Rabu, 03 Oktober 2012

CRISTIAN "MANDOLIN" SIMBAR ( Pahlawan Dayak yang tersisih )


CRISTIAN "MANDOLIN"SIMBAR
By
Hadi Saputra Miter



Kalimantan Tengah lahir dari pergulatan politik dan senjata
Pembentukan provinsi Dayak (Kalimantan Tengah) sebagian besar dilakukan melalui negosiasi dilakukan secara umum yang dilakukan oleh para intelektual namun juga menggunakan tekhnik bersenjata sebagai pentuk penekanan. Teknik-teknik negosiasi terpenting yang termasuk lobi langsung upaya yang ditujukan untuk Jakarta, yang didukung oleh kekuatan tersembunyi di hutan Kalimantan.  Milisi Dayak  dimaksudkan untuk menekan pihak Jakarta  ke dalam permintaan untuk sebuah provinsi Dayak dan juga untuk menunjukkan loyalitas ke Jakarta dengan membantu melawan melawan pemberontak Muslim (misalkan pemberontak Ibnu Hajar dengan Darul islamnya) gerakan ini digambarkan sebagai milisi untuk politisi di Jakarta sebagai sebuah ekspresi budaya Dayak yang unik, liar tapi setia.
Penggunaan istilah tentara lawung nampaknya juga bias dikatakan sungguh kreatif karena merujuk dalam sejarah masyarakat Ma’anyan, dimana Tentara Lawung adalah suatu Dutchsponsored (pendukung tentara belanda) "Kristen-Dayak" kelompok pada awalnya dibentuk untuk melawan penetrasi gerilyawan Sultan Banjar ke tanah Dusun dan Hulu Sungei  (merujuk pada pasukan Suta Ono). Namun kelompok ini bertransisi menuju sebuah cita-cita kemerdekaan yang otonom bagi masyarakat Dayak kelompok ini muncul aktif di Tamiang Layang dan sekitarnya pada tahun 1953.

Cristian Simbar tokoh GMTPS

Munculnya Cristian Simbar aka Mandolin
Cristian Simbar pria kelahiran desa Madara ini adalah pemimpin yang paling menonjol dari Tentara Lawung. Dia mantan sekretaris kepala distrik (wedana atau camat) di Buntok. Kota kecil di tepi sungai Dayak tanah Dusun terletak sekitar lima puluh kilometer barat laut Tamiang Layang.  Dukungan antusias dari penduduk setempat kepada Tentara Lawung lebih disebabkan kepada prakteknya, bukan gagasan atau idiologi gerakan tersebut, dimana dalam prakteknya yang bergaya seperti Robin Hood. Mereka merampok kapal dagang yang lewat dan membagikan hasilnya kepada masyarakat yang membutuhkan, dan juga untuk mereka. Tentara Lawong  merampok kapal dagang di Karau, Negara, dan terakhir di Kalahien, dekat Buntok
Mereka bertindak dengan menyamar seperti otoritas berwajib, mengenakan seragam Aparat pemerintah. Mereka selama melakukan penggerebekan yang biasanya selalu di ikuti pembagian harta rampasan. Tapi kejadian di Kalahien pada akhir tahun 1953 naas bagi mereka terlalu banyak polisi mengepung mereka, yang kemudian berakhir dengan ditangkapnya sejumlah anak buah Simbar saat merampok Kapal dagang Cina, Gin Wan II. Empat orang yang ditangkap dan ditahan adalah kerabat simbar, dan dia memutuskan untuk menyerang kembali. Awal pagi Minggu, 22, November 1953, Simbar dan ratusan pengikut Dayaknya menyerbu kota Buntok. Mereka membebaskan rekan mereka yang dipenjara, tapi dalam proses pembebasan itu mereka membunuh enam polisi, serta enam anggota keluarga polisi tersebut, termasuk tiga anak.  Kemudian kelempok ini melarikan diri dengan senjata yang di rampas dari gudang senjata polisi.
Munculnya kekuatan bersenjata yang memonopoli kekerasan kemudian banting stir untuk kepentingan politik di daerahnya. Dari pada menjadi penjahat, Simbar dan kelompoknya yang semula  terkooptasi berubah menjadi komoditas politik yang bermanfaat. Pada awalnya, milisi ini menarik perhatian kelompok-kelompok lokal yang dianggap mereka sebagai gerakan agama bukan sebagai kekuatan etnis. Dimana dayak Kristen di Banjarmasin, menilai tentara lawung sebagai sekutu potensial untuk melawan Darul Islam, yang menimbulkan ancaman bagi agama mereka. Laporan tentang serangan oleh Kahar Muzakkar dan gerakan Darul Islam terhadap umat Kristen Toraja di Sulawesi Selatan telah menyebarkan ketakutan di seluruh jemaat gereja di seluruh Indonesia. Dan di Banjarmasin, ada cabang dari Darul Islam yaitu KRJT(Kelompok Rakjat Jang Tertindas) lazim disebut Gerombolan, yang telah membuat teror dan menimbulkan korban beberapa orang Kristen dan Pendeta di Labuhan dan Pegunungan Meratus. Sehingga pada bulan November 1953, Christoffel Mihing, seorang Dayak pegawai negri sipil di Banjarmasin yang merupakan seorang Kristen taat, mengumumkan bahwa ia dan jemaatnya siap mengangkat senjata dan bertarung secara frontal untuk mendukung pemerintah Indonesia dan untuk melindungi diri terhadap konversi paksa ke Islam, oleh kelopok KRJT pimpinan Ibnu Hadjar.
Christoffel Mihing ingin mendekati "Tentara Lawung" yang dipimpin Simbar untuk merancang sebuah program "perjuangan bersama". Namun milisi Dayak "Tentara Lawung" lebih memilih perjuangan politik tanpa mengikut sertakan embel-embel agama, mereka lebih memilih perjuangan politik etnis yang mendukung terciptanya sebuah provinsi keempat, dimana orang Dayak memimpin secara otonom di Kalimantan. Sebuah isu yang sengaja mereka eksploitasi dan karena itu memang salah satu masalah pembangunan negara yang ada pada saat itu. Segera setelah serangan Buntok, pemimpin Dayak Kristen di Banjarmasin memilih untuk mendekati dan meminta perlindungan dari Gubernur Murdjani.


Dari Tentara lawung menjadi Gerakan Mandau Telawang Pancasila
Para penyerang Buntok ini telah meluncurkan nama gerakan mereka terungkap dalam surat,  yang mereka sebut Telabang Pancasila Sektor Dajak. Telabang (atau telawang) adalah perisai; Pancasila adalah ideologi nasional Indonesia, sebuah istilah yang jelas disampaikan sebagai bentuk loyalitas ke Jakarta. Para penyerang menjelaskan bahwa mereka telah termotivasi oleh keluhan masyarakat dayak, seperti ketidakpuasan mereka dengan korupsi didalam pemerintahan dan pembatalan skema saluran rawa.
Kelompok ini menambahkan (untuk menarik mata sponsor/dukungan yang potensial di Jakarta) bahwa pihaknya siap "mati untuk" Pancasila. Hari berikutnya, kelompok ini dibaptis ulang dirinya terang-terangan memperlihatkan identitas Dayak, dengan nama Gerekan Mandau Telabang Pantjasila (mandau mengacu pada pedang pendek Dayak). Ini mengumumkan bahwa pemimpinnya adalah Ch. Simbar, alias Mandolin, seorang anggota dari suku Dayak Ma'anyan. Yang paling penting, bahwa kelompok ini ingin menjelaskan oposisinya terhadap kelompok anti-Jakarta dan bukan bagian pemberontak terhadap Indonesia, seperti yang dilakukan oleh KRJT(Kelompok Rakjat Jang Tertindas), DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia) pimpinan Ibnu Hadjar.
Simbar menyatakan kelompok nya bukanlah sampah masyarakat. Dia sendiri mantan seorang pejabat pemerintah lokal, dan sekarang berbicara mewakili daerah Dayak. Pada pertemuan dan mendapat simpatik dari kalangan orang-orang Dayak pada Desember 1953 dengan sebuah delegasi berkekuatan tinggi dari tokoh-tokoh Dayak yang dipimpin oleh Bupati Barito, G. Obus. Simbar mengajukan pembelaan yang sangat ideologis atas tindakannya, dia mengatakan karena didorong oleh rasa ketidakadilan yang diderita oleh orang Dayak selama ini, serta menentang korupsi dan juga teror para kelompok pemberontak Islam pimpinan Ibnu Hadjar. Ia dan anak buahnya akan sukarela menyerahkan diri asalkan mereka direkrut menjadi polisi atau tentara, pada pertemuan ini yang hadir adalah C. Luran, ketua DPRD Barito (DPRDS, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara), dan juga B.Baboe keponakan dari mantan eksekutif Pakat Dayak.
Sebuah kesepakatan telah dibuat untuk Simbar, hari berikutnya Simbar menyerah bersama dengan 129 pengikutnya. Semua dibawa ke Banjarmasin dimana dalam pertemuan tingkat tinggi diikuti ada antara pemimpin Dayak dan wakil gubernur, wakil kepolisian, dan kejaksaan (dimediasi oleh Bupati Barnstein Babu, keponakan dari Hausmann Baboe) dimana mereka mengaku mengambil bagian dalam serangan Buntok, untuk dibebaskan dari segala tuduhan. Polisi segan untuk mengambil sikap  dengan kelompok ini, inilah yang membuat kelompok ini menjadi angkuh terhadap hukum, namun Simbar tetap ditahan dengan tuduhan perampokan terhadap kapal Gin Wan II. Namun pada pertengahan April 1954, Simbar melenggang keluar dari penahanan dan pulang kekampung halamannya
Koran “Indonesia Berdjuang” berkomentar  mencium bau tikus (persekongkolan), tapi berani tidak berani menyebutkan nama. Mereka  meyakini Simbar tidak bisa  bebas dengan sendirinya dari berbagai kasus yang seharusnya dapat menjerat nya dan kelompoknya, Para penulis mencurigai bahwa ini semua bagian dari taktik untuk melawan partai-partai Islam. Lepasnya  Simbar dari berbagai tuntutan hukum itu nampaknya telah dilakukan oleh suatu "elemen rahasia" di Banjarmasin, mereka juga mencurigai nahwa ada unsur yang sama pula telah memberinya senjata yang akan dimanfaatkan dalam pemilu.
Memang benar bahwa prospek pemilihan umum sudah menaikkan politik ketegangan di seluruh negeri pada tahun 1954, setahun kemudian akhirnya diadakan. Namun gerakan Simbar nampaknya tidak ada kaitan dengan politik pemilu. Simbar adalah pion dalam politik elit yang peduli dengan isu desentralisasi. Pada saat ini, kabinet nasional nampaknya sedang mempertimbangkan pembagian Kalimantan menjadi empat provinsi. Komite aksi Dayak yang bermunculan berdebat untuk provinsi "keempat" dimana akan meliputi Dayak Besar. Yang terbaik dari mereka akan dipilih bergabung dalam Komite untuk Saluran Aspirasi Rakyat untuk Kalimantan Tengah (Panitia Penjalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah), yang dipimpin oleh Oberlin Brahim dan M. Ismail. Saudara dari Oberlin, yaitu Timmerman Brahim, segera membentuk Partai Persatuan Daya, sedangkan Ismail adalah saudara dari pemimpin Parkindo dan hakim Banjarmasin, yaitu AD Ismail.
Pada bulan Juni 1954, Simbar kembali menjadi headline surat kabar lokal, dimana dia selalu diidentikan sebagai pemimpin organisasi bersenjata bernama Mandau, Telawang Dan Pancasila (juga kadang disebut sebagai "Mandau Telabang Kalimantan Dajak"). Dia berbasis di DAS Sungai Barito sekitar Buntok dan Muara Teweh. Dua bulan kemudian, ia dilaporkan telah berjalan 150 kilometer barat ke daerah DAS Sungai Kahayan, dimana ia dianggap memiliki "pengetahuan mistik" (ilmu). Kelompok Kaharingan dan Dayak Kristen mendesak Simbar dan kelompoknya agar bergabung dengan angkatan bersenjata yang resmi. 
Simbar mengatakan kepada pers bahwa pembentukan provinsi Kalimantan Tengah dengan cara yang "demokratis" adalah masalahnya, dan ia mengkritik upaya lemah yang telah dibuat para elit pendukung gerakannya, Simbar menuding penyebabnya utamanya adalah anggota parlemen Dayak yaitu Halmoat Koenoem, yang berada dikursi empuk Jakarta ( Anggota Dewan, yang juga orang Dayak).

Simbar gagal dalam pergulatan di pesta demokrasi
Kejeniusan Simbar terletak pada kemampuannya untuk bergerak maju mundur di antara kota dan hutan, ia memainkan peran sebagai calon pemimpin Dayak dalam pemilu sekaligus sebagai pemimpin gerilyawan bersenjata. Pada bulan Mei 1955, Simbar muncul dari hutan, ia mengambil tempatnya sebagai salah satu dari tiga kandidat teratas untuk Partai Persatuan Daya. Nampaknya orang Dayak di daerah pemilihan Kalimantan Selatan, tidak bersatu di bawah spanduk etnis dalam pemilu 1955 . dimana nampak kurangnya minat dalam keberpihakan kedalam politik regional. Douglas Miles menggambarkan tingkat dukungan terhadap politisi di pedesaan bahkan dan daerah hulu selama menjelang pemilu sangat rendah. Hal itu terlihat dimana nama dari para Calon utama dai Partai Persatuan Daya itu adalah Timmerman Brahim, Perdinand Dahdan Leiden, dan Cristian Simbar, semua berbasis di Banjarmasin.
Hasil pemilihan untuk provinsi Kalimantan Selatan parlemen sementara (DPRD Peralihan), yang diadakan tahun itu, menegaskan betapa tidak efektif etnis Dayak dalam politik elektoral. Di Kalimantan Selatan secara keseluruhan, 82 persen masuk ke dua partai Islam, Nahdatul Ulama (NU, 49 persen) dan Masyumi (33 persen). PNI (Partai Nasional Indonesia) mendapatkan 6 persen suara. Nampaknya minat dalam isu menciptaan sebuah provinsi keempat kurang gereget di politik elektoral. Apa yang dianggap sebagai kabupaten yang mayoritas didominasi Dayak Barito, Kapuas, dan Kotawaringin, partai-partai yang lebih kecil dikondisikan untuk mendukung provinsi Kalimantan Tengah, namun lesu darah dan tidak cukup untuk mematahkan dominasi dari Partai NU, Masyumi dan PNI.
Partai-partai besar memenangkan total 70 persen, masing-masing 52 persen, dan 60 persen di tiga kabupaten yang notabene kantung-kantung Dayak. Pihak-pihak yang telah secara aktif mendukung pembentukan provinsi Kalimantan Tengah yaitu Partai Persatuan Daya (Partai Persatuan Dayak), PRN, dan Parkindo masing-masing hanya mendapat porsi kecil suara. Meskipun Partai Persatuan Daya, dimana pihak Simbar sendiri bisa dikatakan tidak buruk sebagai partai debutan atau pendatang baru dikancah politik (Simbar yang meraup suara, masing-masing, 3 persen, 14 persen, dan 3 persen dari total suara di masing-masing tiga kabupaten). Namun hal ini nampanya tidak mampu membujuk Simbar untuk tinggal berlama-lama dengan partai politik dan dia memilih kembali taktik lamanya, yaitu perjuangan bersenjata.

Kekecewaan Simbar sebagai patriot yang hanya menjadi anak bawang
Perjuangan Simbar dan kelompoknya tidak sia-sia, Provinsi ke-4 "Kalimantan Tengah" akhirnya terwujud. semua berakhir dengan baik, Tjilik Riwut menjadi Gubernur dan Simbar hanya diberikan sedikit uang sebagai ucapan terima kasih dan dia mencoba peruntungan lewat bisnis. Tidak adanya bakat untuk bisnis, akhirnya membuat ia menderita kebangkrutan, dan merasa diacuhkan. Pada tahun 1961, ia kembali ke hutan, dengan masih membayangkan bahwa ia akan berhasil secara politik dengan pengalamannya berjuang (sementara yang lain nyaman menikmati kontribusi Simbar yang tanpa lelah melobi Jakarta). 
Dia telah melewati masa untuk bisa berharap menjadi gubernur setelah masa Tjilik Riwut itu berakhir, dan ini membuatnya marah. Mungkin dia tidak menyadari bahwa ia telah kehilangan pengaruh imunitas, atau kekebalan hukum yang dulu ia nikmati. Simbar membuat dianggap bocah bengal tukang bikin onar dan tidak ada isu yang membuat masyarakat tertarik dengannya. Simbar dikabarkan ditangkap dan ditahan sebagai seorang pesakitan dipenjara militer di Balikpapan, Kalimantan Timur.  Adik Simbar yaitu Damang Bubu Simbar menyesalkan dimana pemerintah melupakan kohort  (akar) mereka sendiri, dan dimana sang pejuang harus tersisih dari daerahnya. Banyak yang menduga ia mati dieksekusi oleh militer di Balikpapan. Namun semua kabar tersebut dimentahkan setelah bertahun-tahun lamanya dan nampaknya dirahasiakan oleh pihak keluarga, dimana pria bernama Cristian Simbar menyembunyikan identitasnya menjadi Suryatim AKA Pak Kasim dikatakan pihak kedokteran memiliki ciri-ciri identik dengan Simbar selama ini, dan hal tersebut akhirnya dibenarkan oleh pihak keluarganya. Bahwa Simbar diketahui meninggal dunia terkena penyakit Ghastritis Chronis berada di Nusa Tenggara Timur pada 29 Desember 1992. Dan sekarang dipulangkan ke kampung halamannya Madara. 

Sumber:


Gerry van Klinken, Colonizing Borneo: State-building and Ethnicity in Central Kalimantan. (Itaca:Cornell University, 2006).
A.B Hudson, Padju Epat: The Etnografi And Social Structur Of Ma'anjan Dajak Group In Southwestern Borneo (Michigan: University Of Microfilm, 1967).
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Jakarta, 1979).
M.Laiden, Christian Simbarku Pahlawanku Terlupakan (Palangka Raya, 2008).
KAM Usop, Pakat Dayak (Palangka Raya, 2012).





              

Kamis, 23 Agustus 2012

GEORG GERLACH (Pahlawan Injil di tanah Ma'anyan)

Georg Gerlach
by: Hadi Saputra Miter


Tukang Jilid Buku dari Lengenau
Dilahirkan Lahir di Langenau dekat kota Ulm Jerman (Württemberg / Jerman Selatan) pada tanggal 18 November 1895. Dia bekerja sebagai seorang tukang jilid buku di Lengenau, pada tahun 1920 Gerlach terpanggil dan mendaftarkan diri ke Basel Mission sebuah lembaga penginjilan yang berpusat di Swiss. Dimana setiap pemuda dilatih menjadi missionaris selama sekitar tiga Tahun, gerlach tercatat sebagai anggota dari tenaga missionaris dibawah Basel Mission dengan nomor keanggotaan : 2170.

Menikah di tempat asing
Setelah  resmi menjadi Missionaris Gerlach menjalin hubungan percintaan dengan seorang gadis  dari Karlsruh,  gadis cantik yang membuat Gerlach jatuh cinta itu bernama Hedwig Lange tepat pada Natal tahun 1925 Gerlach mengajak Hedwigh bertunangan. Tepat pada tanggal 18 oktober 1927 Gerlach diutus ke Banjarmasin oleh pihak Basel Mission, ternyata tunangannya Hedwig memutuskan untuk mendampingi sang tunangan ketempat pelayanannya di Kalimantan. Setelah tiba di Banjarmasin keduanya memutuskan menikah digereja Banjarmasin pada tanggal 25 April 1928.
Bulan madu keduanya di Banjarmasin tidak lama, sampai pihak Basel Mission yang di Banjarmasin memberi tahu Gerlach bahwa dia ditempatkan disebuah jemaat yang terdiri dari orang-orang dayak Ma’anyan tepatnya di Tamiang Layang. Pada November 1928 Gerlach dan istri menyusuri sungai Barito menuju tanah Ma’anyan. Di Tamiang Layang dan sekitarnya Gerlach berkeliling melakukan pelayanan, memimpin ibadah serta memberikan pendidikan di sekolah-sekolah Misi kepada anak-anak dayak. Sampai pada bulan November 1929 lahirlah putri pertama mereka yang lahir di tanah orang-orang dayak Ma’anyan, putri  mereka diberinama Rosalinde Gerlach.

Kedekatan Gerlach dengan jemaat membuat dia dengan mudah menguasai bahasa dayak Ma’anyan, Gerlach akhirnya memutuskan dengan jemaat dan para penatua dan daikon untuk mendirikan gereja di Tamiang Layang, hal tersebut dikarenakan Tamiang Layang sudah mulai ramai dan jalan jalur darat sudah mulai nyaman ditempuh. Maka Gereja Tamiang Layang pada 29 Oktober 1933 berdiri diiringi suka cita masyarakat dayak Maanyan yang berada di Tamiang Layang. Karena tidak sia-sia usaha dan kerja keras jemaat dan para missionaris yang saling bahu membahu mengupayakan berdirinya gereja tersebut.

Gerlach saat menangkap buaya bersama orang-orang dayak Foto diambil sekitar tahun 1930an

Kembali ke Eropa
Pada Oktober 1934 Georg Gerlach jatuh sangat sakit ternyata beliau terserang demam tinggi yang ternyata penyakit yang paling ditakuti oleh orang-orang Eropa yaitu malaria, Gerlach hanya bisa terbaring lemas ditemapt tidur, jemaat datang berganti gentian menjenguknya. Kerna sakit Gerlah yang makin serius, maka dikirimkan seorang perawat milik klinik kesehatan Basel Mission di Banjarmasin untuk merawat Gerlach, menemani Ny.Hedwig Gerlach.  Pada saat yang bersamaan, putri mereka yang kedua lahir dan diberi nama sama seperti ibunya yaitu Hedwig.

Karena kesehatan Gerlach yang tidak menentu maka Basel Mission memutuskan untuk memulangkan keluarga kecil ini kembali ke Eropa pada tahun 1935. Dari November 1935 sampai Maret 1938, Gerlach bekerja dalam pelayanan rumah misionaris di Hersfeld (Jerman Selatan). Karena kecintaan Gerlach terhadap orang-orang dayak Maanyan maka pada tanggal 14 September  1938 Gerlach dan istrinya dengan seijin Basel Mission kembali ke Tamiang Layang dan kembali melayani jemaat disana. Hanya saja ke dua  anak perempuan mereka tidak diikutsertakan, namun dititipkan di Panti asuhan yang dikelola oleh pihak Basel Mission yang berada di komplek Basel Mission di Basel Swiss, kedatangan Gerlach dan istri disambut suka cita oleh masyarakat dayak Ma’anyan yang berada di Tamiang Layang.

 putri Gerlach yang ditengah memegang palungan, saat merayakan Natal di rumah yatim piatu milik Basel Mission di Swiss foto diambil sekitar akhir tahun 1939an

Berpisah dengan orang yang di Cinta
Berita tentang perang tersebar sampai ke Tamiang Layang hal itu membuat Gerlach waspada, tahun 1940 pecah perang dunia ke II keadaan Eropa menjadi kacau pasukan SS NAZI-Hitler  dari Jerman mengguncang Eropa, dimana Eropa termasuk Negara Belanda juga jatuh ke tangan kekuasaan Fasis Jerman. Belanda yang saat itu penguasa wilayah Indonesia mengambil tindakan dengan menangkap dan mengintenir (menahan) orang-orang Jerman Termasuk Gerlach dan istri di Kandangan. Seakan mendung menghampiri Gerlach dan istrinya. Saat Gerlach penahanannya dipindahkan ke Ngawi Jawa Timur, Ny Gerlach dipisahkan dari suaminya beliau dikirim ke Banyu Biru. Keduanya yang sejak awal tidak pernah berpisah, kini harus berpisah sungguh saat-saat yang berat yang harus dialami  Gerlach. Berkat lobi dan batuan dari pihak kosul Swiss sehingga Ny Gerlach dan istri-istri missionaris lainnya, diserahkan kepihak Jepang (dimana pada saat itu Jerman-Jepang-Itali merupakan sekutu saat perang dunia ke II) sehingga Ny Gerlach dikirimkan ke Jepang pada Juli 1941. Sedangkan nasib Gerlach dan para missionaris lainnya harus pontang-panting dari penjara ke penjara, dimana dari Ngawi Gerlach dipindahkan ke penjara yang dianggap lebih aman yaitu Kuta Cane di Sumatera. Demi keamanan dan untuk menekan pihak Jerman dan sekutunya, maka pihak Belanda sadar kalau tawanan mereka setiap saat bisa saja direbut oleh pihak Jepang untuk keamanan. Maka para penginjil berwarganegara Jerman dikirim ketempat yang paling aman, yaitu wilayah kekuasaan dari sekutu Belanda yaitu Inggris dengan wilayah jajahannya yaitu  India. Maka Gerlach dan para penginjil Jerman lainnya dikirim ke India.


Kisah cinta yang tetap bertahan
Baik Ny Gerlach maupun Gerlach, keduanya tidak bisa kemana-mana hal itu diakibatkan intensitas perang dunia yang makin lama makin meningkat. Ny Gerlach tertahan di Jepang sedangkan Gerlah tertahan di India tepatnya di Bombay (sekarang Mumbay). Adanya kabar bahwa Basel Swiss akan di bom saat perang membuat Gerlach menghawatirkan keadaan kedua putrinya, hanya berdoa ke pada Kristus agar segala putri dan istrinya selamat. Tak ada transportasi yang berani mengantarkan ke Swiss karena perang yang sedang berkobar dipenjuru dunia baik di Eropa maupun di Asia. Setelah perang usai pihak Inggris mengijinkan Georg Gerlach pulang ke Eropa pada November 1946. Begitu Jepang sudah dikuasai pihak Amerika maka Ny.Gerlach pun dipulangkan juga ke Eropa pada Januari 1947.

Suasana mengharu biru Gerlach akhirnya bertemu dengan istri dan anak-anaknya di Basel Swiss, semuanya menangis berpelukan ujian dan cobaan akhirnya berlalu. Ternyata pengasihan Tuhan tidak pernah berlalu dan meninggalkan Gerlach sekeluarga. Gerlach sekeluarga akhirnya menetap di Grötzingen  dan Gerlach menghembuskan nafas terakhir tak lama setelah Natal tepatnya 29 Desember 1966 dan dimakamkan di Grötzingen dekat Karlsruhe Jerman. Sedangkan istrinya Hedwig Lange Gerlach meninggal dunia pada tanggal 05 Juli 1969 dimakamkan didekat makan suaminya.

Semangat Gerlach masih hidup
Gerlah dan istrinya telah memberi sumbangan yang besar terhadap orang-orang Maanyan di Tamiang Layang dan tidaklah heran maka sebenarnya ketua resot pertama di Tamiang Layang bisa dikatakan adalah Gerorge Gerlach. Berdirinya gereja Palanungkai adalah prakarsa beliau dibantu oleh Trostel dan Wailer, kecintaanya terhadap jemaat di Tamiang Layang lah yang membuat Gerlach kembali. Terima kasih banyak G.Gerlach, seluruh jemaat Kristen Dayak Maanyan bangga dan berterima kasih kepada anda dan kami yakin, semangat Gerlach tetap hidup di Gereja Palanungkai Tamiang Layang dan disetiap dentang lonceng gareja yang memanggil jemaat pada hari minggu.


Senin, 13 Agustus 2012

PENGINJIL DITANAH MAANYAN:(GUSTAV TROSTEL)


 GUSTAV TROSTEL
by:
Hadi Saputra Miter

Dari Eropa ke Tanah Maanyan
Gustav Trostel, laki-laki ini lahir di Horrheim sebuah kota kecil di Jerman, dia bekerja sebagai seorang tukang jahit pakaian Horrheim, sampai pada suatu saat dia terpanggil untuk mengabarkan injil ke Kalimantan.  Dia datang Basel swiss dan mendaftarkan diri untuk menjadi missionaris atau lazim disebut dengan Zending.
Dia mendaftarkan dirinya ke Basler Mission pada tahun 1926, dengan no anggota yang tercatat di Basler Mission 2320, kemudian menjalani pendidikan Alkitab agar  bisa menjadi bekalnya selama mengabdi untuk Tuhan. Trostel menikah dengan seorang wanita cantik bernama  Dunkel Emmy, pada awal tahun  1933 Trostel mendapat tugas yaitu sebuah tempat di Asia yaitu wilayah Hindia Belanda, tepatnya pulau Kalimantan. Trostel sendiri mendapat informasi mengenai banyak Penginjil yang tewas akibat pecahnya perang banjar masa lalu namun itu tidak menyurutkannya untuk berangkat ke Kalimantan.

Gustav Trostel dan istrinya Emmy Dunkel  1932

 Melayani Allah Di Tanah Ulun Maanyan
Dalam pelayanannya dia mendapat tugas untuk melayani dengan medan pelayanan di wilayah orang-orang Maanyan setelah ditinggalkan oleh para penginjil dari Missionaris Barmen yang harus, gulung tikar akibat perang dunia I. Trostel bersama para penginjil lain seperti Gerlach dan Wailer mereka berkeliling berganti-gantian melayani wilayah maanyan dengan inisiatif mereka jugalah, agar memindah gereja yang ada di Beto ke Tamiang Layang dengan alasan Tamiang Layang labih ramai dan akses jalan darat sudah bisa terbuka dengan baik, nampaknya mereka belajar dari kota-kota di Eropa apabila tempat akan maju apabila akses jalan sudah terbuka. Sedangkan Beto dari segi Jemaat hanya sedikit dan akses jalan yang sulit sehingga nampaknya stasi di Beto harus ditutup dan diserahkan kepada penetua daikon setempat namun tetap dikunjungi.

Schweizers, Trostels, Kühnles, Röders, Weilers. saat tiba di Kalimantan tahun 1933


Malapetaka itu datang, pada tahun 1940 pecah perang dunia ke II keadaan Eropa menjadi kacau pasukan SS NAZI-Hitler  dari Jerman yang lazim disebut dengan serangan  blitzkrieg (serbuan kilat) mengguncang Eropa, dimana Eropa termasuk Belanda juga jatuh ke tangan kekuasaan Fasis Jerman. Blanda yang saat itu penguasa wilayah Indonesia mengambil tindakan dengan menangkap dan mengintenir (menahan) orang-orang Jerman Termasuk Trostel serta Gerlach dan Wailer yang di tahan di Kandangan.
Gereja tidak bisa bertindak apa-apa situasi benar-benar kacau, kecuali mencoba melakukan lobi-lobi diplomatis dengan bantuan konsul Swiss, namun hal tersebut tidak mudah karena di Eropa perang sedang berkecamuk. Trostel dipindahkan penahanannya ke Ngawi Jawa Timur dipisahkan dari teman akrabnya Gerlach dan Wailer yang tetap di Kandangan, mereka berpelukan berurai air mata sambil berjanji untuk saling mendoakan. Namun mereka bertemu kembali di Kutacane Sumatra, karena semua tahanan dikumpulkan disana.

 Semangat Trostel Tak Pernah Berakhir
Pada pagi 7 Desember 1941 Pearl Harbor pangkalan tempur Amerika di Hawaii diserang dari udara oleh pasukan Jepang, maka Jepang mayakinkan diri untuk mendatangi Asia termasuk Indonesia. Kontak senjata antara pihak belanda dan Jepang tidak bisa dihindari lagi, Jepang dating dengan kekuatan tempur yang hebat. Atas dasar terdesaknya pihak Belanda maka diusulkan agar para penginjil Jerman yang ada di Kutacane agar dipindahkan ke India wilayah kekuatan Inggris.
Kembali tiga sekawan ini dipisahkan, Gerlach dan Wailer dikirimkan ke India terlebih dahulu ikut rombongan pertama naik kapal, sedangkan Trostel harus menunggu kapal penganggut berikutnya. Tiba giliran Trostel dan beberapa penginjil berdarah Jerman dari wilayah lain diberangkatkan, pada tanggal 18 Januari 1942 nasib naas menimpa mereka kapal yang mereka tumpangi, kapal tersebut karam di bom oleh pesawat tempur Jepang yang mencurigai adanya pergerakan kapal belanda. Trostel harus menutup matanya dan mengakhiri tugas dan panggilanya sebagai seorang hamba Tuhan didunia, dia harus kembali kepada penciptanya. Trostel dan beberapa penginjil lainnya dalam kapal tersebut harus tewas secara mengenaskan. Namun perjuangan Trostel tidaklah habis begitu saja, dia juga telah banyak membantu pembinaan pelayanan, Pembangunan Gereja Tamiang layang dan pendidikan bagi orang-orang ma’anyan agar keluar dari kebodohan terima kasih Gustav Trostel.

Sabtu, 04 Agustus 2012

TOKOH MA'ANYAN ( 2 ) Pdt. MARDONIUS BLANTAN


PDT. MARDONIUS BLANTAN
( Pendeta Ma’anyan Pertama )
by
Hadi Saputra Miter

Mardonius Blantan lahir di Tamiang Layang pada tanggal 13 Mei 1904, beliau sendiri adalah anak ke dua (2) dari tujuh (7) orang bersaudara, orang tua beliau bernama Albert Blantan adalah seorang guru lulusan Seminari Depok Betawi dan menjadi Demang Kepala adat sekaligus Kepala Daerah Dusun Timur, Tamiang Layang dan ibu beliau bernama Katarina
yang mempunyai anak sbb:
1. Elisabet
2. Mardonius
3. Hermine
4. Emilia
5. Emanda
6. Esra
7. Jeremia

Albert Blantan ayah dari Mardonius Blantan seorang guru di Bagok Foto koleksi Basel mission tahun 1920

Beliau menimba pendidikan di Seminari Banjarmasin, kemudian menjadi guru dan mengajar di Standar School Tamiang Layang dari tahun 1924 sampai dengan 1932.
Pada tahun 1932 guru-guru lulusan Seminari Banjarmasin kembali di panggil oleh pihak Zending dari Banjarmasin, termasuk Mardonius yang akrap di panggil Donis. Beliu berangkat dari Tamiang Layang menuju ke Banjarmasin dan di masukan ke sekolah Teologi Banjarmasin yang  dipimpin oleh Missionaris Epple, untuk menjadi pendeta dari Gereja Dayak Evangelis (GDE). 
 Seminari Banjarmasin tempat sekolah pendidikan guru tempat Mordonuis Blantan menimba ilmu pada tahun 1920an


Pendidikan di Sekolah Teologi Banjarmasin berlangsung selama 3 tahun. Pada tanggal 5 april tahun 1935 bertepatan dengan perayaan 100 tahun ( Jubelium ) pekabaran Injil ditanah Kalimantan, maka di tahbiskanlah lima orang pendeta pribumi pertama yaitu:
Eduard Dohong
Gerson Akar
Hernald Dingang
Mardonius Blantan


Pentahbisan pendeta GDE pertama di Barimba Kuala Kapuas : Rudolf Kiting, Eduard Dohong, Gersom Akar, Hernald Dingang Patianum, Mardonius Blantan.  dan penginjil Basel Swiss : H. Witschi, S.Weisser, E.Kühnle, G.Weiler, K.Epple




Beliau menikah dengan Wihellie Anggen yang setia mendampinginya dalam tugas dan pelayanan. Kemudian beliau ditugaskan menjadi pendeta di desa Tewah Pupuh yang meliputi daerah:
1. Banua Lima
2. Tabalong
3. Hulu Sungai

Pada tahun 1940 pecah perang dunia ke II keadaan menjadi kalut dan kacau, diserbunya Eropa oleh pasukan NAZI-Hitler  dari Jerman yang lazim disebut dengan blitzkrieg (serbuan kilat) mengguncang dunia, dimana Belanda juga jatuh ke tangan Jerman. Seketika itu juga Blanda yang merupakan pemerintah colonial dari wilayah Indonesia saat itu mengambil tindakan dengan menangkap dan mengintenir (menahan) orang-orang Jerman, termasuk para Missionaris walaupun mereka orang Swiss namun mereka berbahasa Jerman, sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap Jerman. Termasuk saat itu penginjil Gerlach di Tamiang layang beserta istri di tangkap dan diangkut, sehingga kosonglah pelayanan di Tamiang layang.
Maka Mardonius Blantan datang dari Tewah Pupuh menuju ke Tamiang Layang, untuk membantu pelayanan yang kosong ditinggalkan akibat penangkapan tersebut. Beratnya tugas yang dihadapi beliau sehingga tugas beliau akhirnya di bantu oleh para “pambarita” penginjil local yang di perbantukan:
  • Daerah Banua Lima   : Johan Migang
  • Daerah Tabalong       : Mursalim
  • Paju Epat                  : Rodolf Bukit dan Andros Susi
  • Tamiang Layang        : Abel Sanggen
  • Paku Karau               : Alfrit Halim
Mardonius Blantan dan istrinya Wihellie Anggen

Pada tahun 1957 beliau kembali dipanggil ke Banjarmasin untuk menjadi Bapak Asrama di Sekolah Teologia dan menjadi pengajar di Akademi Teologia sampai masa emeritus (pensiun). Karena kecintaan beliau terhadap kampung halamannya, beliau saat pensiun tetap memutuskan untuk Kembali lagi ke Tamiang Layang, dan tetap bertugas sebagai pendeta serta mengajar Pelajaran Agama Kristen di SMP dan SMA.

Pada tanggal 14 juli tahun 1980 pendeta pertama dayak Maanyan itu akhirnya menutup mata, beliau merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dan dihormati, baik Mardonius Blantan dan keluarga besar Blantan merupakan primus inter peres bagi kekeristenan di Tamiang Layang.
 peristirahatan terakhir pendeta dayak maanyan pertama



Jumat, 20 Juli 2012

KEKERABATAN ULUN MAANYAN


 KEKERABATAN DAN PERNIKAHAN ULUN MAANYAN
BY
Hadi Saputra Miter

Keluarga Ma'anyan tahun 1950

Ulun Manyan pada umumnya menganut system ambilinieal untuk menghitung system kekerabatannya. Dimana system ini yaitu menghitung runut keluarganya dari pihak laki-laki. Dalam aturan ulun Ma’anyan pernikahan yang dianggap tabu adalah pernikahan tutur sumbang (incest) kalau itu terjadi maka itu dianggap aib maka aka nada sangsi adat dan sangsi sosial. Untuk sangsi adat pada masa lalu yaitu disuruh merangkak dan makan di dulang (tempat makan babi) dan sangsi sosial maka ia akan dijauhi oleh masyarakat dan menjadi bahan gossip. 

Tidak memanggil nama.
Antropolog Judith Hudson (Waiting durian Drop, Pelham Massecusate 2001. hal 24), menemukan keunikan dalam sistem norma kesopanan orang Maanyan dalam pemanggilan nama :

Ulun Ma'anyan enggan untuk menggunakan nama pribadi kepada orang yang sudah dewasa . norma kesopanan memutuskan bahwa seseorang menggunakan istilah kekerabatan dalam berbicara tentang orang lain. Ulun Ma'anyan menghindari memanggil teman dan tetangga mereka dengan nama langsung. Bentuk yang dikenal oleh para antropolog sebagai teknonim/ teknonimik – dengan mengambil nama dari anak tertua seseorang, sehingga seorang wanita menjadi "ibu dari ...." (Tu atau Ineh-diikuti nama anak tertua); seorang pria, "Bapak dari ...." (Pa- diikuti nama anak tertua). Ketika anak-anak tumbuh untuk memiliki anak mereka sendiri, seseorang akan disebut “Nenek (Nini-paju 4, Itak-kampung 10) dari” atau “Kakek (Kakah) dari”. Namun bagi orang luar, sistem teknonimik memiliki kelemahan (dalam artian sulit dipahami).

Penamaan orang dengan cara demikian berfungsi untuk menggarisbawahi divisi atau keturunan agar menjadi lebih jelas. Karena teknonim tersebut menandai perubahan status seseorang, hanya orang yang memiliki anak yang dianggap mencapai status dewasa sejati dalam komunitas; sama halnya, rasa hormat karena orang yang dituakan dengan ditandai oleh sifat kakek dan Nenek. Orang yang tidak menikah maka akan terjebak dalam masa kanak-kanak yang abadi, dimana konsokuensinya  yaitu,  keberadaannya tidak pernah diberi pengakuan secara benar. Pasangan yang tidak subur biasanya mengadopsi seorang anak, seringkali dari saudara kandung yang lebih beruntung, dari sana mendapatkan gelar ibu atau ayah mereka dan mendapat nama teknonim mereka.
 



Diagram kekerabatan ulun Ma'anyan

Begitu pula kalau ada yang memiliki anak diluar nikah maka akan disebut dengan Ngampang, hal tersebut juga sangat memalukan sehingga akan dikenakan sangsi social dan adat juga. Dalam pergaulannya muda-mudi dipersilahkan untuk bergaul namun tetap saja didalam pengawasan dari orang tua. Kalau ketahuan berdua-duaan ditempat sepi dan diluar kewajaran maka akan didanda atau juga biasa disebut dengan wuah sihala atau dipaksa menikah dihadapan tetua adat.

Wanita adalah sesuatu yang berharga
Untuk mendapatkan seorang gadis bukan hal yang gampang, seorang laki-laki harus membawa orang tua dan walinya (asbah) untuk menanyakan kesediaan orang tua si gadis. Untuk bisa menuju pelaminan yang pemuda diminta menyediakan jujuran (mas kawin), dan juga bersedia untuk memberikan hadiah kepada kaka dari sang gadis sebagai ijin melewati (pinangkahan). Serta tidak lupa menutup kepala (tutup huban) kepada nenek atau kakek sigadis sebagai lambang penghormatan terhadap orang tua.
 Pernikahan Ulun Ma'anyan tahun 1938 foto koleksi Basel Mission


Pernikahan modern Ulun Ma'anyan


Namun ada juga perkawinan yang mengambil jalan pintas yaitu ijari (kawin lari) laki-laki dan perempuan persama-sama memutuskan untuk dinikahkan kepada tetua adat yang berpengaruh. Namun ijari bukan berarti keduanya sudah sah, keduanya tetap belum sah sampai diapnggil kedua orang tua wali dan menyepakati pernikahan kedua muda-mudi ini.

Pergeseran makna
             Diera modern system kekerabatan ulun Maanyan juga terjaga dengan baik, walaupun karena berjauh-jauhan kadang antara sepupu-dengan sepupu, bisa tidak saling mengenal dengan akrab lagi. Baru saling mengenal kalau ada event-event keluarga seperti perkawinan, sukuran, atau bahkan kematian.