Jumat, 13 September 2013

MENDEKONSTRUKSI MITOS PUTRI MAYANG (mengungkap misteri di balik Putri Mayang Sari)


MENDEKONSTRUKSI  MITOS 
PUTRI MAYANG

By: 
Hadi Saputra Miter



 Nisan putri mayang yang dibuat tahun1978


Mengumpulkan Teka-Teki
Banyak cerita mengenai Putri Mayang yang  kita dengar baik dari penjaga makamnya maupun dari berbagai sumber yang biasanya memiliki versi berbeda-beda dan biasanya setiap cerita terdengar sangat epik dan luar biasa, namun pada intinya kita harus jujur dengan mengesampingkan mitos namun dengan berusaha mencari tahu dengan mengumpulkan data-data yang ada tentang siapakah yang di sebut dengan Putri Mayang itu ada rahasia apa dibalik namanya, melewati tulisan singkat ini kita akan mengungkap fakta dibalik misteriusnya seorang Putri Mayang. Kita akan mengujinya secara satu persatu.
       Teka-teki awal dimulai dengan pernyataan umum yang sering di dengar bahwa Putri Mayang adalah seorang Putri dari keraton Kesultanan Banjar, dan diasumsikan bahwa ia adalah Putri dari Sultan Suriansyah
“Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma’anyan, Mayang Sari yang adalah putri Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi pada 13 Juni 1858, yang dalam penanggalan Dayak Ma’anyan disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mammai. Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan adalah perempuan Ma’anyan cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh Suku Dayak Ma’anyan.”[1]
     
     Data atau tulisan diatas ini, merupakan data yang saya dan Antropolog Marko Mahin kumpulkan untuk keperluan tulisan tentang persaudaraan Dayak dan Banjar, di FORLOG (forum Lintas Agama) Banjarmasin. Dan nampaknya tulisan inilah yang paling banyak beredar.

lukisan Putri Mayang yang biasa dijual di Amuntai 
komplek Candi Agung


       Walaupun apabila kita merunut silsilah Sultan Suriansyah nampaknya kita tidak dapat menemukan data yang menujung bahwa ada putri dari Sultan Suriasnyah bernama Putri Mayang, tapi hal tersebut sangat memungkinkan terjadi, mengingat statusnya bahwa ia adalah anak dari istri yang kedua, dan bukan dari istri sah yaitu istri yang pertama. Ditambah lagi dia hanyalah seorang perempuan, jadi perlu di ingat bahwa Kesultanan Banjar menganut sistem Patriakhal maka sangat besar kemungkinan nama perempuan dianggap tidak begitu penting dan bisa saja tidak tercatat.  Dan satu-satunya bukti yang membuktikan dia memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultan Banjar, adalah sebuah mata kalung berwarna Merah delima yang diukir dengan aksara Arab (dimana aksara Arab adalah aksara resmi yang digunakan oleh Kerajaan Banjar).

peninggalan Putri Mayang berupa mata Kalung
diukir dengan aksara arab,


Siapa Uria Lana (Mapas) Dan Siapa Pula Putri Mayang
Selanjutnya ada urusan apa seorang putri dari Kesultanan Banjar mau berada di kampung orang dayak yang sekarang bernama Ja’ar?
Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma’anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman Pangeran Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin’nyan yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya, Sultan Suriansyah terkena denda Adat atau disebut Bali, yaitu selain membayar sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.[2]
 
    Kenapa harus menyerahkan perempuan kalau begitu mengapa bukan sang putra mahkota dari kerajaan Banjar saja yaitu Pangeran Rahmatulah. Namun saya mencoba merunut pelan-pelan rangkaian teka-teki ini. Dalam cerita diatas data saya dapatkan dari tulisanya Sutopo Ukip yang berjudul Sejarah Banjar, Maanyan dan Merina di Madagaskar buku ini tidak diterbitkan dan tidak memiliki rujukan ilmiah hanya dicatat dari tradisi oral masyarakat Jaar atau dulu di sebut Sangarwasie. Kembali dalam buku milik Sutopo Ukip, kita mendapat cerita dahsyat yang seperti ini bunyi nya:
 "Saat uria Rinyan datang ke Kesultanan banjar, ternyata istri Sultan Jatuh hati dan terjadi perselinghuhan. Hal itulah yang membuat Sultan membunuh Uria Rinyan dengan keris bermata intan, namun wakil uria rinyan Makarua’ng berhasil lolos dan meloprkan kepada orang-orang di kampungnya. Maka berangkatlah saudara Uria rinyan yaitu Uria Lana ke Banjarmasin, dan mengamuk di Nagara dengan menggunakan mandau yang bernama Lansar Tawomea…..sampai akhirnya Sultan Suriansyah meminta berdamai dan berjanji menyerahkan anaknya saat itu pula nama Uria Lana menjadi uria Mapas.[3]


Plakat atau mungkin makam yang menunjukan
tentang Uria Mapas (masih dipertanyakan)


      Jadi pertanyaanya semudah itukah Sultan Suriansyah menyerah kepada seseorang, kita nampaknya harus menggunakan data yang kuat dan umum digunakan tentang siapa itu Sultan Suriansyah dan tipe seperti apa orang tersebut. Bagaimana sejarah berbicara tentang dia, maka saya menggunakan tulisan JJ.Ras yang berjudul, Hikajat Banjar: A Study Of Malay Histografi, yang menjadi semacam rujukan utama para penulis sejarah Banjar.
Kemunculan kerajaan Banjar tidak lepas dari kerajaan daha dimana ada konflik perebutan kekuasaan kerajaan antara pengeran Samudra dengan pamannya Raden Tumenggung. Pangeran samudra berhasil merebut takhta kerajaan dengan dibantu pasukan Demak, dengan syarat meng Islamkan kerajaannya  apabila berhasil. Pangeran Samudra berhasil sehingga ia menjadikan kerajaan Daha sebagai kerjaan Islam yang disebut kerajaan Banjar. Pangeran Samudra mengganti namanya dengan Sultan Suriansyah.[4]
      
       Jadi dapat dibayangkan bahwa Sultan Suriansyah memiliki kekuatan perang yang mematikan, karena kapan saja diperlukan kerajaan Demak dapat siap sedia membantunya menghadapi ancaman. Dan juga perlu diketahui bahwa kekuatan dan pengaruh kerajaan Banjar mampu membuat tunduk kerajaan-kerajaan kecil daerah-daerah disekitarnya:
Sambas, Batang Lawai, Sukadana, kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Sebangau dan daerah lainnya berada dibawah naungan Banjarmasin, maka di tiap-tiap musim barat tiba datanglah mereka menyerahkan upeti dan pada musim timur kembali keasalnya. Bahkan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur juga harus tunduk serta menyerakan Upeti kepada kerajaan Banjar namun dikemudian hari nampaknya hal tersebut berakhir dikarenakan kerajaan Kutai dibeking oleh kerajaan Bugis makasar.[5]


Makam Sultan Suriansyah Th 1900
dok. koleksi Troppen Museum 

    Dapat dibayangkan kalau ada seorang Uria Lana melakukan tindakan yang bersifat mengancam eksistensi kerajaan Banjar, tentu bisa saja kampung-kampung Dayak Maanyan yang ada, dialiran sungai Telang, Karau dan Patai akan dilenyapkan oleh Kesultanan Banjar. Jadi secara historis sangat tidak masuk akal, kalau peristiwa Uria Lana mengamuk dan Sultan Suriansyah minta ampun tersebut pernah terjadi.
    Dan teka-teki selanjutnya akan kita bedah apa alasan Putri Mayang berada di Jaar (Sangarwasie) dan juga siapakah Uria Mapas tersebut saya menyimpulkan sebagai berikut:
  1.          Saya setuju bahwa putri mayang adalah salah seorang putri dari kerajaan Banjar, dikarenakan dia bukan seorang putri dari istri pertama (ibu suri/Ratu) maka ia tidak memiliki jabatan dan hak apapun di kerajaan (walaupun anak seorang selir tidak berhak menyandang gelar Putri, jadi asumsi saya gelar Putri diberikan masyarakat lokal sebagai bentuk penghargaan). Sehingga ia memilih menjadi perpanjangantangan kerajaan untuk mengawasi tanah dayak khususnya ulun Maanyan, dan tidak menutup kemungkinan dia memungut upeti dan pajak dari Ulun Ma’anyan yang ada disana. 
  2.     Sedangkan Uria Lana yang kemudian mendapat gelar Uria Mapas Negara dari kerjaan Banjar. Besar kemungkinan ia adalah orang kepercayaan serta pengawal pribadi dari Putri Mayang.
Fakta Sejarah Tidak Mengubah Makna
Satu-satunya fakta sejarah yang tertua dan yang berhubungan dengan putri Mayang hanya ada di Laporan catatan perjalanan/ekspedisi dari Letnan C. Bangert penguasa sipil kerajaan Hindia Belanda untuk wilayah Bakumpai (Marabahan) dan Dusun (jalur sungai Barito) Tahun 1857:
22 mei 1857 Aku berangkat di pagi hari ke kampung Sangarwassie, sekitar 4 jam naik  perahu kearah  timur dari Tamiang Laijang. Jalan menuju kesana sebagian besar rawa- rawa , Kampong  Sangarwassie yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang Daijaks, Di kampong Ini  ada  tujuh rumah besar tapi bobrok. Total jiwa Sangarwassie  ± 400 jiwa. memiliki 80 atau 90 orang berbadan sehat, dan termasuk  ± 30 Melayu (Banjar)………
orang-orang  kampung ini mengatakan di zaman dahulu keberadaan kampung ini tidak lepas dari seorang putri yang bernama Poetri Maija (Putri Mayang) dan mereka menunjukkan sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit dan menunjukan barang-barang yang berhubungan dengan Poetri Maija (Putri Mayang), tidak jauh dari sangarwasie sebagai tempat makam Poetri Maija (putri Mayang) nampaknya Poetri Maija masih hidup dalam cerita dan tradisi takhayul mereka.[6]

Bagi saya cerita yang berlebihan dikalangan masyarakat Asia, dan secara khusus Ulun Ma’anyan yang memiliki seni bercerita yang agak hyperbolis. Saya pernah menguji dengan mengajukan pertanyaan tentang Soeta Ono dan yang muncul adalah cerita Raja sakti mandraguna, mistik  dan lain sebagainya. Yang kenyataan atau Fakta sejarah bahwa Suta Ono adalah seorang Kepala distrik bukan raja, dan dia sama seperti orang kebanyakan. Di sejarah Nasional pun bisa kita dengar bagaimana gaya Historis hyperbolis itu kita dengar misalkan tentang Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah hanya dengan menggunakan bambu runcing saja, yang terdengar  hebat. Hanya karena ada foto era revolusi fisik dimana para pemuda pelajar berbaris memegang bambu runcing. 
Begitu pula saat saya mengajukan pertanyaan tentang Tuan Daningger Missionaris pertama yang ada di Murtuwu, maka cerita yang anda dapat akan sangat lucu dimana kampung Murtuwu dikutuk, untuk menjadi kampung yang tidak akan maju, hal itu disebabkan karena Daninger di usir karenakan masalah berkabung (lawen) dengan mayat tikus. Yang sangat bertantangan dengan fakta sejarah sebenarnya bahwa Daningger pergi dari Murtuwu, dikarenakan meletusnya pemberontakan Hidayatulah. 
Jadi  cerita heroik dan kepahlawanan yang menggebu-gebu, yang tumbuh dalam masyarakat biasanya berhubungan dengan upaya Narsisme dan eksistensi kesukuan. Dimana dengan cerita-cerita yang  hyperbolis tersebut mampu membuat bangga dan decak kagum generasi selanjutnya, namun itu hal yang biasa terjadi hampir disetiap kebudayaan di dunia. Jadi bisa dipahami bahwa cerita yang berhubungan dengan Uria Mapas serta penyerahan Putri Mayang oleh Sultan Banjar, dikarenakan kena denda adat setelah mendapat ancaman nampaknya memang menarik didengar saja, namun sayang hal tersebut hanya  mengasikan Mitos bukan bagian dari fakta sejarah.
Disini saya hanya berdiri untuk mencoba menjembatani antara tradisi oral ulun Maanyan dan Fakta sejarah. Dan intinya walaupun mungkin dari fakta yang saya ungkap akan ada pergeseran nilai namun saya berharap itu tidak mengubah makna dasar dari peristiwa tersebut. Dimana bahwa memang pernah ada Purti dari kerajaan Banjar ada di Sangarwasie atau sekarang di sebut Ja’ar. Dan apakah tulisan saya merupakan harga mati untuk sebuah fakta sejarah? Saya rasa tidak, tulisan saya masih bisa diuji dan dibuktikan kembali kebenarannya, dan saya menunggu fakta-fakta otentik lagi untuk menyempurnakan tulisan saya ini kelak. dan kepada pulaksanai yang terpanggil membantah tulisan saya, bantah dengan tulisan juga dan gunakan sumber data ilmiah sebagai rujukan, bukan ujar kai ku bahari (kata kake ku dulu) terima kasih.


Sumber:
Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun)   halaman tidak jelas.
J.J Ras, Hikajat Banjar: A Study Of Malay Histografi (Laiden:KITLV, 1968 )
C.Banggert, Verslag  Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken Van Doessoen Ilir (Laiden: KITLIV 1857)
Ita Syamsiah Ahyat, Kesultanan Banjar Abad Ke-19: Ekspansi Pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan (Tanggerang: Serat Alam Media, 2012)




[1]           Tulisan ini saya tulis dengan mengutip buku Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun). Tulisan ini di muat dalam Jurnal Rakat di Banjarmasin sekitah tahun 2005 kemudian di sempurnakan oleh Antropog Marko Mahin dan muncul di Banjarmasin Post tahun 2006. Tulisan ini nampaknya di dapatkan oleh Sutopo Ukip dari cerita masyarakat Jaar. Dan sekarang beredar di Internet.
[2]              Sutopo Ukip dkk. Sejarah Suku Dayak Maanyan, Banjar dan Merina di Madagaskar (tanpa Tahun) halaman tidak jelas.
[3]               Ibid.
[4]         Tulisan ditulis oleh Sejahrawan inggris dengan menterjemahkan manuskrip-manuskrip Melayu lama yang menggunakan aksara Arab ke dalam bahasa Inggris yaitu J.J Ras, Hikajat Banjar: A Study Of Malay Histografi (Natherland:KITLV, 1968 ) hal.434-438
[5]               Ibid, hal. 440
[6]               C.Banggert, Verslag  Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken Van Doessoen Ilir (Laiden: KITLIV 1857)Hal 174.

Rabu, 21 Agustus 2013

GEREJA PALANUNGKAI TAMIANG LAYANG ( Landmark Pekabaran Injil Bagi Ulun Ma'anyan)


 SEJARAH BERDIRINYA
GEREJA PALANUNGKAI TAMIANG LAYANG
By:
Hadi Saputra Miter




Gereja Yang Menjadi Landmark
Sebuah gereja besar yang berdiri mengangkang ditengah kota Tamiang Layang, seolah menjadi Landmark bagi kota Tamiang Layang, bagaimana kemunculannya? Banyak orang mengatakan bahwa itu peninggalan Belanda dan lain sebagainya. Gereja yang sekarang dikenal dengan nama PALANUNGKAI yang berarti yang pertama dalam bahasa dayak Ma’anyan merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Tamiang Layang. Tulisan ini akan mencoba membawa kita kepada peristiwa bagaimana Gereja ini hadir yang tentu saja bukan seperti sulap. Melainkan memiliki sejarah panjang yang harus kita hormati.
Berjalannya penginjilan yang dikerjakan di daerah ulun Maanyan melewati rentang waktu yang cukup lama dari 1851 sampai dengan 1930an masih belum ada gedung gereja permanen, kecuali gedung gereja kecil yang ada di Beto. Hal tersebut bertolak belakang dengan diwilayah Kapuas dan Kahayan yang sudah memiliki gereja. Untuk menjawab nya maka Gerlach bersama dengan jemaat di Tamiang Layang berinisiatif untuk mengupayakan sebuah gedung gereja yang bisa menampung jemaat Kristen yang ada di Tamiang Layang yang angkanya terus berkembang secara signifikan.
Kesepakatan pembangunan gereja pun disambut antusias warga, termasuk agar mengalihkan asset-aset milik Zending Basel yang ada di Beto yang dikarenakan selain akses jalan yang sulit serta karena masyarakat yang berangsur-angsur meninggalkan Beto, sehingga diambil langkah agar pusat penginjilan dipusatkan sepenuhnya saja di Tamiang Layang.

Modal Bersama
Keputusan membangun gereja tidaklah mungkin tanpa dana maka jemaat Tamiang Layang mengumpulkan dana, dari dana pribadi masing-masing jemaat mereka mengumpulkan tiap-tiap cent uang mereka sampai akhirnya terkumpul uang sebesar 1000 Gulden. G.Gerlach dipercayakan jemaat sebagai kepala konstruksi. Kemudian mereka bersama-sama membuka lahan yang awalnya ditumbuhi oleh pohon-pohon besar. Yang paling pertama mereka dapatkan adalah sirap untuk atap berjumlah 28000 lembar.
Total biaya yang harus diperlukan untuk pembangunan itu sebesar 2400 fl. Sedangkan jemaat hanya mampu mengumpulkan 1400 fl saja. Namun berkat tidak habis-habisnya bantuan donasi datang baik dari jemaat maupun dari  luar jemaat bahkan ada bantuan secara pribadi. Pemerintah Hindia Belanda melalui Countrolir nya memberikan sumbangan berupa 10 Tong/drum semen ( yang nampaknya digunakan untuk pondasi Gereja) bahkan perkumpulan perempuan menyulam yang ada di Tamiang Layang memberikan sumbangan 190 fl. Dari hasil penjual sulaman mereka. Dan tersisa hutang sekitar 500 fl namun pemerintah Belanda berjanji untuk menghapus hutang mereka.

lahan gereja yang masih belum dibangun hanya ada lonceng gereja yang 
dibawa dari Beto


proses pengangkutan material dan bahan bangunan 
dari sungai siarau menuju lokasi Gereja



proses pembangunan dimulai

Pembangunan gereja berlangsung dari mei 1933 yang sebetulan saat itu missionaries Hacker dari Banjarmasin sedang berkunjung dan melihat bagaimana antusias warga membantu pembangunan gereja
”Saya melihat mereka sangat-sangat kesulitan dalam mengangkut bahan material bangunan dari perahu menuju lokasi pembangunan gereja yang berada diatas bukit. Terutama kayu yang nampaknya sangat berat, semua orang  kampung ambil bagian  membantu mengangkut serta mendorong gerobak menuju puncak bukit, Dan nampaknya gerobak tersebut sering mengalami kerusakan dimana mereka selalu memperbaikinya”.
Gedung gereja Tamiang Layang akhirnya selesai pada tanggal 29 oktober 1933 dan dirayakan, dalam perayaan tersebut bukan hanya dihadiri oleh jemaat Kristen tetapi juga dari Kaharingan dan Islam. Acara tersebut juga dihadiri pejabat pemerintah Belanda yaitu oleh Asisten Resident, Kontrolir dari Kandangan serta pejabat pemerintah dari Tanjung. Pada hari perayaan ibu-ibu dan para gadis mendekorasi gereja sehingga terlihat indah. Acara berjalan dengan penuh keakraban,  saya (G.Gerlach) mengucapkan terima kasih atas dukungan kepada kami dalam menerima  Injil yang kami kabarkan. Dan dengan bangga kami mentahbiskan gedung gereja ini dengan mengambil tema “ Kehormatan Bagi Allah yang telah menyelamatkan umat manusia melalui Tuhan kita Yesus Kristus” dalam bahasa Jermannya: "die Ehre Gottes, des Allmächtigen und den willen und die Erlösung der menschlichen Seele durch Jesus Christus"

SEBUAH RENUNGAN
Luar biasa walaupun dengan kekurangan dan dengan kerja keras maka gedung gereja yang sekarang kita kenal dengan PALANUNGKAI ini lahir. Pernahkan kita  mencoba  untuk merayakan hari jadinya sebagai bentuk apresiasi, agar kita selalu ingat kerja keras para Zending dan kerja keras para jemaat dalam mengupayakan lahirnya gereja kebanggaan kita ini. Saya juga mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan pihak Mission 21 terutama Claudia Wirthlin dari Swiss yang mengirimkan arsip-arsip pendirian Gedung Gereja Tamiang Layang, serata pihak BPH MJ GKE Tamiang Layang dalam mendapatkan foto-foto antik yang  sebagian mengenaskan karna dimakan usia.

Sumber :
Der Evangelishche Heidenbote vol.107 No.06, 1934 (Laporan Missionaris G.Gerlach )
Der Evangelishche Heidenbote  Vol.107, No. 4, 1934 (laporan Missionaris Hacker)
Koleksi Foto MJ GKE Tamiang Layang “ Ngamoean Lewoe Gareja Hang Tameang Laijang teka Mei-Oktober 1933"


Jumat, 19 April 2013

TONGGAK SEJARAH AWAL PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT MA’ANYAN


 TONGGAK SEJARAH PENDIDIKAN
DALAM MASYARAKAT MA’ANYAN
Sekolah milik Zending di Tamiang Layang tahun 1927 
(Dok: milik Zending Basel Swiss)

Ditulis:
Hadi Saputra Miter


Ulun Ma’anyan Sebagai Masyarakat Yang Lugu
    Ulun Ma’anyan dalam memperoleh pendidikan biasanya mendapatkan secara alami, dalam pengertian didapatkan dengan dasar naluri atau insting. Apakah hal tersebut merupakan keperluan untuk bertahan hidup seperti ikut ke ladang, mencari ikan di sungai, menangkap burung dan juga budi pekerti serta norma adat istiadat. Yang didapatkan dari nasehat atau petuah orang tua atau bahkan dari cerita (Tanuhui) yang diselipkan pesan moral.
    Orang Dayak bisa dikatakan lugu, hal tersebut membuat mereka menjadi korban penguasa lokal saat itu, dimana kekuatan feodal yang mendominasi orang-orang dayak termasuk ulun ma’anyan ialah Kesultanan Banjar. Sehingga sejarah mencatat ulun Ma’anyan berada dibawah kendali  kesutanan Banjar, baik secara sosial maupun secara ekonomi.
“para sultan Banjarmasin dalam soal perdagangan menjalankan politik tertutup bagi suku-suku Daya (K) di pedalaman. Mereka tidak diperbolehkan menjual hasil hutan dan lainnya secara langsung kepada pedagang asing. Hasil hutan dan lainnya hanya boleh dijual dan dibeli diperbatasan kesultanan dengan harga murah, lalu diangkut ke Banjarmasin dan dijual kepada orang luar negri dengan harga mahal”.[1]
  Dalam menarik pajak kepada orang dayak pada khususnya Ulun Ma’anyan maka pihak Banjar terkadang mengirimkan orang Bakumpai, dan menurut Antropolog DR Marko Mahin, bahwa pihak Banjar juga kadang mengangkat orang lokal yang dianggap setia untuk mengumpulkan pajak dan upeti yang diserahkan ke Banjarmasin, mereka dianugrahi gelar seperti Raden, Tumenggung, Patinggi dll.
      Sampai pada saat dimana Kesultanan Banjar secara resmi menyerahkan tanah jajahannya kepada pihak Belanda hal tersebut dikenal dengan perjanjian sultan adam, hal itu terjadi pada 4 mei 1826 dimana pejabat senior Belanda M.H. Halewijn melakukan penandatanganan kontrak dengan Sultan Adam. Dimana pihak kesultanan Banjar diwakili Sultan Adam menyerahkan tanah-tanahnya kepada Belanda atas:
"Pulau Tatas dan Sungai Kuin sampai tepi sungai Antasan Kecil;Pulau Burung dan daratan Sungai Maesa sampai Tanah Laut; Sepanjang Sungai Barito Sampai ke Tanah Dusun sejauh Siang; perbatasan Pontianak, Termasuk Sungai Dayak Kecil dan sungai Dayak Besar. Dan pada 18 maret 1845 Sultan Adam bersama dengan Sultan muda dan Ratu Anom Mangkubumi Kencana membagi secara sah antara Tanah Gubernemen (Pemerintah Belanda) dengan Tanah-Tanah Kerajaan."

Sekolah di desa Waman (Bamban) 
dekat Pasar Panas tahun 1920an
(dok:Zending Basel Swiss)

Ulun Ma’anyan mendapatkan pendidikan Formal pertama kali
    Dari Jerman munculah lembaga Penginjilan (Zending) yang disebut dengan Rheinische Mission-gesellschaft (selanjutnya ditulis dengan RMG) yang mengirimkan tenaga penginjilnya pada tahun 1834 kewilayah kolonial Belanda, untuk dapat bertugas di Borneo maka haruslah mendapatkan ijin resmi dari pemerintah Kolonial Belanda. Setelah dapat ijin, maka diutuslah Carl Barnstein pada tanggal 26 juni 1835 datang ke Banjarmasin, kemudian Barnstein memperkenalkan pendidikan resmi, dengan mendirikan sekolah di Banjarmasin. Setelah dianggap berhasil dan memungkinkan untuk menambah pelayanan, maka RMG menambah personil dengan mengirimkan beberapa Missionarisnya ke Kalimantan. Pemerintah Belanda pun nampaknya menghormati agama Islam yang dimiliki oleh Kesultanan Banjar. maka pihak Kolonial hanya mengijinkan pekabaran injil dilakukan di Tanah-tanah Gubernemen (milik Pemerintah Belanda), sedangkan ditanah yang dianggap milik kesultanan Banjar tidak diijinkan.
      Danninger seorang pembersih cerobong asap yang bertobat, yang dilatih untuk menjadi pekerja Missi Zending RMG di Barmen Jerman, dan pada Oktober 1847 perjalanan hidupnya sebagai seorang utusan misi dimulai, dia dikirim ke Kalimantan. Di Kalimantan Daninger dipercaya mengelola sebuah stasi (pusat penginjilan) di kampung Ulun Ma'anyan tepatnya di Murutuwu. Danninger mendirikan sekolah yang dihadiri oleh anak-anak setempat dan juga beberapa perkampungan Ma’anyan sekitarnya, serta ditambah peraturan pemerintah Belanda pada tahun 1846 yang mewajibkan anak-anak pada usia tertentu untuk bersekolah.[2] Mengenai sekolah yang didirikan oleh Danninger, C.Banggert seorang pejabat pemerintah Belanda untuk daerah Bakumpai dan Dusun Hilir yang berkedudukan di Marabahan saat melakukan perjalanan ke Murutuwu sekitar bulan mei sampai juli tahun 1857, Banggert menulis:
           Untuk sekolah nampaknya berbuah baik, pendidikan yang bertahap sukses mengendalikan pemikiran yang tidak masuk akal (takhayul) digenerasi ini kelak, serta menanamkan  moralitas yang baik. Sekolah dikunjungi oleh berbagai usia. Anak-anak dayak nampaknya mampu mengikuti pelajaran dengan mudah. Saya melihat anak-anak itu duduk bersama-sama, memperhatikan dengan seksama tentang pelajaran berhitung dan terkadang membaca sesuatu dengan nyaring. Terkadang saat musim panen tiba sekolah menjadi kosong, pengajaran dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu dan bahasa dayak Ngaju dialek Pulau Petak, sedangkan untuk menulis mereka diajarkan tulisan huruf latin dan huruf Arab (nampaknya karena kesultanan Banjar menggunakan tulisan-tulisan Arab, agar orang-orang dayak bisa memahaminya). Nampaknya pengetahuan geografi anak-anak dayak hanya terbatas pada Palestina saja, hal itu karena saya hanya melihat peta Palestina saja didinding sekolah mereka.[3]
     Pendidikan pertama yang dilaksanakan Daningger merupakan sebuah tonggak perubahan yang besar dimana C.Banggert, saat berada di kampung Dayu pada tahun 1857. Bertemu dengan orang-orang Ma’anyan yang bisa baca tulis, rupannya mereka diajarkan baca tulis oleh para pemuda yang pernah merasakan bersekolah disekolah milik Missionaris Daninger di Murtuwu.
     CARL JOHANN KLAMMER yang juga seorang missionaris RMG, pada tanggal 28 agustus 1857 Klammer mendirikan sekolah di Tamiang Layang. Sekolah yang didirikan Klammer mendapatkan sambutan positif, hal tersebut pastilah setelah masyarakat mendapat kabar tentang sekolah milik Danninger di Murutuwu, yang memberikan banyak hal baik kepada masyarakat. Terlebih ditambah lagi dengan peraturan pemerintah Belanda yang mewajibkan anak-anak daerah jajahan untuk bersekolah.
     Namun sekolah-sekolah yang didirikan oleh RMG ini terpaksa harus ditutup, karena pergolakan politik (dimana pihak Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar, dan Hidayatulah tidak terima. Hidayat mengobarkan kampanye anti kulit putihyang terjadi akibat pemberontakan Pangeran Hidayat. peristiwa tersebut meletus secara bertahap dimulai dari tanggal 1 mei 1859 menyebar menjadi teror berdarah, yang membuat banyak korban orang-orang kulit putih, diantaranya termasuk sebagian Missionaris RMG. 

Pendidikan Dan Sekolah Dibangun Kembali.
    Setelah jaminan keamanan diberikan oleh para kepala suku Dayak, beserta perlindungan secara militer oleh pemerintah Belanda. Maka persekolahan dapat dijalankan kembali, maka sekolah-sekolah rakyat itu pun dibangun kembali. Sekolah lazim  disebut dengan Volkschool dan Vervolgschool, untuk membantu pengajaran di sekolah maka diperlukan tenaga dari orang-orang dayak maka didirikan pula sekolah guru di Kapuas tahun 1872 namun sekolah ini dipindahkan ke Depok. Pada tahun 1878  tokoh Ma’anyan seperti Albert Blantan. Mendapat pendidikan guru di Depok. Kemudian baru tahun 1902 didirikan Seminarie (Particulire Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers) di Banjarmasin yang melahirkan banyak guru-guru Ma’anyan.
 Itulah sekilas sejarah singkat bagaimana banyaknya lahir Ulun Ma’anyan berpendidikan formal, dari rentang tahun 1850an sampai sekarang. Jadi janganlah juga kita lupakan bahwa suka tidak suka, pendidikan formal tersebut justru hadir dan didapatkan dari pihak asing. dimana pihak kolonial banyak memberi juga hal positif bukan hanya hal negatif. Muda-mudahan tulisan ini bisa menjadi informasi bermanfaat bagi generasi Ma'anyan sekarang.


Sumber :
Dokumentasi wali gereja , Sejarah Gereja Katolik  di Indonesia   (Jakarta,KWI: 1974).
Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, Dan Dinasti Perlawanan Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta:Balai Pustaka 2001)
C. Bangert, Verslag der reis in de binnenwaarts gelegene streken van Doessoen Ilir, (Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860)
Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak (Jakarta:BPK Gunung Mulia 2001)
Fri




[1]        Dokumentasi Wali Gereja , Sejarah Gereja Katolik  di Indonesia (Jakarta,KWI: 1974) 337
[2]      Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, Dan Dinasti Perlawanan Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta:Balai Pustaka 2001) 89
[3]         C. Bangert, Verslag der reis in de binnenwaarts gelegene streken van Doessoen Ilir, (Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860)

Kamis, 07 Maret 2013

ERNST LUDWIG DENNINGER & CARL JOHANN KLAMMER ( Zending isa Palanungkai)



ERNST LUDWIG DENNINGER   Dan
CARL JOHANN KLAMMER :
Dua Penginjil Pertama Di Tanah Ulun Ma’anyan
oleh: Hadi saputra miter
prasasti pendirian 
RMG ( Rheinische Missionsgesellschaft )
di Barmen Jerman


       Cukup lama saya absen menulis dikarenakan masih belum dapat mood, setelah saya buka-buka arsip dan korespondensi dengan kawan-kawan di Wuppertal Jerman maka saya bisa mengmpulkan data 2 orang tenaga Zending atau tenaga penginjil paling pertama yang dikirimkan ke wilayah dayak Ma’anyan, yaitu tuan Daningger dan tuan Klammer, walaupun untuk kasus Daningger memiliki data yang cukup lengkap selama berada di Murutuwu, dimana secara ruitin ia  menulis setiap kegiatannya di Murtuwu dan Siong secara berkala dan lengkap. sayang untuk foto nya pihak museum di Wuppertal mengakui tidak menemukannya. dan sebaliknya sangat berbeda dengan tuan Klemmer walaupun pihak museum memiliki fotonya namun dia tidak memiliki catatan pekerjaannya selama di Tamiang Layang.
           Kedatangan kedua penginjil ini tidak lepas dari badan missi RMG yang mengirimkan Barenstein ke Kalimantan pada tahun 1835 setelah melakukan survey maka diutuslah para penginjil lain ke wilayah Ma’anyan sebuah komunitas dayak yang ternyata sangat berbeda dari yang mereka temui diwilayah Kapuas dan pulau petak salah satunya bahasa dan kebiasaan.
                Kedua penginjil ini harus meninggalkan tanah Ma’anyan akibat pergolakan politik dan yang berujung pada sentiment anti kulit putih, yang nampaknya memang menghambat perkembangan penginjilan, terlebih lagi perkembangan penginjilan di Kalimantan bisa dikatakan sangat lambat dan menyedihkan.

ERNST LUDWIG DENNINGER
        Lahir  di Berlin,  04-12-1815 / Meninggal  di Batavia (Sekarang:Jakarta), 27-03-1876
Pekerjaan awal adalah pembersih cerobong asap. Setelah terpanggil dan mengikuti pendidikan Seminari Misi RMGselama kurang lebih 4  thn. 1844-1847, Denninger ditetapkan sebagai misionaris.
Tgl. 11-10-1847 menikah dengan Sophie Jordan wanita kelahiran Kassel Jerman
Foto Denninger sekeluarga sampai hari ini belum ditemukan atau diarsipkan, kendati pernah dicetak/diperbanyak.
Oktober 1847 perjalanan sebagai utusan misi dimulai, dikirim ke Kalimantan
1848-1851 tiba di Banjarmasin dan bertugas di stasion Bintang (Kapuas)
Bertugas di Stasiun Sihong (Siung dekat Telang) dan Maratowo (Murutuwu) pada tahun 1851-1859 selama berada di Murtuwo lah Daningger membuka sekolah dan banyak memberikan pendidikan baca tulis kepada anak-anak dayak  Ma’anyan. Dimana beliau akhirnya meninggalkan Murotuwo melewati Telang untuk mengungsi ke Banjarmasin akibat meletusnya “perang Hidayat”.

    Danninger biasa dikatakan sebagai peletak pendidikan modern pertama untuk orang Ma’anyan dimana sekolah kecil yang dibangunnya di Murutuwu berhasil membuat sebagian orang-orang Maanyan menguasai baca tulis, menurut C.Banggert seorang administrator pemerintah Belanda saat ekspedisi disungai Barito tahun 1857.
Badan penginjilan RMG memutasi Danninger ke pulau Nias.

 CARL JOHANN KLAMMER

Missionaris C. J. Klammer

         Lahir  19 November 1826 di Wesel Jerman, meninggal tahun 13 Maret 1897 bekerja sebagai tukang kayu, bergambung dengan RMG karena terpanggil untuk mengabarkan Injil Kristus  kemudian dikirim ke Kalimantan 1855.
      Menikah dengan seorang wanita bernama Henriette nee Brandt, pada tanggal 25.11.1826 di Wesel Jerman. Menginjili di Tamiang Layang selama tahun 1957-1959, walaupun masa pelayanan Klammer singkat, namun banyak hal yang menarik dimana dia juga melayani Kampung Patai dan dia mendapat sambutan positif di Tamiang layang. Saya meyakini karena singkatnya pelayanan maka jemaat yang dibina pun belum sempat berkembang.

Kartu pegawai RMG milik Klammer

Kartu riwayat hidup milik Klammer
dapat dilihat tahun 1857 penginjilan pertamanya
di Tamiang Laijang (Tamiang Layang)

     Saat meletusnya “perang Hidayat” dimana muncul sentiment anti kulit putih, dalam perjalanan pengungsiannya menuju Banjarmasin menyusuri sungai Sirau Klammer hampir dibunuh oleh orang melayu/Banjar saat disungai Sirau namun diselamatkan dengan aksi heroik oleh Soeta Ono sehingga Klammer dititipkan disebuah kapal perang tentara Belanda (Stoopship) bernama  “Celebes” dan dikirimkan menuju Banjarmasin agar diungsikan dimarkas tentara Belanda disana, kejadian tersebut dicatat pada tanggal 19 mei 1859. Klammer di instruksikan pindah ke tanah Batak yaitu Sipirok Sumatra Utara

semoga bermanfaat bagi kita.

Sumber :
wolfgang Apelt ; Archives and Museum Foundation of UEM is to collect, preserve and document the archive and museum material of the United Evangelical Mission (UEM), esp. of the Rhenish Mission Society and the Bethel Mission. Wuppertal German.
Le Rutte, Episode Uit Den Banjarmasingchen Oorlog:Expeditie De versteking Van Pangeran Antesarie (Laiden: 1863)
Fridolin Ukur, Tuaianya Sungguh Banyak (Jakarta:BPK Gunung Mulia 2001)
Von F Kriele, Das Evangelium Bei Den Dajak Auf Borneo, (Barmen: Verlag des Missionshauses in Barmen, 1915)
Hermann Witschi, Cristus Siegt Gheschite der Dajak-mission auf Borneo, ( Basel mission house 1942).
Berichte der Rheinishen Mission Gesellsaft: missionar Danninger (Barmen: Verlag des Missionshauses in Barmen, 1853)
C.Banggert, Verslag  Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken Van Doessoen Ilir (Laiden: KITLIV 1857)
The archives number is: 4011-152 and the copyright belongs to the Archives and Museum Foundation of the UEM.


Jumat, 18 Januari 2013

SAAT SENI TERGANJAL POLITIK


SAAT SENI TERGANJAL POLITIK :
Saat Ulun Maanyan Terperangkap Pergolakan Politik 1965 
            

By: Hadi Saputra Miter

Menari karena identitas
Saya dibesarkan dikampung Haringen, sebagai seorang Maanyan asli saya dibesarkan dengan budaya Maanyan yang saya cintai. Setelah menyelesaikan pendidikan saya di Tamiang layang, saya masuk militer di Palangkaraya, saya kemudian di tugaskan di Kapuas dan menikahi seorang perawat cantik yang berasal dari Buntoi Penda Alai, kami menetap dirumah dinas tentara di kuala Kapuas. Sebagai seorang pemuda maanyan yang mencintai budayanya, saya sangat  pandai dalam menari Bawo, sehingga  banyak orang memuji kepandaian saya. Sampai pada suatu ketika saya bertemu dengan seorang seniman dari LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang diasuh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) saya sering diajak oleh seniman-seniman LEKRA menari kemana-mana dan saya diijinkan oleh kesatuan.

LEKRA (Lembaga Kebudajaan Rakjat) tahun1950an di Jakarta

Mimpi buruk itu datang
Sampai pada saat peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober) meletus di tahun 1965, semua elemen PKI dibersihkan, ditangkap ditahan bahkan ada yang kabar tersiar banyak anggota simpatisan PKI yang dibantai oleh militer di Palangkaraya. Nama saya tercantum sebagai anggota PKI karena ada nama saya dalam catatan anggota penari LEKRA yang notabene sebagai bagian dari PKI. Semua menjadi kacau istri saya dipecat sebagai perawat, sedangkan saya langsung diberhentikan dari kesatuan sebagai seorang tentara.
Saya sempat ditahan, namun karena saya memang banyak kenal tentara disitu maka saya tidak diapa-apakan sehingga sekitar beberapa bulan kemudian saya dibebaskan, kami diusir barang-barang kami dibuang diteriaki komunis anjing dan sebagainya. Semua kawan seolah menjauhi saya dan istri, walaupun saya dilepaskan namun tetap wajib lapor dan KTP saya ditandai sebagai Eks Tapol yang dianggap terlibat G/30 S (gerakan 30 September) hilanglah semua hak hidup saya sebagai seorang Warga Negara. Istri saya mengajak untuk pulang kekampung nya yaitu Buntoi, stigma sebagai PKI membuat saya dan istri terkucilkan baik digereja, ditempat keramaian sampai ngobrol-ngobrol dengan orang pun sering dicibir. Saya sering berpikir sungguh tragis nasibku hanya karena menari atas rasa bangga sabagai Ulun Maanyan, akhirnya membuat hidup saya menjadi ketar-ketir.  Tapi satu hal bahwa saya sampai kapanpun tetap cinta dan bangga sebagi seorang putra Maanyan.


penangkapan orang-orang yang dianggap anggota 
PKI (Partai Komunis Indonesia) tahun 1965an

 Ulun Ma'anyan di Antara Pergulatan Idiologi dan Seni
Peneliti Amerika A.B Hudson membenarkan bahwa sekitar tahun 1962-1964 ditengah-tengah orang-orang Maanyan terdapatnya tiga lembaga kesenian yang berafiliasi dengan partai-partai politik seperti LEKRA yang dibawah PKI, sedangkan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dibawah PNI (Partai Nasional Indonesia) dan BAKEDA (Badan Kesenian Dayak) namun yang paling aktif dalam membina kesenian adalah LEKRA.
Alm Pdt.DR Fridolin Ukur juga pernah menulis bahwa pengaruh partai PKI sangat kuat di Kalimantan, jadi pada tahun 1959 tidak aneh kalau kantung-kantung anggota PKI banyak tersebar di Barito Timur, Kahayan dan Kapuas. Secara pribadi saya menilai bahwa banyak Ulun Maanyan yang terlibat Komunis bukan karena politik tetapi karena ketidak pahaman mereka, bahkan meletusnya GESTOK sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Mereka hanya korban dari perang dingin antara dua kubu besar Komunis dan Kapitalis pada masa silam.

Sumber:

Gerry van Klinken, Colonizing Borneo: State-building and Ethnicity in Central Kalimantan.(Cornell University 2004).
Fridolin Ukur, Tuayannya Sungguh Banyak (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2002).

Korespondensi Saudari Ajarani Mangkujati Djandam dengan Alferd Bacon Hudson, di Massecusett Amerika Serikat Vie E-mail, tahun 2003
Wawancara penulis dengan Bapak Lidi Bandjeng di Buntoi Kab. Pulang Pisau, tahun 2006.
Arsip  Pidato Kawan Messer Tanggap Peleng (Sekretaris CDB PKI Kalimantan Tengah) tahun 1957.