Jumat, 18 Januari 2013

SAAT SENI TERGANJAL POLITIK


SAAT SENI TERGANJAL POLITIK :
Saat Ulun Maanyan Terperangkap Pergolakan Politik 1965 
            

By: Hadi Saputra Miter

Menari karena identitas
Saya dibesarkan dikampung Haringen, sebagai seorang Maanyan asli saya dibesarkan dengan budaya Maanyan yang saya cintai. Setelah menyelesaikan pendidikan saya di Tamiang layang, saya masuk militer di Palangkaraya, saya kemudian di tugaskan di Kapuas dan menikahi seorang perawat cantik yang berasal dari Buntoi Penda Alai, kami menetap dirumah dinas tentara di kuala Kapuas. Sebagai seorang pemuda maanyan yang mencintai budayanya, saya sangat  pandai dalam menari Bawo, sehingga  banyak orang memuji kepandaian saya. Sampai pada suatu ketika saya bertemu dengan seorang seniman dari LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang diasuh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) saya sering diajak oleh seniman-seniman LEKRA menari kemana-mana dan saya diijinkan oleh kesatuan.

LEKRA (Lembaga Kebudajaan Rakjat) tahun1950an di Jakarta

Mimpi buruk itu datang
Sampai pada saat peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober) meletus di tahun 1965, semua elemen PKI dibersihkan, ditangkap ditahan bahkan ada yang kabar tersiar banyak anggota simpatisan PKI yang dibantai oleh militer di Palangkaraya. Nama saya tercantum sebagai anggota PKI karena ada nama saya dalam catatan anggota penari LEKRA yang notabene sebagai bagian dari PKI. Semua menjadi kacau istri saya dipecat sebagai perawat, sedangkan saya langsung diberhentikan dari kesatuan sebagai seorang tentara.
Saya sempat ditahan, namun karena saya memang banyak kenal tentara disitu maka saya tidak diapa-apakan sehingga sekitar beberapa bulan kemudian saya dibebaskan, kami diusir barang-barang kami dibuang diteriaki komunis anjing dan sebagainya. Semua kawan seolah menjauhi saya dan istri, walaupun saya dilepaskan namun tetap wajib lapor dan KTP saya ditandai sebagai Eks Tapol yang dianggap terlibat G/30 S (gerakan 30 September) hilanglah semua hak hidup saya sebagai seorang Warga Negara. Istri saya mengajak untuk pulang kekampung nya yaitu Buntoi, stigma sebagai PKI membuat saya dan istri terkucilkan baik digereja, ditempat keramaian sampai ngobrol-ngobrol dengan orang pun sering dicibir. Saya sering berpikir sungguh tragis nasibku hanya karena menari atas rasa bangga sabagai Ulun Maanyan, akhirnya membuat hidup saya menjadi ketar-ketir.  Tapi satu hal bahwa saya sampai kapanpun tetap cinta dan bangga sebagi seorang putra Maanyan.


penangkapan orang-orang yang dianggap anggota 
PKI (Partai Komunis Indonesia) tahun 1965an

 Ulun Ma'anyan di Antara Pergulatan Idiologi dan Seni
Peneliti Amerika A.B Hudson membenarkan bahwa sekitar tahun 1962-1964 ditengah-tengah orang-orang Maanyan terdapatnya tiga lembaga kesenian yang berafiliasi dengan partai-partai politik seperti LEKRA yang dibawah PKI, sedangkan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dibawah PNI (Partai Nasional Indonesia) dan BAKEDA (Badan Kesenian Dayak) namun yang paling aktif dalam membina kesenian adalah LEKRA.
Alm Pdt.DR Fridolin Ukur juga pernah menulis bahwa pengaruh partai PKI sangat kuat di Kalimantan, jadi pada tahun 1959 tidak aneh kalau kantung-kantung anggota PKI banyak tersebar di Barito Timur, Kahayan dan Kapuas. Secara pribadi saya menilai bahwa banyak Ulun Maanyan yang terlibat Komunis bukan karena politik tetapi karena ketidak pahaman mereka, bahkan meletusnya GESTOK sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Mereka hanya korban dari perang dingin antara dua kubu besar Komunis dan Kapitalis pada masa silam.

Sumber:

Gerry van Klinken, Colonizing Borneo: State-building and Ethnicity in Central Kalimantan.(Cornell University 2004).
Fridolin Ukur, Tuayannya Sungguh Banyak (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2002).

Korespondensi Saudari Ajarani Mangkujati Djandam dengan Alferd Bacon Hudson, di Massecusett Amerika Serikat Vie E-mail, tahun 2003
Wawancara penulis dengan Bapak Lidi Bandjeng di Buntoi Kab. Pulang Pisau, tahun 2006.
Arsip  Pidato Kawan Messer Tanggap Peleng (Sekretaris CDB PKI Kalimantan Tengah) tahun 1957.