Minggu, 24 Juni 2012

UPACARA WARA TUNTUNAN MENUJU DUNIA PENANTIAN DAYAK LAWANGAN


UPACARA WARA
TUNTUNAN MENUJU DUNIA PENANTIAN
DAYAK LAWANGAN
By:
HADI SAPUTRA MITER


Panitia Upacara Wara yang dilaksanakan di Tamiang Layang Tahun 2012

Kematian sebagai transisi menuju keabadian
Suku dayak Lawangan sangat menghargai kepercayaan para leluhur mereka, antara lain dengan melaksanakan ritus kematian. Orang dayak Ngaju memahami kematian sebagai pintu gerbang masuk ke negeri arwah yang sangat luhur, yaitu negeri dan kediaman asal para leluhur mereka. Pemahaman ini sejajar dengan pemahaman suku Dayak Lawangan khususnya pada acara ritus kematian. Sehingga ritus kematian yang dilakukan oleh keluarga yang meninggal sangatlah menentukan keadaannya di alam baka, apakah Ia tinggal di negeri yang penuh dengan kemakmuran, kekayaan, keindahan serta terbebas dari penderitaan hidup dan bertemu kembali dengan para leluhur, ataukah rohnya akan menjadi arwah gentayangan yang menggagu kehidupan.

Peti mati Orang lawangan tahun 1900
Foto koleksi: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Belanda

             
Mang Nuhur sebegai pengharapan akan ke-akanan
Sebelum peristiwa Mang Munur, suku Dayak Lawangan tidak mengenal adanya kematian sebab menurut kepercayaan mereka, apabila seseorang sudah tiba pada saatnya maka Ia akan menghilang dengan sendirinya atau langsung berpindah ke negeri keluhuran, untuk mengetahui saatnya telah tiba biasanya pada setiap orang yang berbeda-beda dan Ia akan menyatakan perasaannya itu kepada seluruh keluarganya. Seluruh keluarga dan Ia sendiri menyiapkan segala sesuatu untuk perpisahan dengan yang akan berangkat dan yang ditinggalkan. Namun, setelah peristiwa Mang Munur proses kematian suku Dayak Lawangan menjadi berbeda.
            Diceritakan tentang Mang Munur, Ia adalah seorang yang serba berkecukupan , mempunyai kekayaan yang melimpah, mempunyai hamba sahaya, dan mempunyai tujuh orang istri. Namun Ia sama sekali tidak puas dengan apa yang Ia miliki, sebab Ia yakin bahwa sesungguhnya kepuasan hidup Ia dapatkan dalam Tumpuk Tatau atau Tumpuk Adiau. Semua orang yang telah pergi ke sana tidak ada yang kembali pulang ke bumi lagi, hal inilah yang menjadi bukti bahwa di sana kehidupan yang menyenangkan. Memang diakui bahwa ada dunia kekinian dan dunia seberang (Tumpuk Tatau artinya negeri yang kaya raya atau Tumpuk Adiau artinya negeri para arwah), tempat itu dikenal dengan nama Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan. Itu merupakan satu tempat yang menyenangkan sebab tidak ada lagi penderitaan dalam hidup untuk mendapatkan suatu kebahagiaan, kerena di sana semua yang diinginkan telah tersedia tanpa bersusah payah untuk mencarinya.
Didasarkan pada rasa penasaran tersebut maka Mang Munur memerintahkan pada ketujuh istrinya untuk mencari harta Katatau Matei yang pada saat itu dimiliki oleh Jawa Ilang. Uniknya benda yang dinamakan Tajau Wura Tajau Inso (nama bagian dari harta katatau matei) ini ketika Mang Munsur mencobanya dapat membuat aliran sungai menjadi kering, pohon menjadi mati. Betapa senang hati Mang Munur ketika melihat hal tersebut, Ia segera menyuruh ketiga istrinya supaya meletakkan benda tersebut ketubuhnya dan mereka meletakkannya di kaki Mang Munur, ketika itu juga kakinya menjadi mati dan Ia meminta ketujuh istrinya supaya mereka melanjutkannya pada bagian-bagian tubuhnya yang lain hingga akhirnya Ia mati. Sejak itulah dikenal istilah kematian pada kalangan suku Dayak Lawangan.
            Dari uraian di atas, kematian merupakan pintu gerbang ke negeri yang sangat luhur oleh sebab itu baik hidup maupun mati menurut alam pemikiran Dayak Lawangan, penuh dengan tantangan dan kesengsaraan, dan kepercayaan Dayak Hindu Kaharingan memberikan jalan keluar untuk melepaskan diri dari kesengsaraan itu. Keharusan mutlak yang diwajibkan oleh agama mereka bahwa tiap-tiap orang yang meninggal, harus diadakan upacara untuk mengantarkan orang yang meninggal dari alam yang fana ini ke alam yang baka, yaitu dengan upacara Wara.

Mengantarkan Kedunia Keabadian Dengan Wara
Pelaksanaan upacara Wara bisa langsung dilakukan setelah seseorang meninggal, apabila dari pihak keluarga mampu untuk melaksanakannya, Tetapi apabila dari pihak keluarga tidak mampu untuk melaksanakan upacara wara pada saat itu juga maka bisa ditunda sampai pihak keluarga mampu melaksanakannya.
Upacara wara terbagi atas 6 tingkatan, yakni:
1.      Wara satu malam satu hari.
2.      Wara tiga hari tiga malam.
3.      Wara lima hari lima malam.
4.      Wara tujuh haru tujuh malam.
5.      Wara sembilan hari sembilan malam.
6.      Wara empatbelas hari empatbelas malam.
Dalam upacara Wara tergantung pada kemampuan dari pihak keluarga yang meninggal, bila pihak keluarga sudah melaksanakan wara satu hari satu malam maka pihak keluarga sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepa arwah yang meninggal sebab rohnya sudah berkumpul dengan sanak saudaranya yang terlebih dahulu sampai ke Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan. Namun, dikemudian hari apabila dari pihak keluarga punya kemampuan untuk melaksanakan wara yang lebih besar dari satu hari satu malam, bisa dilakukan oleh bihak keluarga yang meninggal. Setelah pihak keluarga telah melaksanakan wara empatbelas hari empat belas malam, akan tetapi mereka masih punya kemampuan dikemudian hari maka bukan wara lagi sebutannya akan tetapi pesta ulang tahun bagi sang arwah.
Pada umumnya dikalangan Dayak Lawangan yang masih beragama Kaharingan, begitu ada salah satu dari anggota keluarganya yang meninggal, mereka langsung melaksanakan wara satu hari satu malam karena biayanya tidak terlalu besar. Upacara wara biasanya biasanya berpusat di rumah atau bisa juga di Balai oleh sebab itu keluarga yang meninggal sangat sibuk bekerja demi kelancaran upacara Wara yang dilakukan.
Dalam urut-urutan pelaksanaan upacara Wara yang dilakukanoleh suku Dayak Lawangan, dimulai dari kematian sampai pada upacara mengantar arwah atau roh orang yang sudah meninggal ke negeri keluhuran, maka akan telihat adanya dua tokoh yang sangat penting, yakni Balian Wara dan Luying Buyas.


Orang lawangan tahun 1900
Foto koleksi: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Belanda

Balian Wara sebagai penunjung jalan menuju swarga loka
Balian Wara mempunyai kedudukan sebagai pemimpin puncak adalah sangat penting untuk menentukan kelancaran tugas untuk mengantar arwah atau roh orang yang sudah meninggal karena kedudukannya sebagai pendeta atau imam, yaitu perantara antara hubungan manusia dengan Yus Allatala ( sosok pencipta/Tuhan istilah Lawangan), tidak semua orang bisa menjadi Balian Wara serta mengerti tentang tata cara memanggil roh orang mati maupun mengantar roh si arwah ke negeri keluhuran. Seseorang yang mendai Balian Wara merupakan keturunan langsung dari Balian Wara sebelumnya, biasanya Ia mengalami kemasukkan roh dari nenek moyangnya yang sebelumnya menjadi Balian Wara, setelah Ia mengalami kemasukkan Roh nenek moyang itulah Ia menjadi seorang Balian Wara.
Balian wara tidak bisa mengantar arwah atau roh orang yang meninggal langsung sampai ke negeri keluhuran sebab sangatn berbahaya untuk keselamatan jiwanya sendiri, apabila Ia memaksakan diri untuk mengantar hingga sampai ke negeri keluhuran maka dapat dipastikan Ia akan mati karena rohnya tidak dapat kembali ke dunia, sebab tidak ada roh yang berada di negeri keluhuran yang mau mengantar rohnya kembali ke dunia. Balian Wara hanya bisa bisa mengantar roh orang yang menionggal tersebut sampai ke puak katar saja dan seterusnya dipimpin oleh Luying Buyas sehingga sampai ke negeri keluhuran. Luying Buyas sendiri adalah jelmaan dari roh beras, Ia digambarkan sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa dan Ia selalu berjalan dibarisan terdepan dalam rombongan semenjak mulai berangkat untuk mengantar arwah atau roh orang yang meninggal.
Luying Buyas melanjutkan perjalanan bersama roh orang yang meninggal tersebut di mulai dari Puak Katar, untuk melanjutkan perjalanan sang arwah sehingga sampai ke negeri keluhuran dan menyerahkannya kepada pikah keluarga yang telah mendahuluinya serta kepada seluruh masyarakat roh yang berada di negeri keluhuran. Dalam acara penyerahan roh sang arwah digambarkan seolah-olah ada pertemuan antara yang meninggal dengan arwah-arwah yang meninggal terlebih dahulu, disamping pertemuan tersebut, Luying Buyas secara resmi menyerahklan arwah yang diantarnya supaya dapat diterima keberadaannya di negeri keluhuran, setelah penyerahan selesai maka Luying Buyas pun berpamitan kepada mereka untuk kembali ke Puak Katar dimana Balian Wara menunggunya. Menurut mereka apabila seseorang tidak dapat berkumpul dengan kelurganya yang terlebih dahulu meninggal setelah Ia meninggal dunia maka Ia telah melakukan suatu kesalahan yang tidak dapat terampuni.
      Upacara Wara dalam kepercayaan Kaharingan juga berarti pembebasan baik bagi yang masih hidup ataupun bagi yang sudah meninggal. Bagi yang meninggal pembebasan dari penderitaan dan kesengsaraan sedangkan bagi yang masih hidup pembebasan dari malapetaka, penyakit, terhindar dari bencana, kemiskinan dan lain-lain.



Sabtu, 23 Juni 2012

ALFRED B.HUDSON DAN JUDIT M.HUDSON "PENELITI DAYAK MA'ANYAN"

ALFRED B.HUDSON 
DAN 
JUDIT MURDDOCK HUDSON
 ( PENELITI DAYAK MA'ANYAN )
by:
Hady Saputra Miter




Mengenal Al dan Judy
   Alfred Hudson dengan panggilan akrab Al, seorang peneliti asal Amerika serikat (US) jurusan antrophologi  dari Cornell University mendalami tentang masyarakat dayak Ma’anyan dengan judul penelitiannya PADJU EPAT :The Etnography And Social Structure Of A Ma’anyan Dajak Group In Southeastern Borneo yang di Sponsori oleh Ford Fundation yang berpusat di Manhhatan New York Amerika Serikat.
    Alfred Bacon Hudson lahir di Amerika tanggal 6 Januari 1932, kuliah Antrophologi di UC Berkeley dan melanjutkan kuliahnya guna mendapat gelar PHD di Cornell University jurusan Antropologi South Asian Studies khusus bidang kebudayaan Indonesiai di Itaca New York. Dan mendapat gelar Frofesor Antropologi dari UMASS Amherst.
   ketertarikan Al dengan kebudayaan dayak dimulai saat ia membaca artikel tentang dayak Siang yang ditulis oleh Jhon. H. Provinse yang berjudul "Cooperative Ricefild Cultivation Among The Siang Dajak of Central Borneo"  terbitan tahun 1937 Oleh American Anthropologis, dari situ Al mulai tertarik membaca beberapa group komunitas dayak di sepanjang aliran sungai Barito. dari tulisan itu pula banyak Al menemukan artikel tentang Kanibalisme dan Perburuan kepala ( Ngayau ) sehingga rasa penasarannya betul-betul menguat. ternyata Perburuan kepala justru tidak Al temukan dalam struktur Budaya Ma'anyan di kemudian hari.
   Tahun baru 1963 Al dengan Istrinya berangkat ke Banjarmasin, di kota itu Al mendatangi Teologi Seminary Gereja Kalimantan Evangelis (STT-GKE) guna mendapatkan data awal dan disitu pula dia menemukan data tentang Dayak Maanyan. yang dikatakannya " I Obtaind my first data on the Ma'anyan from my frend at the Seminary" dari data yang saya temukan teman yang Al maksud adalah bapak Fridolin Ukur.


Judith Murddock Hudson
istri Al Hudson

Kedatangan ke Paju Epat
    Dengan data yang ia miliki Al dan istri berangkat ke Palangka Raya, disanalah Al berkenalan dengan seorang pejabat Provinsi bernama Kristian Njunting. hasil perkenalan itu Kristian Njunting mereomendasikan agar Al memperkecil ruag lingkup penelitiannya kepada masyarakat Paju Epat yang berpusat di Telang. bertepatan pula bapak Njunting ternyata berasal dari Telang dia membantu Al dengan membuat surat pengantar untuk keluarganya di Telang agar menerima Al dan istri.
   Al kembali ke Banjarmasin guna mempersiapkan perbekalan termasuk imunisasi Kolera. dari Banjarmasin Al dan istri ikut kapal sungai dengan rute Banjarmasin-Puruk Cahu, dan mereka singgah di desa Bingkuang melanjutkan perjalanan menggunakan kapal motor kecil (Kelotok) setelah melalui negosiasi, mengingat perjalanan sepanjang 15 Km menuju telang melewati sungai.
kedatangan Al ternyata bertepatan dengan upacara Ijambe (ijame) yang dilaksanakan selama 9 hari 9 malam.

Ford Fondation sponsor penelian 
Al. Hudson dan Judy Hudson 
selama di Indonesia



Menyesuaikan diri di tanah Ulun Ma'anyan.

    Judit M Hudson (Judy), menggambarkan keadaan mereka di Telang :

"Kami sekarang bangga sebagai pemilik satu-satunya toilet di Telang, Rumah tempat kami tinggal memiliki konstruksi rangka kayu dengan atap sirap, dibangun tiga meter diatas tanah. Ada ruang depan yang besar, yang kita gunakan sebagai tempat hidup dan menulis, dan dua kamar kecil di belakang, salah satunya berfungsi untuk  gudang penyimpanan, yang lain yang benar-benar diisi dengan tempat tidur kami ber kanopi kelambu. Dapur adalah ruangan dengan konstruksi lebih kecil  dibangun ke satu samping. Saya baru saja mulai dapat memahamkan cara bekerja di dalamnya. Meskipun perempuan lokal memasak dengan kayu api, namun saya telah menggunakan sebuah kompor minyak tanah kecil, yang  kami beli di Hong Kong, dan saya sangat bersyukur memilikinya. Kami mulai merasakan kesulitan hidup di daerah, bahkan setelah baru beberapa minggu. Ikan yang orang  tangkap hanya cukup untuk rumah tangga mereka sendiri, dan tidak ada satu pun untuk dijual kepada kami untuk pasokan reguler."

   Satu tahun lebih mereka berada di antara orang-orang Ma'anyan, mereka mencatat sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem berfikir, dan tradisi masyarakat tersebut secara lengkap dan akurat. Sehingga tulisan Hudson bisa dianggap sebagai tulisan terlengkap mengenai dayak Ma'anyan khususnya Paju Epat, Al Hudson meggunakan tulisannya sebagai bahan tesis Doctoralnya untuk Cornell University di Itaca New York, yang diberi judul PADJU EPAT: The Etnograpy And Social Structur Of Ma'anyan Dajak Group In Southeastern Borneo
  Tulisan tersebut juga melahirkan sebuah buku yang sangat-sangat di minati di dunia Antropologi yang berjudul:

Padju Epat: The Ma'anyan of Indonesia Borneo



THE BARITO ISOLECTS OF BORNEO: 
A Classification Based On Comparative 
Reconstruction And Lexicostatistics 
(Ithaca: Cornell University, 1967).



     Hudson juga diminta untuk menulis dikumpulan tulisan tentang kempung-kampung yang ada di Indonesia buku tersebut diterbitkan pihak UI (Universitas Indonesia) sekitar tahun 1960-an dengan Editor Koentjaraningrat Antropolog senior UI, sayang buku tersebut sekarang hak patennya malah dibeli oleh Singapura, dan diterbitkan si Singapura sebagai buku klasik tentang Indonesia dengan judul:
Al Hudson menulis artikel berjudul 
TELANG:The Small Village in Centraal Kalimantan.

 Terima Kasih Yang Tak Terhingga
     Al Hudson dan Istrinya banyak membantu memperkenalkan Ulun Ma'anyan kedunia Internasional, adalah sebuah kebanggaan yang tiada bisa kita ucapkan dengan kata-kata. terakhir orang Ma'anyan yang bertemu dengan Al Hudson dan Judy adalah Nano Djandam saat dia kuliah di Amerika. 
   Al dan Judy sekarang menghabiskan masa tua mereka di: 111 Amherst Rd. Pelham, MA 01002 Masecussett Amerika Serikat. serta aktif menulis untuk jurnal pendakian gunung serta pengurus sejarah dan arsip di Randolph Mountain Club. kami segenap ulun Ma'anyan memberiakan penghormatan atas dedikasi Al dan Judy terhadap dunia Pendidikan dan perhatiannya kepada orang dayak Ma'anyan.



Al dan Judi memiliki dua orang anak yaitu :

Katherine Hudson (Kate Hudson)

 Geoffrey Hudson




Sumber :

A.B Hudson
PADJU EPAT: The Etnograpy And Social Structur Of Ma'anyan Dajak Group In Southeastern Borneo (Michigan: University Of Microfilm, 1967).

Padju Epat: The Ma'anyan of Indonesia Borneo (New York: Rainhart & Winston, 1972)

THE BARITO ISOLECTS OF BORNEO: A Classification Based On Comparative Reconstruction And Lexicostatistics (Ithaca: Cornell University, 1967).

Death Cermonies Of The Padju Epat Ma'anyan Dayaks (Jurnal Serawak Museum 1966)

Judy Hudson.
Letter From Kalimantan I, Journal Of Indonesia (Ithaca: Cornell University, 1966)

Letter From Kalimantan II, Journal Of Indonesia (Ithaca: Cornell University, 1966)

Letter From Kalimantan III, Journal Of Indonesia (Ithaca: Cornell University, 1967)

Some Observation Of Dance In Kalimantan, Journal Of Indonesia (Ithaca: Cornell University, 1967)

Informasi dari Saudari Ibu Sinta Djandam tentang pertemuan Nano Djandam dengan Kakah Hudson saat study di Amerika Serikat.





CERITA, MEREKA YANG DISEBUT "ULUN DUSUN KALAHIEN"


CERITA, MEREKA YANG DISEBUT " ULUN DUSUN KALAHIEN"
BY: ASRI ROMI
ORANG-ORANG DUSUN KALAHIEN TAHUN 1927 FOTO KOLEKSI BASEL MISSION

JEMBATAN KALAHIEN TAHUN 2011


Kampung itu bernama Kalahien
Desa Kalahien merupakan sebuah desa yang berada di pinggiran sungai Barito, tepatnya di Kecamatan Dusun Selatan, Kabupaten Barito Selatan, Propinsi Kalimantan Tengah. Masyarakat Dayak Dusun Kalahien masih sangat menjunjung tinggi kebudayaan. Ada banyak upacara adat yang sering diadakan oleh masyarakat setempat, salah satunya adalah ritual Bokas Ego yang berarti ritual syukuran karena terwujudnya harapan orang-orang yang bernazar pada pangantuhu.
Panguntuhu adalah nama leluhur yang dimiliki oleh seorang pangalima yang bernama Sampel. Kunon ceritanya pada zaman dahulu ada kakak beradik yang bernama Sampel dan Melot, mereka mempunyai kasus pembunuhan di daerah yang bernama Banao karena takut tertangkap maka kedua kakak beradik ini melarikan diri dari Banao (suatu desa yang sekarang berada di Muara Teweh, Kabupaten Barito  Utara). Sampel yang adalah si kakak lari ke daerah Rakutan[1], sedangkan Melot lari dan sembunyi ke daerah Marabahan.
Waktu itu pada era pemerintahan Belanda, dan pihak pemerintah mengetahui adanya kasus Sampel dan Melot, namun pemerintah Belanda tidak mempermasalahkan kasus tersebut. Malah pemerintah Belanda menyuruh adiknya (Melot) menjemput Sampel dari Rakutan untuk menjadi kepala desa, didesa Manengang[2]. Di desa tersebut Sampel diangkat menjadi pembakal Islam. Setelah beberapa waktu mengapdi di desa Manengang Sampel pun meninggal dunia dan dikebumikan di Manengang.

Sampel tokoh yang disegani masyarakat lokal
Untuk menunjukan rasa suka cita dan terimakasih kepada Sampel yang dianggap sebagai pangalima maka orang kampung setempat maupun orang kampung sekitar memberikan tarian penghormatan mengeliling kuburan tokoh tersebut. Tidak diketahui jelas siapa orang pertama yang mengetahui bahwa Sampel mempunyai sahabat dari dunia yang lain yang bernama pangantuhu. Pangantuhu ini lah yang seringkali menolongnya. Oleh karena mengetahui hal tersebut maka orang kampung yang menglami kesulitan karena sakit dan harapan tertentu yang ingin dicapai minta tolong kepada pangantuhu dan bernazar. Apabila apa yang diinginkan terwujud maka mereka yang bernazar pun membayar nazar dan mengarak kepala manusia sebagai ungkapan terimakasih dan juga rasa syukur. Kepala manusia tersebut diarak mengelilingi kuburan Sampel, rumah pangantuhu[3], dan rumah orang yang mengadakan ritual Bokas Ego tersebut selama 7 kali putaran, tidak diketahui secara pasti siapa orang yang pertama melakukan 7 kali putaran tertsebut dan apa alasannya sehingga harus 7 kali.

 Rumah atau "lewu pangantuhu"Foto koleksi : dayak-barsel.blogspot

Pada zaman dulu  yang diarak oleh orang yang bernazar memang kapala manusia yang menurut informasi adalah kepala orang yang dibunuh (kemungkinan besar hasil pengayauan), sehingga diganti dengan kepala orang hutan (Simia satyrus). Kepala manusia lalu diletakkan di dalam rumah pangantuhu dan sekarang sudah terlihat seperti batu karena sudah sangat tua dan menurut masyarakat desa, kepala tersebut setiap tahunnya beranak batu-batu kecil yang ada di sekeliling kepala tersebut. Setiap tahun batu-batu kecil tersebut selalu bertambah.
Diganti dengan kepala orang hutan karena konon ceritanya bahwa manusia berasal dari orang hutan. Kepala orang hutan yang diaambil untuk mengganti kepala manusia tersebut tidak di ambil secara sembarangan, namun melewati tahap nareap[4] terlebih dahulu. Itulah sebabnya sekarang ketika orang mengadakan upacara Bokas Ego maka yang di arak adalah kepala orang hutan. Realitanya yang bernazar di rumah pangantuhu sekarang tidak hanya masyarakat setempat, melainkan orang dari tempat yang jauh, tidak hanya umat Kaharingan tetapi juga mereka yang beragama Kristen dan Islam. Kalau membayar nazar dengan makanan jumlah dari masing-masing makanan harus  8X  karena itu sudah perehitungan khusus bagi pangantuhu. Apabila memberi kepada pangantuhu bisa saja member babi, tetapi untuk penghormatan kepada panglima Sampel itu tidak boleh menggunakan babi karena panglima pernah menjadi pembakal Islam. banyak yang datang mengaku bahwa pernah bernazar ke pangantuhu dan berhasil.  


[1] Rakutan adalah hutan yang berada di dekat desa Kalahien
[2] Manengang adalah nama sebuah desa yang dulunya berada di seberang desa Kalahien
[3] Rumah pangantuhu itu dibuat oleh orang yang bernazar
[4] Nareap itu berari ada sejenis pengucapan mantra yang diucapkan melalui ritual yang dilaksanakan pada saat pemotongan kepala orang hutan tersebut

Senin, 18 Juni 2012

UPACARA DAN RITUS DAYAK MA’ANYAN DI ERA POST MODERN

UPACARA DAN RITUS DAYAK MA’ANYAN DI ERA POST MODERN
By:
HADI SAPUTRA MITER


“ULUN MA’ANYAN” DI ERA POST MODERN
Masyarakat modern memang mulai bergeser paradigma dan hobby, saya melihatnya dimana era Post Modern ini masyarakat mulai senang dengan hal-hal yang berbau etnik jadi bukan hanya budaya pop saja seperti Mall, Musik, Social Media, gaya busana butik dll. Bahkan budaya bukan lagi sebagai bagian dari perjalanan hidup suatu komunitas, tapi mengkerucut menjadi seni dan art saja. Lihat bagaimana Dayak bukan lagi dikenal sebagai sebuat perjalanan hidup yang memiliki nilai-nilai cultural. Kalaupun dibicarakan hanya sekedar aspek positif dan Narsistik tentang tari-tarian dan upacaranya saja.
 
Tarian dadas 
foto koleksi Alferd B.Hudson tahun 1963 lokasi Telang

Disini sacara pribadi saya menyoroti masyarakat dayak Ma’anyan dengan gaya hidupnya yang apa adanya,  dan mementaskan manusia Ma’anyan yang juga punya kelemahan dan tertatih-tatih mengejar zaman. Sacara umum masyarakat ini memiliki upacara adat yang cukup beragam dan menarik biasanya hal tersebut secara umum terbagi dua yaitu :
tiba welum (berhubungan dengan hidup) dan
tiba matey (berhubungan dengan kematian)
karena masyarakat Maanyan ini secara khusus terbagi menjadi sub suku yaitu:
·         Paju epat
·         Kampong sapuluh
·         Banua Lima
Ada juga yang terpisah dan berdiri sendiri seperti
·         Maanyan Karau
·         Maanyan Dayu
·         Maanyan Tumang yang ada di Samihim (walaupun agak berbeda namun dayak Samihim meyakini mereka  bagian dari dayak Maanyan karena kesamaan bahasa).

Banyaknya upacara yang beragam katakanlah misalnya untuk kematian saja:
1.       IJAMBE, yaitu upacara kematian yang pada intinya pembakaran tulang si mati. Pelaksanaan upacaranya sepuluh hari sepuluh malam.
2.       NGADATUN, yaitu upacara kematian kebanyakan memang untuk tokoh yang berpengaruh Pelaksanaannya tujuh hari tujuh malam.
3.       MIYA, yaitu upacara membatur yang pelaksanaannya selama lima hari lima malam. Menurut AB Hudson dalam tulisanya tahun 1967 upacara ini terpengaruh dari adat lawangan.
4.       Ngatang, setingkat di bawah upacara Miya, karena pelaksanaannya hanya satu hari satu malam. Dan kuburan si mati pun hanya dibuat batur satu tingkat saja.
5.       SIWAH, yaitu kelanjutan dari upacara Miya yang dilaksanakan setelah empat puluh hari sesudah upacara Miya. Pelaksanaan upacara Siwah ini hanya satu hari satu malam.
Niba welum:
·         BONTANG, adalah level tertinggi dan “termewah” bentuk penghormatan keluarga yang masih hidup dengan yang sudah meninggal, upacara ini cukup lama 5 hari lima malam, upacar ini bukan termasuk upacara duka, tapi sudah berbentuk upacara sukacita.
·         MIANGKEY, ISIRAP dll

FUNGSI LATENT DALAM UPACARA DAN RITUS ULUN MA’ANYAN
Namun setiap upacara tidak bebas nilai, seperti yang dikatakan oleh Northcott (1999 279-280) upacara dan ritus yang ada adalah untuk menselaraskan hubungan manusia dengan sesuatu yang transcendent dan supra empiris. Namun disisi lain setiap upacara dan ritus juga membentuk suatu prilaku etis dimana Robert Merton (2000: 80) menguraikan tentang konsep fungsi upacara yang disadari fungsi manifest sedangkan fungsi yang disadari namun efeknya jelas terasa  dalam kehidupan social yang disebut dengan fungsi Laten atau fungsi tersembunyi.
                Fungsi Manifest dapat dilihat dari banyaknya upacara-upacara adat yang sering dilaksanakan oleh orang-orang dayak maanyan ini. Sedangkan fungsi laten ada dibalik penyelenggaraan adat dimana ada nya judi yang disebut Usik Liyaw (dari bahasanya itu diambil dari bahasa Kapuas yang berarti permainan arwah) seperti sabung ayam. Dan judi Dadu yang lazim disebut dadu gurak, banyak pro kontra tentang judi ini. Kepolisian tidak pernah memberikan ijin judi hanya ijin keramayan saja. Tidak main-main judi yang berlangsung sudah menjadi bisnis yang cukup besar, dimana setiap kegiatan acara maka akanada alokasi bisnis didalamnya seperti
  1. Sewa lapak Dadu : Yang berkisar sampai dengan 8-10 juta perlapak (tahun 2012), itu pun tergantung dari bentuk acaranya lama dan tidak dsb. Biasanya ada kesepakatan  panitia pelaksana acara dengan Bandar judi, dengan membayar uang muka, kemudian dicicil selama acara sampai lunas.(misalkan harga lapak 10juta maka, uang muka biasa 3juta dicicil sampai 10 juta lunas pas akhir acara). 
  2.  Dari usaha parkir kendaraan yang dilaksanakan maka panitia dapat persenan dari parkir tersebut. Biasanya 10 ribu rupiah  per sepeda motor (tahun 2012). 
  3.  Untuk sabung ayam misalkan panitia dapat persenan dari setiap taruhan, dan juga sewa arena. 
  4.  Panitia juga melakukan pungutan per hari terhadap para Bandar judi dan pedagang contoh
                 ·         Uang kebersihan ada jumlah ditetapkan 3-5ratus ribu
·         Uang keamanan ada jumlah ditetapkan 3-5ratus ribu
·         Uang sewa tanah ada jumlah ditetapkan 3-5ratus ribu
·         Uang lampu  ada jumlah ditetapkan 3-5ratus ribu
·         Bayar Liyaw biasanya suka rela
·         Plus pungli yang dilakukan oleh oknum aparat.
5.              5.Untuk sewa tempat dagang biasanya agak murah, per kios 1-2 juta.
  
 Sabung ayam yang dilakukan dalam upacara ijame 
pada tahun 1963 di Murtuwu foto koleksi Alferd B.Hudson
             
Sabung ayam yang dilakukan 2012 di Tamiang Layang 


 Judi Dadu Gurak yang dilakukan 2012 di Tamiang Layang
                                
              
Bisa dilihat kalau ada perputaran uang yang tidak sedikit disana, dan ada kompromi-kompromi yang berlangsung agar segala sesuataunya itu, berjalan dengan wajar dan apa adanya. Itu menunjukan ulun maanyan sudah mampu membaca kebutuhan dan peluang, terlepas benar dan salahnya.


BAGAIMANA MENILAINYA?
Tulisan saya bukan dalam rangka menghakimi dan bukan pula sebagai alat untuk meng-ghetto antara hitam dan putih. Setiap Ulun ma’anyan berhak memilih dan memilah yang baik dan yang tidak baik, secara arif dan bijaksana untuk kehidupanya. Tulisan ini hanya ingin memperlihatkan segala sesuatu dengan gamlang dan apa adanya ulun Maanyan, dengan segala bentuk dan efek dari modifikasi budaya. Saya secara positif melihat ini cara upacara dan ritus ulun ma’anyan yang menyiasati diri untuk bertahan ditengah perubahan jaman.

Sabtu, 16 Juni 2012

Dayak kristen atau Kristen dayak


      
      Richard Niehbur menyebutkan bahwa persoalan hubungan Kristus dan kebudayaan merupakan ‘permasalahan menetap’ dan ‘bukanlah hal yang baru’  dimana  masalah ke Keristenan dan peradaban bukanlah hal yang baru dan kebingungan orang Kristen  dalam bidang ini  sudah berlangsung lama. Perdebatan mengenai hubungan ke Keristenan dan peradaban berlangsung  dimulai sejak masa kemanusiaan Yesus Kristus ketika Ia ‘yang adalah seorang Yahudi  dan tetap tinggal sebagai orang Yahudi  sampai nafas terakhirnya’ memperhadapkan kebudayaan Yahudi  dengan suatu tantangan yang berat. Masalahnya  semakin jelas melalui pemaparan seorang Rabbi Klausner dalam terminology modern  bagaimana masalah tentang Yesus dan kebudayaan dilihat dari sudut pandang orang Farisi dan Saduki, yang sudah mempertahankan penolakan mereka  akan ‘orang Nazaret’ atas dasar bahwa ia membahayakan orang Yahudi. Tepatnya permasalahan tentang hubungan ke Kristenan  dan peradaban selalu dibicarakan atau diperdebatkan sepanjang segala abad.
                  Orang-orang dayak Kristen di Tamiang Layang tahun 1928 foto koleksi Zending Basel Swiss

           "Kristen Dayak" menunjukkan Injil dimasukkan dalam kebudayaan atau bahkan disesuaikan dengan konteks kebudayaan setempat. Kristus tidak dapat dipisahkan  dari kebudayaan, maka orang Kristen dituntut untuk tidak bersikap acuh tak acuh terhadap keadaan disekelilingnya. Sebab kepada orang Kristen tidak hanya diberi mandat Injil tetapi juga mandat budaya. Tidak bisa dipungkiri, agama manapun timbul dan tumbuh dari suatu kebudayaan. Agama berkembang melalui suatu kebudayaan. Suka tidak suka unsur-unsur kebudayaan  masuk ke dalam suatu agama dan agama bisa memanfaatkan budaya untuk mengembangkan  pengaruhnya. Bagi orang Kristen budaya atau Kristen Dayak , sejarah adalah kisah tentang perjumpan  Roh dengan alam. Di sisi lain ke Kristenan dituntut untuk  menyesuaikan dengan budaya. Ada usaha mencoba memunculkan nilai-nilai Kristiani dalam budaya atau memahami Kristus dengan bantuaan kebudayaan.
            Sedangkan ‘Dayak Kristen’ merujuk kepada pemahaman menguasai budaya, dimana pengertiannya bahwa orang Kristen adalah bangsa terpilih dan Alkitab menjanjikan kebinasaan bagi musuh-musuh Allah. Orang Kristen melihat budaya dunia yang bobrok  dan memutuskan bahwa budaya dunia  harus diganti dengan budaya Kristen. pemerintahan sekuler harus diganti dengan pemerintahan Kristiani. Sikap demikian  semacam sikap bahwa agama  mempunyai kekuatan yang besar untuk mendominasi kebudayaan. Segala sesuatu yang ada dalam dunia ini harus dilandasi sikap menutamakan Kristus. Dayak Kristen berorientasi kepada perubahan dalam kebudayaan asli, karena sebagian besar dari kebudayaan tersebut  di Kristenkan sehingga makna dari kebudayaan  tersebut pada akhirnya dilandasi oleh Kristus. 
              Sampul depan buku Katekismus atau buku pengajaran pokok-pokok iman Kristen berbahasa Ma'anyan (Surat Putut Ajar) diterbitkan pihak Zending Basel sekitar tahun 1930an
                           
          Pendekatan sintesis dan dualis adalah keduanya mempunyai pengertian religius yang sama tentang dosa yang tidak akan dapat diterjemahkan ke dalam istilah moral atau intelektual. Kedua pendekatan ini beranggapan bahwa kebudayaan itu adalah dosa karena kebudayaan merupakan hasil manusia yang berdosa. Kendati seperti itu kebudayaan itu tidak dapat dan tidak boleh dihindari.
         Sedangkan yang menjadi perbedaan antara kedua pendekatan ini adalah dalam pengertian mereka, baik mengenai luasnya maupun mengenai  kedalaman kebusukan manusia. Kelompok sintesis menyadari nalar manusia mungkin digelapkan, tetapi bukanlah dalam kodratnya salah arah, bagi mereka penyembuhan dari penalaran yang jelek terletak dalam penalaran yang lebih baik, dan dalam bantuan Guru Ilahi. Tetapi kelompok dualis  melihat kebejatan dan degradasi dalam semua pekerjaan manusia. Dua kelompok ini juga mempunyai konsep yang berbeda  tentang sifat kebejatan dalam kebudayaan. Kelompok sintesis menjadikan kebudayaan sebagai alat untuk mengarahkan sikap kearah sikap yang mengutamakan Kristus (kebudayaan diperalatkan), sedangkan kelompok dualis tidak memperalat kebudayaan bahkan kebudayaan dan Kristus tidak digabungkan, melainkan Kristus dan kebudayaan itu sama-sama jalan (diparalelkan).
       silahkan anda melihat dimana diri anda berdiri dan berposisi