Fridolin Ukur :
Tentara, Pendeta, Sastrawan
Dalam
penantian ini
Diri tejepit antara gunung kehidupan dan tubir kematian
Keduanya menawarkan pengharapan
Kehidupan kekinian, di sini
Kehidupan keakanan , di sana …
Putra Dayak Ma’anyan itu.
Fridolin lahir di Tamiang Layang pada tanggal 5 April 1930 dia merupakan anak
seorang kepala sekolah dari Sekolah Rakyat di Tamiang Layang, sebagai seorang
anak dayak ma’anyan dia tergolong anak yang cerdas. Setelah menamatkan sekolah rakyat di
kampungnya, pada tahun 1936 Ukur (nama
panggilannya), bersama abangnya Wilson Ukur melanjutkan pendidikannyake
Banjarmasin di Hollandsch-Inlandsche School disingkat HIS (setingkat sekolah
dasar untuk anak pribumi) lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
disingkat dengan MULO (setingkat sekolah menengah) dan VHOWN (Voorbereind
Hoogere Onderwijs-Wisen Naturkunde Afdl) setingkat SMU.
Pak Ukur pernah naik pitam
saat menjalani pendidikan di Banjarmasin karena abangnya Wilson Ukur dihukum
karena ketahuan menggunakan bahasa Maanyan disekolah, hal itu dikarenakan
mereka wajib menggunakan bahasa Belanda selama bergaul. Keadaan berubah ketika
tentara Dai Nippon(Jepang) masuk ke Banjarmasin tahun 1942, akibatnya Ukur harus pulang ke
Tamiang Layang. Namun selama itu minat belajarnya taak pernah surut. Di
tengah-tengah kesibukan membantu keluarga ia menyempatkan diri membaca
buku-buku milik ayahnya, yang waktu itu menjadi kepala sekolah rakyat di
kampungnya. Di antara buku-buku milik ayahnya itu ia menemukan sebuah buku,
semacam buletin, yang berjudul Pakat Dayak. Buku ini diterbitkan oleh sebuah
organisasi bernama Pakat Dayak, yang mengusung isu nasionalisme. Selain itu ia
juga membaca buku-buku karangan Bung Karno. Hal inilah yang membangkitkan
semangat dan jiwa nasionalisme dalam diri Pak Ukur. Bahkan ia termasuk seorang
pengagum Bung Karno.
Dari Tentara ke Pendeta
Semangat dan jiwa nasionalisme itulah yang mendorong
Pak Ukur pada tahun 1947 – 1950 untuk bergabung dengan laskar ALRI Divisi IV Kalimantan
yang melakukan gerilya di wilayah Barito Selatan dan bermarkas di Sanggu,
sebuah desa sekitar 20 km dari Buntok. Karena pendidikannya ia diberi pangkat
Pembantu Letnan Satu dengan jabatan Wakil Komandan Kompi. Nama samarannya
adalah Effendy Udaya. Sedangkan komandan kompi adalah abangnya sendiri Wilson
Ukur (pensiun dengan pangkat kolonel di Pusat Pendidikan Infrantri, Cimahi).
Ketika keadaan normal ia kembali ke Banjarmasin dan diangkat sebagai Wakil
Komandan Kompi Commando Troop Perserikatan Bangsa-bangsa dan ditempatkan di
Kuala Kapuas. Sedangkan jabatan Komandan Kompi dipercayakan kepada abangnya.
Wilson Ukur, Majak Kalatak, Fridolin Ukur
Ketika Sang Abang melanjutkan pendidikan militer di
AMN Magelang, jabatan Komandan Kompi diserahkan kepada Pak Ukur. Namun tahun
1950 Pak Ukur memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta (Hoogere Theologische School waktu itu). Ketika baru kuliah ia
masih militer aktif dan masuk ke ruang kuliah pun masih memakai pakaian tentara
lengkap dengan atribut kepangkatannya. Ia baru resmi berhenti jadi tentara pada
bulan Desember 1950 dengan pangkat terakhir Letnan Satu.
Setelah di Tahbiskan sebagai Pendeta di Kuala Kapuas tahun 1956, Mengawali karir kependetaannya ia mulai mengajar di
Akademi Theologi GKE di Banjarmasin dan
tahun 1963 itu ia dipercayakan untuk memimpin Akademi Theologi GKE (sekarang
STT GKE). Salah satu bagian dari proses belajar mengajar yang ia perkenalkan
adalah kegiatan Praktik Pengenalan Lapangan bagi setiap mahasiswa yang hendak
mengakhiri studynya.
pentahbisan pendeta di Kuala Kapuas tahun 1956 Pak Ukur berdiri paling depan ditengah
Menimba Ilmu sampai ke Eropa.
Sambil memimpin Akademi Theologia Pak Ukur mulai
mempersiapkan diri untuk study doktor. Untuk itu ia belajar ke Fakultas Teologi
Universitas Basel, Swiss sekaligus melakukan riset kepustakaan. Dari Fakultas
Teologi Basel itu ia meraih gelar doktorandus (kandidat doktor). Lalu
gelar doktor teologi ia peroleh dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1972.
Karena sejak awal ia memang berminat dalam bidang sejarah kebudayaan, maka itu
pulalah yang menjadi riset doktoralnya, yang ia tuangkan dalam disertasi yang
berjudul “Tantang Jawab Suku Dayak”. Ia adalah doktor teologi angkatan pertama
dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Setelah merampungkan study doktornya, tahun 1972 itu
Pak Ukur dipercaya untuk memimpim sebuah lembaga yang bergengsi, yaitu Lembaga
Penelitian dan Study Dewan Gereja-gereja di Indonesia (LPS DGI) di Jakarta.
Selama ia menjabat sebagai pimpunan lembaga ini banyak produk-produk riset,
kajian, dan penerbitan yang dihasilkan. Salah satu karya monumental lembaga ini
adalah buku berjudul “Jerih dan Juang Gereja-gereja di Indonesia”. Sebuah buku
yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian mengenai gumul dan juang
gereja-gereja di Indonesia dalam konteks sosial, politik, ekonomi, kebudayaan,
dan agama-agama.
Sastrawan Angkatan 66 itu ulun Ma’anyan
Kritikus sastra, HB Yasin dalam
bukunya Angkatan ’66, Prosa dan Puisi menobatkannya sebagai salah seorang
penyair Angkatan ’66. Sebagai sastrawan dan penyair ia
juga banyak menulis puisi. Dua buku kumpulan puisinya diterbitkan oleh BPK
Gunung Mulia dengan judul Darah dan Peluh dan Wajah Cinta. Waktu pun berbisik:
Pengalaman yang berserakan
Jejak-jejak yang ditinggalkan
Adalah kelopak-kelopak bunga cinta,
Sebuah bunga rampai
Mekar di tangkai;
Seperti bianglala menganyam mimpi
Meraih, menggapai, memeluk fajar
Sebuah harapan tak pernah pudar!
Aku pun ikut berbisik:
Perjalanan ini, sayang
Bukannya ruang sempit dan lorong sepi!
Kembara ini, kasih
Adalah jalan lebar menyemai cinta
Di atas bumi
Di antara sesama ….
Tersirat dalam banyak puisi Ukur bahwa tiap hari merupakan
perlombaan lari. Ukur merasa diri berlari, bukan seorang diri melainkan dengan
sang waktu, ia berpacu dengan waktu, ia dan waktu berlari bersama tiap hari,
namun sering ia merasa ditinggal oleh waktu. Ia merasa dikhianati oleh waktu.
Tulisnya:
Apakah waktu mengkhianati aku
Ketika aku disibuki dengan ceramah
Ketika aku berkhotbah tentang
Cakar hitam dan pagi biru,
Ketika gairah kuhabiskan di konferensi
Dan rapat-rapat…
Masih ada waktu melempar bayang
Menanya diri dan kesilaman:
Tentang khianat dan bakti
Tentang dosa dan pengampunan suci
Tentang kawan berdoa pengisi sunyi…
Sastrawan Korrie Layun Rampan mengatakan walau saya
tidak dekat dengan Ukur , namun kedekatan kultur yang ada karena sesama orang dayak kampung. Ukur juga seorang kawan yang bersahaja
sehingga Korrie Layun Rampan pernah menulis secara khusus tentang Fridolin Ukur
pada majalah sastra Horison.
Sisi kemanusiaan seorang Ukur
Menikah dengan Sri Partiwi, seorang gadis Dayak –
Jawa dari desa Tamiang Layang dan dianugerahi 1 orang putra, Perah Tamiang
Ukur. Sri Partiwi bekerja sebagai PNS adalah seorang guru yang mengajar di SMEA
Negeri Banjarmasin, lalu pindah ke Jakarta mengikuti sang suami tercintanya.
Pdt.DR.Fridolin Ukur dan istrinya ibu Sri Pratiwi
Pdt.Andar Ismail mengatakan : Ukur
digemari oleh banyak kalangan sebagai penceramah favorit karena pembawaanya
yang kocak. Ceramahnya padat dan singkat. Ia cakap bercerita. Hadirin meledak
dalam tawa jika ia menceritakan anekdot yang nyerempet politik atau nyerempet
pornografi.
Pdt.Jhonson Simanjutak pernah
bercerita bahwa pernah diajak makan oleh Pak Ukur dengan lauk Wadi yang baunya
sangat menyengat “Pak Juntak ini yang enak “katanya sapai keluar ingusnya Pak
Ukur.
Marrie Clarie Barth, bercerita
bahwa kesukaan Pak Ukur memakai peci dikarena badannya yang pendek maka Pak
Ukur suka memakai peci supaya terlihat agak tinggi. Karena kesukaanya memakai
peci pernah beliau dipanggil pak haji oleh seorang pelayan restoran.
Pada Mei 1965 saat perayaan
Jubelium 150 Tahun Basel Misson di Swiss pak ukur diminta berpidato maka beliau
berdiri dengan tubuhnya yang pendek namun suara menggelegar bagai Guntur dia
berpidato berapi-api tentang semangat nasionalis Indonesia dan kecintaanya terhadap
bangsa dan negaranya. Pidato itu dilakukan dilapangan terbuka didepan gedung
walikota Basel dan dihadiri banyak orang.
Pendeta berpeci itu tutup usia
Sejak operasi ambeien tahun 1989 dokter sudah
memperingatkan Pak Ukur akan adanya gejala kanker di ususnya, Pak Ukur juga
pernah dioprasi akibat penyempitan pembuluh darah diotak. Namun kesibukannya
mengakibatkan ia tidak terlalu memperhatikan peringatan yang diberikan dokter
itu. Setelah sebeberapa lama dirawat karena penyakit kanker ususnya, pak Ukur
harus menyerah pada penyakit kanker usus yang menggerogotinya, dan ia wafat
dengan meninggalkan berbagai kenangan orang tentang diri dan karya
kemanusiaannya pada tanggal 27 Juni 2003 pukul 05.25 WIB di Rumah Sakit PGI
Cikini Jakarta. Beliau dimakamkan di kampung halamannya Tamiang Layang.
karya tulis Pak Ukur atau Amah Perah:
Malam Sunyi (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1960)
Darah dan
Peluh (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1961)
Belas Tercurah (Kumpulan Sajak, terbitan BPK 1980)
Iklan dari
Surga (Kumpulan Renungan, terbitan Pustaka Sinar Kasih 1980)
Wajah Cinta (Kumpulan Puisi, terbitan 2001).
Tantang Jawab Suku dayak.
Tuaiannya Sungguh Banyak.
Buku tentang sejarah Gereja Kalimantan Evangelis karya Pa Ukur
Kumpulan Puisi"Wajah Cinta"karya F.Ukur