Senin, 18 Juni 2012

UPACARA DAN RITUS DAYAK MA’ANYAN DI ERA POST MODERN

UPACARA DAN RITUS DAYAK MA’ANYAN DI ERA POST MODERN
By:
HADI SAPUTRA MITER


“ULUN MA’ANYAN” DI ERA POST MODERN
Masyarakat modern memang mulai bergeser paradigma dan hobby, saya melihatnya dimana era Post Modern ini masyarakat mulai senang dengan hal-hal yang berbau etnik jadi bukan hanya budaya pop saja seperti Mall, Musik, Social Media, gaya busana butik dll. Bahkan budaya bukan lagi sebagai bagian dari perjalanan hidup suatu komunitas, tapi mengkerucut menjadi seni dan art saja. Lihat bagaimana Dayak bukan lagi dikenal sebagai sebuat perjalanan hidup yang memiliki nilai-nilai cultural. Kalaupun dibicarakan hanya sekedar aspek positif dan Narsistik tentang tari-tarian dan upacaranya saja.
 
Tarian dadas 
foto koleksi Alferd B.Hudson tahun 1963 lokasi Telang

Disini sacara pribadi saya menyoroti masyarakat dayak Ma’anyan dengan gaya hidupnya yang apa adanya,  dan mementaskan manusia Ma’anyan yang juga punya kelemahan dan tertatih-tatih mengejar zaman. Sacara umum masyarakat ini memiliki upacara adat yang cukup beragam dan menarik biasanya hal tersebut secara umum terbagi dua yaitu :
tiba welum (berhubungan dengan hidup) dan
tiba matey (berhubungan dengan kematian)
karena masyarakat Maanyan ini secara khusus terbagi menjadi sub suku yaitu:
·         Paju epat
·         Kampong sapuluh
·         Banua Lima
Ada juga yang terpisah dan berdiri sendiri seperti
·         Maanyan Karau
·         Maanyan Dayu
·         Maanyan Tumang yang ada di Samihim (walaupun agak berbeda namun dayak Samihim meyakini mereka  bagian dari dayak Maanyan karena kesamaan bahasa).

Banyaknya upacara yang beragam katakanlah misalnya untuk kematian saja:
1.       IJAMBE, yaitu upacara kematian yang pada intinya pembakaran tulang si mati. Pelaksanaan upacaranya sepuluh hari sepuluh malam.
2.       NGADATUN, yaitu upacara kematian kebanyakan memang untuk tokoh yang berpengaruh Pelaksanaannya tujuh hari tujuh malam.
3.       MIYA, yaitu upacara membatur yang pelaksanaannya selama lima hari lima malam. Menurut AB Hudson dalam tulisanya tahun 1967 upacara ini terpengaruh dari adat lawangan.
4.       Ngatang, setingkat di bawah upacara Miya, karena pelaksanaannya hanya satu hari satu malam. Dan kuburan si mati pun hanya dibuat batur satu tingkat saja.
5.       SIWAH, yaitu kelanjutan dari upacara Miya yang dilaksanakan setelah empat puluh hari sesudah upacara Miya. Pelaksanaan upacara Siwah ini hanya satu hari satu malam.
Niba welum:
·         BONTANG, adalah level tertinggi dan “termewah” bentuk penghormatan keluarga yang masih hidup dengan yang sudah meninggal, upacara ini cukup lama 5 hari lima malam, upacar ini bukan termasuk upacara duka, tapi sudah berbentuk upacara sukacita.
·         MIANGKEY, ISIRAP dll

FUNGSI LATENT DALAM UPACARA DAN RITUS ULUN MA’ANYAN
Namun setiap upacara tidak bebas nilai, seperti yang dikatakan oleh Northcott (1999 279-280) upacara dan ritus yang ada adalah untuk menselaraskan hubungan manusia dengan sesuatu yang transcendent dan supra empiris. Namun disisi lain setiap upacara dan ritus juga membentuk suatu prilaku etis dimana Robert Merton (2000: 80) menguraikan tentang konsep fungsi upacara yang disadari fungsi manifest sedangkan fungsi yang disadari namun efeknya jelas terasa  dalam kehidupan social yang disebut dengan fungsi Laten atau fungsi tersembunyi.
                Fungsi Manifest dapat dilihat dari banyaknya upacara-upacara adat yang sering dilaksanakan oleh orang-orang dayak maanyan ini. Sedangkan fungsi laten ada dibalik penyelenggaraan adat dimana ada nya judi yang disebut Usik Liyaw (dari bahasanya itu diambil dari bahasa Kapuas yang berarti permainan arwah) seperti sabung ayam. Dan judi Dadu yang lazim disebut dadu gurak, banyak pro kontra tentang judi ini. Kepolisian tidak pernah memberikan ijin judi hanya ijin keramayan saja. Tidak main-main judi yang berlangsung sudah menjadi bisnis yang cukup besar, dimana setiap kegiatan acara maka akanada alokasi bisnis didalamnya seperti
  1. Sewa lapak Dadu : Yang berkisar sampai dengan 8-10 juta perlapak (tahun 2012), itu pun tergantung dari bentuk acaranya lama dan tidak dsb. Biasanya ada kesepakatan  panitia pelaksana acara dengan Bandar judi, dengan membayar uang muka, kemudian dicicil selama acara sampai lunas.(misalkan harga lapak 10juta maka, uang muka biasa 3juta dicicil sampai 10 juta lunas pas akhir acara). 
  2.  Dari usaha parkir kendaraan yang dilaksanakan maka panitia dapat persenan dari parkir tersebut. Biasanya 10 ribu rupiah  per sepeda motor (tahun 2012). 
  3.  Untuk sabung ayam misalkan panitia dapat persenan dari setiap taruhan, dan juga sewa arena. 
  4.  Panitia juga melakukan pungutan per hari terhadap para Bandar judi dan pedagang contoh
                 ·         Uang kebersihan ada jumlah ditetapkan 3-5ratus ribu
·         Uang keamanan ada jumlah ditetapkan 3-5ratus ribu
·         Uang sewa tanah ada jumlah ditetapkan 3-5ratus ribu
·         Uang lampu  ada jumlah ditetapkan 3-5ratus ribu
·         Bayar Liyaw biasanya suka rela
·         Plus pungli yang dilakukan oleh oknum aparat.
5.              5.Untuk sewa tempat dagang biasanya agak murah, per kios 1-2 juta.
  
 Sabung ayam yang dilakukan dalam upacara ijame 
pada tahun 1963 di Murtuwu foto koleksi Alferd B.Hudson
             
Sabung ayam yang dilakukan 2012 di Tamiang Layang 


 Judi Dadu Gurak yang dilakukan 2012 di Tamiang Layang
                                
              
Bisa dilihat kalau ada perputaran uang yang tidak sedikit disana, dan ada kompromi-kompromi yang berlangsung agar segala sesuataunya itu, berjalan dengan wajar dan apa adanya. Itu menunjukan ulun maanyan sudah mampu membaca kebutuhan dan peluang, terlepas benar dan salahnya.


BAGAIMANA MENILAINYA?
Tulisan saya bukan dalam rangka menghakimi dan bukan pula sebagai alat untuk meng-ghetto antara hitam dan putih. Setiap Ulun ma’anyan berhak memilih dan memilah yang baik dan yang tidak baik, secara arif dan bijaksana untuk kehidupanya. Tulisan ini hanya ingin memperlihatkan segala sesuatu dengan gamlang dan apa adanya ulun Maanyan, dengan segala bentuk dan efek dari modifikasi budaya. Saya secara positif melihat ini cara upacara dan ritus ulun ma’anyan yang menyiasati diri untuk bertahan ditengah perubahan jaman.

Sabtu, 16 Juni 2012

Dayak kristen atau Kristen dayak


      
      Richard Niehbur menyebutkan bahwa persoalan hubungan Kristus dan kebudayaan merupakan ‘permasalahan menetap’ dan ‘bukanlah hal yang baru’  dimana  masalah ke Keristenan dan peradaban bukanlah hal yang baru dan kebingungan orang Kristen  dalam bidang ini  sudah berlangsung lama. Perdebatan mengenai hubungan ke Keristenan dan peradaban berlangsung  dimulai sejak masa kemanusiaan Yesus Kristus ketika Ia ‘yang adalah seorang Yahudi  dan tetap tinggal sebagai orang Yahudi  sampai nafas terakhirnya’ memperhadapkan kebudayaan Yahudi  dengan suatu tantangan yang berat. Masalahnya  semakin jelas melalui pemaparan seorang Rabbi Klausner dalam terminology modern  bagaimana masalah tentang Yesus dan kebudayaan dilihat dari sudut pandang orang Farisi dan Saduki, yang sudah mempertahankan penolakan mereka  akan ‘orang Nazaret’ atas dasar bahwa ia membahayakan orang Yahudi. Tepatnya permasalahan tentang hubungan ke Kristenan  dan peradaban selalu dibicarakan atau diperdebatkan sepanjang segala abad.
                  Orang-orang dayak Kristen di Tamiang Layang tahun 1928 foto koleksi Zending Basel Swiss

           "Kristen Dayak" menunjukkan Injil dimasukkan dalam kebudayaan atau bahkan disesuaikan dengan konteks kebudayaan setempat. Kristus tidak dapat dipisahkan  dari kebudayaan, maka orang Kristen dituntut untuk tidak bersikap acuh tak acuh terhadap keadaan disekelilingnya. Sebab kepada orang Kristen tidak hanya diberi mandat Injil tetapi juga mandat budaya. Tidak bisa dipungkiri, agama manapun timbul dan tumbuh dari suatu kebudayaan. Agama berkembang melalui suatu kebudayaan. Suka tidak suka unsur-unsur kebudayaan  masuk ke dalam suatu agama dan agama bisa memanfaatkan budaya untuk mengembangkan  pengaruhnya. Bagi orang Kristen budaya atau Kristen Dayak , sejarah adalah kisah tentang perjumpan  Roh dengan alam. Di sisi lain ke Kristenan dituntut untuk  menyesuaikan dengan budaya. Ada usaha mencoba memunculkan nilai-nilai Kristiani dalam budaya atau memahami Kristus dengan bantuaan kebudayaan.
            Sedangkan ‘Dayak Kristen’ merujuk kepada pemahaman menguasai budaya, dimana pengertiannya bahwa orang Kristen adalah bangsa terpilih dan Alkitab menjanjikan kebinasaan bagi musuh-musuh Allah. Orang Kristen melihat budaya dunia yang bobrok  dan memutuskan bahwa budaya dunia  harus diganti dengan budaya Kristen. pemerintahan sekuler harus diganti dengan pemerintahan Kristiani. Sikap demikian  semacam sikap bahwa agama  mempunyai kekuatan yang besar untuk mendominasi kebudayaan. Segala sesuatu yang ada dalam dunia ini harus dilandasi sikap menutamakan Kristus. Dayak Kristen berorientasi kepada perubahan dalam kebudayaan asli, karena sebagian besar dari kebudayaan tersebut  di Kristenkan sehingga makna dari kebudayaan  tersebut pada akhirnya dilandasi oleh Kristus. 
              Sampul depan buku Katekismus atau buku pengajaran pokok-pokok iman Kristen berbahasa Ma'anyan (Surat Putut Ajar) diterbitkan pihak Zending Basel sekitar tahun 1930an
                           
          Pendekatan sintesis dan dualis adalah keduanya mempunyai pengertian religius yang sama tentang dosa yang tidak akan dapat diterjemahkan ke dalam istilah moral atau intelektual. Kedua pendekatan ini beranggapan bahwa kebudayaan itu adalah dosa karena kebudayaan merupakan hasil manusia yang berdosa. Kendati seperti itu kebudayaan itu tidak dapat dan tidak boleh dihindari.
         Sedangkan yang menjadi perbedaan antara kedua pendekatan ini adalah dalam pengertian mereka, baik mengenai luasnya maupun mengenai  kedalaman kebusukan manusia. Kelompok sintesis menyadari nalar manusia mungkin digelapkan, tetapi bukanlah dalam kodratnya salah arah, bagi mereka penyembuhan dari penalaran yang jelek terletak dalam penalaran yang lebih baik, dan dalam bantuan Guru Ilahi. Tetapi kelompok dualis  melihat kebejatan dan degradasi dalam semua pekerjaan manusia. Dua kelompok ini juga mempunyai konsep yang berbeda  tentang sifat kebejatan dalam kebudayaan. Kelompok sintesis menjadikan kebudayaan sebagai alat untuk mengarahkan sikap kearah sikap yang mengutamakan Kristus (kebudayaan diperalatkan), sedangkan kelompok dualis tidak memperalat kebudayaan bahkan kebudayaan dan Kristus tidak digabungkan, melainkan Kristus dan kebudayaan itu sama-sama jalan (diparalelkan).
       silahkan anda melihat dimana diri anda berdiri dan berposisi

Sabtu, 26 Mei 2012

NANSARUNAI : Sebuah Romantisme masa Lalu Dayak Maanyan




NANSARUNAI
Sebuah Romantisme masa lalu Dayak Ma’anyan
By: HADI S.MITER 

According to Padju Epat oral traditional history, all
the Maanjan originated from a settlement, Sarunai, which was
said to have been located near the present town of Amuntai in
the Hulu Sungai district of the Bandjar region, which now lies
in the province of South Kalimantan. (Alferd Bacon Hudson 1967).



Dayak Ma’anyan.
Mikhail Coomans dalam bukunya yang berjudul MANUSIA DAYA, menyebutkan orang Daya(K) bagi anggota masyarakat yang bermukim didaerah pedalaman Kalimantan dan yang tidak beragama Islam, walaupun belakangan misalnya orang Bakumpai yang Islam awalnya mengaku Melayu Banjar, sekarang sudah mengakui ke Dayakan mereka. Di Kalimantan Tengan dan Kalimantan selatan Sungai Barito disebut juga sungai Dusun meskipun nama Barito lebih tua karena telah disebutkan dalam keropak Jawa kuno, Negarakertagama (1365). Selanjutnya istilah Dusun banyak digunakan sebagai rujukan untuk daerah Hulu Barito, terutama daerah yang didiami oleh kelompok-kelompok etnis dayak Maanyan, Lawangan, serta Siang dan Murung dan pada umunnya disebut dengan Dusun Timur, Dusun Hilir, Dusung Tengah dan Dusun Hulu.
Ma’anyan adalah nama salah satu sub suku Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan, yang sekarang tinggal dan bermukim di daerah antara sungai Barito dan Pegunungan Meratus, meliputi sebagian wilayah Utara Propinsi kalimantan Selatan dan daerah Timur Propinsi Kalimantan Tengah, pada umumnya tersebar didua kabupaten yaitu Barito timur dan Selatan, serta sebagian kecil berada diwilayah Kalimantan Selatan.. Pada umumnya orang Maanyan berciri hampir sama dengan orang-orang di Asia tenggara pada umumnya yaitu bertubuh sedang, berkulit kecoklatan cerah, rambut lurus berwarna kehitaman, dan beralis sedikit tebal. Sebagai suatu kelompok masyarakat, orang Maanyan memiliki beberapa ciri sosial budaya yang unik dan menarik.
Nimer Widen dalam tulisanya berpendapat bahwa, orang Maanyan ini dalam bahasanya sedikit banyak ditemukan kosa-kata tentang laut atau berhubungan dengan laut yang bisa sebagai rujukan bahwa orang Maanyan itu adalah orang maritim. Kemaritiman orang Maanyan dibenarkan oleh peneliti sejarah Maritim asal Denmark Erik Petersen (Erik Petersen 2000) yang membuktikan bahwa kebiasaan orang-orang Maanyan dalam berlayar, mampu mengantarkan mereka menyebrang samudra menuju benua afrika dan sampai di pulau Madagaskar. Menghilangnya Kemaritiman orang Maanyan itu, diakibatkan terdesaknya mereka ke pedalaman yang membuat gaya hidup maritim mereka berakhir dalam cerita-cerita pengantar tidur.






Ilustrasi gambar yang dibuat oleh Erik Piterson seorang pakar Maritim asal Denmark, kapal yang digunakan oleh orang-orang dayak Ma’anyan untuk menyebrang samudra menuju Madagaskar Afrika. (diambil dari buku: JUKUNG Dari Dataran Rendah Barito 2001 hal.29 )

Tokoh-tokoh orang Ma'anyan bergelar datu (sama dengan datuk dalam bahasa Melayu, yang artinya:bapak dari kakek), patis (bahasa Melayu patih), dan miharaja (sama dengan: maharaja) yang nampaknya itu terpengaruh dari kebudayaan yang berinteraksi dengan mereka. Mereka menyimpan benda-benda pusaka yang berusia ratusan tahun, berupa piring keramik ukuran besar yang bergambar, guci keramik dengan relief naga itu juga menunjukan bahwa mereka juga sudah melakuan interaksi dengan budaya Cina. tabak (nampan berbentuk bunga) dari kuningan, gong dan gelang dari gangsa, tombak dan keris, dan pakaian kebesaran mirip pakaian Jawa. Sedangkan dalam ritus kematian, mereka memiliki kesamaan dengan adat Bali, yaitu melakukan upacara pembakaran tulang-tulang orang mati untuk mengantarkan roh mereka ke tempat paling akhir, yang dalam bahasa maanyan disebut: Ijambe. (Ijambe berasal dari awalan I berkonotasi 'sibuk' dan kata kerja jambe yang berarti 'menangani').
Mereka juga mempunyai kebiasaan yaitu taliwakas atau menuturkan “sejarah masa lalu dan adat-istiadat” mereka pada setiap upacara adat penting. Istiadat menceritakan kembali sejarah dan adat ini disebut orang Maanyan ngalakar, atau ngentang atau nutup entang, atau nutup tarung. Selain taliwakas, mereka juga mempunyai banyak cerita-cerita yang disebut juga Tanuhuyen, berupa legenda, balada, dan juga nyanyian-nyanyian tentang kebesaran dan kemakmuran mereka di masa lalu, tentang tokoh-tokoh sejarah, disebuah 'kerajaan' (kecil) yang menurut mereka bernama Nansarunai.



Nansarunai Sebuah Negri Yang Tak Tercatat
         Apakah Nansarunai sebuah kerajaan?memang banyak menyebutkannya sebagai sebuah kerajan. Walaupun memang tidak ada bukti apapun yang bisa digunakan untuk merujuk kearah itu selain cerita lisan saja. Sehingga saya meminjam istilah dari Marko Mahin yang menyebut bahwa Nansarunai adalah Negara etnik (Etnik State). Nama Sarunai berasal dari kata “serunai” yakni alat musik sejenis seruling yang mempunyai tujuh buah lubang. Alat musik ini sering dimainkan orang-orang Suku Dayak Maanyan untuk mengiringi tari-tarian dan nyanyi-nyanyian. Konon, masyarakat Nan Sarunai sangat gemar menari dan menyanyi. Sebenarnya istilah lengkapnya adalah Nan Sarunai. Kata “nan” diduga berasal dari bahasa Melayu yang kemudian dalam lidah orang Maanyan dilafalkan hanya dengan ucapan Sarunai saja. Dengan demikian, nama “Nan Sarunai” berarti sebuah tempat masyarakatnya gemar bermain musik (Sutopo Ukip, 1998).
         Walaupun pada awalnya didalam tradisi atau sejarah banjar, tidak pernah disinggung tentang Nansarunai namun nampaknya sejak banyaknya penelitian yang berkaitan dengan sejarah dan juga nampaknya tradisi oral masyarakat dayak Maanyan mulai diakui, maka tidak heran dalam buku yang diterbitkan oleh Tim penelitian sejarah banjar pada tahun 2003 menyebutkan bahwa, Nan Sarunai ditempatkan ke dalam fase negara suku hal tersebut dirasa tepat karena Nansarunai merupakan pemerintahan purba yang dikelola oleh orang-orang dengan karakter yang masih berlingkup kesukuan, yakni Suku Dayak Maanyan. Selain itu, keberadaan Nan Sarunai juga dapat dikatakan sebagai pondasi awal dalam menyokong berdirinya beberapa pemerintahan pada masa berikutnya, yaitu seperti Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Daha, hingga Kesultanan Banjar. Dengan kata lain, Nan Sarunai adalah yang mengawali mata rantai perjalanan sejarah Banjar di Kalimantan Selatan. Oleh karena itu sangatlah sulit mencari leteratur yang berhubungan dengan Nansarunai selain dari nyanyian-nyanyian magis para balian.


Dibawah Bayang-bayang”Usak Jawa”
Berikut ini adalah syair Nansarunai usak jawa yang ditulis oleh Sutopo Ukip dan Esun Bae (Ukip 1998) walaupun banyak versi sebenarnya tentang syair ini. Setiap sub suku Dayak Maanyan seperti Paju epat, kampung Sapuluh maupun Banua Lima punya versinya sendiri-sendiri. Bahkan tiap tetua-tetua terkadang juga memiliki perbedaan masing-masing

NANSARUNAI USAK JAWA
syair pertama

Nansarunai takam rome usak Jawa
Ngamang talam takam lulun unggah Gurun

Nansarunai takam galis kuta apui
Ngamang talam takam jarah sia tutung

Nansarunai takam wadik jari danau
Ngamang talam takam wandui janang luyu

Hang manguntur takam galis em'me angang
Kuda langun takam jarah mangalongkong

Suni sowong kala tumpuk tanan olun
Wayo wotak alang gumi Punei Lului
syair kedua

Batang Nyi'ai ka'i hawi tamurayo
Telang nyilu ne'o jaku taleng uan

Anak nanyo ka'i hawi nganyak kaleh
Bunsu lungai ne'o jaku ngisor runsa

Ngunu ngugah pasong teka watang tenga
Hamen bingkang kilit iwo pakun monok

Muru pitip Nansarunai ngunu hulet mengalungkung
Ngamang talam takam tantau nuruk nungkai

Hang manguntur takam kala harek jatuh
Kudalangun takam alang rakeh riwo

Hang manguntur takam kala buka payung
Kudalangun takam alang bangun tang'ngui

Jam'mu ahung takam kawan rum'ung rama
Luwai hewo padu ipah bawai wahai

         Karena adanya Nansarunai terdapat pada periode sebelum munculnya kerajaan Nagara Dipa maka, saya meyakini tradisi yang menyebutkan ”Nansarunai usak Jawa” yang banyak diasumsikan sebagai serangan pihak Jawa (besar kemungkinan dari pecahan kerajaan Majapahit) yang membuat Nansarunai pecah dan tercerai berai. Hal tersebut memang tercermin dari syair diatas yang menggambarkan sebuah kerusakan dan kehancuran yang datang dari luar. Namun saya melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, dimana Nansarunai Usak jawa adalah sebuah kekalahan budaya. Bukan dalam bentuk peperangan, karena saya berasumsi kalaupun ada peperangan harusnya dicatat oleh pihak Penyerang dalam hal ini adalah Jawa, karena pihak Jawa yang terpengaruh kebudayaan besar Majapahit sudah mapan dari segi budaya dan mengenal baca tulis pastilah mencatat tentang kejadian penting seperti itu. Kekalahan budaya masyarakat Ma’anyan di Nansarunai terjadi karena mereka dalam hal ini masyarakat Nansarunai kaget dengan hadirnya kebudayaan yang jauh lebih besar dan mapan untuk ukuran saat itu. Sehingga mereka berangsur-angsur meninggalkan Nansarunai. Namun intinya Usak jawa adalah sebuah kesedihan, ratapan dan rasa tersingkir oleh sebuah kekuatan dari luar, yang menyebabkan orang Maanyan merasa sangat kehilangan.



Laki-laki dengan sumpit yang terdapat direlif candi Borobudur yang menurut para Antropolog adalah orang-orang Dayak yang berhubungan dengan orang-orang Jawa


Jejak-jejak meninggalkan Nansarunai bisa terlacak pada suku Merina di Madagaskar Afrika, Dayak Tumang di Samihim dan di Warukin Tabalong dan bahkan didaerah seperti di Pasar Arba Kalua (banua lawas). Selanjutnya tentu saja dimana tempat bekas berdirinya Nansarunai, maka orang-orang dari Jawa mendirikan Kerajaan dan itu tercatat dalam sejarah disebut dengan Negara Dipa yang bercorak Hindu yang dalam Hikayat Banjar disebutkan dipimpin oleh Empu Jatmika ayah dari Lembu Mangkurat dan Negara Dipa datang suatu tempat yang bernama Keling yaitu suatu daerah sekitar Kediri utara, Nagara Dipa kemudian berlanjut ke Nagara Daha dan Kesultanan Banjar. Lahirnya kesultanan Banjar yang awalnya Negara Daha yang bercorak hindu menjadi Islam, dikarenakan konsekwensi dari perjanjian  Sultan Suriyansah pada kerajaan Demak, dalam upayanya merebut takhta kerajaan dari pamannya. Perpindahan keyakinan tersebut juga berimbas pada disingkirkannya keyakinan-keyakinan lama baik itu Hindu maupun keyakinan lokal seperti Kaharingan, yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam yang berlaku dalam cerita lisan Banjar ada ditemukan, seorang ulama kharismatik yang bernama Khatib Dayyan dikirimkan kerajaan Demak untuk mengajarkan Islam secara intensive. Dan proses Islamisasi lebih diperkuat pada abad ke-18, ketika Syekh Arsyad al-Banjarai, yang menuntut ilmu agama di Mekkah, dan pulang serta menjadi penasehat dari Sultan Tamjidillah. Sehingga tamatlah riwayat jejak-jejak Nansarunai.
 Akibat pecahnya Nansarunai juga berimbas kepada, Suku Dayak Maanyan terbagi dan tersebar menjadi beberapa sub suku kecil, yaitu: (1) Maanyan Siung yang bermukim di Telang, Paju Epat, dipimpin oleh Uria Napulangit, (2) ma’anyan Kampung sapuluh (paju sapuluh) dipimpin oleh Uria Biring (3) Uria Magaί yang memimpin Banua Lima. (Hudson, dalam Padju Epat 1967). Namun sekarang suku Dayak Ma’anyan sebagian besar bermukim didaerah Barito Timur dan Barito Selatan, Kalimantan Tengah.
         Siapa pemimpin Nansarunai, sekali lagi inilah sulitnya melacak tokoh tersebut karena tidak ada sejarah tertulis yang valid dan bisa digunakan sebagai rujukan. Hanya saya meminjam tulisan dari Sutopo Ukip (Sutopo Ukip 1998)yang menyebutkan Raden Japutra layar pada kurun 1309-1329 M, penerus Raden Japutra Layar sebagai pemimpin Nan Sarunai adalah Raden Neno (1329-1349) dan kemudian Raden Anyan (1349-1355). Raden Anyan, bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas, adalah pemimpin terakhir Nan Sarunai. Dan istilah Raden nampaknya sangat kental berbau budaya Jawa, jadi saya lebih beranggapan istilah Raden lebih kepada serapan dari budaya Jawa




Seorang balian dayak Maanyan saat membacakan doa-doa dalam mengantarkan arwah menuju Datu tunyung Gahamari  dimana Nansarunai telah menjelma ke alam swarga loka ( diambil dari Judit M.Hudson “SOME OBSERVATIONS ON DANCE IN KALIMANTAN” Cornnel University 1967 hal. 141

            Saya menyebutkan bahwa Nansarunai adalah romantisme masa lalu masyarakat Dayak Maanyan, dimana mereka mencoba menggambarkan Nansarunai adalah sebuah Kerajaan besar dipimpin oleh raja-raja, sebagai jawaban terhadap kebudayaan besar yang menyingkirkan keberadaan mereka. Dan Nansarunai juga merupakan symbol kejayaan yang gilang gemilang, yang terus menerus dinyanyikan dan dihayati dalam lantunan nyanyian para Balian, saat menghatrakan para arwah untuk kembali menuju kepada sang Alatalla Ngaburiat Hyang Piumung Jaya Pikuluwi yang menciptakan nenek moyang orang Maanyan pada mitos penciptaan yang disebut mula jari atau juga imula alah. Dalam Nyanyian Wadian Pangunraun  yang disebut dengan ”Nyarunai” dimana Nansarunai hadir dan menjelma dalam alam datu tunjung gahamari (swarga loka Dayak Ma’anyan) dan dimana setiap jiwa-jiwa orang Ma’anyan akan bersatu kembali di Nansarunai.






Selasa, 17 April 2012

SOTA ONO PAHLAWAN ATAUKAH KAKI TANGAN KOLONIAL?

SOTA ONO PAHLAWAN ATAUKAH
KAKI TANGAN KOLONIAL?
Oleh: Hadi Saputra Miter


Sketsa Suta Ono diambil dari buku
"Gedenkbuch der Rheinischen Missions-Gesellschaft."
Rhenish Mission in 1878. 
printed in Barmen, Germany. hal 140.





Siapa Sota Ono?
  Sota Ono hidup dalam legenda yang tidak jelas, campur aduk. Ada yang menyebut dia seorang raja, orang sakti mandraguna, pahlawan Dll. Namun faktanya adalah abunya kremasinya tersimpan di Telang uhang ( Telang Lama ) Kec.Paju Epat Kab.Barito Timur, yang lazim disebut dengan tamak mas (karena maanyan paju epat melakukan pembakaran mayat/kremasi yang disebut Ijambe/ijame) dipeti penyimpanan abunya, terpahat ukiran medali penghargaan pemerintah Hindia Belanda seperti medali Singa Belanda (leeuw nederlandsedan Bintang kesatria (Ridder Nederlandse), bintang militer Williem Orde kelas 3. ada apa di dengan orang ini mengapa dia berpengarauh dan bisa menerima medali-medali tersebut????
  Lahir di Telang sekitar Tahun 1822, dengan nama kecil Aboe. Kakeknya adalah seorang kepala suku yang berpengaruh SUTAWANA atau GEGER ayah dari ibunya yaitu KALIMAH. Sedangkan ayah Aboe adalah tokoh Kapuas-Dadahup yaitu SUMA (namun di wilayah Paju Epat dia tidak mendapat jabatan apa-apa) sehingga dari kakek nyalah SOTA ONO/Aboe yang memperoleh tongkat estafet jabatan kepala adat Maanyan Paju Epat. Sota Ono meninggal pada 27 April 1894. dia dimakamkan secara kremasi menggunakan adat Maanyan Paju Epat.
. Dia menjabat bertepatan dengan masuknya Hindia Belanda ke Kalimantan, sehingga Sota Ono masuk Didalam bagian struktur pemerintahan Hindia-Belanda, dimana wilayah Maanyan Paju Epat menjadi wilayah distrik dari tanah Gubernemen, yang disebut dengan Landschaap Sihong. Letnan C.Banggert dalam catatannya menggambarkan sosok tentang Sota Ono ia menuliskan :
 “Sota Ono ialah orang yang suka bertanya untuk memeperluas pengetahuannya ia juga merupakan seorang yang ringkih dan lemah secara fisik namun ia adalah orang yang dapat dipercayai sebagai teman dan dia adalah seorang kepala pribumi yang cakap”. (C.Banggert, Verslag  Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken Van Doessoen Ilir , KITLV 1857)
Saat Kedatangan tenaga zending (dari badan missi RMG Jerman) pertama yaitu Denniger pada tahun 1851 dengan pangkalan atau stasi pertama yaitu kampung Murutuwo, di Morotowo Sota Ono mempengaruhi para pemuda  untuk masuk sekolah dengan ia sendiri menjadi contoh dengan masuk sekolah. 


Ukiran Medali Penghargaan Dari Belanda Kepada Sota Ono

Terlibat dalam Atmosfir Perang
Meletusnya pemberontakan Hidayat terhadap pemerintahan belanda saat itu melahirkan sentiment anti orang kulit putih  Yang menular kepada orang-orang Dayak saat itu, dimana di pemukiman Bangkal dan Kalangan terlibat juga sejumlah pekerja paksa orang-orang Dayak ngaju dan Banjar yang berhasil melepaskan diri akibat revolusi yang dikobarkan oleh Hidayatullah mereka kemudian menjarah, membunuh, dan merusak kediaman orang-orang Eropa yang mereka temui. Ketakutan tergambar disetiap para penginjil saat itu Klemmer yang berada di Tamiang Layang dan Denninger yang ada di Mortowo pada saat itu dilindungi oleh para pemimpin suku dayak Ma’anyan yaitu Sota Ono dimana secara heroik saat Klemmer pergi ke Banjarmasin dari sungai Sirau Tamiang Layang, klemmer diancam ingin dibunuh oleh sekelompok orang dikapal dan Sota ono berperan  melindunginya dari aksi anti kulit putih saat itu kejadian tersebut terjadi, pada tanggal 17 mei 1859 tidak hanya Klemmer yang selamat E. Deningger di Telang juga selamat bersama Istri dan seorang anak  berhasil selamat sampai Banjarmasin. ( lebih lengkap dapat dilihat dalam tulisan saya ZENDING ISA PALANUNGKAI)
Pada tanggal 13 mei 1861 Sota ono membawa 229 prajurit Siong dan 176 prajurit Dari Patai bersama 142 serdadu belanda dibawah mayor C.A Schuack melakukan mars dari Tamiang Layang untuk meredam pemberontakan Antasari di gunung Tongka. (ulasan lengkapnya dalam buku Le Rutte, Episode Uit Den Banjarmasingchen Oorlog:Expeditie De versteking Van Pangeran Antesarie 1863) Sota ono bersama orang-orang siong adalah suku yang sangat diistimewakan oleh pemerintah hindia-belanda, dikarenakan mereka banyak membantu menumpas pemberontakan-pemberontakan (salah satunya perlawanan Wangkang yang berhasil ditumpas oleh Suta Ono di Taluk Masigit Marabahan). sehingga mereka banyak mendapat perlakuan istimewa salah satunya penghapusan pajak kepala. Pada tahun 1870 sota ono menerima penghargaan medali Singa Belanda (leeuw nederlandsedan Bintang kesatria (Ridder Nederlandse), bintang militer Williem Orde kelas 3.
Penghargaan tersebut diterimanya dengan sebuah upacara besar dilapangan keresidenan yang dihadiri oleh semua orang eropa dan pemimpin dari golongan cina serta pejabat pemerintahan Belanda dan penduduk setempat menghadiri peristiwa penting ini. seluruh garnizum berbaris rapi dalam formasi upacara suta ono hadir mengenakan pakaian lengkap (regalia) serta memakai sepatu baru dan didampingi oleh Residen Tromp dan letnan colonel Schultze. Terkesan oleh pawai dan penghormatan terhadap dirinya Sota ono menitikan air mata. (J.D Jong, De Opstand van Wangkang, Journal Van den dag 1870 hal 591-592 )
Bahkan sampai ia pensiun Sota Ono tetap sering mengunjungi sahabat-sahabatnya orang-orang Eropa di Banjarmasin, namun ia menolak untuk tinggal di Banjarmasin. ia tetap senang hidup bersama rakyat-rakyatnya di Siong dan Telang.  (C De Goeje, Een Bezoek Aan Sota Ono In De Dajak Lenden, De Beir 1878)


Tambak mas tempat abu kremasi Sota Ono



Berpaling dari Bayang Sultan Banjar, Berlindung Di Bawah Panji Natherland
Sebelum masuknya Belanda Orang Maanyan berada dibawah kekuasaan kesultanan Banjar
dimana sultan banjar melakukan politik bagi suku-suku dayak pedalaman, dimana mereka tidak boleh menjual hasil-hasil hutan langsung kepada pedagang-pedagang asing, hasil hutan haruslah dijual kepada pemerintah kesultanan dengan harga amat murah lalu kemudian diangkut menuju Banjarmasin dan dijual dengan harga mahal kepada orang asing. Secara tidak langsung wilayah masyarakat maanyan adalah dibawah kepemimpinan kesultanan Banjar[1].
C.Bangert pada tahun 1857, pernah mencatat lirih sedih orang-orang maanyan dari daerah Patai, korban cengkraman Kesultanan Banjar :
setiap orang membayar pajak secara tunai karena setiap orang harus membayar 200 duiten perkepala pertahun. Dan ditempat ini (patai) juga wajib menyediakan 1000 batang pohon ulin untuk keperluan taman rusa Sultan, yang di pungut langsung oleh Pangeran Achmad  [2]
 Suta Ono hanyalah manusia yang apa adanya bukanlah Hero apalagi Super Hero seperti yang ada di komik-komik, yang hidup tanpa cacat. Sota Ono merupakan manusia yang merasa pihak Belanda jauh lebih baik sebagai tempat berlindung, secara ekonomi, dan Pendidikan lewat Zending untuk memperbaiki generasi Maanyan. Yang sangat berbeda ketimbang berlindung dengan Raja-raja dan aristokrat lokal yaitu Kesultanan Banjar, yang cenderung mengekplotasi keterbelakangan pengetahuan orang Ma'anyan bahkan ditekan dengan kekuatan militer. Sejarah Indonesia selalu menilai bahwa Belanda adalah penjajah antagonis dan yang bertantangan diklaim sebagai Pahlawan, tanpa melihat konteks dimana sejarah itu muncul. Silahkan melihat siapakah si Sota Ono pahlawankah atau kaki tangan penjajah????





DAFTAR BACAAN

Hadi.S.Miter, Hakey: Kala orang Maanyan menjadi Islam (Banjarmasin bulletin Rakat 2005).
Von F Kriele, Das evangelium bei den dajak auf borneo, (Barmen: Verlag des Missionshauses in Barmen, 1915)
Hermann Witschi, Cristus Siegt Gheschite der Dajak-mission auf Borneo, (Von Basel 1942).
Van Den End, ragi carita 1, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia 2001)
Fridolin Ukur, Tuayannya Sungguh Banyak, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia 2001)
-----------------, Tantang Djawab Suku Dajak (Jakarta: BPK Gunung Mulia  )
Gunadi Kasnowiharjo dkk. Sungai dan kehidupan masyarakat di Kalimantan (Banjarbaru: KOMDA Kalimantan Selatan 2004)
Helius Samsudin, Pegustian Dan Tumenggung Akar Social Pilitik Etnis Dan Dinasti Perlawanan Dikalimantan Selatan Dan Tengah 1859-1906, (Jakarta: Balai Pustaka 2001)
Sutopo Ukip dkk. Sejarah Dayak Maanyan, Banjar, Merina di Madagaskar (belum diterbitkan)
A.B.Hudson, Padju Epat  The Ethnography And Social Structure Of Maanjan Dajak Group In Southeastern Borneo (USA: University Microfilm 1967)
C De Goeje, Een Bezoek Aan Sota Ono In De Dajak Lenden, (De Beir 1878)










[1] Dokumentasi Wali Gereja , Sejarah Gereja Katolik  di Indonesia (Jakarta,KWI: 1974) 337. Hubungan Banjar dan Ma'anyan juga dapat dilihat dari adaya kursi  bagi wakil kesultanan Banjar didalam tempat persidangan orang maanyan dan dalam upacara ijambe orang banjar disediakan tempat khusus yang disebut dengan balai hakey. (F.ukur tantang jawab suku dajak 80-81 bandingkan juga Hadi.S.Miter, Hakey:Kala orang Maanyan menjadi Islam bulletin Rakat 2005).
               [2]A.B.Hudson, Padju Epat  The Ethnography And Social Structure Of Maanjan Dajak Group In Southeastern Borneo(USA: university microfilm 1967) 92 bandingkan C.Banggert, Verslag  Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Straken Van Doessoen Ilir (Laiden: KITLV 1857)