Jumat, 20 Juli 2012

KEKERABATAN ULUN MAANYAN


 KEKERABATAN DAN PERNIKAHAN ULUN MAANYAN
BY
Hadi Saputra Miter

Keluarga Ma'anyan tahun 1950

Ulun Manyan pada umumnya menganut system ambilinieal untuk menghitung system kekerabatannya. Dimana system ini yaitu menghitung runut keluarganya dari pihak laki-laki. Dalam aturan ulun Ma’anyan pernikahan yang dianggap tabu adalah pernikahan tutur sumbang (incest) kalau itu terjadi maka itu dianggap aib maka aka nada sangsi adat dan sangsi sosial. Untuk sangsi adat pada masa lalu yaitu disuruh merangkak dan makan di dulang (tempat makan babi) dan sangsi sosial maka ia akan dijauhi oleh masyarakat dan menjadi bahan gossip. 

Tidak memanggil nama.
Antropolog Judith Hudson (Waiting durian Drop, Pelham Massecusate 2001. hal 24), menemukan keunikan dalam sistem norma kesopanan orang Maanyan dalam pemanggilan nama :

Ulun Ma'anyan enggan untuk menggunakan nama pribadi kepada orang yang sudah dewasa . norma kesopanan memutuskan bahwa seseorang menggunakan istilah kekerabatan dalam berbicara tentang orang lain. Ulun Ma'anyan menghindari memanggil teman dan tetangga mereka dengan nama langsung. Bentuk yang dikenal oleh para antropolog sebagai teknonim/ teknonimik – dengan mengambil nama dari anak tertua seseorang, sehingga seorang wanita menjadi "ibu dari ...." (Tu atau Ineh-diikuti nama anak tertua); seorang pria, "Bapak dari ...." (Pa- diikuti nama anak tertua). Ketika anak-anak tumbuh untuk memiliki anak mereka sendiri, seseorang akan disebut “Nenek (Nini-paju 4, Itak-kampung 10) dari” atau “Kakek (Kakah) dari”. Namun bagi orang luar, sistem teknonimik memiliki kelemahan (dalam artian sulit dipahami).

Penamaan orang dengan cara demikian berfungsi untuk menggarisbawahi divisi atau keturunan agar menjadi lebih jelas. Karena teknonim tersebut menandai perubahan status seseorang, hanya orang yang memiliki anak yang dianggap mencapai status dewasa sejati dalam komunitas; sama halnya, rasa hormat karena orang yang dituakan dengan ditandai oleh sifat kakek dan Nenek. Orang yang tidak menikah maka akan terjebak dalam masa kanak-kanak yang abadi, dimana konsokuensinya  yaitu,  keberadaannya tidak pernah diberi pengakuan secara benar. Pasangan yang tidak subur biasanya mengadopsi seorang anak, seringkali dari saudara kandung yang lebih beruntung, dari sana mendapatkan gelar ibu atau ayah mereka dan mendapat nama teknonim mereka.
 



Diagram kekerabatan ulun Ma'anyan

Begitu pula kalau ada yang memiliki anak diluar nikah maka akan disebut dengan Ngampang, hal tersebut juga sangat memalukan sehingga akan dikenakan sangsi social dan adat juga. Dalam pergaulannya muda-mudi dipersilahkan untuk bergaul namun tetap saja didalam pengawasan dari orang tua. Kalau ketahuan berdua-duaan ditempat sepi dan diluar kewajaran maka akan didanda atau juga biasa disebut dengan wuah sihala atau dipaksa menikah dihadapan tetua adat.

Wanita adalah sesuatu yang berharga
Untuk mendapatkan seorang gadis bukan hal yang gampang, seorang laki-laki harus membawa orang tua dan walinya (asbah) untuk menanyakan kesediaan orang tua si gadis. Untuk bisa menuju pelaminan yang pemuda diminta menyediakan jujuran (mas kawin), dan juga bersedia untuk memberikan hadiah kepada kaka dari sang gadis sebagai ijin melewati (pinangkahan). Serta tidak lupa menutup kepala (tutup huban) kepada nenek atau kakek sigadis sebagai lambang penghormatan terhadap orang tua.
 Pernikahan Ulun Ma'anyan tahun 1938 foto koleksi Basel Mission


Pernikahan modern Ulun Ma'anyan


Namun ada juga perkawinan yang mengambil jalan pintas yaitu ijari (kawin lari) laki-laki dan perempuan persama-sama memutuskan untuk dinikahkan kepada tetua adat yang berpengaruh. Namun ijari bukan berarti keduanya sudah sah, keduanya tetap belum sah sampai diapnggil kedua orang tua wali dan menyepakati pernikahan kedua muda-mudi ini.

Pergeseran makna
             Diera modern system kekerabatan ulun Maanyan juga terjaga dengan baik, walaupun karena berjauh-jauhan kadang antara sepupu-dengan sepupu, bisa tidak saling mengenal dengan akrab lagi. Baru saling mengenal kalau ada event-event keluarga seperti perkawinan, sukuran, atau bahkan kematian.



Rabu, 11 Juli 2012

TOKOH MA'ANYAN (1) Fridolin Ukur


Fridolin Ukur :
Tentara, Pendeta, Sastrawan

Dalam penantian ini
Diri tejepit antara gunung kehidupan dan tubir kematian
Keduanya menawarkan pengharapan
Kehidupan kekinian, di sini
Kehidupan keakanan , di sana …

Pendeta berpeci hitam

Putra Dayak Ma’anyan itu.
Fridolin lahir di Tamiang Layang pada tanggal 5 April 1930 dia merupakan anak seorang kepala sekolah dari Sekolah Rakyat di Tamiang Layang, sebagai seorang anak dayak ma’anyan dia tergolong anak yang cerdas.  Setelah menamatkan sekolah rakyat di kampungnya, pada tahun 1936  Ukur (nama panggilannya), bersama abangnya Wilson Ukur melanjutkan pendidikannyake Banjarmasin di Hollandsch-Inlandsche School disingkat HIS (setingkat sekolah dasar untuk anak pribumi) lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs disingkat dengan MULO (setingkat sekolah menengah) dan VHOWN (Voorbereind Hoogere Onderwijs-Wisen Naturkunde Afdl) setingkat SMU.
Pak Ukur pernah naik pitam saat menjalani pendidikan di Banjarmasin karena abangnya Wilson Ukur dihukum karena ketahuan menggunakan bahasa Maanyan disekolah, hal itu dikarenakan mereka wajib menggunakan bahasa Belanda selama bergaul. Keadaan berubah ketika tentara Dai Nippon(Jepang) masuk ke Banjarmasin tahun 1942, akibatnya Ukur harus pulang ke Tamiang Layang. Namun selama itu minat belajarnya taak pernah surut. Di tengah-tengah kesibukan membantu keluarga ia menyempatkan diri membaca buku-buku milik ayahnya, yang waktu itu menjadi kepala sekolah rakyat di kampungnya. Di antara buku-buku milik ayahnya itu ia menemukan sebuah buku, semacam buletin, yang berjudul Pakat Dayak. Buku ini diterbitkan oleh sebuah organisasi bernama Pakat Dayak, yang mengusung isu nasionalisme. Selain itu ia juga membaca buku-buku karangan Bung Karno. Hal inilah yang membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme dalam diri Pak Ukur. Bahkan ia termasuk seorang pengagum Bung Karno.


Dari Tentara ke Pendeta
Semangat dan jiwa nasionalisme itulah yang mendorong Pak Ukur pada tahun 1947 – 1950 untuk bergabung dengan laskar ALRI Divisi IV Kalimantan yang melakukan gerilya di wilayah Barito Selatan dan bermarkas di Sanggu, sebuah desa sekitar 20 km dari Buntok. Karena pendidikannya ia diberi pangkat Pembantu Letnan Satu dengan jabatan Wakil Komandan Kompi. Nama samarannya adalah Effendy Udaya. Sedangkan komandan kompi adalah abangnya sendiri Wilson Ukur (pensiun dengan pangkat kolonel di Pusat Pendidikan Infrantri, Cimahi). Ketika keadaan normal ia kembali ke Banjarmasin dan diangkat sebagai Wakil Komandan Kompi Commando Troop Perserikatan Bangsa-bangsa dan ditempatkan di Kuala Kapuas. Sedangkan jabatan Komandan Kompi dipercayakan kepada abangnya.

Wilson Ukur, Majak Kalatak, Fridolin Ukur

Ketika Sang Abang melanjutkan pendidikan militer di AMN Magelang, jabatan Komandan Kompi diserahkan kepada Pak Ukur. Namun tahun 1950 Pak Ukur memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Hoogere Theologische School waktu itu). Ketika baru kuliah ia masih militer aktif dan masuk ke ruang kuliah pun masih memakai pakaian tentara lengkap dengan atribut kepangkatannya. Ia baru resmi berhenti jadi tentara pada bulan Desember 1950 dengan pangkat terakhir Letnan Satu. 

Setelah di Tahbiskan sebagai Pendeta di Kuala Kapuas tahun 1956, Mengawali karir kependetaannya ia mulai mengajar di Akademi Theologi GKE di Banjarmasin dan  tahun 1963 itu ia dipercayakan untuk memimpin Akademi Theologi GKE (sekarang STT GKE). Salah satu bagian dari proses belajar mengajar yang ia perkenalkan adalah kegiatan Praktik Pengenalan Lapangan bagi setiap mahasiswa yang hendak mengakhiri studynya.

 pentahbisan pendeta di Kuala Kapuas tahun 1956 Pak Ukur berdiri paling depan ditengah

Menimba Ilmu sampai ke Eropa.
Sambil memimpin Akademi Theologia Pak Ukur mulai mempersiapkan diri untuk study doktor. Untuk itu ia belajar ke Fakultas Teologi Universitas Basel, Swiss sekaligus melakukan riset kepustakaan. Dari Fakultas Teologi Basel itu ia meraih gelar doktorandus (kandidat doktor).  Lalu gelar doktor teologi ia peroleh dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1972. Karena sejak awal ia memang berminat dalam bidang sejarah kebudayaan, maka itu pulalah yang menjadi riset doktoralnya, yang ia tuangkan dalam disertasi yang berjudul “Tantang Jawab Suku Dayak”. Ia adalah doktor teologi angkatan pertama dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Setelah merampungkan study doktornya, tahun 1972 itu Pak Ukur dipercaya untuk memimpim sebuah lembaga yang bergengsi, yaitu Lembaga Penelitian dan Study Dewan Gereja-gereja di Indonesia (LPS DGI) di Jakarta. Selama ia menjabat sebagai pimpunan lembaga ini banyak produk-produk riset, kajian, dan penerbitan yang dihasilkan. Salah satu karya monumental lembaga ini adalah buku berjudul “Jerih dan Juang Gereja-gereja di Indonesia”. Sebuah buku yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian mengenai gumul dan juang gereja-gereja di Indonesia dalam konteks sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama-agama. 

Sastrawan Angkatan 66 itu ulun Ma’anyan
                Kritikus sastra, HB Yasin dalam bukunya Angkatan ’66, Prosa dan Puisi menobatkannya sebagai salah seorang penyair Angkatan ’66. Sebagai sastrawan dan penyair ia juga banyak menulis puisi. Dua buku kumpulan puisinya diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan judul Darah dan Peluh dan Wajah Cinta. Waktu pun berbisik:
Pengalaman yang berserakan
Jejak-jejak yang ditinggalkan
Adalah kelopak-kelopak bunga cinta,
Sebuah bunga rampai
Mekar di tangkai;
Seperti bianglala menganyam mimpi
Meraih, menggapai, memeluk fajar
Sebuah harapan tak pernah pudar!

Aku pun ikut berbisik:
Perjalanan ini, sayang
Bukannya ruang sempit dan lorong sepi!
Kembara ini, kasih
Adalah jalan lebar menyemai cinta
Di atas bumi
Di antara sesama ….

Tersirat dalam banyak puisi Ukur bahwa tiap hari merupakan perlombaan lari. Ukur merasa diri berlari, bukan seorang diri melainkan dengan sang waktu, ia berpacu dengan waktu, ia dan waktu berlari bersama tiap hari, namun sering ia merasa ditinggal oleh waktu. Ia merasa dikhianati oleh waktu. Tulisnya:

Apakah waktu mengkhianati aku
Ketika aku disibuki dengan ceramah
Ketika aku berkhotbah tentang
Cakar hitam dan pagi biru,
Ketika gairah kuhabiskan di konferensi
Dan rapat-rapat…
Masih ada waktu melempar bayang
Menanya diri dan kesilaman:
Tentang khianat dan bakti
Tentang dosa dan pengampunan suci
Tentang kawan berdoa pengisi sunyi…

Sastrawan Korrie Layun Rampan mengatakan walau saya tidak dekat dengan Ukur , namun kedekatan kultur  yang ada karena sesama  orang dayak kampung.  Ukur juga seorang kawan yang bersahaja sehingga Korrie Layun Rampan pernah menulis secara khusus tentang Fridolin Ukur pada majalah sastra Horison.


Sisi kemanusiaan seorang Ukur
Menikah dengan Sri Partiwi, seorang gadis Dayak – Jawa dari desa Tamiang Layang dan dianugerahi 1 orang putra, Perah Tamiang Ukur. Sri Partiwi bekerja sebagai PNS adalah seorang guru yang mengajar di SMEA Negeri Banjarmasin, lalu pindah ke Jakarta mengikuti sang suami tercintanya.
Pdt.DR.Fridolin Ukur dan istrinya ibu Sri Pratiwi

Pdt.Andar Ismail mengatakan : Ukur digemari oleh banyak kalangan sebagai penceramah favorit karena pembawaanya yang kocak. Ceramahnya padat dan singkat. Ia cakap bercerita. Hadirin meledak dalam tawa jika ia menceritakan anekdot yang nyerempet politik atau nyerempet pornografi.
Pdt.Jhonson Simanjutak pernah bercerita bahwa pernah diajak makan oleh Pak Ukur dengan lauk Wadi yang baunya sangat menyengat “Pak Juntak ini yang enak “katanya sapai keluar ingusnya Pak Ukur.
Marrie Clarie Barth, bercerita bahwa kesukaan Pak Ukur memakai peci dikarena badannya yang pendek maka Pak Ukur suka memakai peci supaya terlihat agak tinggi. Karena kesukaanya memakai peci pernah beliau dipanggil pak haji oleh seorang pelayan restoran.
Pada Mei 1965 saat perayaan Jubelium 150 Tahun Basel Misson di Swiss pak ukur diminta berpidato maka beliau berdiri dengan tubuhnya yang pendek namun suara menggelegar bagai Guntur dia berpidato berapi-api tentang semangat nasionalis Indonesia dan kecintaanya terhadap bangsa dan negaranya. Pidato itu dilakukan dilapangan terbuka didepan gedung walikota Basel dan dihadiri banyak orang.


Pendeta berpeci itu tutup usia
Sejak operasi ambeien tahun 1989 dokter sudah memperingatkan Pak Ukur akan adanya gejala kanker di ususnya, Pak Ukur juga pernah dioprasi akibat penyempitan pembuluh darah diotak. Namun kesibukannya mengakibatkan ia tidak terlalu memperhatikan peringatan yang diberikan dokter itu. Setelah sebeberapa lama dirawat karena penyakit kanker ususnya, pak Ukur harus menyerah pada penyakit kanker usus yang menggerogotinya, dan ia wafat dengan meninggalkan berbagai kenangan orang tentang diri dan karya kemanusiaannya pada tanggal 27 Juni 2003 pukul 05.25 WIB di Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta. Beliau dimakamkan di kampung halamannya Tamiang Layang.

karya tulis Pak Ukur atau Amah Perah:
Malam Sunyi (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1960)
 Darah dan Peluh (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1961)
Belas Tercurah (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1980)
 Iklan dari Surga (Kumpulan Renungan, terbitan Pustaka Sinar Kasih 1980)
Wajah Cinta (Kumpulan Puisi, terbitan 2001).
Tantang Jawab Suku dayak.
Tuaiannya Sungguh Banyak.

 Buku tentang sejarah Gereja Kalimantan Evangelis karya Pa Ukur


 Kumpulan Puisi"Wajah Cinta"karya F.Ukur


Minggu, 24 Juni 2012

UPACARA WARA TUNTUNAN MENUJU DUNIA PENANTIAN DAYAK LAWANGAN


UPACARA WARA
TUNTUNAN MENUJU DUNIA PENANTIAN
DAYAK LAWANGAN
By:
HADI SAPUTRA MITER


Panitia Upacara Wara yang dilaksanakan di Tamiang Layang Tahun 2012

Kematian sebagai transisi menuju keabadian
Suku dayak Lawangan sangat menghargai kepercayaan para leluhur mereka, antara lain dengan melaksanakan ritus kematian. Orang dayak Ngaju memahami kematian sebagai pintu gerbang masuk ke negeri arwah yang sangat luhur, yaitu negeri dan kediaman asal para leluhur mereka. Pemahaman ini sejajar dengan pemahaman suku Dayak Lawangan khususnya pada acara ritus kematian. Sehingga ritus kematian yang dilakukan oleh keluarga yang meninggal sangatlah menentukan keadaannya di alam baka, apakah Ia tinggal di negeri yang penuh dengan kemakmuran, kekayaan, keindahan serta terbebas dari penderitaan hidup dan bertemu kembali dengan para leluhur, ataukah rohnya akan menjadi arwah gentayangan yang menggagu kehidupan.

Peti mati Orang lawangan tahun 1900
Foto koleksi: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Belanda

             
Mang Nuhur sebegai pengharapan akan ke-akanan
Sebelum peristiwa Mang Munur, suku Dayak Lawangan tidak mengenal adanya kematian sebab menurut kepercayaan mereka, apabila seseorang sudah tiba pada saatnya maka Ia akan menghilang dengan sendirinya atau langsung berpindah ke negeri keluhuran, untuk mengetahui saatnya telah tiba biasanya pada setiap orang yang berbeda-beda dan Ia akan menyatakan perasaannya itu kepada seluruh keluarganya. Seluruh keluarga dan Ia sendiri menyiapkan segala sesuatu untuk perpisahan dengan yang akan berangkat dan yang ditinggalkan. Namun, setelah peristiwa Mang Munur proses kematian suku Dayak Lawangan menjadi berbeda.
            Diceritakan tentang Mang Munur, Ia adalah seorang yang serba berkecukupan , mempunyai kekayaan yang melimpah, mempunyai hamba sahaya, dan mempunyai tujuh orang istri. Namun Ia sama sekali tidak puas dengan apa yang Ia miliki, sebab Ia yakin bahwa sesungguhnya kepuasan hidup Ia dapatkan dalam Tumpuk Tatau atau Tumpuk Adiau. Semua orang yang telah pergi ke sana tidak ada yang kembali pulang ke bumi lagi, hal inilah yang menjadi bukti bahwa di sana kehidupan yang menyenangkan. Memang diakui bahwa ada dunia kekinian dan dunia seberang (Tumpuk Tatau artinya negeri yang kaya raya atau Tumpuk Adiau artinya negeri para arwah), tempat itu dikenal dengan nama Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan. Itu merupakan satu tempat yang menyenangkan sebab tidak ada lagi penderitaan dalam hidup untuk mendapatkan suatu kebahagiaan, kerena di sana semua yang diinginkan telah tersedia tanpa bersusah payah untuk mencarinya.
Didasarkan pada rasa penasaran tersebut maka Mang Munur memerintahkan pada ketujuh istrinya untuk mencari harta Katatau Matei yang pada saat itu dimiliki oleh Jawa Ilang. Uniknya benda yang dinamakan Tajau Wura Tajau Inso (nama bagian dari harta katatau matei) ini ketika Mang Munsur mencobanya dapat membuat aliran sungai menjadi kering, pohon menjadi mati. Betapa senang hati Mang Munur ketika melihat hal tersebut, Ia segera menyuruh ketiga istrinya supaya meletakkan benda tersebut ketubuhnya dan mereka meletakkannya di kaki Mang Munur, ketika itu juga kakinya menjadi mati dan Ia meminta ketujuh istrinya supaya mereka melanjutkannya pada bagian-bagian tubuhnya yang lain hingga akhirnya Ia mati. Sejak itulah dikenal istilah kematian pada kalangan suku Dayak Lawangan.
            Dari uraian di atas, kematian merupakan pintu gerbang ke negeri yang sangat luhur oleh sebab itu baik hidup maupun mati menurut alam pemikiran Dayak Lawangan, penuh dengan tantangan dan kesengsaraan, dan kepercayaan Dayak Hindu Kaharingan memberikan jalan keluar untuk melepaskan diri dari kesengsaraan itu. Keharusan mutlak yang diwajibkan oleh agama mereka bahwa tiap-tiap orang yang meninggal, harus diadakan upacara untuk mengantarkan orang yang meninggal dari alam yang fana ini ke alam yang baka, yaitu dengan upacara Wara.

Mengantarkan Kedunia Keabadian Dengan Wara
Pelaksanaan upacara Wara bisa langsung dilakukan setelah seseorang meninggal, apabila dari pihak keluarga mampu untuk melaksanakannya, Tetapi apabila dari pihak keluarga tidak mampu untuk melaksanakan upacara wara pada saat itu juga maka bisa ditunda sampai pihak keluarga mampu melaksanakannya.
Upacara wara terbagi atas 6 tingkatan, yakni:
1.      Wara satu malam satu hari.
2.      Wara tiga hari tiga malam.
3.      Wara lima hari lima malam.
4.      Wara tujuh haru tujuh malam.
5.      Wara sembilan hari sembilan malam.
6.      Wara empatbelas hari empatbelas malam.
Dalam upacara Wara tergantung pada kemampuan dari pihak keluarga yang meninggal, bila pihak keluarga sudah melaksanakan wara satu hari satu malam maka pihak keluarga sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepa arwah yang meninggal sebab rohnya sudah berkumpul dengan sanak saudaranya yang terlebih dahulu sampai ke Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan. Namun, dikemudian hari apabila dari pihak keluarga punya kemampuan untuk melaksanakan wara yang lebih besar dari satu hari satu malam, bisa dilakukan oleh bihak keluarga yang meninggal. Setelah pihak keluarga telah melaksanakan wara empatbelas hari empat belas malam, akan tetapi mereka masih punya kemampuan dikemudian hari maka bukan wara lagi sebutannya akan tetapi pesta ulang tahun bagi sang arwah.
Pada umumnya dikalangan Dayak Lawangan yang masih beragama Kaharingan, begitu ada salah satu dari anggota keluarganya yang meninggal, mereka langsung melaksanakan wara satu hari satu malam karena biayanya tidak terlalu besar. Upacara wara biasanya biasanya berpusat di rumah atau bisa juga di Balai oleh sebab itu keluarga yang meninggal sangat sibuk bekerja demi kelancaran upacara Wara yang dilakukan.
Dalam urut-urutan pelaksanaan upacara Wara yang dilakukanoleh suku Dayak Lawangan, dimulai dari kematian sampai pada upacara mengantar arwah atau roh orang yang sudah meninggal ke negeri keluhuran, maka akan telihat adanya dua tokoh yang sangat penting, yakni Balian Wara dan Luying Buyas.


Orang lawangan tahun 1900
Foto koleksi: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Belanda

Balian Wara sebagai penunjung jalan menuju swarga loka
Balian Wara mempunyai kedudukan sebagai pemimpin puncak adalah sangat penting untuk menentukan kelancaran tugas untuk mengantar arwah atau roh orang yang sudah meninggal karena kedudukannya sebagai pendeta atau imam, yaitu perantara antara hubungan manusia dengan Yus Allatala ( sosok pencipta/Tuhan istilah Lawangan), tidak semua orang bisa menjadi Balian Wara serta mengerti tentang tata cara memanggil roh orang mati maupun mengantar roh si arwah ke negeri keluhuran. Seseorang yang mendai Balian Wara merupakan keturunan langsung dari Balian Wara sebelumnya, biasanya Ia mengalami kemasukkan roh dari nenek moyangnya yang sebelumnya menjadi Balian Wara, setelah Ia mengalami kemasukkan Roh nenek moyang itulah Ia menjadi seorang Balian Wara.
Balian wara tidak bisa mengantar arwah atau roh orang yang meninggal langsung sampai ke negeri keluhuran sebab sangatn berbahaya untuk keselamatan jiwanya sendiri, apabila Ia memaksakan diri untuk mengantar hingga sampai ke negeri keluhuran maka dapat dipastikan Ia akan mati karena rohnya tidak dapat kembali ke dunia, sebab tidak ada roh yang berada di negeri keluhuran yang mau mengantar rohnya kembali ke dunia. Balian Wara hanya bisa bisa mengantar roh orang yang menionggal tersebut sampai ke puak katar saja dan seterusnya dipimpin oleh Luying Buyas sehingga sampai ke negeri keluhuran. Luying Buyas sendiri adalah jelmaan dari roh beras, Ia digambarkan sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa dan Ia selalu berjalan dibarisan terdepan dalam rombongan semenjak mulai berangkat untuk mengantar arwah atau roh orang yang meninggal.
Luying Buyas melanjutkan perjalanan bersama roh orang yang meninggal tersebut di mulai dari Puak Katar, untuk melanjutkan perjalanan sang arwah sehingga sampai ke negeri keluhuran dan menyerahkannya kepada pikah keluarga yang telah mendahuluinya serta kepada seluruh masyarakat roh yang berada di negeri keluhuran. Dalam acara penyerahan roh sang arwah digambarkan seolah-olah ada pertemuan antara yang meninggal dengan arwah-arwah yang meninggal terlebih dahulu, disamping pertemuan tersebut, Luying Buyas secara resmi menyerahklan arwah yang diantarnya supaya dapat diterima keberadaannya di negeri keluhuran, setelah penyerahan selesai maka Luying Buyas pun berpamitan kepada mereka untuk kembali ke Puak Katar dimana Balian Wara menunggunya. Menurut mereka apabila seseorang tidak dapat berkumpul dengan kelurganya yang terlebih dahulu meninggal setelah Ia meninggal dunia maka Ia telah melakukan suatu kesalahan yang tidak dapat terampuni.
      Upacara Wara dalam kepercayaan Kaharingan juga berarti pembebasan baik bagi yang masih hidup ataupun bagi yang sudah meninggal. Bagi yang meninggal pembebasan dari penderitaan dan kesengsaraan sedangkan bagi yang masih hidup pembebasan dari malapetaka, penyakit, terhindar dari bencana, kemiskinan dan lain-lain.