Rabu, 26 Maret 2014

Sekilas Mengetahui Tokoh: TUMENGGUNG JAYA KARTI (Djaelan)



Sekilas Mengetahui Tokoh:
TUMENGGUNG JAYA KARTI (Djaelan)
By: Hadi Saputra Miter



Adakah yang mengenal Tomenggung Djaja Karti? saya mencoba menyelidiki tokoh ini dari Dinas Pariwisata Kabupaten Barito Timur  terutama bidang sejarah dan kepurbakalaan, saya mendapatkan penjelasan yang tidak memuaskan yaitu:
“Tumenggung Jaya Karti dikenal dengan sifat "Taguh Gansang Mape Maleh" yang artinya : Teguh, Kuat dan Kebal…dan setia membela tanah leluhur suku dayak. Makamnya terletak di ibukota Tamiang layang dan dinilai sebagai tokoh yang mempunyai nilai sejarah juga mitos karena memiliki sifat pemberani berpengaruh bagi masyarakat Dayak”. (buku dinas pariwisata Barito Timur 2008)
Saya merasa sangat tidak nyambung dengan penjelasan diatas, nampaknya pihak pemerintah sama sekali tidak memiliki data yang menunjang selain dari pragraf yang dibuat asal-asalan tersebut.
Investigasi tentang tokoh Tumenggung ini saya lakukan dengan pendekatan wawancara dengan keluarga ataupun keturunan beliau. Hal tersebut merupakan pintu masuk.
Misteri tidak begitu saya terungkap pihak keluarga hanya menyatakan bahwa Djaelan atau Tumenggung Djaya Karti ini berasal dari patai, dan keluarga besarnya adalah keluarga Blantan yang ada di Tamiang layang. Dari petunjuk keluarga bahwa orang yang  memiliki data cukup lengkap adalah (Alm) Pdt.Dr Fridolin Ukur. Apa mau dikata kalau begitu data otomatis menghilang, kemudia keluarga merekomendasikan untuk menemui Bapak Satria Ngindra. Keadaan makin rumit Satria Ngindra dalam keadaan sakit terlebih dia harus dibawa anaknya ke Tanjung tabalong untuk menjalani perawatan pasca oprasi kataraknya.
Jalan terakhir saya dipertemukan dengan mantak Kepala Sekolah SMA 1 Tamiang Layang bapak Drs. Karno.A Dandan, beliau memiliki arsip silsilah (jereh) dari keluarga besar Tumenggung Jaya karti dari tulisan tangan (alm)F.Ukur, luar biasa saya sangat tertolong, walaupun informasi tentang diri Tumenggung Jaya Karti sangat minim. Namun silsilah ini saya anggap sesuatu hal yang sangat membantu selanjutnya dalam investigasi saya.

Manuskrip silsilah Tumenggung Jaya karti (di susun Alm.Pdt.DR.Fridolin Ukur)


Kunci selanjutnya yang saya gunakan adalah menggunakan arsip-arsip pemerintah Belanda, dan yang sangat mengejutkan bagi saya adalah saya menemukan nama Tumenggong Djaya Karti bahkan peristiwa kapan dia diangkat menjadi tomenggong terangkum cukup akurat oleh Letnan C.Bangert ( Kepala sipil untuk wilayah bakumpai dan tanah dusun) dalam catatan perjalanannya ke wilayah maanyan tahun 1857 yang diberi judul VERSLAG DER REIS IN DE BINNENWAARTS GELEGENE STREKEN VAN DOESSOEN ILIR yang isinya sebagai berikut :
“Tanggal 20 mei 1857 saya tiba di tameang Laijang  dan Kepala suku  Tamian Laijang adalah seorang pria tua, ia cukup disegani oleh masyarakat hanya usianya yang sudah tua membuat beberapa perkara tidak bisa ditangani olehnya, Dia adalah orang Daijak, bahkan sebagai seluruh desa Tameang laijang ini hanya dihuni orang Daijaks
Tingkat populasi ini berkisar  300 jiwa,  laki-laki berbadan sehat  60 jiwa.  Dalam kampong ada terdapat  dua rumah  berkonstruksi besar, mereka juga memiliki baleij sangat besar atau pondoppo (di sini disebut Balai) dibuat di sana. Rumah ini sangat menyenangkan, karena perumahan sedemikian jauh lebih baik daripada  rumah orang dayak pada umumnya. Jadi saya memutuskan untuk tinggal di  baleij (balay) ini dan meninggalkan barang-barang  saya disana.
Tapi segera saya menerima kabar dari kepala adat/suku Tamian Laijang bahwa ia akan meminta saya berjaga pada malam hari, karena saya memiliki banyak barang untuk berhati-hati karena ada  pencuri dari Patai. saya memberi orang kesempatan untuk bertemu dengan mereka dan mendengarkan tentang perselisihan serta permasalahan yang mereka hadapi. Banyak kasus kecil diselesaikan oleh saya hari itu di kalangan kepala suku. Nampaknya semua permasalahan tersebut berpangkal karena sang Kepala suku yang ada sudah sangat tua
Aku mengambil dalam pertimbangan semua yang disebutkan diatas sehingga untuk menyenangkan hati mereka pertama dalam permintaannya mereka adalah untuk pemberhentian kepala suku yang sudah usia lanjut ini. setelah mendengar tentang alasan tersebut, maka keinginan mereka ini yaitu memilih kepala suku agar diselenggarakan, saya ditunjuk untuk pertama kalinya kepala suku dan akhirnya yang terpilih adalah seorang laki-laki yang berasal dari dari kampung kiri distrik Patay untuk menjadi  kepala kampong/suku Tamiang Laijang di beri gelar Tomongong Djaija, Semua kepala desa distrik Patay hadir dalam pemilihan tersebut.
Tanggal 21 mei 1857 kepala suku yang baru diangkat dengan sumpah dan ketaatan dengan cara Dayak ke tangan saya. Dia berdiri di tempat terbuka, di dalam lingkaran penonton, Semua kepala desa distrik Patay  duduk tempat barisan pertama. Kemudian mereka mengacungkan Mandau (pedang dayak) ke cakrawala, ia memohon kepada dewa dan Hantu bersaksi bahwa ia akan ketaatan kepada pemerintah dan keadilan untuk rakyatnya akan diberikan. Kemudian Dia berjongkok.  Selanjutnya Mandou diletakan atas kepalanya, dan dia menyatakan siap mati untuk keadilan selanjutnya dia berdiri. Kemudian datang kepadanya semua kepala desa dan menyentuh dada dan tangan dengan lehernya, kemudia Menyerahkan ayam yang baru dibunuh , yang ada di tangan mereka masing-masing.
Hal ini dijelaskan kepada saya untuk menjadi tanda bahwa para kepala desa tunduk kepada perintahnya. Akhirnya beberapa wanita tua, mendekati Tomongong yang baru serta menaburinya dengan beras kuning. Dengan ini upacara selesai.[1]
                
keluarga besar Blantan keturunan 
Tumenggung Jaya Karti tahun 1940an

        Bisa kita lihat kedekatan Tomenggung Jaya Karti dengan orang Eropa, salah satu kedekatannya terlihat saat kedatangan missionaries Klammer di Tamiang Layang hal tersebut terungkap dalam surat  Missionaris Klammer saat memulai penginjilannya di Tamiang Layang yang dikirimkannya kepada badan missi di Barmen Jerman:
                Pertimbangan saya dalam memilih tempat ini. Yang  pertama ; kepala-kepala suku  tinggal di sini, kedua; bahwa Tamiang Layang pusat semua  kegiatan  di distrik  PateI , dan yang ketiga ; walau  sekarang air sungai agak mengeringkan waktu saya tetap dapat datang ke tempat ini, walaupun hanya dengan  Djukong ( perahu kecil ) di waktu musim panas , bagaimanapun nampaknya air  lebih banyak turun daripada di Sihong .
                kedatangan kami disambut  hangat . saya juga tidak ingin lama bersembunyi dari orang-orang, dan ingin menceritakan tujuan kedatangan kami. Tempat kediaman kami diberikan oleh  Tommonggong – dan tanaman yang ada disepenjang jalan pun boleh kami petik untuk kebutuhan kami , karena itulah mengapa Tamiang Layang bukan  Sarapat atau tempat lain tentang karena kami juga tidak lagi diragukan.
Di malam hari pertemuan besar untuk menjelaskan maksud dan tujuan kami berada disini kepada kepala suku, dan juga memperlihatkan surat-surat tugas dan surat ijin dari pemerintah, bahwa Pandita harus tinggal di antara mereka. Kami juga untuk menyampaikan firman Tuhan. Tidak ada yang membantah, hanya Tommonggong  itu memohon  agar menentukan sebuah hari di mana ia dapat memanggil kepala suku dari tempat-tempat lain, dan kemudian untuk membahas masalah ini dengan mereka .  Mungkin seharusnya tidak menentang apa otoritas perintah mereka, nampaknya ini menjadi  hadad (custom ) . Akan lebih baik kalau hal itu bisa dilakukan sekitar 8 hari kemudian, karena kemudian mereka akan melaksanakan acara besar  mengenai permintaan  Kami  tersebut , dan kami berjanji untuk kembali setelah lagi setelah 8 hari.  Maka Tommenggong  akan membantu menyediakan untuk orang-orang , (untuk  menebang semak )  segera dalam 8 hari ……
Di Baley ( bangunan terbuka ). Malam harinya ada lagi pertemuan besar.  kerumunan besar hadir di Balei itu merupakan pemandangan yang luar biasa, Puji Tuhan . …  Semuanya berjalan seperti yang diinginkan. Hanya Tommonggong  mengatakan bahwa ia merasa kasian dengan anak-anak dari Sangerwasi agak jauh untuk anak-anak tersebut  untuk bisa ke sekolah, bagaimana jika mereka sedang dalam perjalanan, dan mereka ketakutan dijalan karena suara burung atau binatang hutan, maka mereka kembali pulang karena ketakutan,  apakah mereka kemudian akan dihukum?  Tapi untung  saudara Denninger bisa memberikan penjelasan  dengan mengatakan hal tersebut akan mereka pertimbangkan dan sumua itu bisa diatur nanti. Seekor babi akhirnya kami beli seharga 140 sen kemudian diberikan untuk dimasak dan dimakan bersama , karena kami mengadakan  pesta besar . Untuk 80 orang yang hadir. Dengan tanganku, aku memainkan harmonika dan disambut dengan sukacita, karena nampaknya music ini tidak pernah dilihat dan didengar  oleh mereka.[2]
               
Begitu pula saat meletusnya perang Banjar maka Tumenggung ikut memberikan kontribusi pasukan dalam melakukan pengepuangan ke Gunung Tongka, yaitu dengan memberkin support pasukan sebesar 176 orang dari distrik patai yang dia pimpin.[3] untuk foto diri dari Tumenggung sampai hari ini memang belum ditemukan.
memang tidak bisa dipungkiri Tumenggung Jaya Karti dan keturunannya mengambil kedudukan penting dalam pentas perjalanan sejarah di Tamiang Layang. kontribusinya juga bukan hanya kemajuan agama Kristen melainkan juga kepada pendidikan dan memberi keamanan sepada pemerintah Belanda saat itu. sehingga akses jalan darat bisa dicapai di Tamiang Layang.




[1] C.Banggert, Verslag Der Reis In De Binnenwaarts Gelegene Streken Van Doessoen Ilir (Indische Taal Land Volkenkunde IX) 161-163
[2]  Klammer, Der Aufang auf Tameang Laijang: Berichte der Rheisinche Missions Gesellschaft  ( Barmen 1858)27-29
[3] W.A Van Rees, De Banjarmasinsche Krijg 1859-1863 ( Arnhem 1865) . 43