Rabu, 25 Juni 2014

IJAME : 9 Hari Menuju Datu Tunyung


IJAME :
9 Hari Menuju Datu Tunyung
by: Hadi Saputa Miter


Ijambe itself is a public health officer’s nightmare. Every day pigs are butchered on one side of the balai; food is prepared in the small kitchen attached to the balai by the old women. This food is dedicated to the spirits of the dead by the shamans at night, but fed to the elders after midnight, once it has been festering in the tropical heat all day.
               ( Judit M. Hudson, 1963 )

Apa itu Ijame?
Ijame adalah sebuah proses penghormatan dayak Maanyan Paju epat, untuk mengantarkan dan sebuah penghormatan kepada roh nenek moyang agar ditempatkan di tempat yang layak. Orang Maanyan khususnya sub kelompok paju epat sangat-sangat meyakini bahwa orang mati belum mencapai kesempurnaan kalau belum melaksanakan ijame. Kehidupan adalah roda yang berputar bahkan kematianpun harus diletakan disebuah rasa penghormatan yang tinggi, memerlukan waktu 9 (sembilan) hari agar arah benar-benar bisa pulang ke swarga loka yang disebut datu tunyung.

Papuyan
Situs papuyan adalah kunci utama, dari prosessi ijame ini. Karena situs inilah tempat dibakarnya tulang-belulang orang mati tersebut tanpa papuyan berarti tidak ada ijame. Ketiadaan situs papuyan nampaknya yang mempengaruhi dimana tidak ditemukannya Ijame pada sub suku lain seperti Kampung sapuluh dan Banua Lima.

Ijame dalam catatan sejarah
Ijame sempat disinggung sedikit oleh Missionaris Danninger saat ia bertugas di Murtuwu 1853, dia menggambarkan sebagai berikut:
Festival orang Haiden (Kafir) .
Baru-baru ini saya mengunjungi sebuah festival di Telang . saat itu banyak orang  berkumpul di Balei ( bangunan besar ) .saya melihat  Peti mati terbuat dari kayu gelondongan, yang dikelilingi oleh bertingkat oleh papan dan ditumpuk pada satu sama lain membentuk piramida. Lembaran papan dicat dengan gambar naga dan kekejian lainnya . Piramida dihiasi indah dengan cara lokal , tetapi juga memiliki setiap bagian penting sendiri. Untuk setiap jiwa menggantung daun kelapa yang dikepang. Sekitar piramida terdapat kelapa dan berbagai varietas padi serta tanaman lainnya , semuanya ditujukan untuk  roh dan arwah, kemudian hari peti mati dibakar pada onggokan kayu yang besar . Jika Anda melihat kerumunan  dalam festival kematian itu, seolah-olah mereka serius, ingin memberi mereka yang mati pemurnian dari dosa seperti yang mereka klaim. Tidak hanya sampai disini pengorbanan berdarah sebelumnya dilakukan dengan seekor  kerbau untuk ditukar sebagai pendamaian bagi dosa orang  mati. Apakah sebenarnya yang mereka  tawarkan, mengikat binatang serta melakukan kekejaman terhadap hewan yang terluka apakah itu lucu, dan semua sorakan dari sukacita atas penyiksaan, jika kerbau di tusukan tombak yang tak terhitung jumlahnya tarian kematian diatas bangkai binatang . Tapi ada juga pesta pora bersama, karena binatang tidak terbakar tetapi dimasak dan dimakan, tetapi untuk jiwa-jiwa orang mati kerbau dengan kedua tiba di luar. Namun peristiwa Telang ini bisa saya gunakan untuk mengajarkan tugas saya. Ketika kepala suku datang bersama rombongan orang-orang didalam rumah besar, dan saya mengatakankan tentang  satu-satunya korban yang valid untuk menebus dosa seluruh dunia yaitu Kristus, yang bertentangan dengan kesia-siaan yang mereka lakukan  untuk mereka yang mati tersebut.[1]

Gambaran tersebut memang isinya sangat keras mengecam ijame, namun itu bisa dimaklumi karena itu merupakan bahasa seorang Missionaris Pietis, yang memandang budaya asli sebagai sebuah penghalang Kekristenan.
Tulisan yang cukup netral dari pandangan orang Eropa terhadap Ijame adalah oleh F.Trefferes seorang tentara Belanda berpangkat Mayor, dia menulisnya dalam catatan perjalanannya pada  Maret 1927 di Telang, dia diajak oleh putra Suta Ono yaitu Suta Negara untuk melihat kegiatan yang ia sebut dengan “I Djame” kegiatan tersebut berlangsung dari tanggal 4-12 maret 1927 di desa Balawa.[2]
Sastrawan Gus tf Sakai menggambarkan Ijame dalam novelnya yang berjudul Tiga cinta, ibu :
Siong.
Suara nalente dan panewang berdengung di siang bolong. Menindih deraian tawa bocah, menyapu debu yang berhamburan di jalan tanah-jalan utama kampung-yang tersepak sekian kaki, lalu lepas ke pohon-pohon karet. Angin bertiup lembut, tapi tak berhasil mengusir gerah. Seriuh inikah
nung, nung nig gongngng....
nunb nung, ning, gongengng….
nunb nung, ning, gongengng….
Sampai juga aku di desa ini, tapi ketika upacara ijambe telah berlangsung lima hari. Hari ini adalah hari yang keenam dari tujuh hari ijambe. Dan, sejauh itu, waktuku terpaksa kuserahkan lebih banyak ke warung-wamng tiba di sekitar bale. -tempat di mana upacara dilakukan. Riu ternyata memang berada di sini. Tapi, kekhusyukan upacara di mana gadis itu ikut serta di dalamnya, membuat kami seperti dua orang yang tak pernah kenal. Beberapa kali kami berbaku tatap, namun seperti ada sesuatu yang kalcu mendindingi. Kekakuan yang seperti bulan berasal dari kekhusyukan upacara. Mengganjal, dan aneh.
"Sudah berapa kali menyaksikan ijambe?" tanya Victor, lelaki Batak yang menyuguhkan kebersamaann sejak tadi pagi. Hadir dan berkenalan di sini, karni cepat akrab dalam status, turis lokal. Kuseruput kopi panas dari piring ceper. Kuleletkan lidah. "Baru kali ini; kataku. Di luar warung anak-anak berkeringat. Kotor, dan ada yang bertelanjang dada. "kau?" "Sudah beberapa Victor menggunakan jemari menyisir rambutnya yang pendek.
Gaya bicaranya amat terbuka dengan dialek Batak yang telah pupus. Kocak dan segar, membuat tembok yang membatasi usia kami jadi tak berarti. la beberapa tahun lebih tua, dan masih bujangan. Bolak-balik dari warung tiban ke bale, Victor bonyak bercerita rentang ijambe. Di sepanjang upacara, ia memberitahu apa yang tak kutahu. Kegelisahanku akan sikap Riu yang aneh mengendap sejenak, tenggelam dalam omongan Victor. "Sebentar lagi akan dilakukan nampotei karebau, acara pembunuhan kerbau yang barangkali paling sadis daripada segala pembunuhan yang pernah kau saksikan," terang Victor ketika para mengurak silanya dari lantai bale. Balian-balian itu berdiri. Tetabuhan gong meninggi.
nung, nung nig gongngng....
nunb nung, ning, gongengng….
nunb nung, ning, gongengng….
Lantai bale yang terbuat dari bambu berderit ketika para balian bergerak menuju teras. Balian paling depan mengacung-acungkan luwuk. "Mereka percaya bahwa ayunan luwuk bisa menghindarkan mereka dari tarikan arwah yang sedang mereka doakan," jelas Victor tentang besi yang bentultnya seperti penggaris itu. "Juga luwuk berfungsi sebagai penunjuk jalan agar perjalanan para arwah tidak tersesat." Semua orang di bale, pengikut upacara, yang ridak hanya terbatas pada laki-laki dan perempuan dewasa; juga kanak-kanak, sekarang berdiri. Mengikuti para balian, mereka juga turun ke teras yang terbuat dari cecabangan kayu. Nalente dan panewang kembali dipukul tinggi. Beberapa wanita merapat ke arah balian. Riu kini menating nampan-nampan kecil yangdi dalamnya terdapat sesajen: seniru beras, daging babi, ayam, nasi, yang semuanya dihiasi janur.
Balian balian yang lain sesekali menabur-kan beras, membuat helaian daun sawung yang mencuat dari ubel-ubel merah yang menutupi kepala mereka terangguk-angguk. Kerbau itu, sang korban, dijerat lehernya dengan rali rotan dan diikatkan ke bluntang.. Perempuan yang memirnpin para balian menepiskan kakaman. Yang menjuntai, lalu mulai membaca
ina haiemau kalaau naun
matei na eneey kalaau nalun
ma datu tunyung
Habis membaca hiang, pemimpin balian mengayunkan Luwuk di tangannya ke kepala kerbau. Darah muncrat, dan sang kerbau yang relah dipuasakan beberapa hari itu berontak. Empat lelaki, yang telah bersiap dengan tombak di tangan di setiap sudut lapangan, mulai melaksanakan tugasnyai tombak menancap-nancap! Darah berceceran! Beras terus ditaburkan. Hiang terus dibaca.[3]

Iwuwuh makan bersama di balai
Prosesi Ijame
Perlengkapan ijame
Membuat titian dari rumah kegiatan (lewu putut) menuju Balai yang disebut tetei
Mempersiapkan Tarip atau papan ukir
Tammak: tempat penyimpanan abu (Mapui) setelah pembakaran tulang.
Baluntang: tempat mengikat kerbau yang akan dikorbankan
9 hari diuraikan sebagai berikut:
1.Tarawen
Pembuatan peti mati yang disebut dengan Rarung, kemudian dilakukan ibungkat menggali tulang atau jasad dari pemakaman, tulang dibersihkan dengan minyak tanah dan dikumpulkan didalam rarung kemudian digendong menjuju balai.
2.Neet uwey
Kegiatan ini utamanya adalah neet= meraut, Uwey=rotan yang digunakan untuk sabung ayam
3.Narajak
Dilakukan di situs papuian yaitu mnyusun bambu sehingga membentuk pramid (tarajakan)
4.Muarare
Adalah mengayam bambu, yang disematkan di tarajakan
5.Nahu
Ini adalah proses mengasapi kayu agar menjadi hitam yang nantinya akan diselipkan juga ditarajakan
6.Nyurat
Proses membuat gambar untuk atap papuyan
7.Nansaran
Membuat teras atau lalaya untuk papuyan
8.Munu
Pada hari ini gelanggang adu ayam dibongkar dan Kerbau diikat dibalontang

Munu, proses pengorbanan Kerbau
9.Mapui
Proses terakhir yaitu membakar Tulang,tulang yang dibakar yang sudah membara tersebut dikumpulkan didalam gong dan ditaruh didepan balai yang akan ditangisi oleh pihak keluarga dan akhirnya dicuci dengan air kelapa (tamanung) kemudian diantar ke Tamak.
Kembali saya mengutip Novel Gus Sakai:
Api berkobar-kobar. Rarung bergemererak, membara, bolong, menyembulkan tulang-belulang. Belulang itu hangus, berjatuhan dan mengabu di lantai papuyan. Perbekalan arwah pun rnendapat giliran, tak berdaya dan luluh dalam pembakaran. Ketika seluruh kerangka sempurna menjadi abu, papan sisa rarung yang masih membara dibuang ke ranah. Nalente, gong besar itu, pun melaksanakan fungsinya. Abu kerangka dimasukkan ke situ, lalu disiram dengan wewangian. Selesailah sudah. Iring-iringan kembali terbentuk menuju bale Di depan bale, nalente yang telah dipenuhi abu kembali di-hiangi oleh balian. Terakhir, para balian memegang abu pembakaran mayat. Konon, ijambe berasal dari kata nyambe, yang artinya memegang. Memegang abu, itulah. Kupikir upacara telah selesai, tapi temyata belum. Aku kembali dibawa memasuki jejeran pohon karet. Kali ini ke suatu bangunan yang disebut tambak. Di dalam Tambak itulah segalanya berakhir. Abu pembakaran dimasukan ke dalam sebentuk rarung yang lebih besar. Rarung yang berusia entah telah berapa puluh tahun, dan entah telah menelan berapa manusia. Para arwah telah menuju surga.[4]

Wadian ijame, menunjukan jalan arwah dengan menggunakan luwuk


Tamak, tempat penyimpanan tulang sisa pembakaran
Ijame dan modernitas
     Ijame makin lama makin tersudut oleh kemajuan jaman, Ijame silam adalah sebuah upacara penghargaan yang hidup kepada yang sudah mati. Kepercayaan lokal orang maanyan yang sudah ditinggalkan oleh para generasi post modern ini, menyisakan kisah romanisme saja. Ijame terakhir yang saya ikuti adalah tahun 2010 di Murutuwu saya sempat berbicara dengan seorang wadian yaitu Langu dari Murtuwu, apakah ini Ijame terakhir ujarku? Ia menjawab dengan pandangan menerawang entahlah saya harap tidak. Harapan wadian Langu adalah kecemasan kalau budaya yang ia cintai akan menghilang namun apa mau dikata kebudayaan bukanlah benda mati, yang stagnan ia akan terus berubah menyesuaikan dan kebiasaan manusia di jamannya masing-masing. Sama seperti rumahrumah kayu maanyan yang berubah menjadi beton, jukung digantikan oleh mobil dan sepeda motor jepang serta Hyang Wadian akan digantikan lantunan nyanyian lagu top chart terbaru dari Hand phone android buatan cina.






SUMBER:
Foto-foto adalah koleksi dari Judit Murddock Hudson dan Alfred Bacon Hudson di Massachusetts Amerika Serikat.

F.Ukur 
Ijambe Upacara Pembakaran Tulang Orang Dayak Ma’anyan (Berita Antropologi, 1974)
Wasita
Ijamme Di Telangsiong Kabupaten Barito Timur (Pusat Arkeologi Banjarmasin, 2005)
Budaya Dayak Maanyan: Idjame Pembakaran Tulang Alla Ngaben Di Murutuwu Paju Epat (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Barito Timur 2008). 
 E L. Danninger
Das Mission Auf Morotowo ( Barmen: Berichte Rheinischen Missions Gesellchaft, 1859 ).
F.Trefferes
Een Eigenaardige Adat Bij Manjan Dajaks In De Oost Doesson Landen ( Kolonial Tijdschrift  17 jaargang 1928 ).
Judit Hudson
Waiting for the Durian to Drop: The Fruits of Patience During a Year in Village Borneo: Nine Days And Nine Nights (Pelham, Massachusetts 2001)
H.Sundermann
Religiöse Anschaungen Und Gebrăuche Der Haidnischen Dajakken Auf Borneo (Berlin: Missionszetschrift 1908)
Gus tf Sakai
Tiga cinta, ibu (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002).




[1]  Laporan Missionaris  E L. Danninger di Murtuwo, Das Mission Auf Morotowo ( Barmen: Berichte Rheinischen Missions Gesellchaft, 1859 ).112-114
[2]  F.Trefferes, Een Eigenaardige Adat Bij Manjan Dajaks In De Oost Doesson Landen ( Kolonial Tijdschrift  17 jaargang 1928 ).
[3]  Gus tf Sakai, Tiga cinta, ibu (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002).43-45
[4]  Gus tf Sakai, Tiga cinta, ibu (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002).48-49

Rabu, 26 Maret 2014

Sekilas Mengetahui Tokoh: TUMENGGUNG JAYA KARTI (Djaelan)



Sekilas Mengetahui Tokoh:
TUMENGGUNG JAYA KARTI (Djaelan)
By: Hadi Saputra Miter



Adakah yang mengenal Tomenggung Djaja Karti? saya mencoba menyelidiki tokoh ini dari Dinas Pariwisata Kabupaten Barito Timur  terutama bidang sejarah dan kepurbakalaan, saya mendapatkan penjelasan yang tidak memuaskan yaitu:
“Tumenggung Jaya Karti dikenal dengan sifat "Taguh Gansang Mape Maleh" yang artinya : Teguh, Kuat dan Kebal…dan setia membela tanah leluhur suku dayak. Makamnya terletak di ibukota Tamiang layang dan dinilai sebagai tokoh yang mempunyai nilai sejarah juga mitos karena memiliki sifat pemberani berpengaruh bagi masyarakat Dayak”. (buku dinas pariwisata Barito Timur 2008)
Saya merasa sangat tidak nyambung dengan penjelasan diatas, nampaknya pihak pemerintah sama sekali tidak memiliki data yang menunjang selain dari pragraf yang dibuat asal-asalan tersebut.
Investigasi tentang tokoh Tumenggung ini saya lakukan dengan pendekatan wawancara dengan keluarga ataupun keturunan beliau. Hal tersebut merupakan pintu masuk.
Misteri tidak begitu saya terungkap pihak keluarga hanya menyatakan bahwa Djaelan atau Tumenggung Djaya Karti ini berasal dari patai, dan keluarga besarnya adalah keluarga Blantan yang ada di Tamiang layang. Dari petunjuk keluarga bahwa orang yang  memiliki data cukup lengkap adalah (Alm) Pdt.Dr Fridolin Ukur. Apa mau dikata kalau begitu data otomatis menghilang, kemudia keluarga merekomendasikan untuk menemui Bapak Satria Ngindra. Keadaan makin rumit Satria Ngindra dalam keadaan sakit terlebih dia harus dibawa anaknya ke Tanjung tabalong untuk menjalani perawatan pasca oprasi kataraknya.
Jalan terakhir saya dipertemukan dengan mantak Kepala Sekolah SMA 1 Tamiang Layang bapak Drs. Karno.A Dandan, beliau memiliki arsip silsilah (jereh) dari keluarga besar Tumenggung Jaya karti dari tulisan tangan (alm)F.Ukur, luar biasa saya sangat tertolong, walaupun informasi tentang diri Tumenggung Jaya Karti sangat minim. Namun silsilah ini saya anggap sesuatu hal yang sangat membantu selanjutnya dalam investigasi saya.

Manuskrip silsilah Tumenggung Jaya karti (di susun Alm.Pdt.DR.Fridolin Ukur)


Kunci selanjutnya yang saya gunakan adalah menggunakan arsip-arsip pemerintah Belanda, dan yang sangat mengejutkan bagi saya adalah saya menemukan nama Tumenggong Djaya Karti bahkan peristiwa kapan dia diangkat menjadi tomenggong terangkum cukup akurat oleh Letnan C.Bangert ( Kepala sipil untuk wilayah bakumpai dan tanah dusun) dalam catatan perjalanannya ke wilayah maanyan tahun 1857 yang diberi judul VERSLAG DER REIS IN DE BINNENWAARTS GELEGENE STREKEN VAN DOESSOEN ILIR yang isinya sebagai berikut :
“Tanggal 20 mei 1857 saya tiba di tameang Laijang  dan Kepala suku  Tamian Laijang adalah seorang pria tua, ia cukup disegani oleh masyarakat hanya usianya yang sudah tua membuat beberapa perkara tidak bisa ditangani olehnya, Dia adalah orang Daijak, bahkan sebagai seluruh desa Tameang laijang ini hanya dihuni orang Daijaks
Tingkat populasi ini berkisar  300 jiwa,  laki-laki berbadan sehat  60 jiwa.  Dalam kampong ada terdapat  dua rumah  berkonstruksi besar, mereka juga memiliki baleij sangat besar atau pondoppo (di sini disebut Balai) dibuat di sana. Rumah ini sangat menyenangkan, karena perumahan sedemikian jauh lebih baik daripada  rumah orang dayak pada umumnya. Jadi saya memutuskan untuk tinggal di  baleij (balay) ini dan meninggalkan barang-barang  saya disana.
Tapi segera saya menerima kabar dari kepala adat/suku Tamian Laijang bahwa ia akan meminta saya berjaga pada malam hari, karena saya memiliki banyak barang untuk berhati-hati karena ada  pencuri dari Patai. saya memberi orang kesempatan untuk bertemu dengan mereka dan mendengarkan tentang perselisihan serta permasalahan yang mereka hadapi. Banyak kasus kecil diselesaikan oleh saya hari itu di kalangan kepala suku. Nampaknya semua permasalahan tersebut berpangkal karena sang Kepala suku yang ada sudah sangat tua
Aku mengambil dalam pertimbangan semua yang disebutkan diatas sehingga untuk menyenangkan hati mereka pertama dalam permintaannya mereka adalah untuk pemberhentian kepala suku yang sudah usia lanjut ini. setelah mendengar tentang alasan tersebut, maka keinginan mereka ini yaitu memilih kepala suku agar diselenggarakan, saya ditunjuk untuk pertama kalinya kepala suku dan akhirnya yang terpilih adalah seorang laki-laki yang berasal dari dari kampung kiri distrik Patay untuk menjadi  kepala kampong/suku Tamiang Laijang di beri gelar Tomongong Djaija, Semua kepala desa distrik Patay hadir dalam pemilihan tersebut.
Tanggal 21 mei 1857 kepala suku yang baru diangkat dengan sumpah dan ketaatan dengan cara Dayak ke tangan saya. Dia berdiri di tempat terbuka, di dalam lingkaran penonton, Semua kepala desa distrik Patay  duduk tempat barisan pertama. Kemudian mereka mengacungkan Mandau (pedang dayak) ke cakrawala, ia memohon kepada dewa dan Hantu bersaksi bahwa ia akan ketaatan kepada pemerintah dan keadilan untuk rakyatnya akan diberikan. Kemudian Dia berjongkok.  Selanjutnya Mandou diletakan atas kepalanya, dan dia menyatakan siap mati untuk keadilan selanjutnya dia berdiri. Kemudian datang kepadanya semua kepala desa dan menyentuh dada dan tangan dengan lehernya, kemudia Menyerahkan ayam yang baru dibunuh , yang ada di tangan mereka masing-masing.
Hal ini dijelaskan kepada saya untuk menjadi tanda bahwa para kepala desa tunduk kepada perintahnya. Akhirnya beberapa wanita tua, mendekati Tomongong yang baru serta menaburinya dengan beras kuning. Dengan ini upacara selesai.[1]
                
keluarga besar Blantan keturunan 
Tumenggung Jaya Karti tahun 1940an

        Bisa kita lihat kedekatan Tomenggung Jaya Karti dengan orang Eropa, salah satu kedekatannya terlihat saat kedatangan missionaries Klammer di Tamiang Layang hal tersebut terungkap dalam surat  Missionaris Klammer saat memulai penginjilannya di Tamiang Layang yang dikirimkannya kepada badan missi di Barmen Jerman:
                Pertimbangan saya dalam memilih tempat ini. Yang  pertama ; kepala-kepala suku  tinggal di sini, kedua; bahwa Tamiang Layang pusat semua  kegiatan  di distrik  PateI , dan yang ketiga ; walau  sekarang air sungai agak mengeringkan waktu saya tetap dapat datang ke tempat ini, walaupun hanya dengan  Djukong ( perahu kecil ) di waktu musim panas , bagaimanapun nampaknya air  lebih banyak turun daripada di Sihong .
                kedatangan kami disambut  hangat . saya juga tidak ingin lama bersembunyi dari orang-orang, dan ingin menceritakan tujuan kedatangan kami. Tempat kediaman kami diberikan oleh  Tommonggong – dan tanaman yang ada disepenjang jalan pun boleh kami petik untuk kebutuhan kami , karena itulah mengapa Tamiang Layang bukan  Sarapat atau tempat lain tentang karena kami juga tidak lagi diragukan.
Di malam hari pertemuan besar untuk menjelaskan maksud dan tujuan kami berada disini kepada kepala suku, dan juga memperlihatkan surat-surat tugas dan surat ijin dari pemerintah, bahwa Pandita harus tinggal di antara mereka. Kami juga untuk menyampaikan firman Tuhan. Tidak ada yang membantah, hanya Tommonggong  itu memohon  agar menentukan sebuah hari di mana ia dapat memanggil kepala suku dari tempat-tempat lain, dan kemudian untuk membahas masalah ini dengan mereka .  Mungkin seharusnya tidak menentang apa otoritas perintah mereka, nampaknya ini menjadi  hadad (custom ) . Akan lebih baik kalau hal itu bisa dilakukan sekitar 8 hari kemudian, karena kemudian mereka akan melaksanakan acara besar  mengenai permintaan  Kami  tersebut , dan kami berjanji untuk kembali setelah lagi setelah 8 hari.  Maka Tommenggong  akan membantu menyediakan untuk orang-orang , (untuk  menebang semak )  segera dalam 8 hari ……
Di Baley ( bangunan terbuka ). Malam harinya ada lagi pertemuan besar.  kerumunan besar hadir di Balei itu merupakan pemandangan yang luar biasa, Puji Tuhan . …  Semuanya berjalan seperti yang diinginkan. Hanya Tommonggong  mengatakan bahwa ia merasa kasian dengan anak-anak dari Sangerwasi agak jauh untuk anak-anak tersebut  untuk bisa ke sekolah, bagaimana jika mereka sedang dalam perjalanan, dan mereka ketakutan dijalan karena suara burung atau binatang hutan, maka mereka kembali pulang karena ketakutan,  apakah mereka kemudian akan dihukum?  Tapi untung  saudara Denninger bisa memberikan penjelasan  dengan mengatakan hal tersebut akan mereka pertimbangkan dan sumua itu bisa diatur nanti. Seekor babi akhirnya kami beli seharga 140 sen kemudian diberikan untuk dimasak dan dimakan bersama , karena kami mengadakan  pesta besar . Untuk 80 orang yang hadir. Dengan tanganku, aku memainkan harmonika dan disambut dengan sukacita, karena nampaknya music ini tidak pernah dilihat dan didengar  oleh mereka.[2]
               
Begitu pula saat meletusnya perang Banjar maka Tumenggung ikut memberikan kontribusi pasukan dalam melakukan pengepuangan ke Gunung Tongka, yaitu dengan memberkin support pasukan sebesar 176 orang dari distrik patai yang dia pimpin.[3] untuk foto diri dari Tumenggung sampai hari ini memang belum ditemukan.
memang tidak bisa dipungkiri Tumenggung Jaya Karti dan keturunannya mengambil kedudukan penting dalam pentas perjalanan sejarah di Tamiang Layang. kontribusinya juga bukan hanya kemajuan agama Kristen melainkan juga kepada pendidikan dan memberi keamanan sepada pemerintah Belanda saat itu. sehingga akses jalan darat bisa dicapai di Tamiang Layang.




[1] C.Banggert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Streken Van Doessoen Ilir (Indische Taal Land Volkenkunde IX) 161-163
[2]  Klammer, Der Aufang auf Tameang Laijang: Berichte der Rheisinche Missions Gesellschaft  ( Barmen 1858)27-29
[3] W.A Van Rees, De Banjarmasinsche Krijg 1859-1863 ( Arnhem 1865) . 43

Selasa, 17 Desember 2013

KISAH SEDIH DARI TANAH BORNEO


KISAH SEDIH DARI TANAH BORNEO
BY;
HADI SAPUTRA MITER

               
KORBAN PERISTIWA 1859 MISSIONAR WIGAND DAN ISTRI,
Tengah:MISSIONAR ROTT, MISSIONAR KIND DAN ISTRI,
Dibelakang: MISSIONARIS HOFFMASTER DAN ISTRI


Titik Awal Pemicu
        Adanya intrik perebutan kekuasaan kesultanan Banjar yang nantinya menjadi cikal-bakal perang Banjar, ditambah pihak Belanda yang dianggap ikut campur dalam intrik antara Pangeran Tamdjidilah dan Pangeran Hidayatullah. Pihak Belanda mengusung Tamdjidilah yang tidak disenangi rakyat untuk menjadi sultan, sehingga membuat berang Hidayat yang didukung rakyat kesultanan, perang tak dapat dielakan lagi. Orang-orang yang pro Hidayat, melakukan aksi teror kepada aset-aset baik tambang batu bara (batu harang), sampai perkebunan Belanda yang dilakukan secara berantai sejak tanggal 28 April 1859. Setiap penyerbuan selalu disusul dengan penjarahan dan pembantaian terhadap para pegawai sipil dan serdadu Belanda.

Peristiwa Mandomai
        Pada awal Mei terdapat di situ ketiga keluarga misionaris yaitu Rott,  dan Kind. Kedua keluarga terakhir hanya mampir dalam perjalnan ke tempat tugas yang baru. Pada pagi tgl 7 mai para pembunuh, yang pada hari sebelumnya gagal menyerang Stasion Bethabara karena kehadiran kapal api dan serdadu Belanda, mengepung gedung stasion Tanggohan. Pelayan Missionaris seorang Anak Dayak berteriak dan misionaris Rott turun ke depan rumah, dimana ternyata anak tersebut kena tombak; keluarga para misionaris  datang ke beranda dan berusaha berbicara dengan penggepung agar diizinkan pergi dengan selamat, tetapi pemberontak itu mentertawakan mereka itu dan menembak anak panah yang beracun sebagai jawaban.
        Missionaris Rott berusaha melarikan diri dengan istrinya ke jamban untuk naik perahu,  Namun perahu itu sudah dirampas. Di jamban misionaris Rott dibunuh, dalam pelukan isterinya. Keluarga Wiegand saling berpegangan. Ibu Kind yang masih muda berdiri di samping suaminya bersama anak Maria Rott. Ketika para pembunuh mendekat, misionaris Rott berdoa : “Bapa, ke dalam tanganmu kuserahkan nyawaku“ dan puteri kecil Maria menyambung : “Sebentar kita sampai pada Tuhan Yesus yang dikasihi“, Ibu Kind menyuruh anak itu mengatakan pada para gerombolan bahwa korban-korban yang mereka bunuh mengampuni tindakan mereka dengan setulus hati. Setelah itu para perempuan itu didorong oleh para pembunuh ke dalam sungai Kapuas bersama para bapa yang terluka  dan kedua anak kecil mereka. Ibu Rott dengan puteranya yang sudah pingsan diselamatkan dari air oleh seorang pemuda Dayak, tapi dengan maksud menyiksa dia.
        Ia ditahan tiga hari dan tiga malam di rumah kepala suku. kedua Puterinya yang dilarikan ke hutan oleh seorang pembantu, akhirnya diantarkan kepadanya. Ia membela martabatnya sebagai perempuan dan kedua anaknya Ny.Rott berkata :  “Saya memberitahukan pada kepala suku bahwa saya lebih suka mati dari pada menyangkal iman saya atau dijadikan budak“ diceritaknanya kemudian pada ibunya. Pada tgl 10 mai kapal api pemerintah beserta serdadu bersenjata sampai ke Tanggohan. Orang yang menyekap Ny. Rott melarikan diri ketakutan kedalam hutan. Ibu muda itu berdiri bersama kedua anaknya di tepi sungai ketika kapal penyelamat berlabuh.

Pembunuhan Orang Eropa Oleh Orang Dayak

Peristiwa Buntoi Penda Alai
     Sementara itu salah satu kapal pemerintah yang lain menyeberang ke muara Kahayan dan menghilir sampai ke Buntoi Penda Alai, stasion keluarga Hofmeister. Ketika mereka tiba pada tgl 15 mei mereka menemui rumah misi di mana semua dirampok dan diacak-acak, terdapat suatu papan dimana tertulis dengan kapur: “Tuan Hofmeister dan isterinya sudah dibunuh“. Kuburan mereka terdapat di belakang rumah. Keempat anak missionaris diculik oleh gerombolan penyerang. Dua tahun kemudian pelayan yang menulis berita di atas papan, menceritakan bagaimana proses terjadi pembunuhan itu.
      Ketika misionaris Hofmeister pergi melihat situasi ribut-ribut, ia ditebas dengan parang. Ia masih dapat pulang ke rumah dan mendatangi keluarganya ke beranda yang dikepung oleh seratus penyerang. Ia berlutut bersma isteri dan anak-anak dan berdoa untuk para pembunuhnya. Seorang saksi menberitahukan kemudian pada misionaris Zimmer tentang isi doa terakhir misionaris Hofmeister :“ Tuhan yang dikasihi, Engkau yang menjadi Juruselamat kami, kasihanilah bangsa ini. Jangan mengambil kembali anugerah-Mu dari pada mereka dan karuniakan lagi Firman-Mu yang berharga kepada mereka.“ Setelah itu ia menyuruh orang untuk segera bertindak. Ia dieksekusi dengan cara ditembak setelah kena beberapa peluru dan Ia rebah. Isterinya memeluk dia.
        Sementara anak-anak coba memegang orang tuanya, para pembunuh datang, memotong kepala mereka dan merobek tubuh mereka. Pada malam berikut dua murid katekisasi menguburkan kedua mayat suami istri tersebut. Dua bulan kemudian keempat anak ditemui dalam keadaan yang menyedihkan dihutan, namun mereka selamat dan diantarkan ke Banjarmasin. Dan salah satu anak missionaris itu, yang sudah lanjut usia (82 tahun), dapat menghadiri perayaan 100 tahun misi di antara orang Dayak (tahun 1955) dan ikut memuliakan Tuhan oleh karena itu, dan memaafkan semua peristiwa tersebut.

Penutup
cerita kali ini ingin mengingatkan kepada kita bahwa, ada pengorbanan dalam pekabaran Injil. adakah masih nama-nama mereka kita kenang? tulisan kali ini memang tidak berbicara tentang maanyan secara spesifik namun perlu diketahui, peristiwa inilah yang juga melatar belakangi kepergian missionarir Daninger dan Klammer dari tanah Maanyan.

Sumber:
Van Hoevell
Tijdschrift  voor  Nederlandsch-Indie 23 jaargang
Herman Witschi
Cristus Siegt: Geschichte Der Dajak Mission Auf Borneo (Basel: Bassel Mission Library, 1942)
sebagian sumber berisikan hasil introgasi pemerintah Hindia Belanda, terhadap saksi-saksi atas kejadian pembantaian tersebut, sebagai laporan resmi yang dirangkum dalam Tijdschrift  voor  Nederlandsch-Indie 23 jaargang