Selasa, 15 Oktober 2013

BEKANTAN KECIL DAN ORANG HUTAN

Bekantan dan Orang Hutan

    Sebuah cerita yang sangat mengharukan dari seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda saat bertugas di Balikpapan yang memiliki kegemaran dengan satwa dan fotografi.
     tentang Orang Utan dan Bekantan kecil, bagaimana fauna di Kalimantan ini berhasil membuat sebuah cerita yang menarik, walaupun kali ini tidak berhubungan langsung dengan Maanyan.
    Objek Foto Borneo ketiga pada dasarnya adalah sebuah keluarga bekantan. Bekantan (Nasalis larvatus) biasa menghuni hutan bakau dan banyak ditemui di sekitar Balikpapan. Ketika menyusuri sungai orang sering melihat keluarga bekantan, terutama pada waktu matahari terbit dan terbenam, tetapi hanya dan jauh. Setiap kali didekati, hewan-hewan yang pemalu itu segera melarikan dir Karena itu jarang ada Bekantan yang tertangkap. Monyet itu tentu saja bisa ditembak mati atau dilukai dengan tembakan, tetapi baru-baru im pemerintah Hindia-Belanda telah melarang perbuatan konyol tersebut.
     Salah satu cara yang mengerikan untuk mendapatkan monyet muda, tetapi masih lazim dipakai oleh pemburu tertentu asal Eropa—cara  sering digunakan terutama untuk menangkap bekantan muda—adalah menembak induk bekantan yang sedang menyusui, kemudian merampas anaknya yang biasanya tidak terluka, karena dilindungi oleh sang induk dengan menggunakan tubunya sendiri.
     Orang Utan jantan yang berdasarkan giginya sudah berusia lanjut, melarikan diri ke pabrik parafin di Balikpapan ketika terjadi kebakaran hutan, lalu membiarkan dirinya ditangkap tanpa memberi perlawanan. Setelah dua minggu yang dilewati dalam keadaan terbelenggu, orang utan itu mendapat sedikit kebebasan di pekarangan saya.
      Orang utan sangat jinak dan makan dengan lahap, terutama pisang. Sayangnya, makanan utamanya, yaitu buah dan tunas bakau, tidak dapat disediakan dengan segera. Dengan tinggi yang kurang lebih sama dengan orang Jawa. Sekitar 1,5 meter dalam keadaan berdiri tegak—dan dengan otot kekar serta bulu tebal dan lembut berwarna cokelat kemerahan dan kelabu keperakan, orang utan itu selalu bersikap anggun dan pasrah.
      Bau yang terus menempel pada tangan yang sempat membelai bulunya dan tetap tidak hilang setelah beberapa kali mencuci tangan pun, menghalangi terbentuknya tali persahabatan antara monyet tersebut dan para pembantu dan tukang kebun dan Jawa. Baunya seperti serdadu India, begitu pendapat umum di sini, dan dengan cara inilah orang-orang Jawa yang sangat menentingkan kebersihan diri mengungkapkan rasa jijik mereka.

       Kasih sayang para pembantu menjamin usia panjang para penghuni rumah. Setelah satu minggu kawan serumah yang baru itu mati, rupanya akibat serangan melankolia karena rasa rindu kepada hutan bakau yang tenang dan penuh pesona. Bekantan betina disergap di hutan bersama anaknya oleh orang-orang Bugis yang sangat gesit, lalu ditangkap dalam keadaan linglung, seperti yang sering menimpa bekantan ketika terdesak dan bingung. Saya mengupayakan agar sang induk, yang sangat pemalu dan mengusir anaknya selama dalam penangkaran, dapat segera dibebaskan kembali. Bayinya diurus seperti bayi manusia, dengan hasil yang sangat baik, lalu kami satukan dengan orang utan.
      Betina muda yang sudah kita kenal dari portofolio Borneo pertama untuk menghindari akibat buruk dan rasa kesepian. Dan sekian banyak gambar dadakan yang saya buat, sedapat mungkin tanpa menarik perhatian dan mengganggu hewan-hewan itu. Orang utan betina muda itu berperan sebagai kakak perempuan yang sudah lebih dewasa. Sikapnya terhadap bayi bekantan yang mencari perlindungan dan bantuan bukan sekadar antropomorf, tetapi nyaris dapat disebut sepenuhnya manusiawi. Ini dapat menjadi contoh pedagogis untuk mengilustrasikan kamar anak dan lembaga pendidikan lainnya.
          Ketika pertama kali berhadapan dengan orangutan di pekarangan, bekantan cilik itu berusaha kabur dari Si orang utan, yang sejak awal sudah memperhatikan bekantan kecil tersebut dibawa begitu dibawa masuk, tanpa kesulitan menangkapnya dengan memegang ekorya yang panjang, kemudian memeluknya sedemikian rupa, sehingga si Kecil merasa tentram dan membenamkan wajahnya ke dada orang utan yang berbulu lebat.
      Selanjutnyn menyusul ciuman selamat datang pada puting susu, yang perlahan-lahan ditolak orang utan sampai si Kecil menjerit kesakitan. Pemeriksaan seluruh badan lalu dilakukan oleh seorang juru rawat. Berlangsungnya pemeriksaan mendetail mengenai latar belakang dan asal-usul pun dapat terbaca pada raut wajah si orang utan yang terlihat serius dan berkesan menyelidik, dan juga pada roman muka si bekantan kecil yang kadang-kadang tampak mencibir, namun terkadang seperti berusaha meyakinkan.
 
     Permainan pun silih berganti dengan pengajaran. Orang utan yang tidak selalu puas permainan sesekali orang utan mencengkram tengkuk muridnya si bekantan kecil dan mengancamnya atau meneggor si kecil, sehingga terjadi hubungan yang sangat luar biasa antara keduannya. Sayangnya saya tidak berhasil mencegah bahwa setelah tiga minggu si Bekantan Kecil dimasukkan ke dalam kurungan dan dinaikkan ke atas kapal dalam keadaan sehat walafiat, untuk dibawa ke kebun binatang di Eropa. Namun tiga hari kemudian bekantan kecil itu mati. 

Orang Utan ( Genius Pongo )


Bekantan (Nasalis larvatus)



Monkeys (Bekantan
and Apes (orang utan)

      a very touching story of a Dutch government official while on duty in Balikpapan who have a penchant predictably wildlife and photography.
about the Orang Utan and Proboscis small, how fauna in Borneo's managed to make an interesting story, although this time it is not directly related to Maanyan.
 The subject of the third Borneo portfolio is mainly a pro bosc iis monkey family. The Borneo proboscis monkey (Nasalis larva tus) lives in the mangroves and is frequently found near Balikpapan. On a river trip you can often see numerous fami liies, especially at sunrise and sunset, though usually only at a distance. They are shy animals and quickly flee if you approach them. This is why proboscis monkeys are rarely captured. Though you can shoot them, the governing Dutch East Indies Company has recently forbidden this nonsense.
    A dreadful and unfortunately still common way some European hunters use to capture young monkeys, especially young gibbons, is to shoot down a nursing mother monkey and then tear the usually uninjured offspring from the dying mother, which protects it with her body right up to the last moment. The male proboscis monkey already quite old based on his teeth—took refuge in the paraffin factory of Balikpapan when a fire broke out in the jungle and was captured there without any resistance. He languished two weeks in chains and then was given a degree of freedom in my garden. He was extremely good-natured and ate with relish, mostly bananas. Unfortunately, his main nourishment fruits and sprouts of rhizophora (red mangrove). could not be immediately obtained. when erect he was as tall as a Javanese man (about 1.5 meters). 
      A strong, musky odor that even repeated washings could not remove from a hand that had stroked his fur hindered the ftiendship between him and the Javanese house servants and gardener. The general opinion here was that he stunk like a Laskar soldier, which is how the physically very clean javanese expressed his disgust. He was strongly muscled, wrapped in a thick soft fur that was bright auburn and pure silver gray, and he always behaved in a dignified manner concerning his fate.
     The love of the servants guarantees the house residents a long life. After one week the new housemate died, but apparently due to extreme melancholy, longing for the peace and magic of its mangrove forest. and her offspring were surprised in the forest by very nimble Buginese and captured in a state of mental paralysis, a phenomenon also observed in gibbons when they are harassed and helpless. I immediately freed the mother, who rejected her offspring in captivity and was very shy. The baby was fed according to the rules of human infant care, with great success by the way, and to avoid the consequences of loneliness already known from the first Borneo portfolio, it was put together with an orangutan fenale for company.  
Older, more highly developed sister to the foster proboscis baby seeking protection and help. This could serve as an educational model for children's nurseries other child-rearing institutions. were selected from a great many snapshots I made unnoticed and without disturbing the animals. More than anthropomorphic, one might almost say human, the orangutan female here plays the role of an when the liitle proboscis monkey came near the orangutan in the garden for the first time, it tried to escape.
The orangutan, which had watched with interest as the little one was brought in, effortlessly grabbed her long tail and enfolded her in her arms, prompting such trust that the little proboscis monkey buried her head in the orangutan's hairy chest. This was followed by a greeting kiss on the baby’s nipple, which slowly extended until the baby monkey could no longer suppress a cry of pain. A thorough physical examination was then performed with the delicacy of a model nurse. On the one hand a meticulous inspection of the type and origin of the baby proboscis monkey could be read in the serious face of the researcher and her snippy expression, and on the other hand she reassured the little one with her gestures. Games alternated with instruction.
     Not always satisfied with her ward's success, the orangutan would grab the student vigorously on the collar an.d threaten her. The baby proboscis monkey was in excellent health, but unfortunately after three weeks I could not prevent her from being put in a cage on a ship that would deliver her to a European zoo. She died within three days.

Sumber:

Gregor Krause, Borneo in 1920-1925 ( Jakarta: Lontar Fundation, 2013) sebuah narasi pengalaman Gregor Krause pria kelahiran 1883, selama menjadi tentara Hindia Belanda dan bertugas di Balikpapan selama khususnya perusahaan minyak milik perusahaan Belanda di Hindia Timur. sempat di tahan Jepang bebas tahun 1945 menetap di Australia mencintai seni foto dan budaya Indonesia. meninggal di Dalfsen Belanda 1959.
 

Sabtu, 05 Oktober 2013

WADIAN: Pengawal Kehidupan Dan penghantar kedunia ke-Matian


WADIAN:
Pengawal Kehidupan Dan Penghantar Kedunia Kematian

by
Hadi Saputra Miter

wadian Amunrahu



Mereka  itu wadian

Wadian (Balian) adalah pendamping mereka juga petunjuk jalan bagi masyarakat Ulun Maanyan, mereka memberikan pengambdian hidup mereka dalam siklus kehidupan manusia. Mulai dari kelahiran ( ituruk kasai ), menjalani hidup ( mira kaiyat, isirap dll) bahkan kematian ( ijame ).
Ada beberapa jenis wadian dalam masyarakat maanyan
  1. ·         Wadian niba welum
  2. ·         Wadian niba matei.

Namun ada pula wadian yang dapat melakukan keduanya yaitu wadian pangunraun.
Ada 6 bentuk wadian dalam masyarakat Maanyan:
  1. Wadian Amunrahu       : perempuan
  2. Wadian Topu’ondru     :Perempuan
  3. Wadian Dapa               :Perempuan
  4. Wadian Bawo               :Laki-laki
  5. Wadian Dadas             :Perempuan


wadian dadas


wadian Topu'Onru
Women healer-shamans (wadian) are known as amunrahu, tapu onrou, dapa' and dadas. The male healer-shaman is called b a w u . The Ma'anjan also have two other wadian, or shamans, the ma'anjan and the pisambe, the latter associated exclusively with death ritual. The former is a priestess who chants at both life and death rites. Neither of these two shamans ever danced (Judith Hudson 1963)
Wanita penyembuh/tabib (Wadian) dikenal sebagai amunrahu, tapu onrou, dapa 'dan Dadas. Laki-laki penyembuh/tabib disebut Bawu. Orang Ma'anyan juga memiliki dua Wadian lain, atau tabib, wadian ma'anyan dan atau disebut pisambe, yang terakhir terkait secara eksklusif dengan ritual kematian. Yang pertama adalah seorang imam yang mengucapkan mantra di kedua kehidupan dan upacara kematian. Tak satu pun dari kedua wadian melakukan tarian.  (Judith Hudson 1963)
Penjelasan Judith Hudson peneliti asal Amerika tersebut setidaknya bisa memperlihatkan bahwa wadian bukan hanya pemimpin ritual, tapi juga penyembuh/tabib.
Ada tiga bentuk tari wadian:
       wadian perempuan menggunakan Bahalai (syal), ada wadian perempuan menari dengan gelang, dan dukun laki-laki menari dengan gelang perunggu. Dari empat jenis wadian perempuan, salah satu yang dikenal sebagai amunrahu, yang menari-nari dengan bahalai, asli wadian Maanyan.  Tipe kedua, Dadas menari menggunakan gelang, ini jenis wadian menurut Judith Hudson merupakan perkembangan dalam sepuluh generasi masa lalu. Jenis wadian kedua lainnya, tapu 'onrou dan dapa', menggunakan kedua bentuk tari menggunakan gelang untuk masuk kesurupan (trance), dan jenis ini adalah turunan dari tradisi amunrahu, menari menggunakan gelang  pengaruh dari Dadas.
       Jenis wadian laki-laki, yang dikenal sebagai Bawu, diduga Bawu tidak asli dari daerah suku Ma’anyan, Istilah Bawu sendiri adalah nama untuk kelompok etnis kecil, erat terkait dengan Dajaks Lawangan, yang mendiami daerah pegunungan jauh ke utara dan timur wilayah Paju Epat. Salah satu dugaan yang khusus ini wadian ini adalah seni penyembuhan orang-orang Bawu, dari mana ia menyebar ke seluruh bagian tenggara Kalimantan. Secara signifikan, Bawu sangat berbeda dari bentuk-bentuk tarian Maanyan.

wadian Ijame (matei)



Wadian tiba matei
(Balian sepecialisasi untuk masalah kematian)
Wadian tiba welum
(Balian sepecialisasi untuk masalah kehidupan)
Wadian pangunraun
Wadian Amunrahu     
Wadian Topu’ondru   
Wadian Dapa             
Wadian Niba matei
Wadian Bawo            
Wadian Dadas           

Menjadi wadian
Beberapa obrolan ringan saya dengan Ineh Lunggup, Wadian Pisame dari Siong. Ineh Lunggup menuturkan untuk menjadi wadian bukanlah hal yang mudah, itu adalah sebuah keterpilihan:

Amuk wadian
Ineh Lunggup mengatakan bahwa ia menjadi wadian karena keterpilihan dimana dia dirasuki oleh roh wadian yang diistilahkan dengan amuk wadian saat dia berumur 50 tahun. Dengan menerima amuk berarti, harus diikuti dengan proses miaku atau pengakuan bahwa dirinya lah yang dipilih melanjutkan tongkat estafet ke-wadianan dan siap melaksanakan tugas sebagai wadian.

Mialut.
Proses lanjutan setelah mengakui bahwa dia siap menjadi wadian maka ada tahap mialut, diamana ineh Lunggup diminta meniru Hyang (mantra) dari guru wadiannya (Rampu) Nini Karya, dimana ineh lunggup menjadi Anak amu (murid). Marko Mahin mencatat ada padien atau larangan selama proses mialut selama 3 bulan.
  1. Tidak boleh menyentuh tanah, kalau mandi disungai harus digendong.
  2. Tidak boleh bicara kecuali dengan rampu atau wadian senior yang menjadi guru.
  3. Selalu batatupung (kain yang dibelitkan menjadi semacam topi)
  4. Tidak boleh berhubungan seks dengan suami.
  5. Tidak boleh nguta wadai (makan kue)
  6. Hanya boleh makan makanan kecuali:rebusan ikan wadire, kakapar, pahiau (tanpa bumbu)
  7. Tidak boleh minum teh dan kopi
  8. Tidak boleh memegang tutup panci.
  9. Selalu membawa rawen rirung kamat



Itumang
Itumang adalah semacam proses ipentahbisan, yang dilaksanakan saat Ineh Lunggup dinyatakan sudah layak menjadi seorang wadian. Ada prosesi yang menarik dimana telapak tangannya di iris kemudian dimasukan 9 butir beras kemudian dibebat dengan kain selama 3 hari 3 malam dan dikurung dalam rinring. Setelah melewati prosesi panjang maka Ineh Lunggup dianggap layak membaca hyang matei untuk para wadian matei khususnya wadian pisame.

 Ada 3 tingkatan dalam menjadi wadian
  1. Ayak kingking                                 :  Masih calon wadian
  2. Tumang satengah/ Ayak Manta   : masih dalam tahap belajar menghafal hiyang-hiyang
  3. Tumang jari                                     : sudah lulus menjadi wadian





wadian di era post modern

      Nampaknya wadian pelan-pelan warus menepi dimana modernitas menggempurnya, dan wadian nampaknya telah mengambil strategi dengan mengakali jaman, dan membuat wadian modern yang berorientasi kepada seni hiburan dan dijual ke pariwisata. tak ada yang salah itu strategi budaya menyikapi perubahan jaman. pernah saya pribadi menanyakan tentang wadian bulat kepada wadian Ineh Uci di Ja'ar, dia mengatakan dengan tersenyum "Ah..itu hanya hiburan bukan bagian dari wadian, pada pertengahan tahun 70an ada seorang bernama Kinoy mempoluerkan tari ibulat tersebut".
     Perubahan awal dari wadian sebagai ritus ke wadian sebagai kesenian juga melewati proses perdebatan panjang pada awalnya, namun seiring kebutuhan dimana Wadian Ritual bukan yang utama, melainkan Wadian kesenian sajalah yang kita lihat sekarang.


Sumber :

wawancara dengan Ineh Lunggup (Tu Lunggup) satu-satunya wadian pisame di desa Siong, hubungan kekerabatan antara saya dengan ineh Lunggup dikarenakan anak tertuannya ineh Nana menikah dengan sepupu saya Sida Miter.

foto-foto adalah dokumen milik Judith Murddock Hudson, tinggal di Amrest USA.

Marko Mahin, Wadian pangunraun: Ketika Wanita Menjadi Subjek dalam Mengasihi Tuhan dan Sesama Ciptaan ( Banjarmasin: Unit Publikasi STT GKE, 2008)

Maan Wada, Hukum Adat Paju Sapuluh (tidak diterbitkan, 2003)

Anjarani Mangkujati Djandam, Wadian Perempuan: mencari identitas Dayak Maanyan (masa kini) dalam Budi Susanto SJ, Politik Poskolonialitas di Indonesia (Yogyakarta : Yayasan Kanisius, 2003)

Judith Hudson, Some Observation Dance In Borneo ( Itaca: Cornel University, 1967)


Jumat, 13 September 2013

MENDEKONSTRUKSI MITOS PUTRI MAYANG (mengungkap misteri di balik Putri Mayang Sari)


MENDEKONSTRUKSI  MITOS 
PUTRI MAYANG

By: 
Hadi Saputra Miter



 Nisan putri mayang yang dibuat tahun1978


Mengumpulkan Teka-Teki
Banyak cerita mengenai Putri Mayang yang  kita dengar baik dari penjaga makamnya maupun dari berbagai sumber yang biasanya memiliki versi berbeda-beda dan biasanya setiap cerita terdengar sangat epik dan luar biasa, namun pada intinya kita harus jujur dengan mengesampingkan mitos namun dengan berusaha mencari tahu dengan mengumpulkan data-data yang ada tentang siapakah yang di sebut dengan Putri Mayang itu ada rahasia apa dibalik namanya, melewati tulisan singkat ini kita akan mengungkap fakta dibalik misteriusnya seorang Putri Mayang. Kita akan mengujinya secara satu persatu.
       Teka-teki awal dimulai dengan pernyataan umum yang sering di dengar bahwa Putri Mayang adalah seorang Putri dari keraton Kesultanan Banjar, dan diasumsikan bahwa ia adalah Putri dari Sultan Suriansyah
“Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma’anyan, Mayang Sari yang adalah putri Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi pada 13 Juni 1858, yang dalam penanggalan Dayak Ma’anyan disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mammai. Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan adalah perempuan Ma’anyan cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh Suku Dayak Ma’anyan.”[1]
     
     Data atau tulisan diatas ini, merupakan data yang saya dan Antropolog Marko Mahin kumpulkan untuk keperluan tulisan tentang persaudaraan Dayak dan Banjar, di FORLOG (forum Lintas Agama) Banjarmasin. Dan nampaknya tulisan inilah yang paling banyak beredar.

lukisan Putri Mayang yang biasa dijual di Amuntai 
komplek Candi Agung


       Walaupun apabila kita merunut silsilah Sultan Suriansyah nampaknya kita tidak dapat menemukan data yang menujung bahwa ada putri dari Sultan Suriasnyah bernama Putri Mayang, tapi hal tersebut sangat memungkinkan terjadi, mengingat statusnya bahwa ia adalah anak dari istri yang kedua, dan bukan dari istri sah yaitu istri yang pertama. Ditambah lagi dia hanyalah seorang perempuan, jadi perlu di ingat bahwa Kesultanan Banjar menganut sistem Patriakhal maka sangat besar kemungkinan nama perempuan dianggap tidak begitu penting dan bisa saja tidak tercatat.  Dan satu-satunya bukti yang membuktikan dia memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultan Banjar, adalah sebuah mata kalung berwarna Merah delima yang diukir dengan aksara Arab (dimana aksara Arab adalah aksara resmi yang digunakan oleh Kerajaan Banjar).

peninggalan Putri Mayang berupa mata Kalung
diukir dengan aksara arab,


Siapa Uria Lana (Mapas) Dan Siapa Pula Putri Mayang
Selanjutnya ada urusan apa seorang putri dari Kesultanan Banjar mau berada di kampung orang dayak yang sekarang bernama Ja’ar?
Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma’anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman Pangeran Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin’nyan yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya, Sultan Suriansyah terkena denda Adat atau disebut Bali, yaitu selain membayar sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.[2]
 
    Kenapa harus menyerahkan perempuan kalau begitu mengapa bukan sang putra mahkota dari kerajaan Banjar saja yaitu Pangeran Rahmatulah. Namun saya mencoba merunut pelan-pelan rangkaian teka-teki ini. Dalam cerita diatas data saya dapatkan dari tulisanya Sutopo Ukip yang berjudul Sejarah Banjar, Maanyan dan Merina di Madagaskar buku ini tidak diterbitkan dan tidak memiliki rujukan ilmiah hanya dicatat dari tradisi oral masyarakat Jaar atau dulu di sebut Sangarwasie. Kembali dalam buku milik Sutopo Ukip, kita mendapat cerita dahsyat yang seperti ini bunyi nya:
 "Saat uria Rinyan datang ke Kesultanan banjar, ternyata istri Sultan Jatuh hati dan terjadi perselinghuhan. Hal itulah yang membuat Sultan membunuh Uria Rinyan dengan keris bermata intan, namun wakil uria rinyan Makarua’ng berhasil lolos dan meloprkan kepada orang-orang di kampungnya. Maka berangkatlah saudara Uria rinyan yaitu Uria Lana ke Banjarmasin, dan mengamuk di Nagara dengan menggunakan mandau yang bernama Lansar Tawomea…..sampai akhirnya Sultan Suriansyah meminta berdamai dan berjanji menyerahkan anaknya saat itu pula nama Uria Lana menjadi uria Mapas.[3]


Plakat atau mungkin makam yang menunjukan
tentang Uria Mapas (masih dipertanyakan)


      Jadi pertanyaanya semudah itukah Sultan Suriansyah menyerah kepada seseorang, kita nampaknya harus menggunakan data yang kuat dan umum digunakan tentang siapa itu Sultan Suriansyah dan tipe seperti apa orang tersebut. Bagaimana sejarah berbicara tentang dia, maka saya menggunakan tulisan JJ.Ras yang berjudul, Hikajat Banjar: A Study Of Malay Histografi, yang menjadi semacam rujukan utama para penulis sejarah Banjar.
Kemunculan kerajaan Banjar tidak lepas dari kerajaan daha dimana ada konflik perebutan kekuasaan kerajaan antara pengeran Samudra dengan pamannya Raden Tumenggung. Pangeran samudra berhasil merebut takhta kerajaan dengan dibantu pasukan Demak, dengan syarat meng Islamkan kerajaannya  apabila berhasil. Pangeran Samudra berhasil sehingga ia menjadikan kerajaan Daha sebagai kerjaan Islam yang disebut kerajaan Banjar. Pangeran Samudra mengganti namanya dengan Sultan Suriansyah.[4]
      
       Jadi dapat dibayangkan bahwa Sultan Suriansyah memiliki kekuatan perang yang mematikan, karena kapan saja diperlukan kerajaan Demak dapat siap sedia membantunya menghadapi ancaman. Dan juga perlu diketahui bahwa kekuatan dan pengaruh kerajaan Banjar mampu membuat tunduk kerajaan-kerajaan kecil daerah-daerah disekitarnya:
Sambas, Batang Lawai, Sukadana, kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Sebangau dan daerah lainnya berada dibawah naungan Banjarmasin, maka di tiap-tiap musim barat tiba datanglah mereka menyerahkan upeti dan pada musim timur kembali keasalnya. Bahkan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur juga harus tunduk serta menyerakan Upeti kepada kerajaan Banjar namun dikemudian hari nampaknya hal tersebut berakhir dikarenakan kerajaan Kutai dibeking oleh kerajaan Bugis makasar.[5]


Makam Sultan Suriansyah Th 1900
dok. koleksi Troppen Museum 

    Dapat dibayangkan kalau ada seorang Uria Lana melakukan tindakan yang bersifat mengancam eksistensi kerajaan Banjar, tentu bisa saja kampung-kampung Dayak Maanyan yang ada, dialiran sungai Telang, Karau dan Patai akan dilenyapkan oleh Kesultanan Banjar. Jadi secara historis sangat tidak masuk akal, kalau peristiwa Uria Lana mengamuk dan Sultan Suriansyah minta ampun tersebut pernah terjadi.
    Dan teka-teki selanjutnya akan kita bedah apa alasan Putri Mayang berada di Jaar (Sangarwasie) dan juga siapakah Uria Mapas tersebut saya menyimpulkan sebagai berikut:
  1.          Saya setuju bahwa putri mayang adalah salah seorang putri dari kerajaan Banjar, dikarenakan dia bukan seorang putri dari istri pertama (ibu suri/Ratu) maka ia tidak memiliki jabatan dan hak apapun di kerajaan (walaupun anak seorang selir tidak berhak menyandang gelar Putri, jadi asumsi saya gelar Putri diberikan masyarakat lokal sebagai bentuk penghargaan). Sehingga ia memilih menjadi perpanjangantangan kerajaan untuk mengawasi tanah dayak khususnya ulun Maanyan, dan tidak menutup kemungkinan dia memungut upeti dan pajak dari Ulun Ma’anyan yang ada disana. 
  2.     Sedangkan Uria Lana yang kemudian mendapat gelar Uria Mapas Negara dari kerjaan Banjar. Besar kemungkinan ia adalah orang kepercayaan serta pengawal pribadi dari Putri Mayang.
Fakta Sejarah Tidak Mengubah Makna
Satu-satunya fakta sejarah yang tertua dan yang berhubungan dengan putri Mayang hanya ada di Laporan catatan perjalanan/ekspedisi dari Letnan C. Bangert penguasa sipil kerajaan Hindia Belanda untuk wilayah Bakumpai (Marabahan) dan Dusun (jalur sungai Barito) Tahun 1857:
22 mei 1857 Aku berangkat di pagi hari ke kampung Sangarwassie, sekitar 4 jam naik  perahu kearah  timur dari Tamiang Laijang. Jalan menuju kesana sebagian besar rawa- rawa , Kampong  Sangarwassie yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang Daijaks, Di kampong Ini  ada  tujuh rumah besar tapi bobrok. Total jiwa Sangarwassie  ± 400 jiwa. memiliki 80 atau 90 orang berbadan sehat, dan termasuk  ± 30 Melayu (Banjar)………
orang-orang  kampung ini mengatakan di zaman dahulu keberadaan kampung ini tidak lepas dari seorang putri yang bernama Poetri Maija (Putri Mayang) dan mereka menunjukkan sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit dan menunjukan barang-barang yang berhubungan dengan Poetri Maija (Putri Mayang), tidak jauh dari sangarwasie sebagai tempat makam Poetri Maija (putri Mayang) nampaknya Poetri Maija masih hidup dalam cerita dan tradisi takhayul mereka.[6]

Bagi saya cerita yang berlebihan dikalangan masyarakat Asia, dan secara khusus Ulun Ma’anyan yang memiliki seni bercerita yang agak hyperbolis. Saya pernah menguji dengan mengajukan pertanyaan tentang Soeta Ono dan yang muncul adalah cerita Raja sakti mandraguna, mistik  dan lain sebagainya. Yang kenyataan atau Fakta sejarah bahwa Suta Ono adalah seorang Kepala distrik bukan raja, dan dia sama seperti orang kebanyakan. Di sejarah Nasional pun bisa kita dengar bagaimana gaya Historis hyperbolis itu kita dengar misalkan tentang Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah hanya dengan menggunakan bambu runcing saja, yang terdengar  hebat. Hanya karena ada foto era revolusi fisik dimana para pemuda pelajar berbaris memegang bambu runcing. 
Begitu pula saat saya mengajukan pertanyaan tentang Tuan Daningger Missionaris pertama yang ada di Murtuwu, maka cerita yang anda dapat akan sangat lucu dimana kampung Murtuwu dikutuk, untuk menjadi kampung yang tidak akan maju, hal itu disebabkan karena Daninger di usir karenakan masalah berkabung (lawen) dengan mayat tikus. Yang sangat bertantangan dengan fakta sejarah sebenarnya bahwa Daningger pergi dari Murtuwu, dikarenakan meletusnya pemberontakan Hidayatulah. 
Jadi  cerita heroik dan kepahlawanan yang menggebu-gebu, yang tumbuh dalam masyarakat biasanya berhubungan dengan upaya Narsisme dan eksistensi kesukuan. Dimana dengan cerita-cerita yang  hyperbolis tersebut mampu membuat bangga dan decak kagum generasi selanjutnya, namun itu hal yang biasa terjadi hampir disetiap kebudayaan di dunia. Jadi bisa dipahami bahwa cerita yang berhubungan dengan Uria Mapas serta penyerahan Putri Mayang oleh Sultan Banjar, dikarenakan kena denda adat setelah mendapat ancaman nampaknya memang menarik didengar saja, namun sayang hal tersebut hanya  mengasikan Mitos bukan bagian dari fakta sejarah.
Disini saya hanya berdiri untuk mencoba menjembatani antara tradisi oral ulun Maanyan dan Fakta sejarah. Dan intinya walaupun mungkin dari fakta yang saya ungkap akan ada pergeseran nilai namun saya berharap itu tidak mengubah makna dasar dari peristiwa tersebut. Dimana bahwa memang pernah ada Purti dari kerajaan Banjar ada di Sangarwasie atau sekarang di sebut Ja’ar. Dan apakah tulisan saya merupakan harga mati untuk sebuah fakta sejarah? Saya rasa tidak, tulisan saya masih bisa diuji dan dibuktikan kembali kebenarannya, dan saya menunggu fakta-fakta otentik lagi untuk menyempurnakan tulisan saya ini kelak. dan kepada pulaksanai yang terpanggil membantah tulisan saya, bantah dengan tulisan juga dan gunakan sumber data ilmiah sebagai rujukan, bukan ujar kai ku bahari (kata kake ku dulu) terima kasih.


Sumber:
Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun)   halaman tidak jelas.
J.J Ras, Hikajat Banjar: A Study Of Malay Histografi (Laiden:KITLV, 1968 )
C.Banggert, Verslag  Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken Van Doessoen Ilir (Laiden: KITLIV 1857)
Ita Syamsiah Ahyat, Kesultanan Banjar Abad Ke-19: Ekspansi Pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan (Tanggerang: Serat Alam Media, 2012)




[1]           Tulisan ini saya tulis dengan mengutip buku Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun). Tulisan ini di muat dalam Jurnal Rakat di Banjarmasin sekitah tahun 2005 kemudian di sempurnakan oleh Antropog Marko Mahin dan muncul di Banjarmasin Post tahun 2006. Tulisan ini nampaknya di dapatkan oleh Sutopo Ukip dari cerita masyarakat Jaar. Dan sekarang beredar di Internet.
[2]              Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun) halaman tidak jelas.
[3]               Ibid.
[4]         Tulisan ditulis oleh Sejahrawan inggris dengan menterjemahkan manuskrip-manuskrip Melayu lama yang menggunakan aksara Arab ke dalam bahasa Inggris yaitu J.J Ras, Hikajat Banjar: A Study Of Malay Histografi (Natherland:KITLV, 1968 ) hal.434-438
[5]               Ibid, hal. 440
[6]               C.Banggert, Verslag  Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken Van Doessoen Ilir (Laiden: KITLIV 1857)Hal 174.