamiang Layang dan sekitarnya.[6]  Kemudian pada tahun 1884 ada ahli botani dari Jerman F.GRABAOWSKY, yang mencatat dan mendata segala macam tumbuhan dan tanaman yang ada didaerah distrik dusun timur. Grabaowsky mulai bisa membedakan antara Maanyan dan Lawangan, besar kemungkinan tulisan-tulisan selanjutnya menggunakan tulisan Grabaowsky sebagai patokan.[7] Kembali Misionaris RMG dari Jerman SUNDERMANN tahun 1899 namun baru diterbitkan tahun 1920, membuat tulisan yang sangat bermanfaat tentang sistem kepercayaan orang Maanyan.[8]  Kemudian ada tulisan dari pegawai pemerintah Belanda WECHEL yang berjudul Amiroé: Beelden uit het Dajaksche volksleven 1924, dan kemudian ada tulisan agak panjang menjelaskan orang maanyan dan varian-variannya yaitu J.MALLINCKORDT pada tahun 1927 ada kemajuan yang lauar biasa dimana ia mulai membagi maanyan menjadi 3 sub suku:[9]
1.       Maanyan Patai
2.       Maanyan Siong
3.       Maanyan Jangkung
Kemudian ada tulisan dari seorang tentara Belanda F. TRAFFERS yang berpangkat Mayor Infantri, yang bercerita tentang kehadirannya dalam upacara Ijamme yang dilaksanakan di Telang pada tahun 1928.[10] Yang selanjutnya tentu saja tulisan paling modern milik A.B HUDSON pada tahun 1963-1964, sebuah tulisan Antropologi yang sangat bagus namun dia hanya menghususkan lokus penelitiannya hanya pada Maanyan Paju Epat saja.[11]






[1] F.J Hartmann, Beschrijving Van Eenen Togt Naar De Bovenlanden Van Banjarmasing In Heet Jaar 1790
[2]  Schwaner, BORNEO: Bescrijving Van Het Stroomgebied Van Den Barito 1853
[3] Daninger, Das Missionswerk auf Maratowo (Barmen: Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft, 1859). Der Kirchhof Zu Maratowo(Barmen: Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft, 1859).
[4] Klammer, Aus Borneo: Anfang auf Tameang Lajang (Barmen: Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft, 1858)
[5] Goens, Schet eener Gneeskundinge Plaatsbeschrijving van Tameang-Laijang; Gleggen in distrik pattey
[6]Faige, Ein Heidnisches Begrabnis Aus Fruherer Zeit (Barmen: Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft, 1885)
Tromp, “Een Kijke in Telang” (Barmen: De Rijnsche Zending Tijdschrift, 1878)
[7] F.Grabaowsky, Der District Dusson Timor in Sudost-Borneo und Seine Bewohner.1884
[8] H.Sundermann, Religiöse Anschaungen Und Gebrăuche Der Haidnischen Dajakken Auf Borneo (Berlin: Missionszetschrift  1908)
[9]  J.Mallinckordt , De Stmindeeling van de Maanjan-Sioeng-Dajak Der Zuider-een Ooster-Afdeling Van Borneo1927
[10] F.Trefferes, Een Eigenaardige Adat Bij Manjan Dajaks In De Oost Doesson Landen ( Kolonial Tijdschrift  17 jaargang 1928 ).
[11] Hudson, Alfred Bacon, Telang: Maanyan Village In Central Kalimantan dalam (ed) KoentjaraningratVillage In Indonesia (Singapore: Equinox Publishing, 2007)
, Padju Epat: The Ethnography And Social Structure Of A Ma'anjan Dayak Group In Southeastern Borneo (Michigan USA: University Microfilm 1967)
, The Padju Epat: Ma’anjan Dajak In Historical Perspective (Ithica:Cornel University Indonesia
Paper, 1967).

Senin, 03 Agustus 2015

RESENSI BUKU: AMIRUE DAN ROH KUDUS








      Masuknya Injil ke Tanah m'aanyan memang memerlukan perjuangan ekstra, para missionaris yang tersulut api semangat Pietesme datang ke tanah Borneo. banyak hal yang dikorbankan pada paruh abad ke-19 itu, orang maanyan yang masih liar, diperkenalkan sebuah dogma yang sulit untuk mereka mngerti. ada darah dan air mata, sebuah perjuangan keras. para missionaris menggambarkan keadaan itu sebagai anak sakit (Kinder kranke) yang tak dapat bertumbuh, upaya Christianisierung yang bisa dikatakan mengalami kebuntuan.sebuah cerita yang luar biasa, buku ini tidak disajikan dalam bentuk tulisan sejarah yang membosankan, melainkan mengajak anda masuk dalam sebuah situasi seolah anda langsung terlibat didalamnya. tulisan ini mengandalkan data-data valid yang lengkap dari catatan para missionaris dan beberapa wawancara dari pelaku sejarah.
      Amirue dan Roh Kudus: Sejarah Perjumpaan Ulun Maanyan Dengan Kekristenan, bukan hanya layak dibaca oleh orang maanyan saja melainkan layak dibaca oleh setiap kalangan. buku ini berbicara panjang mengennai proses demi proses Kekristenan itu masuk, diawali dengan penolakan dan berakhir dengan diterimanya sebagai sebuah kepercayaan terbesar dikalangan orang maanyan.



Senin, 23 Maret 2015

NGUME: Ladang Sebagai Bagian Penting Dalam Lingkaran Kehidupan


NGUME:
Ladang Sebagai Bagian Penting Dalam Lingkaran Kehidupan
by: Hadi Saputra miter




Istilah ladang berpindah sebenarnya sangat tidak tepat, karena kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan Ladang: sistem bercocok tanam berpindah-pindah dari satu bidang tanah (ladang) ke bidang tanah yg lain, biasanya dibuka dengan menebang dan membakar sebagian hutan”. Jadi hampir tidak perlu lagi istilah Ladang berpindah, sebenarnya.
Orang maanyan hampir sama dengan masyarakat dayak pada umumnya dimana mereka menggunakan sistem berladang dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka, , beras atau weah adalah makanan utama disamping makanan yang lain atau disebut dengan beras sentris. Penggunaan system ladang inilah pada masa lalu membuat gerah para missionaris  dalam sebuah laporannya Missionaris Tromp saat di Telang ke badan missi di Jerman menyebutkan:
“Ladang berpindah ternyata juga menjadi sebuah permasalahan, dimana ladang berpindah membuat masyarakat dayak maanyan menjadi sulit untuk ditemui. Tromp mencoba meminta bantuan dari pemerintah Belanda untuk mengambil sikap melarang sistem ladang berpindah, namun permintaan Tromp tersebut nampaknya tidak diperhatikan oleh pemerintah Belanda.”[1]

Bagaimana konsep orang Maanyan tentang ladang dan beras

Masyarakat Maanyan sebelum memulai berladang biasanya membaca tanda-tanda alam, seperti melihat wawahiang awahat atau tanda bintang dilangit apakah boleh napas wini melepas bibit. Dalam konsep mereka padi atau parei memiliki roh, mereka menyebut roh beras akan pergi berlayar dengan perahu besar yang bernama “Banung Mantiar” yang melakukan perjalanan ke Banjarmasin dan baru kembali saat musim panen (masi).[2] 

tempat roh beras yang ditaruh diladang


Proses penanaman padi dimulai sebagai berikut:
1.      Pembukaan lahan atau tamaruh neweng.
Proses ini dilakukan dengan melakukan penebangan, penebasan dan pembakaran agar lahan benar-benar bisa untuk tempat menanam. Dalam proses pembukaan lahan ada beberapa pantangan (padi pamantang), seperti:
·     Kalau parang untuk membersihkan patah maka perladangan disitu harus dibatalkan
·  Begitu juga kalau ada sarang tawon (wani) dilahan yang akan digarap, artinya memang harus dibatalkan.
a)     Tamaruh; memotong kayu-kayu kecil
b)     Neweng ; menebang pohon-pohon besar
c)      Nutung ; membakar hasil tebangan melewati proses yang bernama ngekai jewe atau membiarkan hasil tebangan kering untuk dibakar
d)     Ipandruk ; membakar kembali sisa-sisa pembakaran agar ladang lebih bersih

 proses tamaruh neweng


2.      Penanaman padi atau Mu’aw.
          Proses penanaman berlangsung, dengan mengumpulkan orang penanaman berlangsung dimana kaum pria yang membuat lubang tanam menggunakan tongkat yang disebut piehek. Serta kaum perempuan dan anak-anak yang memasukan bibit kedalam lubang
            Ada juga konsep yang menarik, apabila satu keluarga baru dan membuka lahan sendiri untuk berladang. Maka mereka harus membawa benih dari masing-masing keluarga untuk dinikahkan “ngadu wini”, sehingga benih yang akan ditanam merupakan benih baru dalam sebuah keluarga yang baru. Ada 3 jenis varian bibit (wini) padi dalam masyarakay maanyan: 1. Lungkung 2.Gilai 3.Dite

 pembuat lubang didepan, penanam dibelakang
 tanrik ehek hiburan kala senggang

Kebanyakan orang maanyan akan meninggalkan kampung dan pergi ketempat yang jauh untuk mengurus dan menjaga ladangnya. Pondok kecil dibangun untuk menjaga ladang, berbulan-bulan meninggalkan kampung. Namun tetap akan berkumpul kembali ke kampung pada saat ada hal-hal yang dianggap penting seperti pernikahan, kematian atau pesta adat.

Penutup
            Maanyan masa kini berbeda mereka sebagaian besar sedah bukan masyarakat peladang, mereka sekarang cendrung konsumtif dalam pengertian pembeli beras bukan penghasil beras. Hal itu juga nampaknya pengaruh dari perubahan budaya masyarakat yang memang tidak bisa dibendung lagi. Kehadiran agama samawi juga nampaknya membuat nilai-nilai sistem berladang juga mengalami berubahan dalam hal penyesuaian budaya. Namun modernitas juga nampaknya tidak bisa serta merta mengubah kebiasaan beras sentris nya orang maanyan, toh kehadiran roti dan mie instan juga tidak mampu menggeser keperkasaan beras. Puang wising amun puang kuman nguta nahi....setuju.
            Selanjutnya isu latah Global warming yang digulirkan dan menunjuk hidung orang-orang peladang sebagai tersangka, nampaknya juga tidak terlalu digubris oleh orang maanyan. Mereka akan menjawab silahkan saja, memang bisa membuka lahan dengan tidak dibakar. Jawabanya juga satu boleh membakar asal jangan sampai hutan yang terbakar, ya sudahlah...win-win solution.


[1]  S.Coolsma, De Zendingseeuw Voor Nederlandsch Oost-Indie ( Utriech: Braijer 1901). 548
[2]  Judith Hudson: The Rhythm Of Life (Pelham, Masecusset, 2001).116